DIA ITU LESBI

Jajang R Kawentar

Tangan pria itu melingkar pinggang perempuan di sampingnya, raut mukanya seperti sedang meyakinkan sesuatu pada lawan jenisnya itu. Entah ungkapan cinta, entah kebohongan, entah bim-salabim, entah bercanda, entah apa sebabnya dia berekspresi seperti itu. Seorang wanita muda dan pria setengah baya itu berjalan perlahan-lahan.

Perempuan itu sepertinya tidak perawan lagi. Wajahnya tampak seperti perempuan baik-baik hanya terpancar di wajahnya sebuah masalah yang tidak mungkin dia telan sendirian, sepertinya dia sengaja memendamnya dalam-dalam. Mungkin dalam rahimnya telah terisi janin, namun janin siapa, dia sendiri tidak mau tahu, atau mungkin dia merasa sudah bosan dengan obralan pria yang mengatasnamakan cinta. Pria setengah baya itu juga sepertinya bukan seorang perjaka. Dari sorot matanya mencerminkan kalau pria itu sangat berpengalaman dalam bercinta, tapi cinta buta; tanpa kasih sayang. Kasih sayangnya hanya untuk nafsu birahinya. Biasanya pria seperti ini mudah bosan dan dia selalu memilih mangsanya yang dia anggap lemah: mudah dan tidak berani menuntut apapun darinya. Wajah pria itu tampak gelisah, sepertinya dia sudah lama tidak mendapatkan kebutuhan biologis. Sekarang dia meminta pada perempuan itu. Perempuan itu menunjukan tindakan ketakutan atau mungkin dia juga membutuhkan apa yang pria itu butuhkan. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang pria disampingnya dan mengatakan sesuatu, “Jangan biarkan malam ini aku sedirian, Mas”.

Pria itu memeluk tubuh sintal perempuan itu erat-erat. Sebagai tanda perlindungannya, tapi sambil tersenyum hambar, mungkin kegelian, mungkin kepalsuan, mungkin dalam hatinya ngomong “Hmm, kena lagi lu! Akan kuikat dengan tali batin dan tak akan kulepaskan. He he he....Belum tahu dia, aku si ular belang!”

Tipe wanita itu sepertinya penurut dan mudah terbuai oleh kata-kata indah, rayuan pulau kepala pria. Logat bicara wanita itu sangat medok, medok Jawa. Entah Jawa yang mana. Logat bicara prianya seperti orang Sumatera. Entah Padang, entah Palembang , entah Medan, entah... semuanya salah.

Diperkirakan umur wanita itu 19 tahun dan prianya di atas 30 tahun. Pria itu rambutnya gondrong sebahu seperti seorang seniman atau juga mungkin playboy kampungan dan wanitanya pasti seorang pembantu, entah pembantu apa. Mungkin pembantu rumah tangga, mungkin pembantu seorang direktur, mungkin pembantu suaminya sendiri, pokoknya serba mungkin.

Kasihan perempuan itu. Padahal panjang kaki, tinggi badan dan mukanya lumayan oke. Lalu berlalu. Mereka tidak mengetahui ada yang memperhatikan mereka dari jendela dapur.

Tidak lama kemudian seorang gadis berseragam putih biru - kayaknya anak SMP tapi kayaknya bukan, soalnya bodynya coy, bongsor. Dia sibuk dengan tasnya. Sepertinya mencari sesuatu dalam tasnya, dibolak baliknya tas itu. Kelihatan dari samping, rok belakangnya ada warna merah kehitaman bulat sebesar bulan purnama menyebar. Mungkin dia menstruasi. Ya dia menstruasi.

Pasti dia sedang mencari buat ganjal menstruasinya. Bener. Dia mengeluarkan sesuatu seperti sepotong roti. Entah di bagaimanakan, dia mengangkat roknya tinggi-tinggi. Matanya bergulir dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Nampak dia ketakutan, kayaknya takut ada yang lewat, ada yang nonton. Padahal sepasang mata mendokumentasikan kelakuannya tanpa berkedip dan dengan mulut menganga.

“Oh pahanya. Wow. Kurang ajar! dia menghadap ke mukaku.” Sepotong roti itu direkatkannya dicelana dalamnya. Perawan. Lalu dia berlalu dengan menutup rok belakangnya dengan tas. Jalannya seperti orang kebelet pipis. Dia tidak mengetahui ada yang memperhatikan dari jendela dapur didepannya.

Tiba-tiba seorang nenek seperti hendak mengejar anak gadis itu. Tiba-tiba pula dia berhenti sambil sedikit mengangkat sinjangnya dan langsung mengangkang, entah apa yang akan dilakukannya. Lalu terdengar ada suara gemericik air.

Dia tarik nafas seperti melepaskan ketegangannya dan menurunkan sinjangnya kembali. Dia berjalan mengangkang tiga langkah, ada genangan air yang ditinggalkannya. Entah air apa. Padahal tadi tak sepercik pun ada air di sana. Mungkinkah dia itu pipis atau dia itu kepecirit? “Ah, masa bodo,” begitulah pikir nenek itu. “Tidak akan ada orang yang merangsang melihat kulit keriput begini.”

Biarpun nenek itu keriput, masih kelihatan garis kecantikannya. Mungkin mantan bunga desa atau mantan pragawati kampung.

Tidak terpikir oleh dia kalau dari jendela dapur ada yang memperhatikannya. Sepertinya nenek itu baru pulang dari pasar sebab digendongannya terdapat sayuran, entah apalagi dan entah siapa lagi yang akan melintasi gang itu. Mempertunjukan dan mempertontonkan segala kebodohan, kebolehan serta kelebihannya.

Mungkin mereka pikir disitulah tempat sangat aman untuk mengeluarkan segala sesuatu yang ada di dalam hati, di dalam perut, di dalam otak, di dalam celana, di dalam tas dan di dalam apa saja yang belum sempat tercurahkan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Bagaimana amannya tempat itu; disamping gang dibatasi rapat oleh tanaman pagar setinggi manusia yang paling tinggi. Pagar itu berbentuk ‘L’dan di sudut pagar itu ada ruang segi empat sehingga memang tidak akan nampak dari arah manapun kecuali dari jendela dapur rumah itu. Semua orang pasti mengira kalau dari jendela itu tidak dapat melihat keadaan di luar, karena kaca itu tidak tembus pandang dari arah yang lebih terang dan hanya petak kecil di bagian tengah daun jendela.

Apakah ini hanya sehelai potret kelas bawah?*****

Setelah bengong melihat kejadian itu, tante itu terus mengiris bawang dan sayuran yang akan dimasaknya dengan pisau tajam setajam silet. Sambil melamun. Entah apa yang ada di benaknya. Dia belum sadar kalau jarinya teriris-iris. Apabila mendengar ada yang berjalan di samping dapurnya dia sibuk sendiri, lalu standby di depan kaca daun jendela, matanya memperhatikan ke segala penjuru. Tahunya, di gang itu kucing berkejaran, bertengkar, sambil meneriakan suara biola dari kerongkongannya. “Eeeok eEee...EeeeEok eeeeeE....eEeeEe...oOok,” membuat jengkel tante itu. Saat mengambil air untuk menyiram kucing, tante itu menjerit ke langit. Melibas suara biolanya kucing. Kucing pun terbirit-birit. “Halilintar!!!” mungkin begitulah kata kucing. Tante itu kaget dan takut karena melihat tangannya berlumuran darah. Merah seperti warna bendera dan bau amis.

Tante itu pingsan, dari tangannya darah terus mengucur tiada henti. Kasihan, tante itu di rumahnya hanya sendiri. Ditinggal ibu bapaknya pergi dan saudara-saudaranya mati. Pacarnya tak pernah datang lagi. Dia itu katanya kini lesbian. Lesbi membuatnya sepi. Salah sendiri.

Yogyakarta - Palembang, November 1998-2005