Oleh Jajang R Kawentar
Bermula dari sebuah tulisan yang terdapat di sebuah catatan dalam facebook Dimas Agoes Pelaz yang ditulis Muhammad Syahrian pada www.beritamusi.com, berupa dialog Dimas Agoes Pelas dengan penulis Muhammad Syahrian diberi judul Perlu Gerakan Sastra Alternatif.. Saya akan mengambil beberapa point yang saya anggap penting dalam dialog tersebut. Selanjutnya terjadi dialog antara Diamas Agoes Pelaz, Jaid Saidi, Pratama Dharma Patria dan Jajang R Kawentar. Keterangan: (Muhammad Syahrian Tanya: T dan Dimas Agoes Pelas: DAP).
T: Apakah sastra dapat memberikan arti dalam proses pembangunan bangsa
DAP: Ya, jelas. Sastra seperti juga produk kebudayaan lainnya, dapat mengambil peran penting dalam proses pembangunan bangsa
T: Misalnya?
DAP: Tema-tema sastra yang dilahirkan harus mengungkapkan persoalan mendasar dari masyarakat kita, seperti persoalan feodalistik, kekerasan, kemiskinan, dan keterpurukan lainnya. Bukan tema-tema yang lebih memfokuskan pada kebebasan berekspresi tubuh seperti persoalan seks, atau pula yang meninggikan selera dan perilaku kaum borjuis atau kelas menengah baru.
T: Artinya harus ada sebuah gerakan sastra baru di
DAP: Ya.
T: Apa?
DAP: Gerakan berupa penggalian, pengolahan, dan memproduksinya sebagai alternative lain dari produksi sastra yang dilahirkan para industry buku yang ada. Buku-buku sastra ini dilahirkan dari sumur-sumur kebudayaan di nusantara yang belum banyak digali atau diperkenalkan. Artinya pula, para sastrawan mulai bekerja seperti halnya seorang intelektual, seperti mengangkat tema terkait soal kekayaan sumber daya alam di
T: Bagaimana itu akan terwujud bila para sastrawan atau pekerja sastra di
DAP: Seperti yang kita kenal selama ini. Gotong-royong. Itulah kekuatan utama kita buat membangun gerakan tersebut. Yang lebih berbagi dengan yang kurang. Yang kurang pumpunan buat menjadi lebih.
Itulah sebagian dialog yang saya anggap penting. Karena itulah saya tertarik untuk ikut memberikan komentar. Sehubungan pengalaman saya dalam kegiatan pergerakan sastra tersebut.
Pada kolom komentar pertama yang merespon mengenai Perlunya Gerakan Sastra Alternatif saya menulis: Saya kira gerakan sastra alternatif sudah sering dilakukan oleh banyak kawan sastrawan bahkan oleh komunitas-komunitas. akan tetapi sebetulnya proyek nyata ini bagaiman para sastrawan dan dunia pendidikan serta intitusinya bekerja sama memulai bergerak dari sekolah-sekolah, yag notabene disekolah-sekolah itulah mulai dari anak tk hingga sma menjadi tantangan besar untuk sebuah gerakan sastra. karena pada kenyataannya gerakan sastra di sekolah-sekolah tidak tergarap. apabila memulai dari sekolah tingkat dasar maka ada berapa puluh ribu siswa yang siap atau belum betul-betul mengenyam yang namanya karya sastra, apalagi mau menciptakannya. Salam.
Dimas: Itu namanya strategi, dan itu sudah dilakukan rejim Orde Lama dan Orde Baru, yang kemudian hilang di masa sekarang. Alternatif ini terkait soal isi atau tepatnya fokus tema. Isi yang benar-benar lahir dari sebuah penggalian, studi, bukan hanya menangkap kesan, apalagi menjadikannya sebagai pelengkap atau kamuflase perilaku pekerja sastranya, seperti penyair yang maling menulis puisi mengutuk maling. Antara sikap penyair dan isi harus sejalan, bergerak makanya bernama gerakan. Bukan pembedaan isi dan pribadi pekerja sastra. Pekerja sastra dan persoalan menjadi satu; perilaku dan karya.
Jajang: bagaimana ada gerakan yang baik kalo apresiasi sastranya juga macet. bagaimana mau ada karya kalo apresiasi juga macet. bagaimana mau berkembang to orang yang bergerak berputar-putar pada orang yang sama. sebuah gerakan itu tentu memerlukan dukungan, seperti sebuah rekrutmen individu, baru bekerja dengan macam apa tujuannya.
Dimas: presiasi bukan urusan pekerja sastra, itu urusan guru dan penggiat sastra. urusan pekerja sastra melahirkan banyak karya. karya sastra bukan tergantung jumlah orang, melainkan teks sastra. percuma banyak orang tapi tidak ada karya, yang sedikit dan biasa saja. dukungan bukan tujuan, tapi dampak merupakan tujuan.
Jajang: saya kira pekerja sastra tidak bisa lepas dengan sebuah regenerasi, karena sedikit banyak yang banyak mengerti urusan sastra dan prilaku pekerja sastra itu ya pekerja sastranya sendiri. sementara guru tidak bisa menjadi andalan dalam mengapresiasikan karya sastra buktinya sampai saat ini, kerja tersebut tidak berjalan dengan baik, disamping itu guru tergantung dengan yang namanya kurikulum dan Ujian nasional. semtara pengiat sastra itu yang mana dan seperti apa?
tentunya pekerja sastra juga gak bisa hanya berkarya saja, pada umumnya mereka terkendala dengan periuk nasinya yang tidak terpenuhi.
Dimas: itu persoalan lain. saya pikir publik hanya tahu pekerja sastra melahirkan karya. titik. persoalan kelaparan bukan hanya persoalan pekerja sastra, juga tukang becak, polisi, tentara. jadi itu bukan persoalan khusus bagi pekerja sastra. sekarang bagaimana mengakali diri agar tetap berkarya. bila tak mampu, tinggalkan saja dunia sastra sebab itu membuat tersiksa? buat apa tersiksa dengan lebel yang ada. intinya, kita lebih baik fokus pada persoalan isi, kalau sudah banyak yang lainnya mengikuti. sekarang ini banyak pekerja sastra, banyak organisasi, banyak guru, tapi sedikit karya. Gerakan adalah berkarya alternatif atau yang belum banyak diungkapkan dalam karya sastra kita.
Jajang: itu juga sebetulnya persoalan yang dihadapi oleh pekerja sastra. realitas pekerja sastra dengan karya itu gak bisa dipisahkan, jelas sangat berpengaruh kang. kita selalu berharap dengan apa yang kita inginkan sementara realitas pekerja sastra seperti itu. saya kira persoalan klasik itulah dirasakan dimana-mana. bagaimana dengan di jambi sendiri.
Dimas: cari makan ya cari makan. berkarya ya berkarya. dua wilayah yang berbeda. kalau mau cari makan ya bisa apa saja dilakukan asal halal. di jabi banyak sekali masalah yang bisa digali dan diangkat ke permukaan untuk karya sastra, termasuk masalah kemiskinan, kelaparan, lingkungan, sumber daya alam yang terkorupsi oleh segelintir pejabat, tergusurnya cagar budaya dan masih banyak lagi.
Jajang: dua wilayah tapi satu kepala
Jaid Saidi: jalan bae jang. sejak dulu kok hidup seniman itu susah. sulit mencari uang, tapi wong selalu menilai dari karya. jadi biarlah nasib yang nentukan soal ekonomi, begitupun nasib karya. karya yang bagus pasti akan muncul juga. soal waktu lain lagi. jadi, sepakat dengan dimas, kita kejar karya yang bagus. gerakan karya.
Jajang: gerakan sastra itu biasanya dilakukan oleh seseorang yang memang konsen terhadap sastra, atau dilakukan oleh sebuah komunitas yang memiliki visi-misi sama terhadap perkembangan dan pengembangan sastra. nah alternatif lain gerakan sastra itu ke sekolah-sekolah karena sekolah merupakan institusi yang sudah memiliki rombongan belajar dan memiliki kelas dan berbagai jenjang, mulai dari tk, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. dari gerakan inilah akan memunculkan kuantitas pekerja sastra, kuantitas dan kualitas karya, kuantitas dan kualitas gerakan sastra itu sendiri. Dengan gerakan sastra ini diharapkan akan memunculkan kuantitas karya sastra yang akan bersaing sehingga akan tampak siapa karyanya yang berkualitas. dari sekian banyak pekerja sastra, dari sekian banyak pelaku gerakan sastra, dari sekian banyak karya yang dilahirkan, pada akhirnya akan masuk pada seleksi alam. dengan adanya gerakan sastra alternatif tersebut maka kuantitas pekerja sastra dan kuantitas karya akan semakin banyak. Proses seleksi menuju pekerja sastra pun akan semakin longgar dan hasil dari seleksi alam ini akan menghasilkan apresiator karya sastra yang baik dikemudian hari dari para pekerja sastranya.
Dimas: Lanjutkanlah Jang...gawekelah Jang...aku tunggu hasilnya...aku tetap fokus pada karya, oke. sebab fungsi utama pekerja sastra adalah menulis karya sastra.
Jajang: jadi gerakan sastra alternatifnya gemana? kalau tidak berkarya sastra, mana mungkin disebut pekerja sastra. Selamat berkarya, mohon maaf lahir bathin.
saya mohon izin Mas Dimas Agoes Pelaz untuk mempublikasikan dialog ini. terimakasih.
Pratama Dharma Patria: @Jajang : sebetulnya saya pun dulu mempunyai dilema seperti itu saat berkarya senirupa . satu sisi idealisme berkarya sangat dalam satu sisi perut dan kantong selalu berirama keroncongan.....hanya perlu ketegasan dan konsisten diri pribadi kalo ingin bekarya harus siap menghadapi apapun halangan dan rintangan yg akan dilwati misalnya itu td perut dan kantong bermain musik keroncongan////..... tapi aku mengalah pada karya sehingga aktivitas sebagai perupa aku tinggalkan untuk sekian waktu bukan beraRti aku mengubur itu...tapi aku tetap berusaha mencari media lain untuk bisa bekarya dan sekaligus mencari uang......dan ternyata ALHAMDULILLAH....langkah pertama menjadi tenaga ILUSTRATOR di media sangat mengasah ketrampilanku dalam berkarya senirupa.....jadi intinya///// hanya satu bung kalo kita idealis da;lam berkarya anda mesti Sanggup doong nahan lapar seandainya tidak sanggup cepat-cepat mesti anda kubur idealisme bekarya anda.....satu HIDUP INI HARUS TEGAS mulai dengan diri sendiri.
Jajang: ya, begitulah. kalo sudah dapat pekerjaan baru bisa melakukan apa keinginan kita. sebab urusan perut sudah selesai. apalagi sudah berkeluarga, apakah berkarya dulu atau menyelesaikan kebutuhan keluarga. tentu roda itu berputar, tidak mungkin keadaan itu berada di bawah terus, kalo kita tetap mempertahankan idealisme dan terus berusaha.
Dimas: @Jang: Ya, lah, jang, masak pekerja sastra tidak menghasilkan karya sastra. kalau dong dengan tukang calok. makanya yang tidak berkarya sastra, jangan ikut campur hehehe. Soal gerakan alternatif ini, seperti saya katakan sebelumnya mengenai "isi". Tema-tema yang lebih mengangkat persoalan mendasar masyarakat
Jajang: saya menangkap apa yang dimaksud Mas Dimas Agoes Pelaz mengenai gerakan sastra alternatif itu adalah karya-karya yang dihasilkan pekerja Sastra berdasarkan pada persoalan mendasar masyarakat
dimana saya bisa membeli bukunya? kalau boleh saya pesan dan berapa harganya. jadi penasaran ingin baca seluruhnya. karena buku merupakan eksistensi pekerja sastra yang sangat tinggi harganya. bisa digunakan untuk mengklaim, atau menghegemoni masyarakat terhadap status pekerja sastra. sementara yang tidak menerbitkan buku, dianggap belum pernah berkarya dan dipandang rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata