Kamis, 03 September 2009

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

Jajang R Kawentar

Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan pada pejabat, raja atau pada Dewa, dan sebagai bahasa pergaulan. Beberapa tarian tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hannya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja.

Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang akan mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat.

Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang dibawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang perduli. Ketidakperdulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.

Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni budaya lokal.

Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetunya hal ini sangat melukai para pekerja seni.

Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.

Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.

Buku

Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti. Meskipun masih ada beberapa kelemahan dalam teknik kepenulisannya, kurang mencerminkan penulisan karya ilmiah. Setiap data atau keterangan yang diambil dari buku atau dari hasil wawancara tidak jelas.

Walau begitu ada sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di setiap kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Sesungguhnya lebih baik dilakukan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan, sebagai induk dari Dewan Kesenian daerah.

Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.

Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.

Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.

Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.

Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.

Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.

Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.

Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.

Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat membingungkan pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga bernafaskan Budhisme.

Terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun.

1 komentar:

Urunan Kata