Sabtu, 05 November 2011

SANG PROLETAR ITU OCOP AKAR


Oleh Jajang R Kawentar

Catatan ini akan membukakan pandangan kita kepada aktivitas kepenyairan seorang Ocop Akar (M. Yusuf) yang kita tahu ia adalah seorang proletar yang berjuang untuk banyak orang dan selalu memikirkan tentang kemanusiaan. Hanya sayang sedikit orang menghargai kemampuan, perjuangan dan ketulusannya, sepertinya mengabaikan kehidupannya. Ia tampak tidak pernah perduli dengan hal yang tidak seiring keyakinannya. Ia tetap pantang mundur untuk merebut seperti yang diharapkannya walau terkadang harus menerima kekecewaan.
Ocop Akar kini telah pulang ke Rahmatullah pada tanggal 6 Juni 2006, kini kita hanya akan mengenang kehidupannya. Ia sebuah simbol pejuang rakyat melalui kesenian. Dalam pembicaraan setiap dalam pertemuan terutama dengan saya tidak terlepas dengan realisme sosial. Sepertinya ia tidak ingin mengenal selain itu. Pada pra reformasi dan pasca reformasi ia selalu ikut melawan tirani sosial, dan yang sangat signifikan adalah kehadirannya dalam beberapa pergerakan, seperti yang sering ia katakan dan dari keterangan beberapa kawan karibnya. Baik pergerakan sosial maupun pergerakan kesenian, dan ia seorang yang cukup komit dalam keterlibatannya itu.
Seakan-akan ia merekomendasikan kepada kita arti atau pengertian dari kalimat yang telah lama ditinggalkan orang, sepertinya ia tetap meyakini itu: “Zaman kita sekarang ini adalah zaman kaum borjuis, yang memiliki cirri khas berbeda: antagonisme kelas. Pada zaman ini masyarakat secara keseluruhan terbelah menjadi dua buku besar,menjadi dua kelas besar yang saling berhadap-hadapan : borjuis dengan ploletar.” (Karl Marx & Friedrich Engel). Seperti juga ia menuliskan: “Aku tidak memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup api nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi, idealisme, makanan dari jiwaku. Inilah semua yang aku makan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya – mendayungkan citaku dan cintaku secara bersama-sama ke pulau harapan. Untuk inilah aku hidup.” (Ocop Akar, Catatan Pemulung 3).
Begitulah Ocop Akar dengan penampilannya yang sederhana, memiliki rambut gondrong pada masanya itu mengingatkan saya kepada penyair yang sama-sama mencoba meruntuhkan tirani sosial dengan puisi-puisinya ia mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan: Wiji Thukul. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perjuangan kompleks yang dilakukan Ocop Akar sangat berat, namun ia sangat tegar dalam menghadapi semuanya itu, dan kita semua sepertinya tidak pernah perduli dengannya. Begitupun ia tidak pernah terdengar mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Pertemuanku dengannya saat merencanakan Hari Bumi pada tahun 2003 dan kami, Anton Bae, Edwint Fass, Evhant Fajrullah, bersama kelompok K9 dan beberapa mahasiswa Unsri, mengadakan Performance Art di Bundaran Air Mancur Mesjid Agung Palembang. Selamat jalan kawan, kami cukup tertegun dan khusu dengan perjuanganmu. Semangat hidupmu itu yang ingin kami cangkokkan pada segenap generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata