Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat merupakan segerombolan anak muda dari Lembah Bukit Serelo Kabupaten Lahat yang ngulik dunia sastra. pengajiannya dilaksanakan pada setiap Sabtu dan Minggu pukul 14.00 WIB-selesai bertempat di sebuah bukit Desa Pagarsari. Komunitas ini sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung. salam Budaya!
Sabtu, 14 Januari 2012
Jajang R Kawentar
Guru Murid
Seburuk apapun dia guruku
Sejelek apapun dia guruku
Dia membuka pikiranku
Dia mengajakku belajar
Karenanya aku mengerti dan memahami
Guruku engkau mulia
Segala ilmu yang engkau beri berguna
Amal baktimu terkenang selalu
Seburuk apapun dia muridku
Sejelek apapun dia muridku
Dia permata dunia
Dia nahkoda masa depan
Karenanya perlu arahan dan bimbingan
Supaya kesempatan tidak dilewatkan
Membangun nusa dan bangsa jaya
Kerja yang baik itulah harapan
Meraih bintang masa datang
Abadi dalam genggaman
Pagarasari, januari 2012
CERITE
DIA ITU LESBI
Jajang R Kawentar
Tangan pria itu melingkar pinggang perempuan di sampingnya, raut mukanya seperti sedang meyakinkan sesuatu pada lawan jenisnya itu. Entah ungkapan cinta, entah kebohongan, entah bim-salabim, entah bercanda, entah apa sebabnya dia berekspresi seperti itu. Seorang wanita muda dan pria setengah baya itu berjalan perlahan-lahan.
Perempuan itu sepertinya tidak perawan lagi. Wajahnya tampak seperti perempuan baik-baik hanya terpancar di wajahnya sebuah masalah yang tidak mungkin dia telan sendirian, sepertinya dia sengaja memendamnya dalam-dalam. Mungkin dalam rahimnya telah terisi janin, namun janin siapa, dia sendiri tidak mau tahu, atau mungkin dia merasa sudah bosan dengan obralan pria yang mengatasnamakan cinta. Pria setengah baya itu juga sepertinya bukan seorang perjaka. Dari sorot matanya mencerminkan kalau pria itu sangat berpengalaman dalam bercinta, tapi cinta buta; tanpa kasih sayang. Kasih sayangnya hanya untuk nafsu birahinya. Biasanya pria seperti ini mudah bosan dan dia selalu memilih mangsanya yang dia anggap lemah: mudah dan tidak berani menuntut apapun darinya. Wajah pria itu tampak gelisah, sepertinya dia sudah lama tidak mendapatkan kebutuhan biologis. Sekarang dia meminta pada perempuan itu. Perempuan itu menunjukan tindakan ketakutan atau mungkin dia juga membutuhkan apa yang pria itu butuhkan. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang pria disampingnya dan mengatakan sesuatu, “Jangan biarkan malam ini aku sedirian, Mas”.
Pria itu memeluk tubuh sintal perempuan itu erat-erat. Sebagai tanda perlindungannya, tapi sambil tersenyum hambar, mungkin kegelian, mungkin kepalsuan, mungkin dalam hatinya ngomong “Hmm, kena lagi lu! Akan kuikat dengan tali batin dan tak akan kulepaskan. He he he....Belum tahu dia, aku si ular belang!”
Tipe wanita itu sepertinya penurut dan mudah terbuai oleh kata-kata indah, rayuan pulau kepala pria. Logat bicara wanita itu sangat medok, medok Jawa. Entah Jawa yang mana. Logat bicara prianya seperti orang Sumatera. Entah Padang, entah Palembang , entah Medan, entah... semuanya salah.
Diperkirakan umur wanita itu 19 tahun dan prianya di atas 30 tahun. Pria itu rambutnya gondrong sebahu seperti seorang seniman atau juga mungkin playboy kampungan dan wanitanya pasti seorang pembantu, entah pembantu apa. Mungkin pembantu rumah tangga, mungkin pembantu seorang direktur, mungkin pembantu suaminya sendiri, pokoknya serba mungkin.
Kasihan perempuan itu. Padahal panjang kaki, tinggi badan dan mukanya lumayan oke. Lalu berlalu. Mereka tidak mengetahui ada yang memperhatikan mereka dari jendela dapur.
Tidak lama kemudian seorang gadis berseragam putih biru - kayaknya anak SMP tapi kayaknya bukan, soalnya bodynya coy, bongsor. Dia sibuk dengan tasnya. Sepertinya mencari sesuatu dalam tasnya, dibolak baliknya tas itu. Kelihatan dari samping, rok belakangnya ada warna merah kehitaman bulat sebesar bulan purnama menyebar. Mungkin dia menstruasi. Ya dia menstruasi.
Pasti dia sedang mencari buat ganjal menstruasinya. Bener. Dia mengeluarkan sesuatu seperti sepotong roti. Entah di bagaimanakan, dia mengangkat roknya tinggi-tinggi. Matanya bergulir dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Nampak dia ketakutan, kayaknya takut ada yang lewat, ada yang nonton. Padahal sepasang mata mendokumentasikan kelakuannya tanpa berkedip dan dengan mulut menganga.
“Oh pahanya. Wow. Kurang ajar! dia menghadap ke mukaku.” Sepotong roti itu direkatkannya dicelana dalamnya. Perawan. Lalu dia berlalu dengan menutup rok belakangnya dengan tas. Jalannya seperti orang kebelet pipis. Dia tidak mengetahui ada yang memperhatikan dari jendela dapur didepannya.
Tiba-tiba seorang nenek seperti hendak mengejar anak gadis itu. Tiba-tiba pula dia berhenti sambil sedikit mengangkat sinjangnya dan langsung mengangkang, entah apa yang akan dilakukannya. Lalu terdengar ada suara gemericik air.
Dia tarik nafas seperti melepaskan ketegangannya dan menurunkan sinjangnya kembali. Dia berjalan mengangkang tiga langkah, ada genangan air yang ditinggalkannya. Entah air apa. Padahal tadi tak sepercik pun ada air di sana. Mungkinkah dia itu pipis atau dia itu kepecirit? “Ah, masa bodo,” begitulah pikir nenek itu. “Tidak akan ada orang yang merangsang melihat kulit keriput begini.”
Biarpun nenek itu keriput, masih kelihatan garis kecantikannya. Mungkin mantan bunga desa atau mantan pragawati kampung.
Tidak terpikir oleh dia kalau dari jendela dapur ada yang memperhatikannya. Sepertinya nenek itu baru pulang dari pasar sebab digendongannya terdapat sayuran, entah apalagi dan entah siapa lagi yang akan melintasi gang itu. Mempertunjukan dan mempertontonkan segala kebodohan, kebolehan serta kelebihannya.
Mungkin mereka pikir disitulah tempat sangat aman untuk mengeluarkan segala sesuatu yang ada di dalam hati, di dalam perut, di dalam otak, di dalam celana, di dalam tas dan di dalam apa saja yang belum sempat tercurahkan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Bagaimana amannya tempat itu; disamping gang dibatasi rapat oleh tanaman pagar setinggi manusia yang paling tinggi. Pagar itu berbentuk ‘L’dan di sudut pagar itu ada ruang segi empat sehingga memang tidak akan nampak dari arah manapun kecuali dari jendela dapur rumah itu. Semua orang pasti mengira kalau dari jendela itu tidak dapat melihat keadaan di luar, karena kaca itu tidak tembus pandang dari arah yang lebih terang dan hanya petak kecil di bagian tengah daun jendela.
Apakah ini hanya sehelai potret kelas bawah?*****
Setelah bengong melihat kejadian itu, tante itu terus mengiris bawang dan sayuran yang akan dimasaknya dengan pisau tajam setajam silet. Sambil melamun. Entah apa yang ada di benaknya. Dia belum sadar kalau jarinya teriris-iris. Apabila mendengar ada yang berjalan di samping dapurnya dia sibuk sendiri, lalu standby di depan kaca daun jendela, matanya memperhatikan ke segala penjuru. Tahunya, di gang itu kucing berkejaran, bertengkar, sambil meneriakan suara biola dari kerongkongannya. “Eeeok eEee...EeeeEok eeeeeE....eEeeEe...oOok,” membuat jengkel tante itu. Saat mengambil air untuk menyiram kucing, tante itu menjerit ke langit. Melibas suara biolanya kucing. Kucing pun terbirit-birit. “Halilintar!!!” mungkin begitulah kata kucing. Tante itu kaget dan takut karena melihat tangannya berlumuran darah. Merah seperti warna bendera dan bau amis.
Tante itu pingsan, dari tangannya darah terus mengucur tiada henti. Kasihan, tante itu di rumahnya hanya sendiri. Ditinggal ibu bapaknya pergi dan saudara-saudaranya mati. Pacarnya tak pernah datang lagi. Dia itu katanya kini lesbian. Lesbi membuatnya sepi. Salah sendiri.
Yogyakarta - Palembang, November 1998-2005
GENERASI HARAPAN BANGSA
Jajang R Kawentar
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya api dan matanya layu.
Mereka berteriak membacakan Undang-Undang Dasar yang tidak berpihak kepadanya tentang anak-anak terlantar dipelihara negara dan setiap warga berhak menerima pendidikan yang layak.
"Lalu kepada siapa kami mengadu? Jika tidak ada yang peduli terhadap bangsa dan negara ini, lalu siapa kalau bukan kami sebagai generasi muda? Kami hanya menuntut hak kami sebagai tonggak penerus kedaulatan bangsa dan negara."
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya tembaga dan matanya kuncup.
Mereka berteriak membacakan kitab suci, berkhotbah tentang sirotolmustaqim, penghapusan dosa, tapabrata, dan eling ingkang hyang widi.
"Lalu keyakinan mana yang terus digadaikan? Bukankah wajib mengikuti jalan yang telah ditetapkan Tuhan kepada umat yang meyakininya? Marilah bersama-sama bagun spiritualisme kita dengan seksama dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kalau tidak dimulai sekarang dari diri kita ini, apa ada orang lain yang membiarkan kita bersekutupadu dengan kemaksiatan? Atau menunggu peringatan Tuhan pada gejala alam dan tingkah laku genit."
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya api dan matanya layu.
Mereka berteriak tentang generasi bangsanya sendiri yang loyo yang kurang ajar yang menghianati sesama anak bangsa yang mementingkan perut dan sejengkal di bawahnya.
"Lalu apa yang tua-tua itu menjamin terhadap perubahan yang signifikan untuk kebutuhan masa depan anak-anaknya atau hanya sekedar untuk kesenangan atau hiburan sesaat atau kepuasan dirinya sendiri. Bukankah hura-hura dan huru-hara yang diwariskan kepada generasi kami. Bukankah tanah air ini bukan warisan, tetapi berkat para pejuang dulu, nenek moyang kita yang rela berkorban jiwa dan raga, dengan cucuran keringat dan darah serta nyawa?"
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya tembaga dan matanya kuncup.
Mereka berteriak sentimen kebangsaan, kebahasaan dan keagamaan; merupakan sebuah modal dalam melakukan perjalanan menuju Surga. Tanpa pengertian satu dengan yang lain akan terhambat atau alamat kehancuran. Sensitibilitas sentimen menjadi api, air, abu dan gagasan-gagasan.
"Lalu apa yang telah kita lakukan dalam menjaga keselurusan jalan dan kesamaan langkah dalam merapatkan barisan, menempuh sebuah ideal, idealisme, idiologis mutlak, cinta, nirwana, yang kudus."
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya api dan matanya layu.
Mereka berteriak bau busuk Jengkol dan bahayanya Alkohol, Mariyuana, Obat-obat adiktif, Heroin, Sabu-sabu, akan merusak kerja sistem urat syaraf dan memuluskan lintasan sakaratul maut, serta pelembagaan kemunkaran dan kemunafikan di wilayah bebas berpendapat, bebas berbicara, bebas etika, bebas berkarya, bebas bosbisbesbus.
"Lalu hukum positifisme mengajarkan ketuhanan. Lalu untuk apa pabrik-pabrik obat terlarang diciptakan, perkebunan anggur di lapangan pekerjaan luas. Budidaya pohon Ganja diperkebunankan terus dipelihara dan dijaga tentara. Pabrik pemeras anggur dalam kemasan alkohol berkeliaran untuk dinikmati. Memangnya kita ini siapa?"
Generasi harapan bangsa itu dari mulutnya tercium bau alkohol bau jengkol. Di tangannya terselip lintingan daun ganja sebesar telunjuk yang sesekali dihisapnya hingga asapnya membahana di rongga dada dan menguap ke kepala. Mukanya tembaga dan matanya kuncup.
Berteriak tentang kemanusiaan yang diperbudak kebinatangan dan keadilan yang diperkudalumping janji-janji seperti kentut meninggalkan pesan di celana dalam ibu-ibu hamil. Anak-anak melahirkan orangtua. Laki-laki melahirkan perempuan. Perempuan menolak menjadi dirinya. Kita harus segera mengambil alih komando. Tanda sangkakala revolusi bulu kuduk, tanda tangan pegang janji milikmu dan miliknya.
"Wahai generasi tunduk waktu,
semai bibit bebet bobot
buat bait-bait ladang
berbaris rapi
menanti panen melimpah ruah
hidangkan kelak bersama
nikmatnya dari ujung lidah hingga dasar hati"
Generasi Harapan Bangsa peluk rindu dalam mimpimu sebelum berjuang ke medan pertempuran. Salam mencintai dari generasi bangsa masa depan bintang terang.
Dewan Kesenian Palembang, 2005
SURAT BUAT RAKYAT GAMPINGAN
Jajang R Kawentar
Bilamana hidup ini tidak bergerak, niscaya aku kini
masih bagian dari rakyat Gampingan yang selalu
mengobarkan api kemerdekaan, pembelaan terhadap rakyat
tertindas, katanya. Karena itulah tercipta; seperti
sebuah gunung Mahameru: menumbuhkan rasa sentimentil
yang begitu rapuh seperti mereka yang mempermasalahkan
hak terhadap suatu pilihan dan menjadi sebuah judul
lagu “Rindu Berat”. Kata orang, musiknya kampungan dan
selera rendah. Aku percaya pilihan itu bisa berubah.
Tahukah kau, wahai rakyat Gampingan? Aku yang dulu
tinggal di bawah Kali Code, sekamar dengan pemulung
sekaligus bandit tapi ia pandai memainkan gitar dan
mengaransmen beberapa puisiku, disalahsatu tempat
hasil karya keringat YB Mangun Wijaya, budayawan
tersohor itu. Masih terngiang di telingaku, kala ia
memegang pundakku sambil memberiku dua bungkus nasi
kucing dan tempe bacem saat menjelang malam, di
belakang Station Tugu Yogyakarta dekat Malioboro di
tempat mangkal lonte-lonte murahan. Ia bersabda
padaku: “Siapa namamu dek?” Aku kaget, aku kira
Malaikat pencabut nyawa. Waktu itu aku lagi mabuk
berat dan lonteku baru saja beranjak dari rayuan pulau
kepala. Sebetulnya aku hanya akan membantu sedikit di
sisi ekonomi lonte itu, dan dia mencoba membantuku di
sisi kebutuhan biologisku. Tapi dia tidak mau dibayar
dan menolak dikatain lonte. Apa mau dikata-katain?
Tanyaku.
“saya kan bekerja. Pekerjaan saya melayani sex.”
“ Ya pekerja sex. Tapi apa bedanya dengan lonte. Toh
sama kotornya pekerjaan itu di mata masyarakat,
apalagi agama. Apa kamu tidak beragama?’
“Oh, tidak begitu. Kalau pekerja sex itu lebih
terhormat, ketimbang lonte. Lonte itu sepertinya orang
ngata-ngatain. Tapi pekerja sex itu berarti saya punya
pekerjaan, tidak menganggur. Kamu tahu nyari pekerjaan
susah. Siapa sih yang mau ngasih pekerjaan, kecuali
kita yang harus berusaha. Begitu kan kata pemerintah.
Kita harus bisa mandiri. Apalagi kaum perempuan itu
selalu yang disalahkan. Perempuan itu kaum yang lemah,
katanya.”
“Tapi pekerjaan kamu itu melanggar agama?”
“Apakah agama mau ngasih pekerjaan? Tidak kan? Saya
hanya terdesak kebutuhan ekonomi, kami ini butuh
makan. Makan itu harus dibeli. Beli itu harus pakai
uang. Darimana dapat uang kalau saya tidak bekerja
seperti ini?”
“tapi kan ada pekerjaan lain yang lebih terhormat di
mata masyarakat dan agama, yang berarti juga dimata
tuhan.?”
“yang terhormat di mata masyarakat sekarang itu bukan
pekerjaannya tapi uangnya. Orang itu sekarang hampir
tidak dihargai, seperti saya ini. Tapi ketika orang
lain mengetahui saya mengantongi banyak uang, mereka
mulai mendekat, mulai memperhitungkan saya. Ketika
orang mengetahui saya bekerja seperti ini, mereka
mencerca saya. Barangkali karena tuhan mereka sekarang
adalah uang, mereka takut kalau tidak punya uang.
Tidak takut kalau tidak punya tuhan. Saya bercerita
ini hanya berdasarkan pengalaman. Saya tidak sekolah
tinggi, lulusan SLTP.”
“dengan bekerja sex itu berarti kamu juga tidak takut
dengan tuhan, tapi takut kalau kamu tidak beruang.
Kalau tidak beruang tidak makan. Betullll?”
“yang buat aku memilih pekerjaan ini kan bukan karena
kemauanku. Karena tidak ada lagi yang mau
mempekerjakanku, sementara keluargaku itu kan butuh
makan. Masa membiarkan perut lapar terus. Siapa yang
mau ngasih makan diri kita, kalau bukan diri kita. Ada
sumbangan pun itu terbatas, paling untuk sehari atau
dua hari. Tidak selamanya. Mau apa lagi? Lantas kenapa
kamu mengajakku bekerja sex? Apakah ingin melampiaskan
hawa nafsumu?”
“apakah aku tidak boleh ikut menolong pekerjaanmu itu?
Kamu kan sedang kesusahan.”
“kamu juga tidak takut tuhan? Bukankah pekerjaan dosa
yang akan kau lakukan itu?”
“coba renungkan. Apakah dosa bagi orang yang mau
membantu menolong kesusahan orang lain? Aku pikir
orang yang menolong itu memiliki ahlak yang terpuji,
apalagi menolong dengan ikhlas.”
“ikhlas apanya, menolong kok minta balas budi?”
“kenapa kau jadi sewot lonte! Kau kan jualan, aku
hendak membelinya. Kalau kau dak mau ya sudah. Dak
usah banyak cing-cong. Kepalaku jadi pening. Aspirasi
sexku dak tersalur tolol! Pekerjaan kamu itu neraka,
bukan lagi dosa.”
“orang seperti kamu itulah yang suka merendahkan
derajat kaum perempuan. Jangan-jangan kamu lahir dari
anus bapakmu.”
Tahukah kau, rakyat Gampingan? Pekerja sex itu
tersinggung karena kubilangin lonte. Ia menolak
melayaniku. Ia bergegas meninggalkanku sambil
bersungut-sungut. Tidak ada kata-kata kasar yang
terlontar langsung padaku. Ia takut dengan
penampilanku yang agak senewen, rambut gondrong
sejengkal di atas pantat yang tidak pernah di sisir,
celana robek di kedua lutut, robek di bagian pantat
bukan disengaja tapi memang tidak punya yang lainnya.
Ia juga tahu kalau aku kawannya bandit yang cukup
disegani di daerah Malioboro.
Saat itulah aku termanggu. Aku tak mampu bergerak,
apalagi ngomong; bengong. Mataku hanya satu pandangan
pada raut mukanya yang memancarkan cahaya kemanusiaan,
dan beliau memandang wajahku yang sedang kesetanan.
Kemaluanku tak lagi tertutupi, kejam. Seperti
hawanafsu birahi.
“Wahai tuhan berpihaklah padaku. Aku baru saja hampir
bersekutu dengan setan. Apakah masih ada persediaan
petunjukmu?"
“Makanlah nasi kucing itu untuk membantu
perjuanganmu, sampai esok. Kau begitu banyak
perjuangan dan yang perlu diperjuangkan.”
“perjuangan apaan? Boro-boro memperjuangkan untuk
orang lain, untuk diri sendiri saja susah? Rasanya
ingin mati seribu tahun lagi.”
“ya karena itulah, kamu itu kan payah. Kamu harus
berjuang melawan kepayahan dan ketidakmampuanmu.
Dengan memperjuangkan dirimu sendiri kepada kelayakan,
berarti meringankan kerja kawan-kawanmu.”
“wah heroik dan benar-benar payah. Aku menganggap
perjuangan itu seperti ketika kakek dan bapak ibuku
melawan kolonial. Aku merasa hidup sendiri tidak punya
kawan, sehingga apapun yang kukerjakan, merasa untuk
diri sendiri, tidak untuk siapapun. Apakah ada di
jaman komersil ini kawan-kawan yang ikut
memperjuangkan keadaan dan harapan orang-orang
sepertiku? Rasanya tidak mungkin, apalagi pekerja sex
tadi mengatakannya cukup tegas, gas. Aku menangkapnya
setiap pertolongan itu meskipun dengan ikhlas
mengandung arti balas budi. Ada ubi ada talas, balas
budi harus dibalas.”
“sesungguhnya ada teori lain yang akan membantai apa
yang kamu lontarkan tadi. Tapi lontaran kamu itu bisa
jadi benar juga.”
“bagaimana kalau aku punya tuhan yang tidak punya
pendirian? Stress. Ya lebih baik tidak punya. Tapi
percaya itu tidak dilarang bukan? Tidak akan
mempengaruhi penghasilan, atau berpengaruh besar?”
“kamu itu naïf, dekat dengan primitif. Konsumtif,
jauh dengan positif. Namun kamu bersahaja dalam
kekurangan.”
Tahukah kau, wahai rakyat Gampingan! Aku seperti
terbang ke Pluto. Pembicaraan itu terputus, karena
sepertinya terlalu berlebihan mendeskripsikan
keadaanku. Sesungguhnya aku laki-laki biasa, yang bisa
saja sesekali menjadi tuhan bagi siapapun yang
menghendakinya. Hanya aku ingin mengatakan pada
siapapun bahwa aku merasa bersahaja. Karena kini aku
nyaris tidak punya rumah singgah. Sementara ini,
mungkin untuk selanjutnya aku tinggal bersama
tikus-tikus got dan tikus-tikus kota di bawah jembatan
layang Tol di dekat pemukiman TNI; hasil proyek Mbak
Tutut itu lho. Aku nggak ngerti Mbak Tutut itu yang
mana, katanya sih putri mantan presiden yang fasis
medok. Aku juga nggak ngerti presiden itu apa. Maklum
aku orang primitif dan naïf, katanya. Presiden itu
pasti orang terkaya sedunia, iya kan? Pasti orang yang
paling rakus, kejam dan suka menggonggong. Ingin aku
bertemu dengan orang terkaya itu. Siapa tahu aku
diberinya pekerjaan enak, dijadikan ajudannya atau
diberinya aku modal usaha; Aku akan membuat pabrik
pupuk organik, daur ulang plastik, daur ulang kertas,
daur ulang tai. Sebetulnya ada gagasan untuk mendaur
ulang pemikiran, perasaan, sikap, kata-kata, asap,
suara, bayangan, gerakan, cahaya, suasana, dan daur
ulang lagi.
Wahai rakyat gampingan!!! Selama aku tinggal di bawah
jalan layang tol bersama tikus, kecoa, nyamuk, kutu,
dan ada beberapa pemulung, pengamen, serta pak Ogah.
Hampir tiga tahun sudah. Kami hidup bersama, seperti
satu keluarga. Kesetaraan kami jaga, siang malam,
tiada lelah, seperti katamu. Tidak hanya perut yang
kami perjuangkan, tapi juga sama seperti juga yang
kalian perjuangkan. Sudah tidak ada lagi yang harus
kuceritakan kepada kawan-kawan di bawah jalan layang
tol, yang kini menjadi bagian dari keluargaku. Habis
sudah cerita pengalamanku hidup denganmu, bahkan ada
sebagian cerita yang sudah meletat-meletot karena
sering kuulang.
Hari ini aku rindu berat. Tidak pernah ada burung,
babi, anjing, atau kucing, atau ular, atau angin, yang
mengabarkan kekuatan, kegagahan, keberanian,
kecerdasan mengobarkan semangat memperjuangkan rakyat
tertindas. Apakah kalian perlu dengan gagasan daur
ulangku? Agar kabar itu sampai di telinga siapapun
yang membencimu dan kepada siapapun yang mencintaimu.
Tolong sampaikan salam damai untuk Romo Mangun “di
sana”. Terimakasih.
Palembang, September 2003
KEBANGKITAN
Jajang R kawentar
Jodo, pati, bagja jeung cilaka, ngahiji dina
kakawasaan nu murbeng alam.
Jodo, mati, bahagia dan celaka, menyatu dalam
kekuasaan yang maha kuasa penguasa alam.
Kematian dan kecelakaan tidak ada yang
menginginkannya kecuali orang tidak waras: yang memuja
dirinya pada putus asa dan dunia; serakah. Walau
begitu kematian dan kecelakaan tidak dapat dihindari,
demikian juga yang terjadi pada Pardi yang hidupnya
menggelandang. Gelandangan tua itu mati mengenaskan
dengan beberapa peluru bersemayam didadanya. “Kasihan”
itulah kata yang terlontar dari setiap mulut yang tahu
kematian Pardi.
Peluru itu telah memutuskan segala kehidupannya,
dunianya; hal kecil itu telah telah memisahkan nyawa
dari kurungannya. Disaat hidupnya mulai hidup -
bergairah; disaat eksis sebagai manusia ia menjadi
hilang makna. Dulu jiwanya sekarang nyawanya.
Sepertinya pembunuh Pardi itu kurang puas melihat
penderitaan yang dirasakan gelandangan itu.
Orang-orang hanya dapat mengatakan kasihan dan
terkadang menyalahkan Pardi: (Dia menjadi gelandangan
karena dia tidak mau berusaha, kalau mau berusaha -
bekerja keras tidak mungkin menjadi gelandangan).
Tanpa mau tahu permasalahan yang dimiliki Pardi dan
kawan-kawannya, mereka tidak mempunyai kesempatan
untuk meraih mimpi-mimpinya layaknya rakyat yang
merdeka.
Entah tentara mana: (detektif swasta atau pembunuh
bayaran), yang telah melepaskan peluru dari sarangnya
ke dada Pardi. Nasib tak dapat disangka; begitulah
adanya; datang dan pergi semaunya. Ketika ingin
merubah nasib, Pardi telah menerima resikonya.
Keinginan itu; membebaskan diri dari kemiskinan yang
menghimpit hidupnya; nyawa taruhannya.
Mayat Pardi dievakuasi polisi, Tidak seorangpun boleh
mendekatinya apalagi menyentuhnya. Padahal dia tidak
ingin dan tidak pernah berurusan dengan polisi,
kematiannya malah diurus polisi. Polisi itu berdiri
disamping bangkai Pardi, berjaga-jaga. Dipinggangnya
terselip pistol dan pentungan, kakinya berselimut
sepatu lars. Dipikirnya mungkin bangkai itu akan kabur
atau melawannya. Polisi itu sebetulnya meluruskan atau
meneliti sebab-sebab kejadian supaya pelakunya dapat
diusut dan ditindak sesuai hukum.*****
Desas-desus beredar di koran, di radio, di tv, Pardi
dihabisi oleh sekelompok penjahat bersenjata, mungkin
pembunuh bayaran yang dibayar pemerintah. Tidak jelas
apa kesalahan Pardi. Desas-desus mengungkapkan bahwa
Pardi ketua kelompok bawah tanah yang akan mengadakan
kudeta. Jelas ini sangat bertentangan dengan
pemerintah karena itulah dia mati. Pemerintah sangat
takut dengan yang namanya persaingan. Kematian Pardi
mungkin sebagian program mereka. Biasa rekayasa
politik, berita disimpang siurkan.
Pardi orang yang dituakan dalam kelompok gelandangan
penghuni depan gedung bank di jalan KH. Ahmad Dahlan.
Dia merasa pemerintah sangat bertentangan dengan hak
hidup yang mereka terima. Pembangunannya tidak
memperhatikan kehidupan rakyat seperti dirinya. Dia
tidak akan mengadakan kudeta, dia tahu betul posisi
dirinya; seorang gelandangan. Apalah artinya seorang
gelandangan tua seperti Pardi dibandingkan dengan satu
batalyon tentara dan tank. Pardi dan kawan-kawannya
hanya akan menuntut hak-haknya sendiri: Kelangsungan
hidup dan kelayakan hidup.
Rupanya keberadaan kelompok kecil itu tidak berkenan
di hati pemerintah; mengganggu. Mengganggu
pemandangan, jalanan. Barangkali telah mencoreng wajah
pemimpin tertinggi, karena dianggap tidak mampu
memimpin rakyatnya dan mensejahterakannya. Mereka
tidak malu dengan ketidakmampuannya, mereka malah
menyalahkan ketidakmampuan masyarakat seperti Pardi.
Memang begitulah kenyataan: Pemegang kekuasaan selalu
merasa benar sendiri;. Dalam menjalankan roda
pemerintahan atau dalam memberikan kebijakan.
Kesalahan terhadap rakyatnya dianggap kewajaran
sebagai manusia. Tetapi kalau rakyatnya menuntut
haknya dianggap suatu kesalahan. Bahkan bila rakyat
melakukan kesalahan kecilpun, tidak dianggap suatu
kewajaran sebagai manusia malah dianggap suatu
kesalahan besar bahkan dianggap fatal atau berbahaya;
membahayakan - mengganggu jalannya roda pemerintahan.
Entah siapa sebenarnya yang telah bersekutu dengan
setan, hanya Tuhanlah yang tahu.*****
Hari itu hari berkabung. Kirno bersama
konco-konconya, tidak melakukan pekerjaan seperti
biasanya. Mereka kehilangan kesempatan untuk makan.
Mereka tidak lagi merasakan perutnya; Usus yang terus
bekerja menggiling, melilit-lilit mencari yang namanya
makanan. Mereka hanya merasakan hatinya yang terbakar,
hangus. Nyawa dan rasa mereka sepertinya menyatu
dengan Pardi, dadanya ikut tertembak.
Para gelandangan itu semakin percaya dan sangat
terpukul dengan apa yang pernah diucapkan Pardi
seperti palu. Semangat Pardi telah menjalar di sekujur
tubuh para gelandangan depan bank di Jalan KH. Ahmad
Dahlan, bahkan semangat itu telah mereka tularkan pada
gelandangan-gelandangan lainnya di kota itu untuk
membuat dan membentuk sebuah kekuatan. Kekuatan yang
dapat melawan dan menghancurkan berbagai bentuk
ketidak adilan, kesewenang-wenangan.*****
Pada malam hari setelah kematian Pardi, Para
gelandangan berkumpul kembali di tempat biasa. Banyak
sekali kawan-kawan Pardi dan para gelandangan yang
peduli atas kematian Pardi. Kedatangan mereka hanya
membawa satu rasa dalam hati mereka: habisi pembunuh
itu atau orang yang harus bertanggung jawab terhadap
kematian Pardi. Karena mereka pikir kalau dibiarkan
tentu kepala atau dada mereka akan kebagian peluru
juga.
Kirno sahabat Pardi curiga; pasti ada seseorang yang
melaporkan pada agen pemerintah tentang pembicaraan
antara dirinya dengan Pardi dan kawan-kawannya di
malam itu, berarti pembunuh Pardi kemungkinan agen
pemerintah. Kirno tutup mulut, dia harus menyelidiki
sendiri, siapa yang berani melakukan itu. Kirno
dikagetkan oleh seorang pemuda yang datang padanya.
“Mas, sebaiknya orang-orang ini dibubarkan saja,
jangan berkumpul terus disini, Nanti penembak itu
pasti datang lagi. Saya takut. Bagaimana kalau
menculik mas Kirno?”
“Akan saya tunggu dan akan saya tantang budak
penjajah itu! Berani mati, Aku tidak takut.” Kata
Kirno. Pemuda itu diam, seperti orang bego. Pardi
menyambung kata-katanya: “Kita sebagai sesama pemulung
atau gelandangan harus saling bantu dan bersatu.
Jangan sombong atau merasa lebih baik. Kita harus
menyadari bahwa kita orang lemah, miskin dan kecil.
Jadi kalau kita terpecah; sendiri-sendiri akan sangat
mudah untuk disingkirkan oleh orang yang mempunyai
kepentingan atau kekuatan dan kekuasaan. Kita harus
bersatu supaya kita dapat bertahan dan melawan
setan-setan itu. Ngerti anak muda? Karena saya sudah
tua, suatu saat kamulah yang harus meneruskannya.”
Pemuda itu seperti ketakutan. Jangan-jangan dia itu
banci atau intelejen swasta atau cecunguk penguasa.
*****
Kirno mengajak para pemulung, gelandangan, pengamen,
penduduk lokalisasi dan kawan-kawannya yang hadir
untuk berkumpul dan membuat api unggun. Suasana depan
bank di jalan KH.Ahmad Dahlan berubah seperti suasana
pesta tujuh belas Agustusan.
“Kawan-kawanku, kita bergabung dan berkabung.
Ditempat ini, tempat bersejarah bagi kita, tempat
pahlawan kita Pardi dan tempat kita semua berkumpul
serta bersatu.” Riuh rendah suara sorak sorai dan
tepuk tangan gelandangan yang datang. Kirno meneruskan
lagi pembicaraannya:
“Kawan-kawan seperjuangan, kita tidak boleh tinggal
diam, kita harus terus menuntut pemerintah untuk
mengusut tuntas kebiadaban ini dan menghukum
pelakunya. Setujuuu?!!”
“Setujuuu.....!”
“Setujuuuuu!!!”
“Setujuuuuu...........!” Mereka kompak dan semangat,
karena mereka sudah tidak sabar menanti dan
menanti-nanti keadilan ditegakkan. Serta hak mereka
dipenuhi, kemerdekaan dihargai. Seandainya dapat ikut
dan menghadiri pertemuan kawan-kawan Pardi ini, akan
terasa haru. Betapa hidup ini, banyak tekanan,
rintangan dan cobaan. Kemerdekaan belum sepenuhnya
dapat dirasakan. Selama tidak ada yang
memperjuangkannya barangkali akan sulit mengetahui
kapan berakhirnya.
Sebagai rasa keprihatinan dan kepedulian atas
gugurnya Pardi, mereka bersama-sama menyanyikan
lagu-lagu perjuangan dan yang bertemakan sosial atau
karya-karya mereka; pengamen jalanan. Diselingi
pembacaan puisi atau ungkapan-ungkapan batin mereka.
Sesekali disela pembacaan puisi dan diakhir nyanyian;
tepuk tangan serta yel yel terdengar “Hidup Pardi!
Hidup kebebasan! Hidup Pembaruan! Hidup keadilan!
Hidup kelayakan hidup! Hidup Indonesia!” Dijawabnya
dengan serempak “Hiduuuup.......!” Mereka bersama sama
bernyanyi:
Indonesia tanah air beta//Pusaka abadi nan
jaya//Indonesia sejak dulu kala // tetap dipuja-puja
bangsa// Disana tempat lahir beta // dibuai dibesarkan
bunda//Tempat berlindung di hari tua// Sampai akhir
menutup mata.
“Inilah tanah kami tapi kami tidak punya tanah.”
Ku lihat Ibu pertiwi//sedang bersusah hati//Air
matanya berlinang//emas intan yang kukenang//Hutan
gunung sawah lautan//simpanan kekayaan//Kini kami
sedang lara merintih dan berdo’a.
“Kami tidak lagi merintih, kami sudah berdo’a, kami
akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Demi
keadilan, demi kebebasan, demi Indonesia, demi rakyat
seperti kami, demi kemanusiaan, demi rintihan ibu
pertiwi, demi dunia dan demi Tuhan; kabulkanlah.
Amin.”
Sungguh mengharukan dan menyayat hati, lagu dan puisi
itu diiringi dentingan suara gitar kopong pengamen.
Sebagian dari mereka tidak ragu-ragu mencucurkan air
matanya.
“Tidak sedikit orang yang tidak pernah mencicipi
hasil dari jerih payahnya, tetapi kuping mereka
mendengar gembar-gembor hasil pembangunan dan
kemerdekaan.”
Nyanyian dan puisi mampu mengompori hati mereka yang
kehilangan kawannya untuk membasmi lawan serta
mempererat tali persaudaraan diantara mereka. Darah
encer yang tercecerpun menjadi beku. Nyanyian-nyanyian
yang mereka lagukan dan syair puisi yang mereka
bacakan telah membakar jiwanya: betapa pentingnya
bersatu, melawan musuh yang bersembunyi dibalik
undang-undang yang mereka bikin sendiri. Tabu, sakral
bila menyentuhnya. Undang-undang menjadi seperti Tuhan
yang tidak dapat berubah apalagi dirubah. Padahal
semua orang tahu kalau itu adalah tempat persembunyian
para penguasa dan pengusaha. Dibalik itu tersimpan
niat busuk, tangan-tangan kotor, tempat prostitusi
pemerintah terhadap rakyatnya.
“Kalau tidak berbuat janganlah marah, apalagi
tersinggung, biasanya yang berbuat suka tersinggung
dan marah. Dan banyak alasan lainnya.” ******
Acara diakhiri dengan berdo’a, kembali Kirno meminta
kawan-kawannya berkumpul dan berdiri semuanya, kecuali
yang cacat.
“Saudaraku semua, inilah pentingnya kebersamaan,
peraudaraan dan persatuan. Kita sama, sama-sama
manusia. Kita harus saling menghargai antara satu dan
lainnya, apalagi kita semua tersisihkan, tertindas,
jangan bercerai berai kalau kita ingin maju, kita
harus tolong menolong dengan siapapun yang membutuhkan
pertolongan kita tanpa pandang bulu. Dan yang
terpenting kita harus bersatu. Setujuuuu!!!”
“Setujuuuu........!”
“Untuk kepergian Pahlawan kita, marilah kita berbagi
dan memberi, tidak usah dengan harta tapi cukup dengan
do’a saja. Untuk Pahlawan Pardi yang kita cintai
berdo’a mulai.” Suasana menjadi sepi, dingin, beku,
seperti suara jangkrik keinjek. Bulu kuduk pun
berdiri.
“Jaaangan bergerak, semua diam ditempat.” Tiba-tiba
terdengar suara berteriak dari megapoon dan suara
letusan pestol lima kali. Mereka telah dikepung oleh
sekelompok orang berpakaian preman dan bertopeng.
“Barangkali orang-orang inilah yang telah membunuh
kawanku Pardi.” Kirno bicara dalam hatinya. Dia
berbisik kepada orang yang disampingnya:
“Kita bersama serang mereka, setelah mereka mendekat.
Bisikan secara estafet, cepet.” Bisikan itu segera
menyebar sesegera preman-preman bertopeng itu
mendekat.
“Serbuuu.....! Seru Kirno. Mereka yang hadir di depan
bank jalan KH. Ahmad Dahlan menyerang preman-preman
bertopeng itu. Mereka tidak berkutik karena mereka
tidak mengira kalau kaum tersisih dan tersingkirkan
itu akan menyerangnya, melawannya. Kirno mengincar
salah seorang dari komplotan preman bertopeng. Kirno
memukulnya dari samping menuju rahang, duk..duk sekuat
tenaganya. Dua tinju Kirno cukup menggoyahkan, dia
tahu betul cara melumpuhkan musuh. Lalu dia membuka
topengnya, tidak salah lagi pemuda banci cecunguk itu.
Mental mereka benar-benar teruji. Keras - sekeras
kehidupan yang mereka jalani. Lentur - selentur
perutnya yang kadang terisi dan tidak sama sekali -
Kadang hanya air, kadang secuil makanan, kadang tak
tertampung perut mereka. Itulah sesungguhnya harta
mereka yang sangat berharga
yogyakarta,1999
NYONYA BESAR
Jajang R Kawentar
Nyonya Besar duduk termenung di pinggir ranjang sambil membetulkan BH dan kain sarungnya. Suara adzan subuh berkumandang dari Langgar sepuluh rumah jaraknya. Pagi itu lain dari biasanya, dingin menusuk. Tetapi ia harus mandi wajib, sholat dan menyiapkan sarapan Si tuan Besar beserta prajurit-prajurit kecilnya, begitulah tuan Besar menyebut anak-anaknya. Barangkali sebutan prajurit itu ada hubungannya dengan jabatan dinasnya. Ia menyiapkan perlengkapan sekolah, menyiapkan perlengkapan kerja tuan Besar. Setelah semuanya pergi menuju pos masing-masing. Bersih-bersih rumah, mencuci piring dan pakaian. Siap-siap ke pasar tradisional. Kadang ke pasar Cinde, kadang ke pasar Dua Enam, kadang ke pasar Enam Belas.
“Pagi-siang-sore-malam cepat sekali berlari waktu, tidak sempat merasakan bagaimana kejadian di sekelilingku.”
Ketika waktu menunjukkan jadwal berbelanja, si Nyonya ke pasar membelanjakan catatan kerja dapur hari ini atau seminggu ini. Sedikit tawar menawar untuk mendapatkan harga yang pas dan barang yang banyak dengan mengeluarkan sedikit uang. Prinsip ekonominya lahir karena keterbatasan pendapatan suaminya yang paspasan dan kebiasaan rutinnya itu.
Hujan semalam tumpah ruah. Air meluap dari bibir sungai. Pagi-pagi menyisakan jejaknya. Nyonya Besar berusaha menjinjitkan tumit kakinya, di pasar.
“Minta ampun kotornya pasar, apalagi hari hujan seperti ini.”
Kaki Nyonya Besar terperosok kubangan lumpur berwarna wangi aroma sedap. Di sana ada sisa-sisa kubis, cabe, tomat, daun bawang, daun sayuran membusuk, berbaur sampah plastik, karet dan kertas, seperti bubur ayam. Barangkali ribuan bakteri penyakit hidup nyaman dan tentram di sana. Susah payah hati-hati akhirnya terperosok juga. Ketika kaki Nyonya Besar diangkat, bau tidak karuan itu menyebar menyengat. Lima jari dari atas mata kakinya berlumur bubur hitam bersama sepatu sandal kesayangan.
“Sial hari ini. Mata kaki tidak mampu melihat kubangan lumpur di depan mata,” kata hatinya.
“Hati-hati bu kopral, becek. Terpeleset, bisa berabe. Mana ajudannya?” teriak sayur-mayur, seandainya ia bisa bicara dan mengenalinya.
Nyonya Besar hanya tersenyum sambil menuju penjual tukang ikan. Tampak ia mencuci kakinya. Longdressnya diangkat sampai betis, Lumpur disiram bak ubi kayu dikupas. Tukang ikan terperanjat menatap.
“Terimakasih mang.”
Ia masih tetap menatap. Terpaku. Lupa anak istri di rumah.
“Ya.”
Pertama kali ubi kayu dikupas tertanam di benaknya.
“Apakah ada hati mengasihani keadaanku ini?” umpamanya lumpur bisa berbisik.
Dalam keadaan seperti itu tidak ada mata dan tidak ada telinga yang berfungsi normal. Tetapi masyarakat sudah biasa pergi ke pasar itu dan sepertinya tidak masalah. Kejadian itu lumrah. Siapapun memiliki kemungkinan yang sama. Terpeleset, kena copet, apalagi terperosok. Tampaknya dibiarkan saja, orang lainpun tidak ada yang protes dengan pemandangan dan kadaan eksotik itu. Termasuk Nyonya Besar, hanya menggerutu, setibanya di rumah. Ia sudah terlalu sibuk untuk memikirkan sesuatu yang dianggapnya bukan lagi kewajibannya. Ada yang lebih berhak, pikirnya. Sepertinya yang merasa berhak pun berkata seperti pendapat Nyonya Besar itu. Hanya mengganggu kenyamanan berbelanja dan memnganggu pemandangan. Dari dulu begitu. Sepertinya belum pernah ada perubahan, yang ada malah kesadaran membangun supermarket dan super mal. Sepertinya tidak ada kesadaran merawat dan melestarikan hasil karya budaya rakyat dengan baik.
Walau begitu Nyonya Besar tetap berbesar hati. Namun orang-orang penghuni rumah tidak mengerti bagaimana perjuangan Nyonya Besar berbelanja di pasar, hanya sekedar untuk mendapatkan sayuran serta lauk untuk makan sore dan besok pagi. Mereka tahunya telah tersedia di meja makan.
“Tiap hari makan oseng-oseng kangkung, sayur asam, sambal kemang, tempe goreng, mata sapi, ikan asin, bosan!”
Dengan barang belanjaan yang tak terpegang lagi tangannya dan dengan nafas yang senen kamis membawa belanjaan, Nyonya Besar keliling mencari mr becak langganannya. Mr becak yang bisa setia menemani beliau pulang berbelanja.
“Gara-gara harga BBM naik, beras , telor, kangkung, terasi, buah kemang, tempe, ikan asin, naik semua. Ongkos becak naik dak mang?”
“Kujingok sopir-sopir Angkot samo Bis kota lagi pada demonstrasi di depan gedung DPRD, minta kenaikan tarif. Tapi kalau saya ya tergantung kebijaksanaan Nyonya bae.”
“ Lamo-lamo duit ini dak katik hargonyo mang. Cuma buat makan bae, sudah untung. Dasar jaman gilo.”
“Iyo, makmano pemerintah ini dak katik perhatian nian, apalagi samo kito wong miskin ini. Dak katik kemajuan. Boroboro meningkat sejahtera, malah tambah melarat bae. Cakmano nak percayo lagi samo pemerintah, benar dak Nyonya.”
“Kau tau dewek, kau kan yang begawe. Aku kan sekedar ibu rumah tangga.”
Itulah pemandangan serta suasana yang bisa dirasakan Nyonya Besar sehari-hari between pasar dan rumah.
“Rasanya pengen muntah dengan rutinitas seperti ini. Bekerja di dapur, memasak, mencuci, menyetrika, beres-beres rumah, menyapu, mengepel, mengurus anak, aku seperti robot. Apakah suamiku merasakan rutinitasnya seperi yang kurasakan? Ah ini godaan. Aku harus enjoy dengan rutinitasku, barangkali hidup ini adalah rutinitas. Bukankah pekerjaanku ini mulia dan sesungguhnya ibadah? Semoga tuhan menerima segala amal ibadahku ini.”
Di rumah, acaranya dilanjutkan dengan menyiapkan kado bagi perut-perut tuan besar dan prajurit-prajurit kecil yang jumlahnya tiga orang. Si nyonya hafal betul apa kesenangan kesemua anggota keluarganya itu. Si tuan besar senang dengan asin-manis-pedas-enak juga lalap jengkol dan pete, anak pertamanya yang perempuan bernama Dini senang dengan yang low calorie biar nggak gemuk katanya, yang kedua laki-laki namanya Dino senang dengan yang asin dan pedas biar garang mungkin, sementara yang bungsu si gendut Dono senang semua makanan yang bikin gemuk makanya biarpun umurnyA baru tujuh tahun tapi badannya gendut layaknya anak yang sudah kelas enam es-de.
Itu baru seputar masakan kesukaan, belum lagi nyonya ini mesti menghapal kesenangan-kesenangan yang lain anggota keluarganya. Seperti menghapal rumus archimedes atau rumus phytagoras, si nyonya hapal semua yang terjadi pada anak dan suaminya. Misalnya ia hapal hari lahir anak dan suaminya, pelajaran apa saja hari ini anak-anaknya, mengenai kegiatan sekolah anak-anaknya, apa yang harus di bawa suami ke kantor dan lain-lain. Kamus yang siap mengingatkan segalanya bagi mereka. Hampir tak ada cela, perfect.
Setelah semuanya pulang juga begitu, siap melayani dengan segenap jiwa dan cintanya. Sampai kadang-kadang lupa untuk bertanya pada dirinya sendiri apa yang dibutuhkannya hari ini. Kadang malampun ia masih beres-beres, memasukkan pakaian hasil setrikaan ke lemari masing-masing. Kadang melayani Tuan Besar sampai pagi, sampai terdengar anaknya memanggilnya sambil merengek.
“Ah keterlaluan. Begitu singkatnya waktu. Semakin sempitnya dunia ini.setiap waktu begitu lekat dengan kerja dan kerja yang sama. Tiada henti. Begitu melepaskan pekerjaan yang satu, yang lain telah menunggu. Apakah ini tanggung jawabku sebagai perempuan, sebagai Ibu rumah tangga? Tapi siapa yang akan menyelesaikan pekerjaan ini, selain keikhlasanku. Benarkah kesetaraan itu, di mata tuhan, bukan di mata umatnya. Saling mengisi kekurangan dimana kita hidup bersama. Namun mengapa pekerjaanku ini terkadang tidak dihargai sebagai layaknya pekerja yang selalu membawa pulang uang. Aku hanya menunggu Tuhan melapangkan dada keluargaku.”
Nyonya Besar termenung setelah memasukkan nasi ke dandang. Ia berbicara pada kompor yang menyala.
“Waktu gadis, kau ku benci. Kini kau kucintai. Kaulah kawan setiaku, pujaan hati. Tanpa kau hidupku semakin berat. Apakah api, mencintai pekerjaanku atau keiklasanku atau tubuhku. Apakah api, memiliki rasa cinta, atau api symbol rasa cinta itu?”
Nyonya besar menatap api. Ia tersenyum sendiri. Api menjilat-jilat pantat dandang seperti bergoyang. Ia menjadi ingat TV, lagu dangdut, goyang Inul Daratista, Uut, Anisa Bahar, semakin heboh, kata mr becak.
“Ada goyang ngebor, goyang patah-patah, goyang kayang ada goyang yang mirip senggama. Kalau tidak nonton ketinggalan jaman.“
Rumah sepi. Sudah enam bulan Bapak berangkat tugas ke Banda Aceh Darussalam, setelah meletus perang saudara TNI dengan Tentara Rakyat Aceh. Anak-anak sekolah. TV nganggur. Nyonya Besar berusaha memijit stop contak, dan mencari chanel yang menarik. Acara infotaimen. Pembawa acara berkoar-koar.
“Satu jam mendatang bersama saya, sebelumnya saksikan yang berikut ini!”
“Sekilas berita, satu kompi tentara Indonesia gugur di medan perang……”
Dada Nyonya Besar berdebar sepanjangan. Ia tidak melakukan apa-apa lagi. Duduk Gembira berteman TV. Suaminya tampak pegang senjata depan kamera TV.
Palembang, 24 September 2003
GURU KONTRAK
Jajang R kawentar
Aku Sarjana Hukum Perdata. Sepuluh kali melamar menjadi pegawai negri. Tidak pernah sekalipun aku lulus. Cita-citaku menjadi hakim atau jaksa. Akhirnya aku melamar sebagai guru kontrak. Pekerjaan yang tadinya kubenci. Terpaksa, dari pada tidak punya pekerjaan. Lagipula mau dikasih makan apa anak istri di rumah. Di samping itu juga sebagai status. Masa, sarjana menganggur, malu kan. Kuliah tujuh tahun, menghabiskan uang puluhan juta, tidak punya pekerjaan. Gengsi dong.
Kebetulan ada sekolah yang membutuhkan. Aku diterima sebagai guru tanpa tes, maklum kepala sekolah itu kawan kuliah, dulu. Aku mengajar PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di SMU Pancasila sekolah siang. Kalau dihitung gajinya tidak sebanding dengan tenaga, waktu dan pikiran yang digunakan. Apalagi dihitung dengan mengganti biaya pendidikan yang telah dilalui untuk menjadi seorang guru sepertiku ini, sarjana, mungkin bisa mencapai lima puluh tahunan. Profesionalisme itu tak tergantikan, kecuali tanpa tanda jasa, itulah guru.
Waktu itu jam menunjukan pukul 15.00. Aku mengajar di kelas II B, hendak membahas materi pelajaran. Sebelumnya bercerita tentang betapa Agungnya kekuasaan Tuhan. Dapat menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan: Siang dan malam; laki-laki dan perempuan; baik dan buruk; susah dan senang; kaya dan miskin; sakit dan sehat syurga dan neraka.
"Sebelum melanjutkan kepada pokok bahasan, bapak beri kesempatan bagi yang ingin bertanya. Perihal yang telah di jelaskan tadi. Dibatasi tiga pertanyaan."
Tak ada satupun yang berbicara. Kutawarkan sekali lagi. Mereka menundukan kepala.
"Baiklah anak-anak."
Tok...tok...tok. Pintu kelas di ketuk. Ibu Lusi. Gadis cantik, bersih dan rajin. Lulusan Teknik Komputer, yang juga pegawai honor di bagian Tatausaha.
"Permisi Pak, ada telepon dari istri bapak. Penting katanya," ibu Lusi bebicara lembut hampir menempel di kupingku. Ia tersenyum manis, lesung pipitnya yang dalam, sungguh menggoda iman. Aku menggandeng ibu Lusi ke depan pintu.
"Bu, tolong sampaikan kepada istriku, bahwa saya masih mengajar dan sebentar lagi selesai." Aku juga berusaha berbicara lebih dekat lagi dengan lesung pipit Bu Lusi.
"Tapi pak, kata istri bapak, ini penting. Darurat."
"Lima belas menit lagi. Bilangin saja ini juga sama, sangat penting. Mendidik anak bangsa, generasi muda, penghuni masa depan."
"Ya Pak." Ibu Lusi tidak berkomentar. Ia langsung menutup pintu. Lesung pipitnya tak lagi menggoda. Ia tetap manis.
Baru saja ditinggal sebentar, anak-anak saling bisik-bisik seperti suara lebah. Apalagi kalau di tinggal pergi lama. Memang keinginan mereka sebenarnya tidak belajar. Main atau libur panjang. Tanpa tugas, santai.
"Anak-anak, baiklah kita lanjutkan. Barusan ada Si Komo lewat. Kenapa senang sering lupa segala? Sebab kesenangan seseorang susah untuk dinikmati orang lain. Orang senang menganggap, orang selain dirinya; murung, menderita, miskin semua."
Suara sepatu hak tinggi setengah berlari berhenti di depan pintu II B. Tidak salah lagi perkiraanku, Ibu Lusi. Pintu dibuka. Lesung pipitnya itu yang ku tunggu. Muka bu Lusi merah tembaga.
"Permisi Pak." Nafas Ibu Lusi ngos-ngosan. "Pak, Bapak disuruh menyusul ke Rumah Sakit Putri Malu di unit gawat darurat."
" Itu pesan dari siapa bu?"
"Wah, saya kurang tahu. Dia tidak menyebutkan nama. Kalau di cermati dari suaranya terdengar nada bariton," jelas Ibu Lusi.
"Nada Bariton?" aku tidak percaya. Istriku tidak bariton, tapi Sopran. "Jadi itu suara siapa? Mungkinkah pegawai rumah sakit?"
Aku tidak tahan melawan kepenasaran. Aku langsung cabut.
"Anak-anak waktu yang tinggal beberapa menit ini silahkan digunakan untuk diskusi saja. Besok pada pelajaran bapak, hasilnya di kumpulkan. Terimakasih."
Aku menjinjing tasku, menghampiri kepala sekolah. Tetapi kepala sekolah tidak ada di tempat. Memang biasa, kepala sekolah lebih cepat pulang, kalau di bagian siang. Maklum, ia juga merangkap sebagai kepala sekolah di sekolah Negri. Maksudku, hendak minta izin kepala sekolah dan sekalian pijam uang. Kalau-kalau ada apa-apa. Setelah tahu kepala sekolah menghilang, saya menghadap kepada kawan, kebetulan ia punya motor.
"Pak Rudi, bolehkah saya pinjam motornya. Saya diminta datang ke rumah sakit bagian gawat darurat. Saya perlu cepat. Dan kalau bisa, saya juga mau pinjam uang pak, sekitar seratus ribu. Boleh. Besok kalau gajian saya ganti pak?"
Pak Rudi tercengang mendengar permintaanku yang bertubi-tubi. Ia sempat bengong bercampur terkejut. Aku memang gugup dan gagap menghadapi yang di luar dugaan. Lagipula gajiku sebulan tidak mencapai sekian.
"Silahkan pak. Tapi untuk permintaan peminjaman uang, saya tidak punya. Boke. Bapak tahu sendiri, sekarangkan hampir akhir bulan. Ini STNKnya dan kuncinya, tapi jangan lupa dan jangan sampai hilang. Hilang berarti harus ganti."
"Iya pak," aku setengah merebutnya dari tangan pak Rudi, "terimakasih!"
Pak Rudi sepertinya setengah sadar memberikan STNK dan kunci motornya. Aku juga tidak memikirkan dia mau pulang naik apa nanti. Padahal rumahnya cukup jauh dan jarang angkutan umum masuk ke daerahnya. Aku sendiri tidak memberikan pinjaman sepeda kumbangku. Aku melesat seperti kesurupan. Kutancap gas motor, saling silang salib gaya pembalap formula satu.
Aku jarang sekali menggunakan motor, tetapi aku pernah belajar mengendarainya. Waktu itu aku hendak melamar kerja sebagai sales obat. Persyaratannya harus dapat mengendarai motor, dan punya SIM. Tadinya, seandainya aku diterima sebagai sales obat, pekerjaan guru ini akan kujadikan sampingan. Katanya, menjadi sales obat lebih menjanjikan dibandingkan menjadi guru. Kalau jadi sales itu mendapat tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan anak, dan tunjangan kesejahteraanan lainnya. Jadi guru ini banyaklah potongannya ketimbang tunjangan kesejahteraan. Apalagi guru swasta, sepertiku. Makanya jarang anak-anak sekarang yang mencita-citakan dirinya menjadi seorang guru. Tapi aku sedih kalau banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan, padahal pendidikaan sangat penting bagi kehidupan manusia. Apa boleh buat tahi kambing bulat-bulat. Sudah kadung disegel anak-anak sebagai guru, ku iklaskan jiwa raga untuk bersama mereka untuk membangun bangsa. Aku memang bercita-cita jadi pahlawan. Kata orang, guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, biasa Pahlawan itu kehidupan ekonominya tidak menentu. Bahkan tidak diperdulikan orang, pemerintah, apalagi jaman edan seperti kali ini. Cuek bebek.
Aku tidak sabar ingin segera mengetahui yang dirawat gawat darurat. Sungguh mati, penasaran. Sesampainya di ruangan yang kutuju. Dengan jelas, mata ini memandang. Istriku, rambut acak-acakan, wajahnya semerawut, kancing bajunya dipasang bukan pada pasangannya sehingga ginsut. Ia tidak memperdulikan apa yang terjadi pada dirinya perhatiannya terpusat pada lawan bicaranya, yang tiada lain adalah petugas jaga Rumah Sakit. Anakku dipangkunya. Lemas, aku menghampirinya.
"Bu?"
Istriku melirikku disampingnya. Ia tidak lagi bicara, air matanya mengalir. Aku memeluknya. Petugas jaga Rumah Sakit mengintrogasiku.
"Betul, bapak suaminya?"
"Ya. Benar." Kujawab pertanyaannya dengan nada bangga. Istriku telah berani berinisiatif positif. Patut kuhargai dan kuberikan medali. Barangkali anakku mati sudah, tanpa inisiatifnya.
"Pekerjaan?"
"Guru. Guru swasta. Kontrak." Kubusungkan dadaku menjawabnya. Aku yakin pekerjaanku sangat mulia. Dewa penyelamat, ujung tombak pembebasan jiwa yang terpenjara. Seperti aku juga yakin bahwa petugas jaga Rumah Sakit, juga Dokter yang merawat pernah belajar dengan guru terlebih dulu.
"Agama?"
Aku beku, sangat susah menjawab untuk menjawab yang jujur. Sebab aku jarang sholat, tidak pernah ke mesjid, ke gereja cuma lewat, ke kleteng apalagi. Entah apa Agamaku. Bingung.
"Menurut yang tertera di KTP saja ya?" ku sodorkan KTPku. Penjaga mencatatnya.
"Pak. Istri bapak mempunyai masalah mengenai penyelesaian pembayaran, atas tagihan anak bapak yang sakit."
Aku sudah mengira kalau yang akan dikatakan oleh petugas jaga itu adalah masalah duit, duit. Sebab aku tahu bahwa sumber uang cuma dari matapencaharianku, guru.
Karena aku merasa menjadi guru, tidak merasa kalah akal.
"Bolehkah saya, membayar lusa?, dan sebagai jaminannya SIM saya. Saya berjanji."
"Waduh, bagaimana ya pak? Saya hanya sebagai petugas, untuk memastikan bisa tidaknya bukan saya."
"Saya mengerti, karena datang terburu-buru jadi tidak sempat meminjam uang." Aku tidak ingin menutup-nutupi kemiskinan yang menyelimutiku. Petugas jaga itu sepertinya memahami, barangkali ia juga pernah merasakan apa yang kami rasakan. Mungkin juga bapaknya pensiunan guru. Ia mengangkat telepon dan memijit angka-angka, entah siapa yang dihubunginya. Aku hanya bengong saja. Sambil berharap-harap cemas. Apalagi istriku.
"Halo, begini pak ada pasien yang menunda pembayarannya sampai lusa. Bagaimana pak? Guru! Kontrak. Ya pak, ya, o ya, ya. Terimakasih." Telepon ditutupnya.
"Bagaimana ? boleh kan? Saya berjanji lusa saya bayar!"
"Bapak boleh lusa bayar tetapi dengan perjanjian di atas segel 6000."
"Saya tidak bawa uang untuk beli segel, bagaimana?"
Petugas itu menyediakannya. Ia melayani dengan baik. Aku baru kali ini menghadapi pelayanan Rumah sakit yang melegakan hati. Sungguh memuaskan. Seribu kali aku berterimakasih padanya. Kami diantar sampai pintu dengan doanya. Kami bergegas menghampiri motor pinjaman, di tempat parkir. Kujalankan motor lambat-lambat ke luar area Rumah Sakit. Saat hendak belok, peluit seperti suara jangkrik terinjak berkali-kali berbunyi. Aku pikir tukang parkir. Pak Polisi telah berdiri di samping motor yang kami tunggangi, memberi hormat militer. Aku terkejut. Aku merasa tidak melanggar lalulintas jalan.
"Selamat petang Pak? Lampu motornya tidak menyala, bapak telah melanggar karena tidak memenuhi syarat kelengkapan kendaraan."
"Maaf, bukan tidak lengkap. Tetapi belum sempat di nyalakan Pak!" Aku sedikit emosi.
"Kenapa tidak dinyalakan, padahal bapak tahu sekarang sudah gelap. Bagaimana kalau kendaraan bapak ditabrak bis kota? Saya periksa surat keterangan kendaraan dan surat ijin mengemudinya!"
Aku pikir Polisi ini cari-cari masalah atau ia perlu duit, ya duit. Tidak salah lagi. Tetapi aku benci dengan sistem penyogokkan, tidak sesuai dengan jiwa pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, budaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau aku melakukan itu berarti ikut melestarikan para koruptor, penindas jalanan. Aku turun dan diajak ke rumah monyet tempat jaga polisi yang tidak jauh dari sana.
"Saya baru dari rumah sakit, belum sempat menyalakan lampunya. Anak saya sakit! SIM saya digunakan untuk jaminan di Rumah sakit."
"Saya tidak perduli. STNKnya mana?"
Kukeluarkan STNK atasnama pak Rudi. Keterlaluan, kalau STNK itu di tahannya. Aku akan menuntut dan akan menulis di koran atas kekejamannya. Polisi itu melihatnya sekilat. Entah dibaca atau basa-basi.
"Pekerjaan bapak?"
"Guru."
"Guru? Apalagi guru kenapa lalai? Harusnya bapak menjadi tauladan! Bapak diitilang!"
Aku pikir, Tuhan juga bisa memaklumi manusia yang lupa tidak sengaja. Kenapa manusia tidak bisa. Andai saja aku punya uang untuk menyumpal mulutnya, tentu aku tidak akan senista ini. Uang menjadi segalanya dalam hidup ini.
"Pak, saya mohon jangan ditilang?"
"Tidak bisa. Ini sudah ketentuannya pak."
Saat mengiba seperti itu, anakku muntah-muntah. Polisi itu menatap dengan sudut matanya. Istriku kewalahan, muntahnya seperti tak henti. Aku masih berdiri di muka polisi di rumah monyetnya. Ia bersikeras menilang STNK.
Palembang, Desember 2001
Do you Yahoo!?
ASTANA PANJANG
Jajang R Kawentar
Komplek pekuburan kampung Pajaratan: Astana Panjang, terus terdesak oleh pesatnya perkembangan zaman. Dulu daerah itu hutan, pohon-pohon beringin dan kemuning dibiarkan tumbuh besar, liar dan tua, hingga akar-akar muncul dari dahan-dahannya, tampak seperti janggut. Akar itu sama besar dengan dahannya, sama kuat dengan mitos yang melekat pada pohon beringin dan kemuning itu. Jarang ada penduduk kampung yang berani lewat daerah situ, kecuali penduduk yang memang tinggal di sekitar Astana Panjang.
Letak Astana Panjang berada di pingigiran kota. Tanahnya itu dihibahkan Wedana Manonjaya sebagai penghargaan dan rasa terima kasihnya pada pahlawan bangsa. Konon menurut cerita orang tua: bahwa Astana Panjang direncanakan oleh juragan Wedana Manonjaya jauh sebelum terjadi revolusi, untuk pemakaman para pejuang yang gugur melawan penjajah pada waktu itu. Beliau pun membuat kavling untuk seluruh keluarganya dan dirinya disana. Menurut cerita orang tua juga: Wedana Manonjaya mati ditikam saudaranya sendiri yang jadi mata-mata penjajah. Namun mayat Wedana Manonjaya tidak ada. Tidak ada satupun yang menemukannya dan tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh sebenarnya.
“Jangan-jangan Juragan Wedana itu ada yang menculik lalu dibuang ke Pulau Buru atau Nusakambangan?”
“Mungkin. Mungkin juga beliau masih hidup, beliau itu kan punya ajian halimunan; dapat menghilang.”
“Ah, mana mungkin. Pasti beliau mati dibunuh oleh adik iparnya itu.”
“Ah, manamungkin!”
“Dia itu kan manusia lembut, manis, di depan bupati atau atasannya; sekedar meminta pujian. Tetapi berhati setan didepan bawahannya. Dia juga sering kali berbeda pendapat dengan juragan Wedana Manonjaya, karena adik iparnya itu terus mengadakan kompromi dengan pihak Belanda.”
Semua itu hanya desas-desus yang berkembang di masyarakat. Mereka tidak menuntut untuk dipengadilankan, apalagi membuktikan kematian Wedana Manonjaya yang sesungguhnya. Karena hukum ada ditangan dan kaki penguasa serta pengusaha kaya pada waktu itu. Nyatanya Juragan Wedana itu sampai sekarang benar-benar menghilang, kuburannya hanya ada dalam sejarah dan di benak orang tua, anak-anaknya serta cucu-cucunya dan keturunannya kelak. Jabatan wedana itu kini digantikan sekretarisnya; teman dekatnya yang telah mengawini adik perempuannya.
Sepeninggal Wedana Manonjaya, Astana Panjang tidak saja digunakan untuk menguburkan para pejuang yang gugur melawan penjajah, tetapi para penghianat dan penjajah yang melawan para penuntut kemerdekaan, juga ikut dikuburkan disana. Masyarakat hanya diam, mereka sama takutnya dengan kebenaran ketika Wedana Manonjaya yang memegang jabatan. Hanya saja kini masyarakat semakin ketakutan, banyak pemaksaan dan kekerasan yang dilakuakan pejabat sekarang. Masyarakat hanya diam. Namun bukan berarti merelakan perlakuan mereka, tetapi sebetulnya mereka mempertahankan nyawa dari tekanan dan kekerasan para pejabat itu.
Perkembangan zaman, merupakan perkembangan dari tekanan dan kekerasan terhadap masyarakat. Demikianlah yang terjadi di kampung Pajaratan. Astana Panjang tidak lagi dikelilingi pohon-pohon beringin dan kemuning yang berdiri kokoh. Beringin dan kemuning yang mencengkram mitos di masyarakat itu kini telah ditumbangkan oleh zaman: keserakahan manusia pada dunia dan kekuasaan. Pohon-pohon itu telah berganti gedung-gedung, jalan setapak telah menjadi jalan aspal hot mix yang dapat dilalui oleh berbagai kendaraan yang akan ke arah kota atau ke desa.
Astana Panjang tempat peristirahatan terakhir para pejuang itu, kini gaduh dengan suara mesin dan klakson mobil motor yang lalu-lalang siang malam. Tidak ada lagi suara jangkrik, kodok, belalang ataupun hewan-hewan kecil lainnya, mereka tersingkir, demikian juga dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Astana panjang. Mereka di transmigrasikan.
Entah bagaimana telinga mayat-mayat pejuang dan bangkai-bangkai penghianat di Astana Panjang, ketika mendengarkan suara mesin dan klakson yang tidak pernah putus dari pagi, siang, malam, terus, terus terus. Mereka mau tidak mau mendengarkan suara mobil pejabat yang lewat, suaranya halus, klaksonnya mengagetkan.
Pada suatu hari, penghuni kubur Astana Panjang memperbincangkan tentang kehadiran suara-suara aneh itu.
“Sedang apa ya, manusia yang di atas tanah ini, seperti suara geledeg dan halilintar?” kata orang yang baru mati bertanya pada orang yang mati waktu revolusi.
“Entah berapa lama saya mendengar suara itu dan entah berapa lama sebelumnya saya tidak mendengar suara-suara itu. Waktu saya kesini hanya ada suara jangkrik yang bernyanyi dan sebelum mendengar suara-suara asing itu setiap malam jangkrik-jangkrik itu terus menangis.”
“Sejak kapan anda tinggal di sini?” kata orang yang baru mati.
“Seingat saya, waktu itu saya memimpin agresi melawan Belanda di perbatasan kewedanaan Juragan Manonjaya. Saya terkena geranat musuh, setelah saya membabad banyak musuh. Lalu anda kenapa disini?” kata orang revolusi balik tanya.
“Saya mendapat tugas mengamankan para mahasiswa dan masyarakat yang demonstrasi melawan pemerintahan. Saya dikeroyak massa demonstran: dipukuli, dilempari batu, ditendang, diludahi, diinjak, dikencingi lalu mereka membiarkan saya. Saya tidak berdaya, saya melihat jasad saya dibawa ke rumah sakit diotopsi. Lalu saya dibawa kesini diupacarakan, dihormati, dan dimasukan ke lubang gelap ini. Dulu saya harus menghormat pemimpin saya, tetapi waktu itu pertama kalinya pemimpin besar saya menghormati saya dan memberikan bunga serta bintang.”
“Kenapa mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi dan melawan pemerintah?”
“Mereka itu minta pergantian Presiden dan perombakan pemimpin-pemimpin mereka di majelis, meminta cabut dwi fungsi TNI serta minta yang bersalah diadili. Katanya mereka telah menghalalkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebetulnya saya juga mendukung mahasiswa dan rakyat itu, tapi berhubung tugas, harus saya jalankan. Apa boleh buat, secara tidak langsung saya mendukung kebijakan yang merugikan rakyat itu. Saya menyesal, saya tidak punya pendirian.”
“Tolol! Penyesalan tiada artinya diucapkan sekarang. Seharusnya anda mendukung mahasiswa dan menyuarakan hati rakyat. Membela yang benar, yang salah harus dihukum jadi anda tidak akan menyesal. Akhirnya andalah yang rugi, dihukum oleh rakyat dan Tuhan. Tahukah anda suara rakyat atau mahsiswa itu sama seperti suara Tuhan?”
“Tapi Tuhan yang mana? Sekarang banyak Tuhan yang mereka agungkan.”
“Goblok! Apakah tidak terpikir oleh anda kalau uang gaji yang anda terima; untuk menghidupi keluarga anda itu adalah dari keringat rakyat yang diperas?”
“Nah ini suara mobil pengusaha atau mobil penguasa,” kata seseorang yang wajahnya tidak dapat mereka lihat.
“Kenapa suaranya seperti orang-orang yang menangis, menjerit, berteriak sedang kesakitan?” tanya orang yang baru mati sambil melongo.
“Pasti uang yang digunakan membeli mobil itu. Uang rakyat atau uang sogok yang mereka dapatkan, atau hasil dari gusuran, atau maling.”
“Kok anda tahu itu?” kata yang baru mati.
“Baru saja ada yang berbisik ke telinga saya. Mungkin Malaikat. Bagaimana dengan keadaan di luar sana, sebelum anda dimasukan lubang ini?”
“Kini, kita berada di tengah-tengah keramaian. Di sebelah utara telah berdiri kampus Universitas, di sebelah timur telah dibangun perumahan elite, di sebelah selatan dibangun sebuah hotel dan super market, sebelah baratnya terbentang jalan raya Manonjaya, diambil dari nama Wedana; jalan yang menghubungkan antara kabupaten,” kata orang yang baru mati.
“Pantas saja aku jadi tidak bisa istirahat, rupannya kita ini berada di tengah-tengah kota ya?”*****
Kebijakan baru Wedana baru dan pengusaha kota: Astana Panjang akan dipindahkan ke Harjawinangun, sebuah desa yang menurut mereka lebih pantas. Alasannya kuburan-kuburan itu mengganggu kecantikan kota, tidak sesuai dengan tata letak kota. Penduduk perum elite suka ketakutan kalau melewati daerah pemakaman itu. Gantinya akan dibangun terminal bus dan terminal angkutan umum yang melalui daerah Manonjaya.
Kebijakan itu tidak dimusyawarahkan terlebih dulu dengan keluarga mayat. Hanya keluarga mayat mendapat selebaran; bahwa kuburan itu akan dibongkar tiga hari lagi. Dengan alasan untuk kepentingan negara dan atas perintah kepala negara. Tidak seorang pun yang dapat menolak keputusan itu karena untuk kepentingan negara dan perintah kepala negara. Mereka rela mengorbankan apa saja bagi negara dan mereka sangat menghormati kepala negara. Namun sayang, pemerintah dan kepala negara hanya dapat mengorbankan rakyatnya. Sepertinya tidak menghargai dan mengormati pengorbanan rakyatnya. Bahkan kata-kata: perintah kepala negara dan untuk kepentingan negara, itu selalu dipergunakan sebagai senjata bagi penguasa dan pengusaha untuk memperdaya rakyat miskin demi kepentingan sekelompok orang atau diri sendiri.*******
Di dalam kuburnya Ki Joenaedi telah menunggu dan tahu akan kedatangan anak serta cucunya. Dia berkata: “Pardi anakku, Euis geulis cucuku. Jangan takut, lawanlah setiap ketidakadilan. Ingat satu perlawanan berarti satu perubahan. Jangan takut mati, karena semua akan mengalami. Siapa lagi bila bukan kalian yang melawan, jika tidak ada yang berani? Bersatulah semua. Bersatu dengan barisan rakyat!”
Mang Pardi dan neng Euis merasa telah keraksukan mahluk halus, tekad hatinya siap bergerak untuk melawan ketidakadilan yang dilakukan wedana baru atau siapapun demi sebuah perubahan dan masa depan bangsa, juga tanah Astana Panjang. Pardi dan neng Euis menanamkan tekad ini pada setiap orang yang ia jumpai.
Yogyakarta, Juni 1999
GURU HONOR
jajang R Kawentar
Tubuh anak perempuanku menggigil, tapi keringat mengalir deras dari setiap pori-porinya. Lima hari sudah ia seperti itu. Tidak menyentuh air. Mukanya pucat mayat. Matanya sayu. Keringat dan mulutnya menebar bau busuk. Berat badannya turun drastis. Susah makan, minum. Biasa mulutnya bawel, kini rewel.
Penyakitnya ini kambuh menjelang liburan sekolah. Langganan. Kali ini di luar kebiasaannya, masih dalam jadwal sekolah. Aneh. Selama Repelita (Rencana pendidikan lima belas tahun) pertama, sejak Taman Kanak-kanak baru kali ini berbeda.
"Masyaallah nak, daripada uangnya bikin kaya dokter mendingan kita piknik naik Ketek bae. Cepatlah sembuh, makanya makan ya.," Ibunya kusut.
"Bu, Sani tidak mau makan," kata anakku perlahan.
"Lihat! Ibu sudah ambilkan paha ayam kesuakaan Sani. Makan ya nak sedikit saja ya."
"Tidak. Mulut Sani pahit dan mual. Sani mau minum aja Bu!"
"O, ya minum susu ya."
Ibunya pergi setengah berlari ke Koperasi. Tidak jauh dari rumah. Beli susu bubuk. Uang sisa di dompet tinggal recehan. Tidak biasa minum susu di keluargaku. Tidak kuasa membelinya. Maklum gaji guru honor tidak sebesar penghasilan kuli pasar atau preman terminal.
"San, ini minum susunya," Ibunya memberikan segelas susu. Anakku meminumnya dengan sekali teguk.
"Bu, Sani pengen muntah...."
"Hah, pengen muntah? Cepet ke kamar mandi! ," jawab ibunya sambil memangku anaknya. Susu yang baru diminumnya keluar semua, warnanya menjadi kekuning-kuningan. Ibunya kembali membuatkan segelas susu hangat dan diberikannya lagi. Ibunya berharap mengganti susu yang keluar tadi. Anakku dengan sabar meminumnya. Perlahan. Lesu. Tatapannya mengundang air mata ibunya membelah pipi. Bagaimanapun nakalnya anakku, jail, licah, ceria; Ibunya sering marah-marah dibuatnya. Sehingga urat di kepalanya tegang dan kulit mukanya meninggalkan guratan-guratan sisa kemarahan. Mungkin juga karena tidak sampainya dana JPS (jaring pengaman sosial) kepada keluarga kami. Jadi gizi keluarga miskin ini bertambah tak aman.
Baru saja anaknya dipangku ke atas kasur, ia seperti orang mual ngidam.
"Bu, Sani pengen muntah lagi."
"Astaga, nak. Percuma bae kau minum susu, kau buang lagi. Jadi apa yang kau pengen makan," Ibunya mulai panik. Belumlah ibunya mengangkatnya ke kamar mandi:
"Uuooook.......Uooook ......kreerrk cuah...". Air susu keluar berubah kuning bercampur lendir, seperti telor kocok. Bau penguk. Tumpah di atas bantal dan beleceran ke atas kasur, becek.
Tubuh anakku dingin seperti es, menggigil. Keringat mengucur deras. Bajunya basah kuyup.
Istriku tambah panik. Ia memangku anakku ke kamar mandi. Untuk mengambil air hangat saja, lari kesana ke mari. Ia bersihkan dengan handuk basah, menggantikan pakaiannya, badannya di lumurinya kayu putih, diselimutnya dengan kain tebal berlapis-lapis ia tetap menggigil. Gigi rahang atas dan rahang bawah beradu hingga memunculkan bunyi seperti mesin jahit tua ibuku.
*************
Aku Sarjana Hukum Perdata. Sepuluh kali melamar menjadi pegawai negri. Tidak pernah sekalipun aku diterima sebagai hakim atau jaksa. Akhirnya aku melamar sebagai guru konrak. Kebetulan ada sekolah yang membutuhkan. Aku mengajar PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di SMU bagian sekolah siang. Waktu itu jam menunjukan pukul 15.00. Aku mengajar di kelas II B, hendak membahas materi pelajaran. Sebelumnya bercerita tentang betapa Agungnya kekuasaan Tuhan. Dapat menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan: Siang dan malam; laki-laki dan perempuan; baik dan buruk; susah dan senang; kaya dan miskin; sakit dan sehat syurga dan neraka.
"Sebelum melanjutkan kepada pokok bahasan, bapak beri kesempatan bagi yang ingin bertanya. Perihal yang telah di jelaskan tadi. Dibatasi tiga pertanyaan."
Yudi mengangkat tangan. "Pak, kenapa kalau orang sedang senang sering lupa saudara , kawan, pasangan, dan Tuhan. Bahkan kadang jadi lawan?" suara Yudi lantang.
"Bertanya pak!" Rian mengacungkan telunjuknya.
"Ya, silahkan nak!"
" Menurut pengamatan saya, di negri ini orang jahat di lindungi undang-undang. Contoh, koruptor kelas tinggi itu dibebaskan atau dihukum alakadarnya bae. Bagaimana pendapat bapak?"
" Satu lagi pak, Tapi ini sangat pribadi. Sebelumnya saya minta maaf kalau menyinggung perasaan. Kenapa bapak masih mengendarai sepeda kumbang butut?"
Pertanyaan terakhir ini anak-anak tertawa semua. Memang kalau mendengar atau melihat orang susah itu sepertinya semua suka.
"Baiklah bapak akan menjawab pertanyaan dari kawanmu, Yudi. Sebelumnya adakah diantara kalian yang mau mencoba menjawabnya?"
Tak ada satupun yang berbicara. Kutawarkan sekali lagi. Mereka menundukan kepala.
"Baiklah anak-anak."
Tok...tok...tok. Pintu kelas di ketuk. Rupanya Ibu Lusi. Gadis cantik, bersih dan rajin. Lulusan Teknik Komputer, yang juga pegawai honor di bagian Tatausaha.
"Permisi Pak, ada telepon dari istri bapak. Penting katanya," ibu Lusi bebicara lembut hampir menempel di kupingku. Ia tersenyum manis, lesung pipitnya yang dalam, sungguh menggoda iman. Aku menggandeng ibu Lusi ke depan pintu.
"Bu, tolong sampaikan kepada istriku, bahwa saya masih mengajar dan sebentar lagi selesai." Aku juga berusaha berbicara lebih dekat lagi dengan lesung pipit Bu Lusi.
"Tapi pak, kata istri bapak, ini penting. Darurat."
"Lima belas menit lagi. Bilangin saja ini juga sama, sangat penting. Mendidik anak bangsa, generasi muda, penghuni masa depan."
"Ya Pak." Ibu Lusi tidak berkomentar. Ia langsung menutup pintu. Lesung pipitnya tak lagi menggoda. Ia tetap manis.
Baru saja ditinggal sebentar, anak-anak saling bisik-bisik seperti suara lebah. Apalagi kalau di tinggal pergi lama. Memang keinginan mereka sebenarnya tidak belajar. Main atau libur panjang. Tanpa tugas, santai.
"Anak-anak, baiklah kita lanjutkan. Barusan ada Si Komo lewat. Kenapa senang sering lupa segala? Sebab kesenangan seseorang susah untuk dinikmati orang lain. Orang senang menganggap, orang selain dirinya; murung, menderita, miskin semua."
Suara sepatu hak tinggi setengah berlari berhenti di depan pintu II B. Tidak salah lagi perkiraanku, Ibu Lusi. Pintu dibuka. Lesung pipitnya itu yang ku tunggu. Muka bu Lusi merah tembaga.
"Permisi Pak." Nafas Ibu Lusi ngos-ngosan. "Pak, Bapak disuruh menyusul ke Rumah Sakit Putri Malu di unit gawat darurat."
" Itu pesan dari siapa bu?"
"Wah, saya kurang tahu. Dia tidak menyebutkan nama. Kalau di cermati dari suaranya terdengar nada bariton," jelas Ibu Lusi.
"Nada Bariton?" aku tidak percaya. Istriku tidak bariton, tapi Sopran. "Jadi itu suara siapa? Mungkinkah pegawai rumah sakit?"
Aku tidak tahan melawan kepenasaran. Aku langsung cabut.
"Anak-anak waktu yang tinggal beberapa menit ini silahkan digunakan untuk diskusi saja. Besok pada pelajaran bapak, hasilnya di kumpulkan. Terimakasih."
Aku menjinjing tasku, menghampiri kepala sekolah. Tetapi kepala sekolah tidak ada di tempat. Memang biasa, kepala sekolah lebih cepat pulang, kalau di bagian siang. Maklum, ia juga merangkap sebagai kepala sekolah di sekolah Negri. Maksudku, hendak minta izin kepala sekolah dan sekalian pijam uang. Kalau-kalau ada apa-apa. Setelah tahu kepala sekolah menghilang, saya menghadap kepada kawan, kebetulan ia punya motor.
"Pak Rudi, bolehkah saya pinjam motornya. Saya diminta datang ke rumah sakit bagian gawat darurat. Saya perlu cepat. Dan kalau bisa, saya juga mau pinjam uang pak, sekitar seratus ribu. Boleh. Besok kalau gajian saya ganti pak?"
Pak Rudi tercengang mendengar permintaanku yang bertubi-tubi. Ia sempat bengong bercampur terkejut. Aku memang gugup dan gagap menghadapi yang di luar dugaan.
"Silahkan pak. Tapi untuk permintaan peminjaman uang, saya tidak punya. Boke. Bapak tahu sendiri, sekarangkan hampir akhir bulan. Ini STNKnya dan kuncinya, tapi jangan lupa dan jangan sampai hilang. Hilang berarti harus ganti."
"Iya pak," aku setengah merebutnya dari tangan pak Rudi, "terimakasih!"
Pak Rudi sepertinya setengah sadar memberikan STNK dan kunci motornya. Aku juga tidak memikirkan dia mau pulang naik apa nanti. Padahal rumahnya cukup jauh dan jarang angkutan umum masuk ke daerahnya. Aku sendiri tidak memberikan pinjaman sepeda kumbangku. Aku melesat seperti kesurupan. Kutancap gas motor, saling silang salib gaya pembalap formula satu.
Aku jarang sekali menggunakan motor, tetapi aku pernah belajar mengendarainya. Waktu itu aku hendak melamar kerja sebagai sales obat. Persyaratannya harus dapat mengendarai motor, dan punya SIM. Tadinya, seandaainya aku diterima sebagai sales obat, pekerjaan guru ini akan kujadikan sampingan. Katanya, menjadi sales obat lebih menjanjikan dibandingkan menjadi guru. Kalau jadi sales itu mendapat tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan anak, dan tunjangan kesejahteraanan lainnya. Jadi guru ini banyaklah potongannya ketimbang tunjangan kesejahteraan. Apalagi guru swasta, sepertiku. Makanya jarang anak-anak sekarang yang mencita-citakan dirinya menjadi seorang guru. Tapi aku sedih kalau banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan, padahal pendidikaan sangat penting bagi kehidupan manusia. Apa boleh buat tahi kambing bulat-bulat. Sudah kadung disegel anak-anak sebagai guru, ku iklaskan jiwa raga untuk bersama mereka untuk membangun bangsa. Aku memang bercita-cita jadi pahlawan. Kata orang, guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, biasa Pahlawan itu kehidupan ekonominya tidak menentu. Bahkan tidak diperdulikan orang, pemerintah, apalagi jaman edan seperti kali ini. Cuek bebek.
Aku tidak sabar ingin segera mengetahui yang dirawat gawat darurat. Sungguh mati, penasaran. Sesampainya di ruangan yang kutuju. Dengan jelas, mata ini memandang. Istriku, rambut acak-acakan, wajahnya semerawut, kancing bajunya dipasang bukan pada pasangannya sehingga ginsut. Ia tidak memperdulikan apa yang terjadi pada dirinya perhatiannya terpusat pada lawan bicaranya, yang tiada lain adalah petugas jaga Rumah Sakit. Anakku dipangkunya. Lemas, aku menghampirinya.
"Bu?"
Istriku melirikku disampingnya. Ia tidak lagi bicara, air matanya mengalir. Aku memeluknya. Petugas jaga Rumah Sakit mengintrogasiku.
"Betul, bapak suaminya?"
"Ya. Benar." Kujawab pertanyaannya dengan nada bangga. Istriku telah berani berinisiatif positif. Patut kuhargai dan kuberikan medali. Barangkali anakku mati sudah, tanpa inisiatifnya.
"Pekerjaan?"
"Guru. Guru swasta. Kontrak." Kubusungkan dadaku menjawabnya. Aku yakin pekerjaanku sangat mulia. Dewa penyelamat, ujung tombak pembebasan jiwa yang terpenjara. Seperti aku juga yakin bahwa petugas jaga Rumah Sakit, juga Dokter yang merawat pernah belajar dengan guru terlebih dulu.
"Agama?"
Aku beku, sangat susah menjawab untuk menjawab yang jujur. Sebab aku jarang sholat, tidak pernah ke mesjid, ke gereja cuma lewat, ke kleteng apalagi. Entah apa Agamaku. Bingung.
"Menurut yang tertera di KTP saja ya?" ku sodorkan KTPku. Penjaga mencatatnya.
"Pak. Istri bapak mempunyai masalah mengenai penyelesaian pembayaran, atas tagihan anak bapak yang sakit."
Aku sudah mengira kalau yang akan dikatakan oleh petugas jaga itu adalah masalah duit, duit. Sebab aku tahu bahwa sumber uang cuma dari matapencaharianku, guru.
Karena aku merasa menjadi guru, tidak merasa kalah akal.
"Bolehkah saya, membayar lusa?, dan sebagai jaminannya SIM saya. Saya berjanji."
"Waduh, bagaimana ya pak? Saya hanya sebagai petugas, untuk memastikan bisa tidaknya bukan saya."
"Saya mengerti, karena datang terburu-buru jadi tidak sempat meminjam uang." Aku tidak ingin menutup-nutupi kemiskinan yang menyelimutiku. Petugas jaga itu sepertinya memahami, barangkali ia juga pernah merasakan apa yang kami rasakan. Mungkin juga bapaknya pensiunan guru. Ia mengangkat telepon dan memijit angka-angka, entah siapa yang dihubunginya. Aku hanya bengong saja. Sambil berharap-harap cemas. Apalagi istriku.
"Halo, begini pak ada pasien yang menunda pembayarannya sampai lusa. Bagaimana pak? Guru! Kontrak. Ya pak, ya, o ya, ya. Terimakasih." Telepon ditutupnya.
"Bagaimana ? boleh kan? Saya berjanji lusa saya bayar!"
"Bapak boleh lusa bayar tetapi dengan perjanjian di atas segel 6000."
"Saya tidak bawa uang untuk beli segel, bagaimana?"
Petugas itu menyediakannya. Ia melayani dengan baik. Aku baru kali ini menghadapi pelayanan Rumah sakit yang melegakan hati. Sungguh memuaskan. Seribu kali aku berterimakasih padanya. Kami diantar sampai pintu dengan doanya. Kami bergegas menghampiri motor pinjaman, di tempat parkir. Kujalankan motor lambat-lambat ke luar area Rumah Sakit. Saat hendak belok, peluit seperti suara jangkrik terinjak berkali-kali berbunyi. Aku pikir tukang parkir. Pak Polisi telah berdiri di samping motor yang kami tunggangi, memberi hormat militer. Aku terkejut. Aku merasa tidak melanggar lalulintas jalan.
"Selamat petang Pak? Lampu motornya tidak menyala, bapak telah melanggar karena tidak memenuhi syarat kelengkapan kendaraan."
"Maaf, bukan tidak lengkap. Tetapi belum sempat di nyalakan Pak!" Aku sedikit emosi.
"Kenapa tidak dinyalakan, padahal bapak tahu sekarang sudah gelap. Bagaimana kalau kendaraan bapak ditabrak bis kota? Saya periksa surat keterangan kendaraan dan surat ijin mengemudinya!"
Aku pikir Polisi ini cari-cari masalah atau ia perlu duit, ya duit. Tidak salah lagi. Tetapi aku benci dengan sistem penyogokkan, tidak sesuai dengan jiwa Pancasila, budaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau aku melakukan itu berarti ikut melestarikan para koruptor, penindas jalanan. Aku turun dan diajak ke rumah monyet tempat jaga polisi yang tidak jauh dari sana.
"Saya baru dari rumah sakit, belum sempat menyalakan lampunya. Anak saya sakit! SIM saya digunakan untuk jaminan di Rumah sakit."
"Saya tidak perduli. STNKnya mana?"
Kukeluarkan STNK atasnama pak Rudi. Keterlaluan, kalau STNK itu di tahannya. Aku akan menuntut dan akan menulis di koran atas kekejamannya. Polisi itu melihatnya sekilat. Entah dibaca atau basa-basi.
"Pekerjaan bapak?"
"Guru."
"Guru? Apalagi guru kenapa lalai? Harusnya bapak menjadi tauladan! Bapak diitilang!"
Aku pikir, Tuhan juga bisa memaklumi manusia yang lupa tidak sengaja. Kenapa manusia tidak bisa. Andai saja aku punya uang untuk menyumpal mulutnya, tentu aku tidak akan senista ini. Uang menjadi segalanya dalam hidup ini.
"Pak, saya mohon jangan ditilang?"
"Tidak bisa. Ini sudah ketentuannya pak."
Saat mengiba seperti itu, anakku muntah-muntah. Polisi itu menatap dengan sudut matanya. Istriku kewalahan, muntahnya seperti tak henti. Aku masih berdiri di muka polisi di rumah monyetnya. Ia bersikeras menilang STNK (surat tanda naik kendaraan).
Palembang, Desember 2001
INSTRUKSI
jajang r kawentar
|
Tidak banyak yang dapat diperbuatnya. Selama seminggu itu ia hanya melamun dan melamun. Makan, melamun. Sebelum tidur, melamun. Di WC juga melamun; padahal biasanya beraknya sebentar. Kini kebiasaan berak itu menjadi sangat lama, luar biasa dari biasanya. Karena perubahan itu, istrinya shok berat. Anak-anaknya juga heran bukan kepalang, melihat gelagat bapaknya setengah sinting. Mereka ketakutan bapaknya keterusan jadi gila beneran atau kejang-kejang, penyakit Stroknya kumat di dalam kamar mandi.
“Kalau begini terus, mendingan bapak tidak usah jadi pejabat tinggi!” kata anak-anaknya pada ibunya.
“Tetapi ini cita-cita yang selalu diimpikannya. Kalau kita menghentikannya nanti akan sangat berbahaya, lebih berbahaya!”
“Kok, berbahaya? Mengundurkan diri saja, bu! Masa tidak boleh, itu kan hak kita?”
“Bagaimana dengan orang-orang yang mendukungnya? Bisa hancur segala.”
“Mendukung atau menjerumuskan bu? Apa betul tidak ada pengganti lain, selain Bapak, bu?”
“Ah sudahlah, ibu pusing, pusing!”
Sementara, orang yang mereka khawatirkan sedang asik duduk di atas WC, berdendang lagu dangadut kesukaannya, belajar berpidato dan bermainkan sabun.
“Ini cita-citaku, impianku. Aku harus terima, jangan menyerah, jangan terpaksa. Demi rakyat, yach.” Bapak Pejabat itu mengguyur tai yang dibiarkannya menggunung. Byar - byar - byar, tainya ambyar ditelan WC dengan lahapnya. Mulut WCpun ditutupnya, seperti memberikan ucapan selamat tinggal padanya atau melepas tanggung jawab; memberikan sarapan padanya. Padahal ia tidak perduli mau pergi kemana tainya itu.
“Biar sudah jadi Pejabat, taiku tetap bau sengit dan menjijikan,” pikirnya. Dia mengira, tainya akan ikut berubah harum atau menjadi sesuatu yang dapat dinikmati.
“Aku harus memulai kerja dari mana ya? Mmmmh... yesss!” Ia seperti menemukan barang berharga di pinggir jalan yang sedang dicari-carinnya: “Aku harus menghentikan kerakusan orang-orang yang menggerogoti segala yang dimiliki negara, dan membayar hutang-hutang yang harus ditanggung negara. Caranya?” dia bertanya pada dirinya, sejenak ia mengerutkan keningnya, diam. Barangkali membayangkan atau mencari jalan keluarnya.
Di luar, istri dan anak-anaknya berjaga-jaga, jangan-jangan sesuatu terjadi pada sang Pejabat. Tidak lama kemudian terdengar suara tertawa ngakak-ngekek, di dalam kamar mandi. Mereka kaget, matanya saling memandang. Salah satu anaknya berdiri, hendak mengintip, tetapi tangannya ditarik ibunya, dan ia kembali ke tempat duduknya. Suara itu berhenti cukup lama. Istri sang Pejabat dan anak-anaknya mulai menguap, sang Pejabat belum juga keluar dari kamar mandi.
Rupanya sang Pejabat sudah tak berbusana lagi, dia berendam air hangat dengan kepala menyandar di bibir bak, diganjel handuk, matanya terpejam. Sepertinya dia terlelap tidur, terdengar ngoroknya seperti suara kodok buduk. Ah beliau sungguh porno sekali...........
*********
Empat jam kemudian - istri dan anak-anaknya berhasil membuka pintu kamar mandi. Karena beberapa kali mereka memanggil dan menggedor-gedor pintu itu, tidak disaut sang Pejabat. Mereka khawatir, sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi pada bapaknya. Ketika mereka melihat bapaknya sedang terlentang, tanpa busana di dalam bak, dengan matanya terpejam, serentak mereka berteriak:
“Bapaaaaak..............!” sambil meratap-ratap.
Bapaknya masih saja seperti orang mati. Tak berubah, diam di tempat. Seperti tidur di surga, tak dapat terusik hanya karena teriakan histeris istri dan anak-anaknya; sekalipun di bom atom. Seperti sebuah mimpi, Istri dan anak-anaknya berebut hendak memeluk Bapak Pejabat yang sedang tidur. Mereka pikir sang Pejabat itu telah mati dengan tenang, terlentang di bak mandi; tinggal dikuburkan. Mereka menyerbunya, diciumi pipi kiri dan kanan sang Pejabat itu, hingga kepalanya bergeser-geser dan akhirnya tenggelam. Tentu saja sang Pejabat kesulitan bernafas, air tersedot hidungnya masuk paru-parunya. Sang Pejabat bangkit setengah berdiri, sambil berteriak, matanya terbelalak - melotot segede jengkol. Teriakannya disusul oleh teriakan istri dan anak-anaknya. Mereka semua kaget. Melotot.
“Sedang apa kalian disini? Kaya yang nggak ada kerjaan!” istri dan anak-anaknya diam sejuta bahasa, hanya matanya berkedip-kedip seperti memberikan jawaban. Bapak Pejabat mengambil handuk dan menutupkan ajimatnya. Istri dan anak-anaknya sedikit mundur. Mereka pikir, bapaknya itu mengayunkan tangan akan menghajarnya.
“Ha ha ha ha ha.........,” bapak Pejabat geli. Geli melihat kelakuan dirinya dan kelakuan istri serta anak-anaknya itu. Istri Pejabat dan anak-anaknya masih saling pandang; jangan-jangan bapaknya bener-bener sudah gila.
“Kenapa kalian bengong, seperti orang tolol, mh? Ha ha ha ha ha......”
Istri dan anak-anaknya juga menahan tawa. Gembira karena bapaknya sebagai penguasa negri dan sebagai lahan tambang kekayaannya tidak jadi mati, tawanya pertanda syukur pada yang menguasai setiap negri dan penguasa negri: Yang Maha Kuasa.
“Ngapain kalian masih bengong disini?”
Istri Pejabat dan anak-anaknya baru sadar, bahwa mereka sedang memandangi Bapak Pejabat yang hanya menggunakan handuk di bawah pusar dan sejengkal di atas lututnya. Seperti penyanyi R&B itu......
**********
Bapak Pejabat sudah perlente, tampak lebih segar dari pada buah yang baru dipetik dari pohonnya. Dia masih berdendang sepenggal-sepenggal lagu dangdut yang ia kenal dan sering ia dengar dari TV, sesekali dia juga belajar merangkai kata-kata untuk berpidato atau untuk menerima tamu-tamu khusus. Dia duduk di depan meja, tempat ia mencari inspirasi. Membuka-buka buku alamat. Tiba-tiba handphoon di sakunya bunyi - meeeong...meeeong...meeeong..., bunyinya seperti kucing yang disekap dalam kandang besi dan seharian tidak dikasih makan.
“Hallo disini Presiden!...... Ini dengan siapa?”
Di seberang menjawab: “Saya Bang......”
“Oooooh elu, Tukijo! Kebetulan nih, barusan gue nyari-nyari nomor telepon ente, tapi kagak ketemu.”
“Emangnya ada apa Bang?”
“Gini, gue punya rencana. Mulai besok seluruh pejabat negara dilarang memakai kendaraan bermesin. Pokoknye seluruh kendaraan bermesin dilarang beroperasi, kecuali kereta api, kapal laut dan pesawat terbang.”
“Lho, kenapa Bang?”
“Entar ente tau sendiri!”
“Ih. Pasti ada udang dibalik batu, ada uang di balik itu?”
“Tidak. Ini program pertamaku untuk mengentaskan kemiskinan dan program hidup sederhana, tau?”
“Lha? Mmmm...”
“Orang sekarang harus bener-bener prihatin, bukan prihatin yang imitasi atau palsu.” Pejabat tarik nafas dalam-dalam, “Berarti Jo, kalau tidak ada yang menggunakan kendaraan bermotor di negri ini, namanya kita ini lagi ngirit bahan bakar dan bahan bakar itu akan kita jual untuk menutupi hutang-hutang negara. Jangan lha lho, lha lho aje lu! Mikir Jo!”
“Wah ini bener-bener ide cemerlang, belum pernah terdengar dari mulut siapapun, Bang. Ini bener-bener bau, eh baru. Apalagi Bang, kalau semua kendaraan bermotor itu dijual kembali ke luar negri, mungkin hutang-negara kita akan lunas dan kita menjadi negara mandiri. Bukan bank mandiri. Ini juga revolusi kan Bang? Saya setuju usulnya itu and saya siap melaksanakan!” Tukijo bersemangat, seperti semangat GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
“Siape dulu Presidennye. Makenye jangan liat luarnye, tapi liat isinye. Ngerti Jo?”
“Nasionalis-habis Bang! Dari mana Bang dapat ide seperti ini? Habis bertapa atau berpuasa Bang?”
“He he he......mau tau aje lu. Uah udeh ye!” Telepon ditutupnya. Dia geli sendiri kalau mengingat kejadian konyol, dalam menemukan ide tersebut.
Tukijo jadi mikir, alasan apa yang membuat Presiden merencanakan hal tersebut. Dia tersenyum sendiri, “Yah namanya juga bawahan, mesti nurut. Tapi sekarang kan jaman Demokrasi, euy?”
**********
Sang Pejabat tersenyum-senyum; senyum yang khas, riang, hatinya plong. Pesannya telah disampaikan. Kembali dia berdendang lagu dangdut: “Tidak semua laki-laki iiii bersalaaah padamu - contohnya aku uuu masih mencintaimu.........”
“Telepon dari siapa Pak?” tanya anaknya.
“Biasa, dari pak Tukijo.”
“Saya tahu maksud bapak tadi, kenapa bapak melarang kendaraan bermotor? Soalnya bapak suka mabok kalau naik mobil, dan kenapa kapal terbang diperbolehkan? Soalnya bapak punya perusahaan penerbangan, bener kan? Biar bapak juga bisa sering jalan-jalan ke luar negri ya?”
Bapaknya mikir tujuh keliling, tetapi dia tidak perduli, dia ingin mencoba keampuhan kata-kata yang keluar dari mulut seorang Pejabat. Seperti yang telah dicoba pula oleh yang sebelumnya.
“Rakyat lebih diuntungkan, sektor tranportasi seperti tukang becak, tukang delman dan sepeda jadi sangat berharga. Lagian orang yang korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) itu nanti bakalan ketahuan, iya kan?” katanya dengan santai.
“Tetapi pak,.......!”
“He anak kecil, lu tau ape lu? Sana belajar yang rajin, sampe kepale lu botak! Pokoknye program ini akan jadi INPRES tau? INPRES: Instruksi Presiden bukan Infestasi Presiden!”
“Aku tidak setuju! Kalau bapak memaksakan kehendak bapak, lebih baik bapak gila!” istri dan anak-anaknya protes.
Yogyakarta
YANG DITUHANKAN
Jajang R Kawentar
Terik matahari mendidihkan air yang ada dalam tubuhnya hingga menguap - jadi keringat - basah dan kering sendiri, begitu kembali. Dia berjalan gontai, menyusuri jalan-jalan, gang-gang dan koridor toko.
“ Ya Allah, darahku beku. Melihat tingkah laku orang sekarang, berlebihan: mencari harta, kesenangan seperti kesurupan seakan dunia kiamat besok, seakan bumi ini milik sendiri. Heran!”
“Anjing! Anjing! Lewat depan hidung!” teriak orang dalam kantor pemerintah yang dilewatinya.
“Orang-orang terlihat semakin tolol, budi, pekerti, kesopanan dimusnahkan, nafsu angkara binatang, digenggaman. Cinta ditinggalkan di ruang lobby, dalam rayuan gombal, dalam cerita usang. Kata-kata telah berubah uang, demi bisnis dan berbisnis.” Ia seperti sebuah mesiu yang sudah saatnya meledak. Darrr....!!!
Setiap kali matahari berganti, Ia rasakan suhu bertambah kian menyengat - panas buanget. Kian menggencet tubuh yang kurang kalori dan vitamin, kian mencekek lehernya yang sarat putus asa memandang masa depan yang gurem.
“Adakah hari esok akan lebih suram dari hari ini?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut petotnya, setiap hari, kala matahari berganti.
“Rasanya ingin membunuh. Bunuh segala keinginan agar punah putus asa - lepas - bebas bagai burung terbang. Merdeka. Seperti petapa. Bagaimana dengan perut kami yang bernyanyi keroncong? Bagaimana dengan dehidrasi batang kerongkongan? Bagaimana dengan kain yang menempel seperti lap pel di tubuh ini, tak pernah ada serepnya? Aku tak mampu berharap banyak, yang penting hidup,” gerutunya.
“Hidup! hidup ”
Dia tidak ingin hidup menggantung diri pada orang lain, menyusahkan, mengganggu, apalagi merampas hak orang lain. Tetapi orang-orang menganggapnya telah mengganggu, menyusahkan dan merampas hak-nya. Dia hanya mencari sesuap nasi untuk anak istrinya dan dirinya sendiri sehari ini.
“Merekalah yang merampas hak-ku, bekerja dengan keahlian yang kumiliki: dicaci, diludahi, dijauhi. Apakah saya salah bekerja dengan keahlian saya, ya Allah, ya robbi ya karim?”
Ia tahu yang harus dilakukan untuk hidup ini. Biarpun hidupnya ia gantungkan pada sebuah gitar kecil ditangan, Ukulele namanya. Barangkali ini kelemahan sekaligus kelebihannya karena hanya itulah keahliannya: memainkan gitar kecil dan melantunkan tembang-tembang barang sebait dua bait untuk menghasilkan seratus uang dan dengan seribu celaan.
“Biarlah celaan itu, pertanda aku masih hidup dan diperhatikan orang, biarpun hanya memperhatikan keahlianku dengan ejekan, bukan pada kehidupanku yang tidak seberuntung mereka,” begitulah kerendahan hatinya. Namun uang seratus demi seratus telah menyambung umurnya dan umur Ibu dari anak-anaknya yang diujung tanduk, meskipun dia tahu ada di tangan Tuhan. Dia sadar. Tuhan kini tidak tunggal lagi tapi amat banyak yang dituhankan.
“Tuhan Maha besar dan Maha mengetahuinya daripada tuhan-tuhan dan tuan-tuan yang dituhankan. Aku yakin Tuhan tidak tinggal diam: menyelamatkan aku dan Ibu dari anak-anakku - dari kehidupan ini, agar tetap hidup. Hidup dalam kehidupan tuan-tuan yang dituhankan dan dalam amat banyaknya yang dituhankan orang sekarang. Aku juga takut, jangan-jangan gitar kecil ini telah kutuhankan, demi perut, demi baju anak istriku.”
Selama ini Ia bergantung pada gitar di tangan untuk menggali, mengeruk uang seratus dari orang yang mendengar sebait atau satu lagu yang Ia dendangkan dengan suara paspasan. Penghasilannya pun tidak seberapa paspasan dibandingkan penghasilan pegawai negri, buruh pabrik atau petani sekalipun.
“Aku seperti pengemis, menunggu keikhlasan dan kerelaan hati orang memberi sekeping recehan dari suara yang mereka dengarkan.”
Dia bernyanyi diiringi kentring gitar kecil. Mereka seperti memberi makan anjing jalanan: suka atau benci uang seratus dilempar bersama celaan dan dimasukan dalam saku baju, dengan pedih Ia pendam di dada. Sudah biasa, tak dirasa.
“Anggeplah ini namonyo cinto oi anakku, oi biniku.”
Demi kehidupan ini Ia korbankan diri, terjun ke dalam lumpur yang keluar dari mulut orang-orang di sekelilingnya yang bisanya mencela dan bicara hingga membusa, tanpa mau membantu, apalagi menolong dari jurang kemelaratannya. Tanpa gitar kecil di tangan, suara tembang dan tuan-tuan relawan, Ia dan anak istrinya tidak mungkin dapat menyambung nyawa dan bersama-sama hingga sekarang. Tuhan Maha tahu. Tuhan Maha besar.
*******
Sudah tiga hari, anak, istri dan Ia sendiri makan sekali sehari.
“Kini bagi kami harga beras dan harga-harga apa saja selangit, mungkin karena kali ini tidak lagi disubsidi. Pemerintah sangat murah hati orang kaya dan yang melarat dianggap sama.” Sehingga wajar rakyat dekil seperti dirinya tenggelam dalam pasar, tak dapat beli apa-apa. Harus berusaha mencari bak sampah.
“Siapo sangko ado makanan atau barang yang terbuang, sayang. Burger, pizza, hotdog, atau kokakola atau botol bir atau jam tangan atau apa sajalah. Nasi basi juga lumayan untuk makan siang atau malam. Meskipun bagiku siang, malam, sore, pagi, sama saja untuk kerja dan makan. Kiranya bagi orang sepertiku tidak pantas membagi-bagi hari seperti itu. Sebentar saja aku beristirahat berarti kesempatan makan keluarga akan hilang, jadi harus terus kerja, kerja, kerja dan kerja. Sebab kesempatan dan pendapatanku idak seberapo.”
Dak katek uwong yang kesihan, ngelirik bae sungkan. Dia memang keluarga gelandangan tinggal di pinggir jalan Jendral Sudirman depan Bank yang dilikuidasi, katanya karena krisis moneter. Sejak itu tetangganya bertambah, penghuni depan Bank itu pun menjadi berkapling-kapling. Senasib. Seperti di pengungsian.
“Apakah orang-orang Aceh, atau orang-orang Maluku merasakan sama seperti tetanggaku dan yang aku rasakan? Oi dah, nasib-nasib.”
Dia bekerja membawa gitar kecil di tangan berkeliling sambil bernyanyi. Istri ngurusi bayi yang lahir dari rahimnya, persis ketika Soeharto, Bapak Pembangunan itu turun dari kursi kepresidenannya. Dia sedih, Istrinyapun menangis, bayi lahir menjerit saat krisis. Dia selamat tanpa bantuan bidan juga dukun bayi. Sayang. Dia tidak berdaya menerima bahagia, akhirnya punya anak dua walau keadaan masih melarat juga.
“Ini anugrah, siksaan atau cobaan? Ai pening nian.”
Keduonyo lanang. Kate wong tahu anak keduanya brojol begitu saja lewat vagina Ibunya. Tidak seperti orang-orang mengetahui Bapak yang turun meninggalkan kursi kepresidenan. Diprotes keras oleh mahasiswa dan masyarakat.
“Tidak dipercaya rakyatnya atau menyalahgunakan kepercayaan rakyatnya? Ah, itu semua kata orang.”
Sungguh menyakitkan, sendiri Istrinya melawan maut. Dia hanya mengusap wajah dan duduk di sampingnya memegangi tangannya, menyapu dingin keringatnya. Istrinya merintih kesakitan, Ia ikut merasakan dan tidak dapat berbuat apa-apa. Bingung tetapi bukan bingung, entah apa namanya. Seperti orang yang kalangkabut tetapi bukan kalangkabut. Barangkali Ia hanya tidak biasa, biasa seperti menggauli Istri sendiri.
Keberhasilan menuntut mundur orang nomor satu di Indonesia, mahasiswa bersama rakyat tarik nafas lega dan tertawa bahagia. Begitu juga Ia dan Istrinya, tetapi kebahagiaan itu sesaat berganti.
“Nak kami enjuk makan apo dan baju yang mano anak kami ini?”
Dia yakin anaknya mengerti keadaan Bapak Ibunya melarat, seperti juga Ia yakin bahwa dia menuntut haknya. Jabang bayi hanya diselimuti kain bekas lahir dulu kakaknya. Kayaknya umurnya belum genap lima tahun, ya Ia lupo. Dia makin prihatin anaknya kurang vitamin, penyakit mudah bangkit dan terjangkit.
“Anakku, Bapak akan terus berusaha walau harus sampai menghadap jaksa. Agar kau bertahan hidup, menghirup udara seperti saudara-saudaramu itu. Tertawa, gembira, berteriak, bicara dan bekerja. Samo-samo. Walau kita tampak berbeda tapi kita sama. Maaf jangan menghina kerja Bapak, karena pekerjaan Bapak sudah hina dihadapan mereka. Cepatlah besar! Tundukkan alam kehidupan dengan tangan, kaki dan akalmu,” Ia cium pipii kiri kanan anaknya. Mmmh........mmmh dan Ia usap rambutnya. Dia mengatakan pada mereka walau belum dewasa.
“Mumpung ingat, agar tidak menagih di Akhirat kelak. Bila Bapak meninggal lebih awal, sebelum dapat berjalan di jalan yang benar: mengerti dirinya sendiri, mencari jati diri,” begitu Ia bicara pada ibu dari anak-anaknya. “Jangan mencontoh Bapak, nak. Bekerja seperti orang yang tidak punya tenaga. Habis Bapak mau kerja apa, sekolah dasar saja tidak tamat. Menulis tidak bisa, apalagi membaca. Padahal bekerja kasar saja harus punya ijasah Esema, apalagi nanti paling-paling perguruan tinggi. Begitulah seterusnya. Terpenting bagi kita hidup dan jaga harga diri. Jangan sia-sia sampai mati. Kita wajib melawan setiap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam hidup ini. Agar berguna bagi sesama, jangan sampai kecewa semua dan segala.” Anaknya diam mendengarkan dengan bimbang, maksud Bapaknya apa.
“Pasti nanti mengerti sendiri. Sekarang kalian belum dewasa, masih banyak dan panjang jalan belum terlewati dijalani,” pikirnya. “Bapak pesan pada kalian, ciantailah Ibumu, hargailah cikal bakal kalian. Jagalah dengan cinta seperti Dia juga mencintaimu. Dia beranjak tua, meskipun belum renta benar, tapi sering sakit-sakitan. Badannya sangat lemah, segala macam gejala menimpanya. Capek ngurusi kalian, kurang makan dan istirahat, makanya jangan nakal. Bapak berusaha bekerja walau harus sampai menghadap jaksa untuk kalian semua. Bapak sayang.”
Anaknya paling besar menganggukkan kepala, pertanda dia tanggap dan percaya, Bapaknya tidak salah memberi wejangan. Tidak ada orang tua yang mengarahkan anaknya berbuat dosa dan tercela, kecuali terpaksa. Alasannya barangkali begitu banyak.
“Bapak tidak akan memaksakan kalian memegang gitar kecil seperti di tangan Bapak. Carilah pekerjaan yang berkenan dengan pikiran dan perasaan kalian, sesuaikan dengan kemajuan zaman. Bapak yakin kalian akan lebih baik dari yang terbaik, asalkan jangan lupa berdo’a, meminta pada Yang Maha Esa serta berusaha dan berusaha terus, terus terus tanpa putus. Oke? Toss!” Anak yang tua menyambut dengan toss jua. Tangannya bertemu seperti bertepuk.
“Sekarang Bapak berangkat kerja, jangan lupa jaga adikmu dan Ibumu. Do’akan Bapak agar dapat banyak bekal yang halal buat kalian.” Anak tua menyalami dan mencium tangan bapaknya, tidak biasanya. Entah siapa yang mengajarinya begitu, mungkin ibunya. Seperti mengungkapkan arti sebuah perpisahan dan perjuangan.
“Apakah ini ungkapan persetujuannya atau do’a restunya? Apakah pertanda buruk? Oi dah.”
*******
Dia berangkat. Berjalan ke timur, belok ke utara menuju jalan Merdeka. Dimana banyak orang berdagang, jalan-jalan, berbelanja dan bersenang-senang. Dia akan mencoba menampilkan kebolehan pada mereka, walau mereka tak suka dan mencela. Dia bekerja menahan cela, menelan hinaan. Ia mainkan gitar kecil itu dan bernyanyi kecil dengan harapan segunung Dempo. Ia bayangkan anak-anaknya yang lapar menunggu Bapaknya membawa uang dan segenggam makanan. Ia bayangkan anak-anaknya yang akan berjuang demi Nusa dan Bangsa untuk masa depannya yang masih panjang, sekarang perlu makan kenyang. Biar cepat besar serta pintar.
Dia sengaja mendekati dua remaja yang sedang dimabuk asmara. Istilah zaman sekarang berpacaran. Mereka makan kacang di trotoar jalan, di depan gedung Wali Kota, berpegangan tangan. Mereka duduk-duduk setengah merangkul, tidak malu. Dia bernyanyi merpati putih yang tak pernah ingkar janji diiringi gitar kecil di sampingnya, entah lagu siapa. Mereka tetap berbicara cinta, entah basa-basi, entah rencana perselingkuhan, mungkin juga rayuan. Akhirnya mereka merogoh sakunya, Ia terima uangnya. Kertas bergambar Monyet dan di sebelahnya Rumah Adat Kalimantan Timur, bertuliskan Bank Indonesia, angka 500 di samping kanan bawah dan kiri atasnya, “Barang siapa meniru memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara,” iseng Ia berusaha mengeja tulisan yang melingkar seperti ular tersebut, tetapi tetap Ia tidak bisa. Hanya hapal berapa besar uang yang Ia terima.
“Lumayan, 500,” ia bicara sendiri. “Hati-hati, sekarang banyak berkeliaran uang palsu, kata orang. Tapi, aku tidak mengerti itu,” Ia ingat, itu bisik-bisik tetangganya.
Merpati yang tak pernah ingkar janji yang Ia alunkan belum tuntas, baru sampai reffrein-nya. Dia tahu suaranya tidak enak di kuping orang sedang berkasih-kasihan atau sedang bicara gombal.
Kembali Ia bernyanyi di tempat orang makan, di restoran. Lagunya tetap yang tadi. Dia bernyanyi hampir dua ronde, tak seorangpun yang merogoh sakunya. Sudah dua setengah ronde, tak ada yang rela melempar, sepeserpun.
“Orang sudah tidak menghargai orang atau memang tidak punya uang atau tidak punya recehan atau pada dasarnya sudah begitu, cap jahe. Padahal semua orang tahu, di sana tempat orang kaya makan.”
Tiba-tiba seorang pelayan mendekat, Ia kira mau melempar recehan. “Apa Bapak tidak baca yang di depan kaco?”
“Busyet, kaco yang mano? Apakah kau tidak melihat aku ini buta. Buta huruf. Kalau tidak mau beramal yo sudah, tidak memaksa. Hai orang-orang kikir, Aku hanya menerima uluran tangan yang mau beramal ikhlas, bukan pencoleng seperti kalian. Terima kasih!” Dia tidak bicara, hanya rasa kesal dua ronde setengah tidak dibayar. Ia bawa berjalan.
Dia berhenti dan bernyanyi kembali lagu tadi, Merpati yang tak pernah ingkar janji di depan toko Liong Hwa. Baru Ia sentuh senar gitar, yang punya sudah menggerundel: “uwong mbeli siko, uwong ngamen sudah limo.” Jreng...jreng. Uang dilempar 25 perak. Dia berusaha memahami bahasa dan orang sipit itu. Hatinya memberi petunjuk, “Suatu saat mereka akan menyesali apabila sudah tidak ada tempat untuk menampung orang yang beramal, mensucikan harta dan jiwanya. Paling tidak saat harta dan nyawa mereka sedang di jarah.”
Dia berjalan lagi, begitu dan begitu setiap hari berganti. Tak pernah Ia sesali. Dia kembali bernyanyi lagu yang tadi, di hadapan tuhan-tuhan dan tuan-tuan yang dituhankan. Dalam hatinya berharap seluas lautan dan setinggi langit.
*******
Palembang, September 2000
Daftar kata:
Apo: Apa
Buanget: Berlebihan
Busyet: Astaga
Brojol: Keluar
Cap jahe: Pelit
Dehidrasi: Kekurangan cairan tubuh
Enjuk: Beri (memberi)
Esema: SMA/SMU
Gurem: Tidak jelas
Gombal: Kain bekas yang dipakai mengepel
Kaco: Kaca
Koridor: Lorong yang menghubungkan antara suatu gedung dengan gedung yang lain.
Lanang: Laki-laki
Likuidasi: Proses pembubaran perusahaan karena hutang (Perusahaan yang bangkrut).
Lobby: Ruang teras di dekat pintu masuk hotel (bioskop dan sebagainya).
Lupo: Lupa
Mano: Mana
Menggerundel: Marah dan berbicara dalam hati
Moneter: Krisis keuangan, ekonomi dunia mempengaruhi Indonesia.
Nak: Akan
Nian: benar
Oi dah:
Oke: Iya
Pencoleng: Pencuri
Petot: Mengot; mencong; miring...
Reffrei: penekanan kalimat dalam lagu
Sangko: Sangka
Siapo: siapa
Toss: menempelkan telapak tangan dengan telapak tangan orang lain; Beradu
Uwong beli siko, uwong ngamen sudah limo: Orang beli satu, orang ngamen sudah lima
Vagina: Alat kelamin perempuan
Wejangan: Nasihat; Petunjuk; pengertian
SAMPAH
Cerpen Jajang R Kawentar
Dalang wayang Wong, di panggung ngomong: Sampah-sampah berserak disetiap jalan pemukiman penduduk. Darat, air dan udara. Kian menepi ditiup angin kendaraan bermotor yang lalulalang. Dihempas prahara hawa nafsu dari diri sendiri. Hingga sampah itu terus merajarela, disetiap sektor dan disetiap pelosok relung kehidupan. Sampah cendikiawan, sampah politikus, sampah konglomerat, sampah intelektual, sampah selebriti, sampah seniman, sampah budayawan, dan sampah-sampah busuk menyebalkan. Bumi sesak sampah.
Setiap hari sampah mengalir kian deras dari ilir ke ulu. Datang dari pasar, dari media massa, dari pabrik-pabrik, dari bank, dari kantor-kantor, dari supermarket, dari hotel-hotel, dari diskotek, restoran, rumah bordil, rumah susun dan semua rumah jiwa. Sehingga menjadi ruwet serta semerawut. Oleh karena itu untuk mengatasi limpahan sampah ini, diciptakan Pasukan Kuning (Paskun), sebagai pasukan sapu jagat; menjaga kebersihan jalan dan lingkungan; juga dalam rangka pembangunan jalur tol menuju surga. Diantara ribuan bahkan jutaan prajurit Paskun adalah Samin. Barangkali Samin angkatan pertama Paskun negri ini.
Dalang wayang Wong, memulai cerita: Samin di stempel prajurit Paskun yang getol. Tempat berkaca orang-orang dalam bekerja: demi bangsa, demi negara, demi pekerjaan itu sendiri, dan demi Tuhan pencipta alam dan seisinya. Samin begitu mencintai kebersihan. Pekerjaannya dinikmatinya seperti menikmati malam pertama pernikahannya dengan Juleha, yang setia setiap saat. Hingga kini.******
Hongwilaheng, wong-wong thengleng.
Udara pagi tidak lagi bersahabat. Panasnya bukan kepalang, tiada beda di siang bolong, dalam penggorengan. Samin ngaso. Duduk di bawah pohon Beringin yang dingin menaunginya. Tepi Alun-alun kota. Ia usai berjalan mengelilingi jalan sebagai jalur kerjanya, sejak pagi buta. Ia memakai pakaian seragam kuning-kuning, sapu di tangan kanan, sekop di tangan kiri dan kendaraan dinasnya adalah gerobak berisi sampah. Warnanyapun kuning. Kuning tai. Ngejogrok di tepi jalan, menunggu tangan Samin yang akrab menariknya.
Sampaaaaaaah! sampaaaah.......!: begitulah Samin berteriak di jalan-jalan hingga serak. Sampahpun terkumpul sesak di gerobak.
“Rasanya matahari kian mendekat saja atau karena dosa umat manusia ini yang semakin kurang ajar terhadap sesamanya, terhadap alam serta terhadap Tuhannya. Apakah karena setiap gerak kehidupan manusia selalu diperhitungkan dengan uang, dikalkulasikan dengan US dolar?” Samin bergumam sambil merebahkan badannya pada akar Beringin yang melilit-lilit membentuk seperti sebuah sofa kerajaan. Samin tahu persis, pohon itu umurnya hampir sama dengan masa kerjanya, renta. Tumbuh janggut dari setiap dahan yang hampir sama dengan badannya yang tambun.
“Kalau saja pohon ini tidak digunakan untuk bernaung, akan kutebang dan akan kuhabisi sampai ke akar-akarnya. Pohon ini semakin besar bukan semakin baik, tetapi semakin merusak. Akarnya ngelayap kemana-mana, menghambat pertumbuhan tanaman yang ada di sekitarnya. Batupun dihancurkannya”, Samin mengamati secara seksama sekitar pohon itu.
“Kayunya ini bagus untuk kayu bakar. Kebetulan minyak tanah dirumah habis, harganya dipermainkan. Alangkah bahagianya aku, seandainya pohon ini ditebang sebagai bahan bakar di rumahku. Tentu tidak akan habis sebulan. Tanaman lain yang tumbuh di tanah inipun akan merasa senang, kesempatan tumbuh subur.”
Angin berhembus meniup tubuh yang kuyup keringat. Samin menguap. Mulutnya terbuka lebar dan lalat sedang terbang masuk mulut yang hendak terkatup. Kejadian janggal itu mestinya tidak terjadi. Samin seperti tidak mengetahuinya. Lalat ikut masuk, tertelan. Samin hanya terkedip-kedip mata, ia merasakan air ludahnya mengental bercampur dahak di kerongkongan yang tandus.
Angin semilir membawa uap keringat, menjadi gumpalan awan. Mengusap-usap raut wajahnya hingga rasa kantuk hampir menggilas waktu kerjanya. Ia sadar, masih banyak sampah yang harus disikat bersih. Masih banyak tenaga yang harus ia peras dan waktu yang akan dibuangnya. Samin bergegas. Tegak. Namun punggungnya mulai membungkuk. Tangannya menahan pinggang, menahan uratnya yang tegang. Maklum Samin bekerja sebagai anggota pasukan kuning sejak ia menginjak usia kedua puluh tahun.
Ia beranjak menelusuri jalan. Sampah-sampah menjadi tumpukan pekerjaannya yang sangat berarti bagi kelangsungan keluarganya, juga atasnama kesehatan, serta kebersihan sebagian dari pada iman. Debu dan asap kenalpot kendaraan bermotor mewarnai udara yang gaib menjadi hitam kelam dihisap oleh hidung dan dipompa oleh paru-paru. Samin sesekali terbatuk. Menahan dadanya dan menahan yang ada di dalamnya. Perih dan menyesakkan.
Samin berjalan terseok-seok membawa gerobak, berat, kadang ditariknya atau didorongnya. Sampah menggunung di gerobak yang dibawanya. Ia terus menarik beban dengan tenaga sisa makan oseng-oseng kangkung dan sambal terasi. Perlahan-lahan Samin terus berjalan, kadang diselingi berdiam diri. Mengurut pinggangnya yang tegang dengan tangan gemetaran. Menarik nafasnya yang sesak, dalam-dalam, namun ia tak kuasa. Bibirnya yang kering ia usap dengan lidah, basah. Kelopak matanya cekung, bola matanya sayu. Samin berusaha bertahan, melanjutkan perjalanan yang cukup panjang, dan baginya melelahkan, biasa. Begitu setiap hari, mungkin sampai sampah-sampah itu lenyap di muka bumi ini. Tidak hanya sampah pelastik, tetapi juga sampah masyarakat yang semakin keparat. Dia selalu berdoa supaya anak-anaknya, tidak bekerja seperti dirinya, supaya anaknya menjadi Insyinyur atau dokter. Menegakkan kebenaran dan keadilan, berbakti pada orang tua dan Ibu pertiwi.
Pengabdian Samin patut diakui, walau disebut-sebut Prajurit tai, karena bajunya warna kuning-kuning. Bahkan banyak mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi menuntut dibubarkan dan diadili, tetapi Samin tidak mengerti. Pernah juga ia diancam dengan pedang. Pasalnya sepele, hanya karena baju seragam yang dikenakannya. Ia kini diolok-olok oleh banyak orang, tetangga dan kawan-kawannya: “Hallo Good morning, selamat pagi! Baju kuning, bau tai.” Samin melempar senyuman segar, terus menarik gerobak tanpa henti dengan dada penuh debu dan asap knalpot. Dalam hati ia menjawab: “Kau itulah yang bau tai!.”
Samin bekerja menjadi Paskun sejak rezim facis negri berkuasa hingga sekarang. Tetap bertahan sebagai patriot pasukan kuning sejati. Sejak istrinya; Juleha, mengandung anak pertamanya, tiga bulan. Samin tidak pernah aneh-aneh atau menuntut sesuatu yang wajar. Pekerjaannya selalu dilakukan dengan jujur dan disiplin yang tinggi. Umurnya kini 55 tahun lebih dikit. Gajinya tidak menentu, kadang sebulan gaji tak dibayar. Maklum pegawai rendahan, kuli kasar, selalu disepelekan, dianaktirikan, dinomorduakan bahkan dinomorbuntutkan; ditogelkan, katanya. Walau kerjanya melelahkan. Tak cukup dengan dua piring sehari dan dua kali tambah nasi. Samin sebagai prajurit Pasukan Kuning hanya mampu bersedih hati, menjadi pihak yang selalu paling depan, tetapi pendapatannya disembelih atasan, duluan. *****
Siang. Seperti panasnya api rokok. Samin mandi keringat. Sebentar-sebentar mengusap muka dengan ujung bajunya dan mengibas-ngibaskan topi Pandannya. Ia berjalan melewati kedai pak Abang yang sudah sejak lama berjualan yang di tempatinya kini. Ia selalu memperhatikan Samin, lewat di muka kedainya. Kadang Samin juga mampir di kedainya. Saat itu ia terburu-buru, seperti mengejar waktu.
“Samin memang orang hebat, aku salut padanya,” kata pak Abang kepada pembeli, sambil menyodorkan kopi yang dipesannya. Tangannya lalu menunjuk Samin. Pembeli itu ikut menatapnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hebat, atau kelewat batas pak? Apakah anak bangsa kita tidak terenyuh ya, melihat bapaknya yang sudah tua bekerja berat?, mestinya orang tua seperti itu dimuseumkan. Bukan disuruh kerja berat, menanggung beban keluarga? Sungguh ironislah! gila, gila, negri ini memang gila. Ataukah ini pertanda negeri para kuli, budak, alias pembantu rumah tangga, atau tenaga kerja kasar? Pantas kalau kita tak menggunakan akal dan pikiran, tetapi menggunakan senjata dan fisik, jagoannya,” pembeli menimpali. Kopi panasnya ditiupi.
“Ah, jangan ngomong begitu. Nanti didengar Cecak putih!.”
“Kata pepatah, kalau ingin menjadi yang berjiwa besar, kebenaran harus diungkap. Jangan ditutup-tutupi. Kalau tidak, menjadi Bar-Bar dan tunggu kehancuran.”
“Iya juga ya. Seingatku, Samin kerjanya dari dulu begituuuu, tidak berubah kecuali umur, barangkali. Tapi, yaaa namanya juga perjuangan, harus penuh pengorbanan. Ya ndak?”
“Memang. Tetapi pengorbanan kan ada batasnya pak, masa dari dulu tidak ada kemajuan?”
“Maksud kau? Samin?”
“Ya, siapa lagi; masa pemimpin kita?”
“Kau tidak tahu! Samin dulu mengais, sekarang pakai gerobak. Bukankah itu kemajuan?”
“Janganlah bapak pandang bentuk fisiknya. Samin berubah. Dulu muda mengais sampah, sekarang tua, menarik gerobak. Ini bukan kemajuan tetapi penyiksaan berkesinambungan. Seharusnya kedudukannya, gajinya disesuaikan. Masa - seumur hidupnya menjadi prajurit Pasukan Kuning, sadis! Masyarakat bisa miskin selamanya!,” pembeli mencoba menyeruput kopinya lalu mengambil pisang goreng. Dimakannya pisang itu penuh hidmat dan memang tampaknya nikmat. Sejenak keduanya diam.
“Ada benarnya juga kau ngomong, pikiranku tidak sampai ke situ. Bodoh!,” kata pak Abang.
“Bapak pikir, enak menyapu, mengumpulkan sampah di pinggir-pinggir jalan tiap hari, bertahun-tahun?.” Pembeli itu bicara, pisang masih dikunyahnya.
“Mana kutahu, aku belum pernah jadi Pasukan Kuning!, dan tidak akan pernah mau! Sorry deh.”
“Sesungguhnya pekerjaan itu mulia di sisi Tuhan.”******
Orang yang diomongkan berjalan tanpa tolah-toleh. Ia hampir menghilang di tikungan. Pak Abang melihat gerobaknya terjungkal dihantam truk Tronton, tergilas. Mungkin supir truk ngantuk atau disengaja. Sampah Samin berserak. Tumpah ruah ke tengah jalan.
“Sepertinya Samin sengaja bunuh diri,” ucap pak Abang.
“Barangkali ia kelelahan, tidak mampu melepaskan baju kuningnya, apalagi melepaskan diri dari ketergantungannya pada Pasukan Kuning,” sanggah pembeli. Segera ia ke luar kedai, berlari kencang menuju tempat kejadian sambil berteriak, “Samiiin! Tolooong! Diiitabraaaaak! Toloooong!”
Mobil Tronton itu menancap gasnya. Tak ada yang mampu mengejarnya. Tak ada yang mengenalinya. Luput. Samin dikerubuti orang-orang ingin tahu, bukan mau menolong. Orang-orang menunggu seragam Samin dicopot digantikan kafan, dan syair kematian didendangkan.
Dalang wayang Wong, mengucapkan: selamat jalan Tronton. Semoga selamat Samin.
Palembang, September 2000
PERINTAH IBU NYONYA
Jajang R Kawentar
Kus, namanya. Biasa di panggil Mamang Kus atau Mang Kus saja. Ia pekerja dan bekerja sebagai pembantu di rumah janda, Ibu Nyonya. Tetangga kampung. Menurut pandangan Mamang Kus ia kaya dan terlalu sibuk mengurus harta warisan suaminya serta sibuk dengan usahanya, sehingga ia dipekerjakan di sana: sebagai tukang disuruh-suruh.
Sepuluh hari terakhir Mamang Kus menangis sendiri di jalan menuju pulang dan ia menjadi sangat lesu ketika sudah harus segera berangkat pagi buta ke tempat Ibu Nyonya. Bekerja. Ia menjadi banyak melamun. Menyendiri. Ia malas sembahyang apalagi berdoa, kini begitu rajin. Istri Mang Kus: Kati, asing melihat revolusi itu terjadi begitu kilat. Biasanya ia harus diomeli sebelum sembahyang, kini cespleng. Tetapi ia tidak mau ditanya, apalagi diganggu, dan kini ia jarang makan, kalaupun makan sangat sedikit dari porsinya sebagai pekerja tukang yang memerlukan energi banyak itu. Seperti orang yang sedang puasa mutih atau diet ketat. Revolusi juga terjadi pada watak periang ke pemurung. Istrinya ikut larut dalam kepiluan yang terus berlanjut. Ia sendiri takut. Suatu saat bisa jadi kalang kabut.
“MasyaAllah Pak, ada apa tha ya. Matamu bengkak, wajahmu pucat, badanmu kuruus tambah kuruuus. Tak terurus. Untung saja tidak banyak nyamuk, coba kalau banyak, darahmu didonorkan kepadanya. Apa gerangan yang menjadi pikir di benakmu itu? Apa salah istrimu yang cerewet ini, mengingatkanmu pada yang Mpunyamu. Kini kumohon padamu Pak, sudilah kiranya maafmu menghapuskan kesalahan istrimu yang menjadikanmu begini,” kata Kati. Merasa ini kesalahannya. Ia mendekati Mang Kus yang baru melaksanakan sembahyang, waktu itu. Ia duduk di samping suaminya. Menunggu berakhirnya.
Kus menarik nafas panjang, seperti menarik seluruh kekuatan alam yang tersembunyi menjadi dorongan semangat hidup yang tiada terkira dahsyatnya. Perasaannya masih disembunyikannya. Namun bagaimanapun, istrinya sangat fasih dengan raut wajahnya, kebiasaannya, bahasa tubuhnya, dan tutup mulutnya itu: tanda-tanda yang tak dapat begitu saja dihapuskan dari memorynya. Anti virus. Melekat kuat, erat bak kulit sama daging, bak air dalam tanah.
“Aku percaya kau sedang mendapat masalah. Namun aku tidak memaksamu untuk berusaha berbuka mulut padaku kali ini, dan aku yakin kau mau mengatakan apa sebenarnya sedang terjadi menimpamu. Barangkali Allah lagi murka atau tidak berfihak kepadamu, kepada kita,” Kati setengah berbisik. Mengelus punggung Mang Kus yang sedikit bungkuk. Ia menyandarkan kepala di paha suaminya yang duduk bersila.
Kus masih mengangkat kedua belah tangannya. Memanjatkan segala sesuatu dan harapannya. Semoga Allah mengabulkannya. Begitu ia khusuk, begitu ia menjeritkan isi hati itu menjadi gumpalan energi untuk menghentikan penyesalan, tidak berarti. Kus mengusap muka dengan telapak tangan terbuka, lebar, penuh tenaga, sesaat selesai menyerahkan, mengkomunikasikan penderitaannya pada Allah.
Kepala Kati masih tersandar di pahanya. Dinginnya air mata Kati menembus sarung, membasahi pahanya. Menggetarkan hati yang berangsur tegar, berangsur-angsur segar. Air itu terus mengalir lewat kelopak mata Kati. Tak dihiraukannya suami yang menahan dinginnya air yang tembus hingga ke ulu hati itu. Jantung Kus bergetar-getar. Seperti akan ada yang dia hempaskan dari tubuh kurusnya. Seperti ada yang meluap-luap dari dalam dadanya. Mulutnya seperti hendak meletus. Sumbu bom dinyalakan oleh api yang kian membakar hati serta jiwanya. Kus tak kuasa membendungnya. Meledak. Kata-kata lahir berurut dari mulut kusut, menjadi kalimat-kalimat jimat. Kelak tersimpan dalam memory Kati.
“Istriku, tolong hentikan derasnya air mata mengalir atau akan kusumbat dengan mistery di hatiku, selama ini ikut mengganggumu. Aku yakin kau akan terbebas dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab selama ini. Aku ingin melepaskannya. Semakin memenjarakan persoalan di hati, semakin mengembangkan luka dan nyeri ini. Kuharap engkau berlapang dan jernih memandang persoalanku,” kata Mang Kus. Perlahan membelai rambut Kati, tergerai. Lembut belaian terasa mengusap gejolak dalam dada. Kati mengangkat badan, hingga berhadapan. Empat mata jadi satu, Kus dan sang istri. Telinga Kati berdiri, bersiap menangkap sinyal. Apa gerangan kiranya kemelut hidup suaminya tersebut. ********
Munculah ide untuk membuatkan suami tercintanya secangkir kopi pahit kesukaannya. Tahu betul kelemahan suaminya. Kopi Kati nikmat sekali, itulah salah satu alasan kenapa Kus menikahinya. Membuat ramuan kopi yang pas dan khas. Kalau dilihat dari body dan face, Kati tak seberapanya dari Madonna, barangkali 10%-nya. Tapi apalah arti kecantikan wajah, kalau itu akhirnya punah dimakan waktu. Kulitnya bagus belum tentu isinya baik; Kus percaya itu. Kati pun begitu: Apalah artinya harta kalau akhirnya musnah jua, bersama maut menjemput; yang penting tanggungjawab penuh, jujur dan setia. Cukup. Pernikahan dengan Kus pun berlangsung. Utuh: kesederhanaan hidup, saling menghargai, saling mengingatkan, kesetaraan dijalankan.
Tinggallah mereka dalam surga: rumah kecil nan sederhana di samping sawah-sawah yang membentang hijau dan padi-padi yang merunduk kuning. Berseri. Dilindungi pohon sawo kecik, kopi, rambutan, pepaya, mangga dan pisang. Serta dihiasi bunga warna-warni di halaman yang luas, berpagar pohon mamangkokan, katuk dan ubi kayu yang hanya untuk diambil daunnya saja sebagai lalapan, sebagai santapan yang selalu siap di hidangan. Nasi, sambal, lalapan dan air jernih: empat sehat, lima kenyang. Sempurna.
“Kopi pahit Pak?, kali saja dapat melumerkan masalah yang kau hadapi. Kebetulan, sudah berhari-hari bapak tidak pernah minum kopi buatanku, iya kan? Biasanya setiap bangun pagi dan sore hari, Bapak meminta yang satu ini. Apakah tiada hati rindu buatan kami, abang Kus sayang?” Kati mendayu-dayu setengah merayu.
Kus tidak menjawab, hanya mulutnya saja merekah. Tersenyum malu. Tangannya memegang pundak sang Istri. Perlahan. Kati menyambut lembut tangan Kus lalu ia menciumnya, penuh perasaan kasih dan sayang. Dua rasa berpadu, melambung ke angkasa. Masa-masa remaja kembali hadir mewarnai, hari-hari yang selalu indah bersama, berdua. Kati berdiri, beranjak ke dapur. Di taman hatinya, bunga warna-warni berkembang dan mewangi. Buah-buahan matang di dahan. Hijaunya hamparan pohon padi dan ranumnya padi yang menguning, menghiasi. Kopi menyatupadukan dua hati yang resah, dari monologis ke dialogis. ******
Secangkir kopi buatan Kati kini nangkring di samping Kus. Asap masih terus mengepul dari padanya. Tercium harum kopi nikmat sekali. Biji kopi pilihan, dari pohon samping rumahnya, asli. Kati mengelola sendiri. Kesukaan suami dijaga sepenuh hati. Ubi kayu rebus dihidangkan di atas piring seng. Piring kenangan. Piring hadiah perkawinan, dari dulu masih utuh, tidak pecah meski dibanting ke dinding rumah.
Dirogohnya sebatang Ubi kayu. Disumpalkan ke mulutnya. Mengisi lambung kosong yang hanya memproduksi asam. Kus menatap langit-langit, tergores gambar: dua kilo meter berjalan, pagi buta ia segera datang di tempat Ibu Nyonya, mengerjakan segala sesuatu yang telah menjadi kontraknya. Sesaat tiba di pagar. Ibu Nyonya memanggil Kus.
“Mang Kus, sebelum mengerjakan yang biasa, tolong yang diperangkap itu dilenyapkan dulu!”
Memang, akhir-akhir ini tidak sedikit tikus got berkunjung ke rumah Ibu Nyonya dan bertempat tinggal disitulah. Mereka kawin sesukanya, di mana saja, serta berkembang biak dengan cepat. Sehingga setiap malam tikus berkeliaran di dapur terutama di dekat cucian piring dan tempat sampah. Mencari sisa-sisa makanan terbuang. Tikus-tikus berpesta pora. Berlari kesana-kemari, berkejaran seperti tak henti. Melewati barang pecah belah, melalui lorong-lorong kotor, pecomberan, bawah atap rumah.
Benci dan jijik bercampur ngeri sendiri. Ibu Nyonya merasa, penyakit tikus segera mengancamnya. Ia membeli beberapa perangkap tikus ukuran besar. Tugas kontrak kerja baru Mang Kus: memasang perangkap sebanyak-banyaknya dan menghabisi semua nyawa tikus yang masuk perangkap, sekehendak majikannya.
Setiap hari selalu saja ada tikus-tikus bodoh masuk perangkap dan menjadi korban pembantaian. Pertama kali Kus berpendapat tentang pembunuhan beberapa ekor tikus: biarlah, aku hanyalah orang suruhan; dosa-dosa pembunuh ditanggung Ibu Nyonya. Beres. Tiga hari berarti tiga kali sudah terjadi pembantaian. Tidak peduli jantan atau betina, anak atau induknya, yang sedang hamil atau masih gadis. Hantam kromo. Tiga kali bom meledak di dada Kus. Tiga kali ia hancur segala, hilang makna. Ia menyadari, kini ia telah menjadi seorang pembunuh dan ia sadar sebuah proses sadistis sedang berjalan. Bisa jadi, jadi bisa beneran, pembunuh tikus bayaran, pembunuh berdarah es. Dingin.
”Yaa Allah, adakah pembantaian yang Engkau ridhoi? Yaa Allah, aku membunuh karena tuntutan tugas. Maklumlah, pembantu harus tunduk di ujung telunjuk. Aku tidak kuasa menolaknya. Menolak berarti memohon berhenti. Mendapatkan pekerjaan tidak gampang, banyak saingan. Sarjana pengangguran seabrek-abrek. Posisiku sungguh susah, yaaa Allah. Adakah toleransiMU berlaku? Aku tidak berniat untuk melenyapkan nyawa tikus-tikus itu. Aku sungguh tidak tega. Sungguh. Hanya Ibu Nyonya belum merasa puas melihat musuh-musuhnya terbujur kaku. Mengapa tikus-tikus tertarik dengan rumah Ibu Nyonya?,” pikir Mamang Kus.
Ibu Nyonya berteriak dari dapur, “Mang! Mang Kus! ini airnya sudah mendidih. Kumpulkanlah perangkap yang ada tikusnya!”
“Yaa juragan...”
Lima tikus terperangkap, dari tujuh perangkap yang dipasang diberbagai penjuru. Kus memasangnya dengan strategi jebakan. Dengan menggunakan rangsangan kenikmatan, barangkali belum pernah seumur hidup tikus mencicipi kenikmatan yang terdapat dalam perangkap.
Hati Kus bergertar-gertar. Mulutnya bergetar. “Makanya, he tikus bodoh! tinggalkanlah rumah ini kalau kau hendak mencari hidup. Disini kau berarti mati. Tempat ini tidak layak untuk kalian. Hidup kalian sama denganku, di hutan sana. Barangkali di sana kebebasan akan kau dapatkan,” Kus menasehati tikus.
Ia segera mengambil air yang telah mendidih di dapur dalam wadah ukuran besar.
“Mang, jangan sampai mereka lepas, apalagi masih hidup, bunuh! ya! Biar kapok. Awas! ingat itu.”
“Siap juragan! Perintah, saya laksanakan juragan!”
Kus pembantu terpercaya. Apapun yang diperintahkan Ibu Nyonya digarapnya dengan baik dan hati-hati. Mulailah Kus melakukan pembantaian seperti dilakukan sebelumnya, seperti diperintahkan majikannya: Satu persatu tikus itu diguyur air mendidih, hingga sekarat, kejang dan kaku. Bulu-bulunya terkelupas dan kulitnya tampak menjadi putih. Mamang Kus merasa sedang tidak menjadi dirinya.
Kus tidak tahan mendengar jeritan-jeritan tikus itu, seolah mengingatkannya: panas! panas! hentikan! ampuni saya! ampuni! semoga Allah memberkahimu! hentikan!. Tetapi Kus pura-pura tidak menghiraukan suara-suara rintihan itu, sebab ini tugas, harus tega, tidak boleh dilanggar. Melanggar berarti melawan majikan, bisa diberhentikan. Dalam hatinya ia menangis. Tubuhnya terus bergetar. keringat ngucur dari segala penjuru. Pipinya basah, banjir air mata.
“Yaa Allah sesungguhnya aku tidak tega. Ampunilah hambamu ini. Tikus, maafmu kumohon jua,” Kus bicara sendiri usai pembantaian. Air matanya tak dapat dibendung, terus mengucur. Kus duduk, menahan air matanya dengan kedua belah tangannya. Mengkalkulasikan perbuatannya dengan Tuhan. ********
Kati khawatir menatap raut muka yang ditimpa air matanya sendiri. Tak kuasa bicara.
Palembang, 30 Des 00
WARUNG KOPI
Jajang R Kawentar
Warung kopi Pak Basir, tempat duduknya penuh pembeli, berjejer. Mereka pesan kopi susu, kopi hitam, teh tubruk, pempek gandum, mie rebus campur telor, dan pisang goreng. Warung sederhana pinggir jalan itu langganan tukang becak, buruh pikul, buruh toko, buruh pabrik, tukang parkir, Preman pasar dan guru yang gajinya kecil. Tidak ada yang istiwewa di warung itu. Tetapi boleh dibilang warung itu layaknya pusat informasi, gaya hidup buruh atau masyarakat kelas emperan. Buka mulai pukul 12.00 siang hingga pukul 12.00 malam atau sampai tidak ada lagi yang harus ia jual.
Warung Pak basir merupakan warung kaum Adam. Jarang ada kaum Hawa yang sengaja duduk berlama-lama jajan. Nongkrong. Kecuali penjaja dirinya alias PSK (pekerja sex komersial). Masalahnya barangkali sangat sederhana, pelanggan Pak Basir, orang yang sering mandi keringat. Bau badan tingkat tinggi. Sehingga kalaupun mereka berfarfum murahan, habis oleh banjir keringat dan kalah oleh harum farfum yang keluar dari tubuhnya. Kaum Hawa sangat rentan dengan bau-bauan yang memabukkan.
Pak Basir sangat pandai merangkul aspirasi pembeli. Sehingga yang baru saja cape narik becak, yang mikul barang, menjadi serasa di rumah sendiri. Pak Basir memperlakukan para pelanggannya seperti suaminya dan Pak Basir memperlakukan dirinya sebagai istri setia mereka. Pak Basir sendiri telah berkeluarga, anaknya tiga perempuan semua. Anaknya yang paling besar umurnya lima belas tahun. Gadis manis. Bahenol nerkom. Namanya Zelekha. Dia inilah yang membantu dan menemani Pak Basir berdagang sehari- hari di tepi jalan KH. Ahmad Dahlan, depan Pasar. Zelekha tamatan SD tigaratusan. Ia dilarang oleh pak Basir untuk melanjutkan sekolah. Padahal anaknya itu pintar. Ia tidak pernah lepas dari rangking 1 2 3. Bahkan ia diajukan untuk mendapat beasiswa dari pemerintah, bebas biaya sekolah dan tanpa tes.
"Pak, aku pengen sekolah seperti Bety. Di SMP unggulan!" keluh Zelekha, pada suatu hari. Setelah selesai membantu bapaknya.
"Zelek, bukan bapak tidak mengijinkan kau sekolah tinggi-tinggi. Lebih baik kau membantu bapak, kau belajar langsung bagaimana cara berdagang, melayani pembeli, menangani keluar masuk uang. Sebab kalau kau sekolah, kau hanya akan membuang-buang waktu. Di sini kau akan belajar sekaligus membantu bapak, ibu dan adik-adikmu."
"Tapi kalau aku terus-terusan bantu bapak, aku tidak punya kawan," sela anaknya.
"Kamu boleh sekolah, tapi kau harus belajar berdagang dulu dengan bapak. Sebab tidak ada pelajaran berdagang apalagi yang seperti diajarkan bapak. Percayalah, apa yang bapak ajarkan ini akan lebih bermanfaat daripada yang di ajarkan di sekolah. Sebab di sekolah itu cuma belajar teori-teori. Sekolah itu juga bayar mahal, belum lagi lain-lainnya, ditambah proyek guru. LKS, bimbingan belajar, iuran, buku-buku..... pening kau."
"Kalau sekolah pak, bisa di pandang orang pak. Bisa menjadi pegawai negri, pegawai Bank, pegawai di PT., bisa kerja ke luar negri, bisa jadi wakil rakyat, pokoknya apa saja bisa."
"Zelek, anak Bapak. Kalau mau jadi pegawai negri atau di perusahaan itu mesti nyogok, kolusi, nepotisme. Mesti punya uang banyak. Katanya, untuk masuk pegawai negri itu minimal punya uang dua puluh juta rupiah, itu pun belum tentu masuk. Sebab banyak calo pegawai negri ini."
"Tapi mereka lebih di hormati pak," Anaknya nimpali.
"Anakku, yang di hormati mereka itu bukan lagi kepribadiannya yang menjadi tauladan kita. Tapi yang dihormati itu adalah uang. Jadi banyak-banyaklah mengumpulkan uang, pasti kita akan lebih terhormat. Apalagi kita mencari uang dengan halal. Begitulah anakku Zelekha."
Anaknya itu terdiam. Meskipun yang diucapkan bapaknya itu benar, ia tidak menerima itu, ia tetap ingin sekolah. Anaknya tak melirik lagi bapaknya. Ia langsung ke kamarnya, ia melihat adiknya telah terjulur dengan pulas. Ia setengah membantingkan tubuhnya ke kasur kapuk itu. Terlentang, menatap langit-langit. Tergambar Bety dan kawan-kawannya melambaikan tangannya dengan menggunakan baju seragam putih biru dan pakai dasi kupu-kupu. Tak lama kemudian iapun terlelap.
Pak Basir setelah di tinggal anaknya begitu, ia merenung. Lama ia merenung sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. Istrinya tampak sedang merangkul anaknya yang kecil. Sepertinya ia juga kelelahan mengurus dua anak dan rumahnya itu. Sebenarnya pak Basir bukan tidak mampu untuk membiayai anaknya sekolah. Akan tetapi siapa lagi yang bisa membantu dirinya berdagang. Mencari orang yang bisa dipercaya itu sekarang susah. Pasti ujung-ujungnya maling atau berbohong.
"Apakah generasi muda sekarang ini di-didik untuk berdusta dan belajar untuk ngakali orang lain? Sulit dipercaya. Padahal mereka itu berpendidikan, orang-orang terdidik. Belajar sampai SMU," pikir pak Basir. Ia hembuskan asap terakhir dari mulutnya, sambil ngelonyor ke kamar dan merebahkan badannya di samping Istrinya pelan-pelan. Daster istrinya menyeruak naik ke paha, dada Pak Basir bedegup tak menentu menatapnya. Tetapi ia tak kuasa untuk menyentuhitubuhnya. Sabar. **************
Keesokan hari, Preman pasar langganannya bertanya pada Pak Basir.
"Mang, ngapo si Zelekha tidak Mamang sekolahkan? Sayang mang, dia tu cantik. Siapo ngerti pacak jadi wong!"
"Ai, kamu ni pacak nian. Kamu dewe, ngapo putus sekolah?"
"Aku ni cita-citanya memang pengen jadi preman. Kalu preman menurutku idak usah tinggi-tinggi sekolah. Sampai SMU jadilah."
"Ngapo pacak itu?"
"Lha, Preman itu dibesarkan di lapangan. Idak di sekolahan."
"Berarti, kalau ma itu kamu preman kroco, sebab katanyo kalu preman besar itu sekolahnya juga tingggi-tinggi. Mangkonyo mereka pinter, penghasilannya perbulan pacak samo dengan DPR/MPR, mungkin lebih. Bahkan mereka banyak yang jadi wakil rakyat."
"Tapi mang, sesama preman mudah bekerja sama. Kito bisa gawe link atau jaringan preman mang. Mamang Basir idak ngerti kan?"
"Iyo.Tapi yang namanya preman samo bae. Memeras orang yang bisa di peras."
"Memangnya tetek Sapi di peras! Huh.... Ngawur!" preman itu mengemasi barang bawaannya. "Jadi berapo galo-galo ni, pisang siko, mie telor siko, rokok sikok." Preman itu mengakhiri basa-basi-busa. **********
Tukang becak memarkirkan becaknya di depan warung pak Basir. Ia langsung berteriak.
"Sir! Nomor buntut kito keluar 352. Tapi aku idak masang. Aku nyesel nian, gara-gara aku ngantar ibu-ibu ke pasar Cinde, laju aku telat masang. Mati. Padahal aku nak masang lima ribu." Tukang becak itu langsung duduk menghadap pak Basir. Anaknya, Zelekha sedang mencuci gelas-gelas kaca dan mangkok-mangkok beling. Ia menguping dan merekam pembicaraan mereka. Macam-macam persoalan keluarga sampai persoalan politik dalam negri bahkan dunia.
"Ngopi, apa ngeteh, pak soleh?" Pak Basir seperti biasa menawari pembelinya.
"Biasa bae Sir," pak Soleh sambil merogoh bakwan goreng dan mewadahi cuka.
"352 menjadi kenangan dalam hidupku. Kalau saja aku dapat 352, aku langsung balik ke Jawo, Sir! Aku capek disini Sir. Di Jawa aku dulu, tukang becak di sini aku masih jadi tukang becak. Paling geser sedikit jadi kuli bangunan. Susah Sir hidup di negri surga ini. Malah yang jadi bandit bisa hidup kaya raya, harta berlimpah."
"Ai Pak Soleh, Kaya miskin samo bae. Masalah itu tidak bisa dibohongi, wong kecik, masalahnya kecik. Wong besak, masalahnya juga besak. Jadi pintar-pintar mencari kesempatan. Aku juga masang nomor tapi ke laut."
"Berapa nomor kau?" tanya pak Soleh.
"63."
"Nah, kalau angka 63 buat pasangan minggu depan atau kalau yang hariannya buat besok. Harapan aku ni tinggal di nomor buntut inilah. Kalau menang, berarti aku tidak lagi ngebecak. Aku nak beli motor atau bedagang."
"Ah... kau tuh jangan pacaknya berhayal. Kalau kau jadi tukang becak, jadilah tukang becak yang baik, jujur. Insyaalah kau diridloi Tuhan. Kalau diridloi tuhan pasti masuk surga!" Pak Basir meluruskan.
Pak basir melihat ada dua orang pemuda yang masuk ke warungnya. Salah satunya memegang gitar. Gayanya sepertinya mahasiswa, agak urakan.
"Minum kopi, teh atau susu?" tanyanya.
"Tidak pak. Kami mau ngamen, musikalisasi Puisi, boleh pak?" Dua orang itu sopan.
"Tentu. Silahkan. Aku suka puisi. Tapi nanti bayarannya mei rebus dan segelas kopi."
"Jadi!" jawab keduanya. Semangat.
Pemegang gitar itu langsung mengiringi kawannya yang terlebih dulu berpuisi sambil menggerak-gerakan badannya, menyesuaikan liriknya.
"Sangka kita dulu cuma kita orang tak punya./ Beli sepeda saja tak bisa untuk mengangkut gabah./ Sangka kita dulu cuma kita adatnya dianggap tak manusia./ Adat penunggu hutan tak tahu kejadian, tak mengerti soal lingkungan.// Dalam buku kuliah aku tahu banyak orang tak punya./ Tak punya air, tanah, udara sampai hutan rimba./ Aku tahu kini, negara kita pun tak punya apa-apa*.// Terimakasih."
Selesai Puisi orang yang berada di warung bertepuk tangan. Pak Basir menyediakan janjinya tadi.
* Surat Kepada Adek, Puisi Mulyadi J. Amalik: sastrawan kelahiran Tulung Selapan OKI, Sumsel . Puisi ini di ambil dari buku kumpulan puisi berdua "Komposisi Masyarakat Pasar dan Surat Perintah 21 Mei", karya Kiswondo dan Mulyadi J. Amalik
Kambang Ikan Palembang, November 2001
GELANDANGAN SAMBUT PEMILU
Jajang R Kawentar
Pardi dan Kirno seperti Romeo and Juliet, karangan William Shakespeare[i]. Kedua laki-laki itu sama-sama gelandangan. Umur mereka kira-kira antara 60 sampai 70 tahunan. Untuk mencukupi kehidupannya Pardi dan Kirno bekerja sebagai pemulung. (Setua itu? Di tanah air ini membiarkan orang-orang seperti mereka mati, sudah biasa. Walaupun jiwanya telah terlebih dahulu mereka bunuh. Sepertinya tidak ada sebuah organisasi pun yang perduli nasib mereka, kecuali karena imbalan uang, uang dan uang. Nasib ya nasib. Sungguh menggenaskan).
Disaat mendekati Pemilu hak suara mereka jadi rebutan dari beberapa Partai. Dengan berbagai macam bujuk rayu, rayuan gombal pulau kelapa, agar mau memberikan hak suara mereka kepada Partai-partai tertentu itu. Mencoblos gambar-gambar yang mereka ciptakan, dengan simbol janji-janji tak pasti: Habis manis sepah dibuang.
Seperti biasa sehabis Magrib mereka berdua sudah stand by di depan sebuah bank di jalan KH. Ahmad Dahlan. Tempat yang telah bertahun-tahun mereka tempati, bahkan sebelum bank itu berdiri. Bahkan sebelum Orde Baru, waktu itu baru menyusun siasat dan siasatnya kini telah busuk dimakan belatungnya sendiri. Demikian pun Pemilihan Umum yang selalu dijadikan trik intriknya, tinggal dua bulan lagi. Sore itu Kirno mengeluarkan baju kaos pemberian salah satu OPP, masih bau sablonan, selembar akta perjanjian dengan OPP tersebut dan uang lima ribuan lima lembar yang sudah lecet.
“No...no. Kamu itu mau saja diperalat,” kata Pardi sambil memegang pundak Kirno.
“Tapi bagus kan. Lumayan buat tidur, Di,” kata Kirno, melilrik Pardi.
“Kamu hanya dieksploitasi No. Karena kaos itu, kebebasan kamu untuk memilih jadi hilang. Sementara pemimpin yang kamu pilih lupa karena sudah dapat mobil, dapat uang gaji, fasilitas.....”
“Ya, daripada kamu Di, tidak mendapatkan apa-apa.”
“Aku mendapatkan harga diriku. Kita harus melihat pengalaman, No. Pengalaman!”
“Siapa tahu setelah pemilu 7 Juni 1999 nanti, kita mendapat pekerjaan. Aku juga belum tentu memilih Partai yang telah memberi kaos dan uang ini, Di.”
“Pemilu? Pekerjaan? Comro? Bull shit! Buat apa pemilu kalau hanya akan memilih pemimpin-pemimpin yang sama. Sama-sama bermental lintah, bermental penjajah, bermental tahi. Aku ingin tidak usah pemilu, tidak usah ada presiden, tidak usah ada negara. Karena negara, presiden, dan pemilu adalah upaya salah satu kelompok manusia untuk mencoba membuat klas dalam kehidupan manusia, dan membuat sistem yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok atau individu. Akhirnya akan muncul konplik perebutan kekuasaan dan kita yang jadi tumbal. Aku yakin itu. Kini yang kuinginkan adalah bangsa ini makmur, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang merasa tertekan. Semua manusia mendapatkan pekerjaan tanpa harus merasa hina dengan pekerjaannya dan rumah yang layak seperti layaknya seorang manusia yang merdeka.”
“Itu kan keinginan kami, Di. Orang kaya dan kelas menengah mana mau disamakan dengan kita. Gila. Tetapi menurutku, kalau soal harga diri, aku lebih baik dipenjara daripada jadi gelandangan. Disini keselamatanku terancam, mencari makan sendiri, itupun kalau kita dapat kalau tidak kita hanya dapat membiarkan perut ini kosong dan keroncongan. (Mana ada orang yang percaya aku kelaparan, melihat keadaanku saja mereka berusaha mengusirku). Di penjara, kita mendapatkan makanan yang cukup dan mendapatkan keamanan yang ketat seperti orang-orang penting. Disini kita hanya menunggu waktu tidak tentu.”
“Kamu itu No, yang dipikirin makan. Pikirkan tentang kebebasan, jangan cuma makan. Disini kita mendapatkan kemerdekaan, meskipun kita miskin, tidak punya rumah, tidak punya pekerjaan, tidak punya keluarga. Disini kita bebas No. Bebas euy!”
“Bebas, Di? Merdeka, Di? Tidak ada bedanya dengan penjara. Tidak. Bagiku disini tidak lebih dari penjara. Setengah dari umurku habis untuk menggelandang, sudah cukup bagiku. Sungguh aku manusia tidak berguna; tidak ada yang dapat aku harapkan kecuali kematian.”
“Jangan bicara kematian sebelum kita bergerak melawan ketidak adilan. Kematian akan datang sendiri tanpa harus kita memanggilnya, yang terpenting kita harus berjuang dan terus mencoba berjuang. Kemiskinan hanyalah soal duniawi.”
“Pendapatmu itu bagus, tetapi perutku tidak bisa kenyang dengan kemiskinan. Sesungguhnya aku punya keinginan untuk bunuh diri saja. Namun sebelumnya aku akan membunuh yang telah membuat bangsa ini sengsara sama sepertiku. Aku berpikir biarlah aku berarti untuk diriku sendiri. Dan biarlah aku hidup di penjara yang sesungguhnya.”
“Kirno. Kau kuanggap tidak hanya sebagai manusia tapi sebagai saudara, teman, dan kekasihku. Jangan cepat menyerah, apalagi putus asa. Kita harus berjuang bersama-sama, beri tahu semua orang kita harus berontak. Jangan biarkan hidup kita sia-sia tanpa makna dan diinjak-injak sesama. Kita harus berjuang. Hidup ini tidak untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk dinikmati bersama. Bersama-sama manusia manapun, tidak terkecuali. Kita harus bersatu, kita habisi! siapapun, dimanapun dan apapun namanya penjajah.”
“Akan kulepas kaos ini dan kupakai baju yang telah melekat dengan jiwaku. Mari kita bersatu, berjuang menuju hidup baru.” Kirno berteriak mengajak semua temannya berkumpul. Membuat barisan Gelandangan bersatu pemulung menyatu.
*****
Dibawah cahaya remang-remang lampu jalan yang terhalang pohon asam koranji penghijau jalan; terdengar suara riuh rendah para gelandangan penghuni depan gedung bank di jalan KH. Ahmad Dahlan - Menyambut Pardi dan Kirno - “Bersatu mari bersatu kita basmi musuh seperti kutu.”
Namun mereka kembali seperti disembelih dengan kata-kata pedih dari mulut Pardi.
“Saudara-saudara, siapapun yang ada disini pasti merindukan yang namanya kebebasan. Kebebasan dan kelayakan hidup. Tetapi kebebasan dan kelayakan hidup berarti sebuah pemberontakan. Disini, di tanah ini berontak berarti mati. Sebab beribu moncong bedil tentara itu telah siap memuntahkan peluru panas menembus jantungmu........”
“Di. Diam juga berarti mati dan tidak berarti sama sekali. Jasad kita, perut ini setiap hari selalu minta makan; minta diisi - tapi jiwa kita mati - sesungguhnya buat apa hidup ini? Dunia akan menertawakan kita.” Kirno dengan semangat kelayakan hidup.
“Menurutku:..” Kata Pardi. “Hal terpenting kali ini, kita harus menanamkan keyakinan pada diri masing-masing bahwa kita siap dan rela berkorban jiwa dan raga, harta dan nyawa demi kebebasan dan kelayakan hidup. Esok, rangkulah sesama kita untuk bekerja sama menyusun rencana. Sebab nilai kemanusiaan itu tidak lahir di gedung-gedung pencetak uang atau dari kepala yang berisi teori dan teknologi atau perut yang diisi empat sehat lima sempurna. Nilai kemanusiaan lahir dan mati di tangan kita, kaum yang tertindas.”
Kirno dan para gelandangan itu seperti makan pil exstacy, kepalanya tripping. (Itu artinya mengerti apa-apa yang diucapkan Pardi). Mereka mengangkat Pardi sebagai pemimpin mereka, meskipun tidak diucapkannya. (Hati merekalah yang mengatakannya: Tuhan kabulkanlah do’a kami. Berilah kekuatan untuk melawan setan-setan yang sarat menghadang perjalanan menuju tujuan kami yang suci ini. Amin).
Waktu telah membebani mata mereka menjadi lima watt. Malam larut dalam keinginan dua gelandangan tua dan penghuni depan bank di jalan KH. Ahmad Dahlan. Dihati mereka telah bersemi sesuatu yang memberi semangat hidup, perjuangan dan entah apa lagi yang mereka rasakan, mungkin semangat untuk bersatu, mungkin cinta kasih pada sesama.
“Sesungguhnya, kita menuntut kebebasan dan kelayakan hidup itu adalah sifat manusia untuk menguasai dunia. Dari tuntutan ini sudah pasti ada kelompok manusia atau individu yang akan menjadi korban. Seandainya ada yang menjadi korban, berarti kita telah menjadikan diri kita, manusia yang tega mengorbankan manusia lain demi keinginan kita.” kata Pardi.
“Lho, kita kan menuntut hak yang sama sebagai manusia. Kita hidup begini karena sistem mereka salah, merugikan kaum lemah. One for all, all for one, itu lebih baik. Dan kalau bukan diri kita yang menuntut siapa lagi? Siapa ? Kaum buruh, petani kecil akan tambah sengsara, apalagi kita kaum gelandangan sebentar lagi mati. Apakah mereka memperdulikan kesehatan kita? Apakah mereka tahu kalau kita belum makan? Tak seorangpun yang perduli, Tuhan tahu itu.” Kirno emosi tidak tertahankan. Kaos yang sejak tadi dipegangnya di simpan di tengah kerumunan. Dia menyalakan korek dan membakarnya. sambil bekata: “Untuk awal sebuah perjuangan, mari kita bakar semua kaos bergambar - mari kita bersama menuju cita-cita suci! Cita-cita Suci dari kebebasan dan kelayakan hidup ini.”
Tanpa perintah mereka membuat lingkaran mengelilingi api dari kaos. Asapnya menebar bau kaos baru, bau sablonan yang gosong, bau gambar kaos itu terbakar, membuat mereka muntah cacing dan belatung atau mie ayam campur tele. Busuk. Habis itu ngorok.
*****
Matahari terbit menyirami tubuh-tubuh tergolek penuh debu, yang terbungkus pakaian seperti dilumuri lumpur. (sebuah saksi hidup dalam menghadapi, menjalani, mencari bak sampah; sesuatu yang dicari dari situ: sampah yang dapat menjelma menjadi uang dan menjadi makanan dan menjadikan perut mereka merasa kenyang). Para gelandangan itu sepertinya sehari mandi sekali, mungkin tidak pernah sama sekali atau semaunya sendiri. Nampak kumuh indah sekali. (Pemandangan dengan warna kontras: gelandangan dengan gedung bank yang megah. Antara yang kaya makin berkuasa dan yang miskin terancam mati). Orang-orang yang lalu-lalang terbiasa dengan pemandangan cengeng seperti ini; melihat wajah-wajah yang menjerit dan merintih: “Berilah pekerjaan, berilah kami bimbingan, Tuan!”
Pagi itu. Pagi yang cerah. Pardi telah lenyap. Gelandangan tua itu ditemukan temannya terbujur di pinggir kali dengan dada telanjang dan penuh lubang bekas peluru. Pardi mati membawa cita-cita suci. Sebuah perjuangan sangat lekat dengan pengorbanan. Perjuangan Pardi baru mulai, digantikan nyawanya sendiri. Pardi meninggalkan api semangat di dada Kirno dan di dada para gelandangan penghuni depan bank di jalan KH. Ahmad Dahlan. Pardi nasibmu ditembus peluru, kau hidup menanam rasa cinta diantara kami, kau mati menebus perjuangan kami. Tuhan membawamu pergi dan hidup kembali menjadi seribu Pardi, sejuta, seratus juta......: bersatu menuntut kebebasan dan kelayakan hidup.
*****
Jodo, pati, bagja jeung cilaka, ngahiji dina kakawasaan nu murbeng alam.
Jodo, mati, bahagia dan celaka, menyatu dalam kekuasaan yang maha kuasa penguasa alam.
Kematian dan kecelakaan tidak ada yang menginginkannya kecuali orang tidak waras: yang memuja dirinya pada putus asa dan dunia; serakah. Walau begitu kematian dan kecelakaan tidak dapat dihindari, demikian juga yang terjadi pada Pardi yang hidupnya menggelandang. Gelandangan tua itu mati mengenaskan dengan beberapa peluru bersemayam di dadanya. “Kasihan” itulah kata yang terlontar dari setiap mulut yang tahu kematian Pardi.
Peluru itu telah memutuskan segala kehidupannya, dunianya; hal kecil itu telah telah memisahkan nyawa dari kurungannya. Disaat hidupnya mulai hidup - bergairah; disaat eksis sebagai manusia ia menjadi hilang makna. Dulu jiwanya sekarang nyawanya. Sepertinya pembunuh Pardi itu kurang puas melihat penderitaan yang dirasakan gelandangan itu. Orang-orang hanya dapat mengatakan kasihan dan terkadang menyalahkan Pardi: (Dia menjadi gelandangan karena dia tidak mau berusaha, kalau mau berusaha - bekerja keras tidak mungkin menjadi gelandangan). Tanpa mau tahu permasalahan yang dimiliki Pardi dan kawan-kawannya, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk meraih mimpi-mimpinya layaknya rakyat yang merdeka.
Entah tentara mana: (detektif swasta atau pembunuh bayaran), yang telah melepaskan peluru dari sarangnya ke dada Pardi. Nasib tak dapat disangka; begitulah adanya; datang dan pergi semaunya. Ketika ingin merubah nasib, Pardi telah menerima resikonya. Keinginan itu; membebaskan diri dari kemiskinan yang menghimpit hidupnya; nyawa taruhannya.
Mayat Pardi dievakuasi polisi, Tidak seorangpun boleh mendekatinya apalagi menyentuhnya. Padahal dia tidak ingin dan tidak pernah berurusan dengan polisi, kematiannya malah diurusi polisi. Ada beberapa polisi berdiri disamping bangkai Pardi, berjaga-jaga. Dipinggang sebelah kanannya terselip pistol dan disebelah kiri pentungannya menggantung berwarna hitam kelam, kakinya berselimut sepatu lars. Dipikirnya mungkin bangkai itu akan kabur atau melawannya. Polisi itu sebetulnya meluruskan atau meneliti sebab-sebab kejadian supaya pelakunya dapat diusut dan ditindak sesuai hukum.
*****
Rumor beredar di koran, di radio, di tv, Pardi dihabisi oleh sekelompok penjahat bersenjata, mungkin pembunuh bayaran yang dibayar pemerintah. Tidak jelas apa kesalahan Pardi. Desas-desus mengungkapkan bahwa Pardi ketua kelompok bawah tanah yang akan mengadakan kudeta. Jelas ini sangat bertentangan dengan pemerintah karena itulah dia mati. Pemerintah sangat takut dengan yang namanya persaingan, kematian Pardi mungkin merupakan salah satu program mereka. Biasa rekayasa politik, berita disimpang siurkan.
Pardi orang yang dituakan dalam kelompok gelandangan penghuni depan gedung bank di jalan KH. Ahmad Dahlan. Dia merasa pemerintah sangat bertentangan dengan hak hidup yang mereka terima. Pembangunannya tidak memperhatikan kehidupan rakyat seperti dirinya. Dia tidak akan mengadakan kudeta, dia tahu betul posisi dirinya; seorang gelandangan. Apalah artinya seorang gelandangan tua seperti Pardi dibandingkan dengan satu batalyon tentara dan tank. Pardi dan kawan-kawannya hanya akan menuntut hak-haknya sendiri: Kelangsungan hidup dan kelayakan hidup.
Rupanya keberadaan kelompok kecil itu tidak berkenan di hati pemerintah; mengganggu. Mengganggu pemandangan, jalanan. Barangkali telah mencoreng wajah pemimpin tertinggi, karena dianggap tidak mampu memimpin rakyatnya dan mensejahterakannya. Mereka tidak malu dengan ketidakmampuannya, mereka malah menyalahkan ketidak mampuan masyarakat seperti Pardi.
Memang begitulah kenyataan: Pemegang kekuasaan selalu merasa benar sendiri;. Dalam menjalankan roda pemerintahan atau dalam memberikan kebijakan. Kesalahan terhadap rakyatnya dianggap kewajaran sebagai manusia. Tetapi kalau rakyatnya menuntut haknya dianggap suatu kesalahan. Bahkan bila rakyat melakukan kesalahan kecilpun, tidak dianggap suatu kewajaran sebagai manusia malah dianggap suatu kesalahan besar bahkan dianggap fatal atau berbahaya; membahayakan - mengganggu jalannya roda pemerintahan. Entah siapa sebenarnya yang telah bersekutu dengan setan, hanya Tuhanlah yang tahu.
*****
Hari itu Kirno bersama konco-konconya, tidak melakukan pekerjaan seperti biasanya. Hari itu mereka kehilangan kesempatan untuk makan. Mereka tidak lagi merasakan perutnya; Usus yang terus bekerja menggiling, melilit-lilit mencari yang namanya makanan. Mereka hanya merasakan hatinya yang terbakar, hangus. Nyawa dan rasa mereka sepertinya menyatu dengan Pardi, dadanya ikut tertembak.
Para gelandangan itu semakin percaya dan sangat terpukul dengan apa yang pernah diucapkan Pardi seperti palu. Semangat Pardi telah menjalar di sekujur tubuh para gelandangan depan bank di Jalan KH. Ahmad Dahlan, bahkan semangat itu telah mereka tularkan pada gelandangan-gelandangan lainnya di kota itu untuk membuat dan membentuk sebuah kekuatan. Kekuatan yang dapat melawan dan menghancurkan berbagai bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan.
*****
Pada malam hari setelah kematian Pardi, Para gelandangan berkumpul kembali di tempat biasa. Banyak sekali kawan-kawan Pardi dan para gelandangan yang perduli atas kematian Pardi. Kedatangan mereka hanya membawa satu rasa dalam hati mereka: habisi pembunuh itu atau orang yang harus bertanggung jawab terhadap kematian Pardi. Karena mereka pikir kalau dibiarkan tentu kepala atau dada mereka akan kebagian peluru juga.
Kirno sahabat Pardi curiga; pasti ada seseorang yang melaporkan pada agen pemerintah tentang pembicaraan antara dirinya dengan Pardi dan kawan-kawannya di malam itu, berarti pembunuh Pardi kemungkinan agen pemerintah. Kirno tutup mulut, dia harus menyelidiki sendiri, siapa yang berani melakukan itu. Kirno dikagetkan oleh seorang pemuda yang datang padanya.
“Mas, sebaiknya orang-orang ini dibubarkan saja, jangan berkumpul terus disini, Nanti penembak itu pasti datang lagi. Saya takut. Bagaimana kalau menculik mas Kirno?”
“Apa yang akan diharapkan dari saya. Harta benda?, aku tidak punya. Saudara?, tidak ada. Yang memperdulikan saya, juga tidak ada. Jadi akan saya tunggu dengan senang hati dan akan saya tantang budak penjajah itu! Berani mati, Aku tidak takut,” kata Kirno. Pemuda itu diam, seperti orang bego. Pardi menyambung kata-katanya: “Kita sebagai sesama pemulung atau gelandangan harus saling bantu dan bersatu. Jangan sombong atau merasa lebih baik. Kita harus menyadari bahwa kita orang lemah, miskin dan kecil. Jadi kalau kita terpecah; sendiri-sendiri akan sangat mudah untuk disingkirkan oleh orang yang mempunyai kepentingan atau kekuatan dan kekuasaan. Kita harus bersatu supaya kita dapat bertahan dan melawan setan-setan itu. Ngerti anak muda? Karena saya sudah tua, suatu saat kamulah yang harus meneruskannya.” Pemuda itu seperti ketakutan. Jangan-jangan dia itu banci atau itelejen swasta atau cecunguk penguasa.
*****
Kirno mengajak para pemulung, gelandangan, pengamen, penduduk lokalisasi dan kawan-kawannya yang hadir untuk berkumpul dan membuat api ungun. Suasana depan bank di jalan KH.Ahmad Dahlan berubah seperti suasana pesta tujuh belas Agustusan.
“Kawan-kawanku, kita bergabung dan berkabung. Di tempat ini, tempat bersejarah bagi kita, tempat pahlawan kita Pardi dan tempat kita semua berkumpul serta bersatu.” Riuh rendah suara sorak sorai dan tepuk tangan gelandangan yang datang. Kirno meneruskan lagi pembicaraannya:
“Kawan-kawan seperjuangan, kita tidak boleh tinggal diam, kita harus terus menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kebiadaban ini dan menghukum pelakunya. Setujuuu?!!”
“Setujuuu.....!”
“Setujuuuuu!!!”
“Setujuuuuu...........!” Mereka kompak dan semangat, karena mereka sudah tidak sabar menanti dan menanti-nanti keadilan ditegakan. Serta hak mereka dipenuhi, kemerdekaan dihargai. Seandainya dapat ikut dan menghadiri pertemuan kawan-kawan Pardi ini, akan terasa haru. Betapa hidup ini, banyak tekanan, rintangan dan cobaan. Kemerdekaan belum sepenuhnya dapat dirasakan. Selama tidak ada yang memperjuangkannya barangkali akan sulit mengetahui kapan berakhirnya.
Sebagai rasa keprihatinan dan kepedulian atas gugurnya Pardi, mereka bersama-sama menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan yang bertemakan sosial atau karya-karya mereka; pengamen jalanan. Diselingi pembacaan puisi atau ungkapan-ungkapan batin mereka. Sesekali disela pembacaan puisi dan diakhir nyanyian; tepuk tangan serta yel yel terdengar “Hidup Pardi! Hidup kebebasan! Hidup! Hidup keadilan! Hidup kelayakan hidup! Hidup!” Dijawabnya dengan serempak “Hiduuuup.......!” Mereka bersama sama bernyanyi:
Indonesia tanah air beta//Pusaka abadi nan jaya//Indonesia sejak dulu kala // tetap dipuja-puja bangsa// Di sana tempat lahir beta // dibuai dibesarkan bunda//Tempat berlindung di hari tua// Tempat akhir menutup mata.
“Inilah tanah kami, tapi kami tidak punya tanah,” kata seseorang dengan lantang di panggung pertunjukan itu.
Ku lihat Ibu pertiwi//sedang bersusah hati//Air matanya berlinang//emas intan yang kukenang//Hutan gunung sawah lautan//simpanan kekayaan//Kini kami sedang lara merintih dan berdo’a.
“Kami tidak lagi merintih, kami sudah berdo’a, kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Demi keadilan, demi kebebasan, demi rakyat seperti kami, demi kemanusiaan, demi rintihan ibu pertiwi, demi dunia dan demi Tuhan; kabulkanlah. Amin,”
Sungguh mengharukan dan menyayat hati, lagu dan puisi itu diiringi dentingan suara gitar kopong pengamen. Sebagian dari mereka tidak ragu-ragu mencucurkan air matanya.
“Tidak sedikit orang yang tidak pernah mencicipi hasil dari jerih payahnya, tetapi kuping mereka mendengar gembar-gembor hasil pembangunan dan kemerdekaan.”
Nyanyian dan puisi mampu mengompori hati mereka yang kehilangan kawannya untuk membasmi lawan serta mempererat tali persaudaraan diantara mereka. Darah encer yang tercecerpun menjadi beku. Nyanyian-nyanyian yang mereka lagukan dan syair puisi yang mereka bacakan telah membakar jiwanya: betapa pentingnya bersatu, melawan musuh yang bersembunyi dibalik undang-undang yang mereka bikin sendiri. Tabu, sakral bila menyentuhnya. Undang-undang menjadi seperti Tuhan yang tidak dapat berubah apalagi dirubah. Padahal semua orang tahu kalau itu adalah tempat persembunyian para penguasa dan pengusaha. Dibalik itu tersimpan niat busuk, tangan-tangan kotor, tempat prostitusi pemerintah terhadap rakyatnya.
“Kalau tidak berbuat janganlah marah, apalagi tersinggung, biasanya yang berbuat suka tersinggung dan marah. Dan banyak alasan lainnya.”
*****
Acara diakhiri dengan berdo’a, kembali Kirno meminta kawan-kawannya berkumpul dan berdiri semuanya, kecuali yang cacat.
“Saudaraku semua, inilah pentingnya kebersamaan, persaudaraan dan persatuan. Kita sama, sama-sama manusia. Kita harus saling menghargai antara satu dan lainnya, apalagi kita semua tersisihkan, tertindas, jangan bercerai-berai kalau kita ingin maju, kita harus tolong-menolong dengan siapapun yang membutuhkan pertolongan kita tanpa pandang bulu. Dan yang terpenting kita harus bersatu. Setujuuuu!!!”
“Setujuuuu........!”
“Untuk kepergian Pahlawan kita, marilah kita berbagi dan memberi, tidak usah dengan harta tapi cukup dengan do’a saja. Untuk Pahlawan Pardi yang kita cintai berdo’a mulai.” Suasana menjadi sepi, dingin, beku, seperti suara jangkrik keinjek. Bulukuduk pun berdiri.
“Jaaangan bergerak, semua diam ditempat.” Tiba-tiba terdengar suara berteriak dari megapoon dan suara letusan pestol lima kali. Mereka telah dikepung oleh sekelompok orang berpakaian preman dan bertopeng.
“Barangkali orang-orang inilah yang telah membunuh kawanku Pardi.” Kirno bicara dalam hatinya. Dia berbisik kepada orang yang disampingnya:
“Kita bersama serang mereka, setelah mereka mendekat. Bisikan secara estafet, cepet.” Bisikan itu segera menyebar sesegera preman-preman bertopeng itu mendekat.
“Serbuuu.....! Seru Kirno. Mereka yang hadir di depan bank jalan KH. Ahmad Dahlan menyerang preman-preman bertopeng itu. Mereka tidak berkutik karena mereka tidak mengira kalau kaum tersisih dan tersingkirkan itu akan menyerangnya, melawannya. Kirno mengincar salah seorang dari komplotan preman bertopeng. Kirno memukulnya dari samping menuju rahang, duk..duk sekuat tenaganya. Dua tinju Kirno cukup menggoyahkan, dia tahu betul cara melumpuhkan musuh. Lalu dia membuka topengnya, tidak salah pemuda banci cecunguk itu.
*****
Musuh dalam selimut. Dalam selimut ada musuh, musuh itu kutu busuk dan kutu busuk itu intelegen yang menyusup dalam acara solidaritas kematian Pardi: gelandangan tua renta yang jiwanya membara membakar dada kawan-kawannya. Kutu busuk itu kini tidak berdaya ditangan kirno;sahabat Pardi. Orang-orang disana heran; setua kirno dapat melumpuhkan pemuda tegap gaya tentara sewaan, hanya dua pukulan pada rahangnya. Roboh. Tulalit. Mekro. Bego. Peko. T.K.O.
Semua bengong setengah tidak percaya tapi nyata. Seperti pukulan Si leher beton Mike Tyson, pada ronde awal. Lawannya tersungkur tidak ingat apa-apa, pingsan. Demikian juga intelegen itu bobo, biar lebih puasnya barangkali dia itu gegar otak penasaran. Mungkin intel amatiran, cetek ‘oe. Tapi mungkin juga intel disini cetek ‘oe semua.
Kirno dan kawan-kawannya membawa intel tulalit kesebuah tempat yang tersembunyi. Kaki dan tangan intel itu diikat mulutnya disumpeli kertas-kertas bekas hingga samutut. Malang benar-benar memang malang, nasib intel itu dan orang-orang nyukirinnya. Pasti dia menyesali pekerjaannya itu; seperti orang dungu. Ya ya ya, hanya orang orang dungu yang mau bekerja begitu: mengintai rahasia orang. Dia itu bekerja untuk sebuah dosa, dosa dan dosa. Membangun gudangnya dosa, inilah contoh calon arang yang menjadi bahan bakar untuk membakar dirinya sendiri. Tolol total.
Pemuda bertopeng itu belum juga siuman, mungkin dia molor atau ketiduran atau keenakan. Kirno dan kawan-kawannya bingung. Kutu busuk itu mati atau pingsan?
“Mungkin dia pura-pura kang, cari perhatian agar dikasihani.”
“Ya. Mungkin saja begitu.”
“Tapi detak jantungnya tidak ada.”
“Apa dia kena serangan jantung?”
“Mungkin dia jantungan.”
“Ya. Ini serangan jantung,................atau stroke?
“Ya, mungkin itu!”
“Yang jelas dia kena tinju kang kirno. Ya toh kang?
“Hebat ya. Saya tidak menyangka kang kirno bisa tinju?”
“Heh, bukan begitu. Ini pembalasan Tuhan pada orang yang mencoba menjadi kaki tangan penguasa yang merampas hak rakyat rendah.”
“Apa kang Kirno punya ajian - Pukulan Seribu Petir atau jurus Palu Kehakiman.”
“Hussst cocote, semplak. Anak-anakku jaga cecunguk ini, jangan sampai lenyap! Kalau kalian tidak ingin mengulangi kesalahan, sebab kuncinya ada padanya.”
“Tewas! Tewas kang!”
Jantung Kirno dag-dig dug seminggu sekali, dia ketakutan kalau benar pemuda bertopeng itu mati. Dia mencoba menenangkan diri.
“Tidak, tidak, dia hanya mati setengah-setengah mati. Tidak apa-apa.”
*****
Kirno kembali ketempat acara semula. Dia melihat semua orang menghajar preman-preman bertopeng sampai setengah mayat. Mereka bangga dapat menendang, memukul, melempari preman-preman itu. Sepertinya mereka belum lunas membayar kesakitan yang dirasakan Pardi. Mereka terus menghajarnya. Sampai tewas itu keinginannya.
“Berhentiiiiiii....!!!!”
Semua mata menangkap Kirno yang berdiri seperti di atas podium. Sepi. Hening. Beku. Hanya Kutu busuk-kutu busuk merintih - kasihan, badannya bengkak semua, darahnya bocor dari sana-sini: dari hidung, kepala, telinga , mulut, lutut. Yang pasti hatinya terluka. Menyesali pekerjaannya. Cengeng, mewek, nyengir.
“Aduh emak
Aduh bapak
Aku kapok
Aku bonyok
Dikeroyok
Dibacok
Di tonjok.
Aduh emak
Aduh bapak
Aku kapok
Aku Goblok
Sungguh mati
Aku disakiti
Sayang!
Aku ditendang
Diranjam
Aku tolol
Sungguh tolol
Sampai ngompol.”
Preman-preman itu seperti anak kecil, badannya saja yang besar. Otaknya, jiwanya persis anak BALITA. Mereka suka bernain karet, mempermainkan orang, mempermainkan nyawa orang, apalagi nyawa binatang.
*****
Lantang terdengar suara Kirno seperti menampar-nampar semua orang.
“Kawan-kawan yang kusayang, ikat saja tangan dan kakinya cecunguk itu. Seperti mereka mengikat jalan hidup kita. Mulutnya sunpeli dengan kotoran dan kertas-kertas bekas; karena mereka bosan disumpeli dengan makanan luar, uang dan dolar.”
******
Pada hari Pemilihan Umum, Kirno dan kawan-kawan masih berkumpul di depan bank yang bangkrut tersebut.
Setelah kejadian heroik semalam dalam acara solidaritas Pardi, seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada tanda-tanda ada polisi atau cecunguk yang kelinongan di sekitar daerah itu, seolah daerah tersebut telah berada dalam kekuasaan mereka kaum gelandangan. Daerah merdeka. Barangkali para polIsi dan serdadu-serdadu itu mikir jungkir balik bila menemui mereka, jangan sampai mati kutu atau mati konyol.
“Kamu mau nyolok Golkar, Su?” Kirno nanya kang Suhao yang lagi ngelamun, Ia sekarang punya penyakit stroke dan jantungan, Ia jadi sering bengong kayak orang bego. Kirno sangat kasihan padanya, tadinya dia Nihilis yang pasif itu (takut menghadapi realitas hidup), hampir saja dia bunuh diri dan masuk RSJ (Rumah Sakit Jiwa), “bodo kok diingu?” Akhirnya dia menjadi seorang kapitalis sejati yang gagal, dia juga pejabat yang korup: dipecat tidak hormat dari jabatannya, keriput karena dosa-dosa yang pernah dibuatnya, kini Ia jatuh miskin, penyakitan, kini ia sadar dan bertobat. Ia benar-benar nihil. Kirno ingat ketika kali pertama mengenalinya. Dia ketemu diwarung koboy, malam-malam.
“Namaku Kirno, namamu?”
“Aku, Suhao,” di mulutnya penuh tempe bacem panas. Kirno mengerti, apa maksud yang ingin Ia katakan itu.
“Namamu bagus, seperti nama seorang Jend-K (jendral Kancil).”
“Kamu nyoblos Bintang kuning, hijou atau abang, No?” tanya kang Suhao.
“Kamu pasti gambar Babi ngepet ya? tanya si Ujang.
“Pemilu harus Luber (langsung umum bebas dan rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil), pilih partai yang mengerti keinginan kita, inga-inga, ting,” iklan di radio nongol.
“Jangan pilih partai yang memilih pemimpin dungu, dan yang telah teruji kedunguannya. Itu namanya tolol bin mohsu bejeh!”
“Apa kita mesti nerimo, pemerintahan ilegal di mata rakyat? Apakah kita harus nerimo hasil pemilihan umum nanti?”
“Itu urusane tokoh politik, kita ora usah melu-melu, Jo!”
“Lho kita juga berhak sebagai warga negara ya toh, ya toh? Itu kan menyangkut kita-kita kabeh ya ora? Apa orang seperti saya tidak dianggap warga? Asu!”
“Lho kowe kok nesu karo Aku, Jo? Kowe nantang Aku ya?” Kang Suhao si tua bangka itu bangkit dan mengayun-ayunkan kerangka tulang tangannya.
“Su, sorry Su. Bukan maksud hati menyakitimu sayang, tapi sama pemimpin-pemimpin kita itu lho. Ngerti Su?” Suhao diam seribu kata, dia malu seperti punya kemaluan di jidat.
******
PEMILU BERLALU. Tragedi depan bank di jalan KH. Ahmad Dahlan berbekas, mengukir hati setiap gelandangan disana. Menggoreskan luka dalam dada mereka. Kini mereka seperti orang-orang merdeka, memenangkan suara hatinya, berdiri di depan bank bangkrut. Tikus-tikus kecil dan cecunguk busuk telah mereka bebaskan dengan syarat berpihak pada mereka, kaum tertindas. Nyali tikus kecil dan cecunguk busuk itu termakan nyalinya sediri, mengkerut, takut, jadi kentut.
“Siapapun orangnya yang berani mempermainkan rakyat kecil akan buruk akibatnya. Dalam hidupnya akan dikejar-kejar setan.”
“Siapapun yang jadi pemimpin harus yang mampu berbuat adil dan bijaksana, yang mampu menegakan hukum. Apakah Susilowati bakul jamu itu atau Habibun Gofar tukang obat batuk dan obat serangga dipasar, kami silahkan memduduki kursi kepresidenan. Kalau, kalau dia mampu, siap dan bersedia mempertanggungjawabkan bangsa dan negara, dan terhadap generasi yang akan datang, yang akan menggatikan mereka.”
“Lu kayak anggota MPR DPR saja Su?”
“Provokator!”
“Emangnya gua nggak boleh ngomong Le? Tele! Katanya Demokrasi, Reformasi?”
“Siapa bilang nggak boleh? Tapi kowe cocok jadi anggota MPR DPR dari utusan golongan gelandangan, swear deh.”
“Ah, lu bisa aje Jo. Aku jadi isin.”
“Iya, ya. Ape udeh ade belon utusan gelandangan ya?”
“Kowe ojo ngimpi Le! Ngimpi disiang bolong!”
“Justru karena itu, mimpi itu harus jadi kenyataan Su!”
“Aku punya ide. Kalau kita ingin ada utusan golongan dari kita, kita mesti menuntut KPU. Kita juga punya hak untuk itu, ya ora?
“Yo’i.”
“Yo’i, yo’i. Jangan lupa, ada agenda kita yang paling penting, yaitu menuntut diusut tuntas pelaku pembunuhan terhadap Pardi, Marsinah, Udin dan korban penculikan dan banyak lagi,” Kirno mengajak mereka berkumpul untuk mengadakan atau mewujudkan idenya itu. Mereka membentuk setengah lingkaran, berbisik-bisik. Kopi pahit dalam gelas yang biasa dipakai es teh atau es jeruk diletakkan Karjo di tengah-tengah setengah lingkaran itu.
Kirno seperti ketua umum MPR DPR duduk di tengah-tengah setengah lingkaran, seperti nasi tumpeng yang siap dicomot. Dia berusaha selalu di tengah-tengah, bukan saja di tengah-tengah lingkaran tersebut tetapi di tengah-tengah masalah yang sedang mereka hadapi. (Sorry lho, ini bukan MPR DPR Indonesia yang baru dilantik) tetapi Ketua MPR DPR Gelandangan dan komunitas depan Bank yang dilikuidasi di jalan KH. Ahmad Dahlan. Para gelandangan itu berencana membuat suatu negara, kalau mereka tidak berubah karena tidak ada perhatian dari pemerintah.
“Apakah perlu kita mengadakan pemilihan presiden dan wakilnya, supaya kita mempunyai orang yang mampu memperjuangkan hak kita di muka birokrator-birokrator tolol total itu?”
“Untuk apa milih Presiden dan wakilnya, kalau kita tidak bersatu dan tidak saling menghargai.”
“Wah wah wah, dul jabar dul, bar jabar bar-bar. Sebaiknya kita lebih banyak belajar dulu tentang kasing sayang, cin jabar cin, ta jabar ta = cinta.”
“Ah, untuk hidup apa adanya saja dibikin sulit sih?”
“Bukan, bukan sulit, tetapi kita tidak terbiasa dengan hal apa adanya itu. Apalagi mau toleransi atau menghargai orang lain, ya toh?”
“Ya Tuhan. Kenapa kalian ini masih ngomongin masalah-masalah yang tidak akan ada akhirnya itu? Lebih baik kita kerja-kerja-kerja, jangan nggosip dan ngerumpi, kaya orang kaya lagi arisan, arisan pemuda macho co conge atau arisan perempuan binal, binale seni rupa, rupa-rupa air kencing dan tainya.”
“Husst. Ojo ngawur lho! Nanti ada toke-toke yang denger. Nanti Kowe dicemeti lho sama cemeti.
“Pake hitam siapa takut? Yang penting punya order, banyak pesanan berarti dolar mengalir ke kantong, ya toh? Yang penting kan uang. Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang.”
“Ah, dasar lu mata duitan aje lu. Tai kambing lu embat juge. Tae lu!”
“Tai kambing sih ora apa-apa, ini nyawa rakyat diobok-obok. Dimana rasa kemanusiaannya. Su?”
“Goblok. Tidak ada manusia yang berbuat seperti itu terhadap manusia lainnya. Pasti yang melakuakn itu setan atau binatang.”
“Ooooh, berarti setan atau binatang yang berwujud wanusia, begitu mas?”
“Yo’i man. Yo’i coy. Ha ha ha......”
“Kawan-kawan, masihkah ada yang punya gele atau anggur kolesom? Saya sudah lama tidak mabok?”
“Ini kebiasaan lama masih melekat, reformasi atau revolusi man?”
“Sini kalau pengen mabok, ta tutuk ndasmu itu!”
“Ojo ngono kang, dulu juga kamu begini kan?”
“Wis wis, apa tidak ada pembicaraan lain, yang lebih menarik. Bagaimana Presiden dan wakilnya itu, apa perlu atau tidak coy?”
“Cay ciy cuy cey coy......kentut lu isep. Dasar lu tetek bengek tetek kebo tetek-tetekkan.”
“Jangan ngomong saru, malu sama ibu.”
*****
Pembicaraan mereka semakin ngalor ngidul ngulon ngetan, kalau benang barangkali sudah kusut. Sudah tidak terlihat ujung pangkalnya dimana dan kemana. Kirno masih di tengah-tengah setengah lingkaran, tidak ada perubahan kedudukan, dari sekian lamanya, keadaan masih tetap utuh seperti semula, tidak ada yang berubah kecuali air minum yang surut dan rokok yang pendek karena di sedot. Sedot ah sedot. Asapnya di semburkan ke langit, seperti membuang rasa kesal, membuang sial dan membuang rasa kecewa pada pemerintah yang telah berbuat tidak adil padanya. Asap itu pergi melebur dengan angin dan lenyap seketika angin itu menghantam, tanpa bekas. Sekejap sunyi senyap, manusia-manusia yang menghadap kang Kirno seperti asap dihantam angin.
Kirno diam seribu bahasa. Di tangannya terselip rokok kelobot, terkadang dia mengerutkan keningnya dan mengurut-ngurut dengan tangan kirinya. Secangkir kopi telah di seruput mulutnya separonya. Dia tampak seperti kebingungan menghadapi perjuangan yang masih panjang atau mungkin dia sedang menikmati kopi rasa jagung dengan rokok kelobotnya, atau bayangan Pardi ayun-ayunan di pelupuk matanya dan bermain kelereng di dalam pikirannya. Tetapi mungkin saja Pardi di dalam kuburnya sedang menyusun siasat yang namanya: siasat dalam kubur atau dendam dari kuburan.
“Huhuhahaha ha ha.....” Tiba-tiba Kirno berdiri dan tertawa keras sekeras-kerasnya seperti pakai toa serta ehco. Kirno kesurupan setan atau jurig jarian, tetapi tidak mungkin, sepertinya arwah Pardi menyatu dalam jiwanya, yang jelas Pardi dan Kirno punya keinginan sama, hidup yang layak selayaknya orang yang merdeka dan negara yang merdeka. Keluar dari kemiskinan dan tekanan pemerintah.
“Cita-cita bukan hanya slogan, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan. Kawan-kawan seperjuangan, kita harus menggalang kawan terdekat kita untuk bersama-sama berpikir dan memecahkan masalah yang selama ini mengelilingi kita. Bergerak adalah kunci utama menuju perubahan. Apapun bentuk penjajahan harus segera kita hentikan. Mari kita bergabung untuk meruntuhkan ketidakadilan dan dari detik ini kita bergeraaaakkkk........bergeraaaaakkkkk.........bergeraaaaaakkkkkkk kawan. Jangan berpangku tangan seperti konglomerat saja, jangan bengong seperti orang bego saja, bergeraaaaaakkkkk.....” Tamat. Yogyakarta, 1998
mbesok ada cerita yang lebih seru lho! Lebih erotis ah ah ah.....SAM
Jajang R. Kawentar
Hampir dua Repelita, Sam tidak menginjakan kaki ke rumah ibadah, apalagi duduk - konsentrasi - memanjatkan doa, berserah diri pada Tuhan. Selama itu ia tidak sempat, entah tidak menyempatkan diri. Sibuk: urusan arisan, urusan kekerasan, rekayasa, dan penculikan. Padahal setiap hari ia selalu melewati depan rumah ibadah itu, dengan mobil mewah serta istrinya; simpanannya. Ia sebenarnya rindu pada Tuhan, rindu berat. Kangen yang tak terbatas kangen. Tetapi ia yakin: Tuhan tidak minta disembah, apalagi dimintai pertolongannya.
Sam duduk di kursi malas, di teras belakang rumah villanya - di pegunungan Cendana. Memandang alam yang telanjang dan tampak perawan. Nafsu birahinya memuncak: ingin memilikinya. Bagi dia; palau, lautan, segala yang terkandung di dalamnya dan apapun dapat dibelinya, kecuali Kasih sayang Tuhan.
“Tuhan, aku tidak bermaksud melupakanMu, sayang. Aku tahu Engkau selalu hadir disaat aku membutuhkanMu; disaat butuh uang untuk bayar utang, disaat aku lapar, ketika bersedih karena istri meminta anak bungsu; simpananku meminta mobil baru, dan disaat-saat seperti ini. Mengapa hampir dua Repelita Engkau seperti membenciku, tidak memperdulikan aku lagi? Apakah karena aku diusir dari jabatan penting itu? Tentu Engkau lebih tahu, kalau aku sebetulnya masih menginginkan jabatan itu. Ini bukan salahku, salahkanlah orang-orang yang telah berpaling dariku itu.”
Darah muda Sam bergelora kembali, seperti ketika sumpah Pemuda-Pemudi Nusantara berkumandang pertama kalinya di Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Entah sadar atau tidak, kalau kini kulitnya keriput, penglihatannya gurem; kacamatanya double, organ tubuhnya mendekati titik kulminasi renta. Umurnya mendekati liang kubur. Dia terancam oleh gelombang amuk masa dan maut yang akan menyabut.
Dia sadar Jabatannya tidak menjamin hidup makmur, dapat menolak maut seperti ketika menolak akan diperiksa atas kasus HAM dan KKN. Dia tidak rawan pangan, bahkan berlimpah ruah, hanya saja ia rawan moral. Tipis, terkikis oleh daya tarik kemegahan dunia dan terbius rayuan setan yang gentayangan siang malam.
“Tuhan. Engkau kini dimana? Apakah Engkau telah berubah atau masih seperti yang dulu: Aku jauh - Engkau jauh, aku dekat - Engkau dekat? Hati adalah cermin tempat pahala dan dosa berlabuh?* Aku tidak melihat ada dosa dihatiku, Tuhan.”
Dua Repelita cukup lama, tetapi cukup jauh dibanding enam Repelita.
“Selama itukah? Sejauh itukah antara aku denganMu, Tuhan? Apakah tidak cukup ditebus dengan uang yang kuhambur-hamburkan untuk fakir miskin, panti jompo, anak yatim, para pengungsi dan untuk para korban bencana alam? Tuhan Engkau dimana? Aku rindu, sayang.”
Jalannya hidup kadang tidak sejalan dengan pikiran dan keinginan. Kadang mengalir seperti air, kadang berliku-liku, terjal tanpa aspal, licin, berhenti menubruk batu, dan hancur. Cita-cita yang tergantung di ujung langit - di ujung tanduk, hanya dapat digapai oleh mimpi. Atau pada akhirnya lebur jadi bubur, terkubur karena umur. Ujung-ujungnya menggali harta dari keringat orang lain, menggali lobang untuk dirinya sendiri.
“Dulu aku percaya; hanya kekuatan akulah yang membuat aku sendiri dapat bertahan hidup, kekuatan itu kini musnah - luluh dihadapanMu - tak berdaya menahan siksaMu. Aku ingin hidup seribu tahun lagi** - denganMu, Tuhan. Aku akan terus sembahyang, aku akan terus berdoa, dan terus berderma. Aku benci harta - kalau saja bukan karena istri dan anak-anakku, saudara-saudaraku serta konco-koncoku yang membabi-buta pada gemerlap harta. Sumpah mati aku tidak ingin sengsara, Tuhan. Lebih baik aku dimasukkan ke SurgaMu. Sungguh aku tidak layak mendapatkan SurgaMu.”
Sam masih saja dalam posisinya, malas-malasan di kursi malas; memandang yang telanjang dan perawan, hingga matahari tegak lurus di kepalanya. Ia mulai turun meninggalkan kursinya; seperti ketika meninggalkan jabatannya. Masuk kamar. AC dihidupkannya. Dia menata tempat tidur, lalu mencari posisi tidur yang syur. Rutinitas ini dilakukannya semenjak putus hubungan dengan jabatannya.
“Nanti sore aku harus pergi menunaikan ibadah, menyerah pada Tuhan. Aku tidak ingin mati, membawa tiket masuk neraka. Aku harus pergi.......”
Hari Minggu hari panjang kata orang. Dia pun berpendapat begitu, santai surantai. Kesejukan AC tidak dapat disamakan dengan angin mamiri yang ia rasakan di luar tadi, tetapi cukup untuk membuat mata Sam lier-lier. Merem. Ngiler.********
Tak tertahankan olehnya, tidur pulas kebablasan. AC meninabobokan Sam, memeluk erat tubuhnya, mengelus-elus rambutnya yang memutih. Merekat erat pelupuk matanya, hingga tak dapat di buka lagi. Barangkali enggan memandang yang ada di sekitarnya atau Sam telah terbujur siap dikubur.
Hari telah beranjak malam. Gelap. Sepi. Sam masih seperti tadi. Tidak pergi menunaikan ibadah. Dia telah memegang tiket ke Neraka.
Sudah menjadi kebiasaan Sam; sendiri menyepi, merenung di gunung, meninggalkan Ibu kota; tepekur mengukur amal yang telah dia kerjakan, bukan menimbang berapa berat dosa yang telah diperbuatnya. Betapa dahsyatnya harta dunia menggilas ajaran Tuhan. Sebenarnya dia tidak lupa, hanya melupakan.
“He, siapa kau?” Sam melihat ada bayangan putih muncul di depan mukanya. “Kaukah pendeta? Kaukah malaikat?” yang ditanya masih saja bungkam. “Kaukah Sinterklas?” masih juga diam. “Jangan-jangan arwah si Tince cewek nakal yang kubunuh itu, datang menjemputku,” pikirnya.
“Siapa namamu?” tanya bayangan putih.
“Sam. Samuel Suharja.”
“Umur?”
“Tidak pasti. Kira-kira tujuh puluh.”
“Perkerjaan?”
“Mantan Pejabat tinggi.”
“Pantas, tidak tahu malu. Nama istrimu...... umurnya?”
“Maryam. Umurnya nggak ngerti....”
“Lalu siapa perempuan yang selalu kau bawa ke villa ini tempo doeloe.... Uang yang kau pakai untuk biaya hidupmu dan keluargamu........darimana? Siapa yang nyuruh membunuh rakyat itu, menggusur tanahnya, hak miliknya hm?”
“E eu a eu mm anu mmh anu.........”
“Tahun ini, bulan ini, hari ini, jam ini, menit dan detik ini, nyawamu - kontraknya telah habis. Kau tidak usah menyesal, kalau kau belum bertobat. Aku hanya di suruh oleh yang berwenang.”
“Interupsi. Bolehkah saya telepon dulu, memberitahu sanak saudaraku, dan sekalian mengucapkan selamat...................................”
Malaikat itu langsung mencabut nyawa Sam dari pantatnya. Wajahnya menyeringai dan matanya melotot. Tuhan tidak ingkar terhadap janjiNya.
“Aaa.....Aaaaaaaaaa.......Aaaaaaaaaaaaa...........”
Tak seorangpun yang tahu, Sam berteriak. Tetapi semua orang tahu, dia akan meninggal, meninggalkan kesemerawutan, bergunung-gunung harta nista, bergunung-gunung dosa dan bergunung-gunung hutang negara - anak cucu jaminanya.
Tasikmalaya, 30 November 1999
Catatan:
*Lirik lagu Bimbo
**Lirik puisi “Aku” Chairil Anwar
RAJAKU
Jajang R Kawentar
Negara Antahbrantah ini bagiku; semacam penyakit tetelo; waktu untuk hidup sangat tergantung pada keputusan dan kebijaksanaan sang raja. Sebab disini raja lebih berkuasa dari pada Tuhan. Mengingatkan semua pada seorang Fir’aun atau seorang presiden Uganda Idi Amien. Fir’aun negri ini sepertinya maha suhu dari Fir’aun Ramses yang hidup 4000 tahun sebelum Masehi atau presiden Uganda itu.
Karena ulahnya: Burung-burung terbang terpanggang - Harimau meninggalkan abu - cacing menjadi pepes. Hutan terkena bencana HPH, wajahnya hitam terjilat lidahnya. Limpahan api kepercayaan penghuni hutan dan penghuni negri menghanguskan seluruh negri. Fir’aun mencabik-cabik serta menyate hati dan jiwa penduduk. Pemerintahan yang batil - Negrinya anjing-anjing dan ular-ular. Bayi dalam rahimpun menjerit, menciut dan lahir sebelum waktunya. Semua penduduk tau itu.
Bakteri rawan pangan; panganan bakteri dipangan penduduk. Negri yang sangat tidak wajar dan tidak pernah mujur. Para pejabat negri terbelenggu kedua tangannya dan memenjarakan dirinya di rumah sang raja. Mulutnya menganga bisu, perutnya seperti badut.
Minuman Perancis, ganja Aceh, arak Bali, gadis-gadis perawan, hidangan istimewa setiap hari yang disiapkan anak-anaknya. Perawan dihidangkan hanya menggunakan bh dan cd saja. Mereka dipilih yang badannya sintal, dadanya masih berdiri, pantatnya bulat seperti bola sepak.
Sang raja doyan perawan yang berkulit sawo matang, untuk yang satu ini beliau selalu menyempatkan diri mencarinya sendiri. Dia mangap-mangap dicumbu serta dirayu, ia hanya dapat menjilati, meremas-remas, mencolek dan meraba-raba. Perempuan-perempuan itu nafsunya seperti srigala lapar tapi alat vital sang raja tidak mampu berdiri. Kulitnya saja sudah keriput-put. Mungkin karena umurnya sudah senja dan sering gonta-ganti pasangan, seperti terkena penyakit kudis tapi entah apa namanya. maklum hampir dari setengah abad menjadi raja.
Para pejabat dan ajudan-ajudannya berpesta pora tertawa dan menepuki sang raja yang sedang sibuk, mereka memberikan semangat pada yang lemah syahwat itu. Setelah mereka puas mabuk, sang raja biasanya memberi isyarat berkumpul. Duduk di hadapan meja yang memanjang - bercerita, berbincang-bincang atau merumuskan undang-undang atau membuat strategi baru tentang pajak, penguasaan tanah serta kekuasaan sang raja.
Para pejabat membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan, sementara sang raja hanya pemberi titah, menyetujui dan menanda tangani atas segala kebijaksanaan. Para pejabat orang-orang terpilih negri ini. Mereka rata-rata bergelar Doktor, Profesor dan gelar-gelar luar negri lainnya. Mereka sangat patuh dan taat melebihi pada Tuhannya. Tidak ada istilah terlambat, tidak bisa untuk sang raja , semuanya harus tepat dan harus dapat apa saja.
“Wahai hadirin kabeh, aku ingin anakku paling tua menggantikan kedudukanku. Bagaimana caranya aku tidak tau...? Terserah..!”
Para pejabat bingung, anak paling tua yang mana ? Soalnya, anaknya banyak yang sudah tua. Dari istri tidak resminya juga sudah tua.
“Aku ingin tahun depan atau dua tahun lagi maksimal lima tahun setelah penobatanku ini. Anakku menduduki singga sana ini. Bagaimana caranya aku tidak tau ? Terserah..!”
Raja sangat cerdik, berani, lebih pintar dari mentri-mentrinya sedangkan ia, SD saja tidak tamat. Karena memang dia itu orang yang miskin, mungkin termiskin. Tapi karena dia itu pandai menipu atau sudah sangat terlatih dalam pitnah mempitnah. Yakinlah kalau orang tuanya tidak mengajarkan hal itu.
“Aku ingin penduduk yang pintar dan berani sepertiku, beri pekerjaan dan sumpal mulutnya dengan keduniawian. Bagi penduduk yang membangkang iris kupingnya, pelernya atau kedua putingnya. Aku suka sup kuping, sate peler dan oseng-oseng puting. Tolong catat !!!”
Para pejabat ribut mengeluarkan catatannya, ada yang dari jasnya - dari tas - dari dompet - dari bungkus rokok dan di telapak tangan mereka.
“Supaya ucapanku ini tidak berubah dan tidak terhapus oleh jaman, tolong catat dalam hati kalian saja.”
Para pejabat serentak seperti mengheningkan cipta. Sepuluh detik kemudian mereka memasang kupingnya kembali. Sebagian dari mereka masih menundukan kepalanya dan sebagian lagi ada yang ambruk, kepalanya di atas meja. Teler.
“Aku berharap kalian mengerti ! Aku sudah terlalu tua, aku terlalu banyak dosa. Aku ingin negri yang kurintis ini, anakku meneruskanya. Sudah waktunya aku bertobat.”
Diantara yang hadir tampak dukun-dukun nomor wahid dan paranormal yang paling normal di negri ini, menyaksikan dan ikut mencatat ucapan sang raja.
“Khusus bagi algojo-algojoku dan algojo negri, jangan lengah !!! Demi keamanan - jangan tunggu perintahku, penggal saja bila perlu.” Para algojo itu merapatkan kakinya dan berdiri seperti patung. Di pinggangnya terselip pedang panjang serta perlengkapan lainnya.
Riuh rendah yang hadir tepuk tangan dan memukul-mukul meja, seperti tanda setuju. Dari sekian banyak yang hadir ada beberapa gelintir orang bertanya pada dirinya. “Katanya Pancasila, kok sepertinya Komunis?”
Seperti telah di atur, sepuluh detik kemudian hening. Hening. Hanya beberapa gelintir orang masih terus bicara dalam hatinya.
“Setuju !!!” seru raja.
“Setujuuuuu...!” Disambut suara hadirin dengan ramai pukulan tangan ke meja. Beberapa gelintir orang diam. Kaku. - dan algojo langsung menebas lehernya.
Sang Raja penuh percaya diri, berdiri di atas kursi dengan telanjang. Nampak segala kejelekan yang dimilikinya. Para perawan itu masih mencumbunya, barangkali mencumbu hartanya.
Semua algojo mendekat pada peserta yang hadir. Mereka yang agak waras, berteriak, bertanya-tanya pada rajanya, dalam hatinya: “Ini Pancasila atau Komunis ?”
“Aku ingin jawaban yang sama: setuju !!!” Sang raja melihat dan mendengar teriakan-teriakan dari wajah-wajah dan mulut mereka yang kelu. “Setujuuuuu.....!” Seru sang raja, urat lehernya raja seperti tulang beton.
Hening.
Algojo itu langsung menebas leher mereka. Demikian budaya ini berkembang bunuh-membunuh menjadi hal yang tidak kejam dan sudah biasa. Kekejian penguasa dan pengusaha menjadi sebuah keharusan. Tinggalah pejabat yang ambruk, teler, dan kekejian sang raja serta algojonya. - Juga lonte-lontenya.
Busung lapar melanda daerah ibu kota sehingga perut perut mereka turun kejalan memporak porandakan hati raja yang sempit dan membatu. Bangunan-bangunan yang berdiri angkuh - yang membentengi setiap tepi jalan dan tepi tepi gang adalah suatu tanda atau prasasti dari kepala penduduk yang terpenggal, ditikam pistol tangan kanan sang raja dan tidak mustahil memendam darah, air mata serta butiran keringat ratusan juta umat negri.
Yogyakarta, September 1997
Jendral Turiman
Jajang R Kawentar
ita-cita Turiman tertindas kehendak zaman. Pak Suharjo sebagai ayahnya, rela melakukan apa saja demi kekuasaan Turiman, yang diangkatnya menjadi Jendral. Jendral bohongan, Jendral hanya sekedar melegakan hatinya. Bukan pangkat Jendral tetapi sekedar nama: Jendral Turiman.
Turiman selalu berbicara tidak senonoh atau kalau melihat tindak tanduknya kadang membuat orang marah, malu, tertawa dan sebagainya. Mungkin sekarang dia itu kurang paham dengan dirinya. Sehingga kalau orang-orang bilang selalu Turiman sinting , si Baret Merah. Istilah ini muncul setelah Turiman gagal mencapai obsesinya menjadi tentara. Setiap ada pendaftaran calon tentara pasti dia mendaftar paling awal.
“Saya akan terus mendukung apa yang dicita-citakannya, karena itu jalan terbaik bagi anak saya.” Begitu tandas bapaknya Turiman; yang biasa dipanggil pak Harjo. Beliau bukan Presiden, dia pensiunan prajurit. Jabatan terakhirnya sebagai pembuat dan pengantar teh atau kopi. Minuman yang biasa disiapkanya setiap pagi, siang dan sore: Bagi para komandan, penjaga pos, tak terkecuali tamu yang berkunjung ke markas.
Pak Harjo menjalankan tugasnya penuh dedikasi tinggi. Maklum dia di-didik gaya militer seketat ikat pinggangnya. Mungkin dalam tubuh Turiman mengalir garis darah bapaknya yang berjiwa mengabdi pada negara. Dia tidak jauh beda dengan bapaknya, penurut, cekatan dan disiplin tinggi dalam segala hal. Cuma mungkin Turiman perawakannya agak tinggi, rada ganteng dan masih muda.
Tak habis pikir, padahal Turiman itu badannya kekar, sehat dan cukup pandai. Tapi mengapa setiap tes tentara dia selalu gagal. Walaupun demikian semangat juang menempuh cita-citanya tidak pernah berhenti sampai disitu. Dia terus berlatih dan berlatih, walau menjolok bulan dan bintang dengan kedua tangannya.
Orang-orang mengira dia tentara beneran. Badannya kelihatan semakin atletis, penampilannya meyakinkan bagai tentara sejati, apa lagi rambutnya di cepak. Nampak seorang prajurit khusus atau seorang intelejen. Dia memang pantas menyandang predikat itu karena tidak ada bedanya dengan tentara dinas.
Ujian tes terus dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Keputusannya tetap saja; tidak diterima. “Tidak diterima?” Turiman mulai linglung, pikirannya tidak stabil. Sekarang dia lebih sering menikmati kesendiriannya. Dia menjadi malas dan berani menentang bahkan menantang siapa saja. Okem terminal, polisi, tentara yang tinggal sekomplek dengannya hampir menjadi korban tusukan sangkurnya. Pasalnya sepele karena Turiman tidak suka tipe orang-orang seperti itu.
Turiman lebih sering tinggal di kamar, mengurung diri. Di jemarinya selalu terselip sebatang rokok. Badannya tidak seperti dulu, kini kurus kerempeng. Seperti pacandu Narkoba. Hanya penampilannya tidak berobah. Dia lebih menyukai pakaian seragam ala tentara. Semua bekas pakaian dinas bapaknya menjadi pakaian kebesarannya sekaligus kebanggaannya. Baret merah tidak pernah lepas dari kepalanya kecuali mandi, itulah ciri si Turiman sinting. Dia tidak merasa gagah tanpa menggunakan gelar atau pangkat. Dia minta bapaknya untuk mengangkat dirinya menjadi jendral. Jadi setiap berkenalan selalu mengatakan “Kenalkan, saya Jendral Turiman.” Sambil baretnya agak di tarik ke depan. Orang percaya saja karena dia tidak seperti orang sinting.
Melihat keadaan demikian pak Harjo semakin khawatir. Masalah anaknya ini dia tanyakan pada pak kiai, ke dukun, ke paranormal, ke ahli jiwa dan kepada teman dekatnya. Pertanyaan serta jawabannya hampir sama.
“Apakah pak Harjo punya saudara atau teman dekat atasan bapak dikantor?”
“Tidak.”
“Apakah bapak memberikan pulus bulus pada panitia tes?”
“Pulus bulus apa ? Saya tidak mengerti !”
“Selama bapak tidak punya saudara atau teman dekat dan tidak mengerti pulus bulus; Jangan harap anak bapak lolos tes. Sebab itu kuncinya.”
“Kuncinya?” Pak Harjo bertanya pada dirinya dan pada Tuhannya tentang pulus bulus. Ia jadi stress dan tampangnya selalu serius. Dia hanya mengerti ramuan teh dan kopi yang enak - gelas-gelas kotor yang harus dicuci.
Dalam dua bulan bulu rambutnya rontok dan memutih memikirkan pertanyaan itu.
“Seumur hidupku tidak ada pertanyaan yang sulit di mengerti seperti ini. Zaman cepat sekali berubah - Atau aku yang bodoh ?” gumamnya.
Pak Harjo terus mencari obat yang dapat menyembuhkan anaknya. Dia amat bangga pada Turiman; Anak semata wayang - Tapi kini dia tidak tahan berhadapan dengannya. Dia hanya dapat memperhatikannya dari jauh atau mengintipnya.
Semenjak anaknya sering mengurung di kamar, pak Harjo jarang sekali bicara padanya. Hanya hatinya berkata: “Tabahkan hatimu nak, semua ini kelemahan bapakmu yang tidak punya teman dekat apalagi saudara dan tak mengerti pulus bulus itu.”
Sementara yang dikhawatirkannya semakin asyik dengan dirinya. Di kamarnya terkumpul berbagai koleksi perlengkapan ketentaraan. Mulai dari baju, sepatu, ransel, pisau sangkur, kaos oblong, kaos kaki, lencana, bintang jendralnya dan banyak lagi lainnya. Benda yang dikeramatkannya adalah foto sewaktu dia masih kecil; berseragam perwira baret merah dengan atributnya. Foto itu disimpannya rapi di depan pintu kamarnya. Apabila Turiman keluar atau masuk kamar pasti memberikan penghormatan seperti yang dilakukan pimpinan upacara pada komandan upacara. Sampai jalannya pun diatur, layaknya pengibar bendera. Kelakuannya selalu saja menirukan tentara - Dasar sinting.
Pada suatu saat, bapaknya dipaksa berbaris bersamanya. Ia mengancam, kalau tidak mau; Pak Harjo dibentak dan ditendangnya atau ditodongkan pisau sangkur di lehernya. Dia menirukan yang pernah dilihatnya difilm-film kekejaman tentara. Tetapi Pak Suharjo terlalu tua untuk baris-berbaris.
“Kamu ini loyo - Tentara tidak kenal lelah! Berdiri !” kata Turiman. Pantat pak Harjo ditendangnya. Dia tersungkur, pipinya terkena batu kerikil seperti kena parutan.
“Berdiri! Ayo berdiri!!! Wah, goblok !” Jendral Turiman teriak, sambil matanya melotot, kedua tangannya dipinggang dan tegak di belakang pak Harjo. Jendral sinting ini dibiarkan pak Harjo, seenak perutnya: Melakukan kehendaknya mengijak injak bapaknya dan harga dirinya.
“Loyo! Bagaimana jaga keamanan negara!” teriak Turiman. Belum sampai berdiri, Turiman menendang rahang pak Harjo dengan sepatu botnya. “Duk...” Bapaknya roboh dan tak bergerak lagi. Mungkin pingsan, mungkin juga mati.
“Aku Jendral yang berani mempertaruhkan nusa dan bangsa, demi cita-cita mulia. Aku, darah yang mengalir disetiap tubuh penduduk. Aku merapatkan barisan depan - Merampas kemerdekaan. Biarkan penduduk kelaparan ha ha ha...,” pembicaraan Turiman semakin tidak terkontrol.
Napas Pak Harjo nampak berat, tarik menarik. Matanya lima watt. Seperti orang ngantuk hendak tidur. Mungkin ia juga. Tidur selama-lamanya.
Yogyakarta, September 1998
PELER NEGRIKU
Jajang R KawentarKamus besar bahasa Indonesia tidak memiliki peler. Buku tersebut merupakan salah satu buku yang menentang dan menantang peler. Kamus itu perlu dipertimbangkan lagi keabsahannya. Mungkin kamus tersebut berbasis aliran kekiri-kirian. Konon yang memiliki aliran kanan atau kiri sama-sama memiliki penyakit susah menoleh. Ini berbahaya, bisa menyesatkan. Tidak bisa memandang jauh ke depan, berjalan menyamping. Sebaiknya kamus itu dibakar. Ini kebijaksanaan. Ini perintah pemerintah. Karena kamus tersebut tidak ada pelernya. Peler tidak tertera di sana. Apalagi setelah ditinjau ulang nanti, Kelentit pun tidak ada, ini ‘kan eksistensi gender. Jangan sampai diskriminasi itu terjadi dalam kamus besar Indonesia.
Siapakah yang senang dengan bakar-membakar buku? Bahkan membakar intelektualitas, menculik dan membunuh aktor intelektualitas, mencuci intelektualitas dengan diterjen dan air comberan. Makanya intelektualitas sekarang menjadi kotor, bau busuk dan berjamur. Berkembang bagai jamur.
Wawasan intelektualitas habis. Aktor intelektual habis. Sekarang yang ada tinggal kroco-kroco. Intelektual yang jamuran, bau busuk dan kotor. Ya wajar kalau keadaan sekarang semakin lapuk dan jamur tumbuh semakin subur. Tunggulah kehancuran. Kata tuhan dalam kitab, dan berpidato di gedung putihnya, di markasnya. Sekali digoyang dombret, digoyang inul, dak ku ku deh. Aktor intelektual yang jamuran pasti cakar-cakaran. Berebut lahan omprengan. Masyarakatnya jantungan. Tiap hari ada saja yang kena tikam. Pejabatnya preman. Bawahannya bajingan. Pendidikannya penjarahan, pemerkosaan, pelecehan, perselingkuhan, pembunuhan. Negri macam apa ini, Tuhan?
Salah satu cara mengatasi jamur yang tumbuh subur dan semakin berkembang. Harus dirancang program pendidikan Nasional tentang Iqro: bacalah. Terbitkanlah berbagai macam buku sebanyak-banyaknya. Wajibkan kepada para mahasiswa dan pelajar untuk membaca sebanyak-banyaknya. Kalau tidak, mahasiswa dan pelajar itu yang kita bakar. Ini program reintelektualisasi anak negri. ini kebijaksanaan. Ini perintah pemerintah. Kita harapkan intelektualitas tumbuh kembali, disirami buku-buku. Buku-buku menjamur dan intelektualitas semakin subur. Kalau tidak tunggulah kehancuran. Budaya asing tak terkendali dan pendidikan mengerogoti tubuh yang bobrok dan rapuh, lahan yang nyaman bagi tumbuh jamur. Bagaimana dengan masyarakatnya? Sama saja.
Jamur akan berkuasa menjelma menjadi peler.
Pada mulanya peler adalah sesuatu yang menjijikkan, tetapi lama kelamaan menjadi sesuatu yang unik. Setelah mencoba mencicipinya ternyata selalu ketagihan ingin bertambah, bahkan terus bertambah. Peler semacam candu. Ada sebagaian yang selalu ingin berlebihan. Ada juga yang biasa-biasa saja, maksudnya di luar tidak menampakkan kerakusannya tetapi ketika di dalam seperti yang belum makan sebulan. Ada juga yang mencemooh. Ih saru! Jorok! Haram! Inilah romantikanya peler kita. Mungkin kamus besar bahasa Indonesia itu belum pernah mencoba mencicipi peler. Makanya ia tidak punya peler
Perdagangan peler sekarang sudah sangat merakyat, populer. Sama dengan lagu dangdut. Tidak hanya di jajakan di salon-salon, atau hotel-hotel, atau di lokalisasi. Di warung pojok sampai di emper-emper toko, di pinggir-pinggir jalan, bahkan di jajakan oleh salesman door to door. Memang ada berbagai jenis peler yang beredar di pasaran Nasional. Ada yang local (Jawa, sunda, madura, Sumatra, dst,) blasteran, Bangkok, dan Australia. Masing-masing jenis harganya bervariasi. Yang pasti apabila saling memuaskan, bisa jadi transaksi gratis. Dan biasanya ada bonus serta voucher, nonton BF 4 Bandung lautan asrama.
Konon katanya peler Indonesia menjadi komoditi eksport yang sangat menjanjikan. Karena bisa menambah devisa. Meskipun komoditi ini juga bersaing ketat dengan peler import, yang sepertinya melebihi kuota. Ditambah lagi dengan import paha ayam, Kentucy friedchiken, Mc Donald, texas chiken dan masih banyak lagi. Sehingga menjadikan harga peler Indonesia merosot tajam begitupun pempek Palembang. Ini diakibatkan oleh para spekulan importir daging mentah dan paha ayam tersebut, yang semena-mena. Tanpa memikirkan pengusaha dan eksportir peler nasional dan tradisional.
Untuk itu perlu dibuatkan undang-undang yang jelas tentang tatacara eksport dan import daging mentah dan paha ayam. Supaya tidak menimbulkan implasi pendapatan pengusaha peleeer nasional dan tradisional. Jangan hanya memikirkan dagangan orang asing, sementara pedagang local terpinggirkan. Jadi untuk apa pemerintahan negara ini kalau tidak dapat melindungi masyarakatnya. Tidak dapat menjaga harga diri, jiwa dan hak milik rakyatnya dari keganasan orang asing. Sebagai sikap negara berkedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan………..dst.
Disamping itu perlunya penyuluhan secara menyeluruh bagi pemilik peler dan para pengusaha peler. Bagaimana menciptakan peler yang bermutu tinggi, renyah, gurih, berkualitas, tahan lama, kuat dan terjaga kebersihan serta kesehatannya. Atau bagaimana menjaga agar peler tetap terjaga kehigienisannya. Jangan terlalu banyak memakai pupuk urea atau obat-obatan yang mempercepat pertumbuhan seperti ayam buras. Sehingga akan membuatnya cepat dewasa, besar, tetapi lemah. Sebaiknya lebih mengutamakan yang alamiah, bukan rekayasa. Sehingga kekuatan dan cita rasa peler nasional kita diperhitungkan negri paman Sam dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Bila perlu, kita meminta lisensi dari Amerika. Biar kelihatan gagah.
Meskipun sebagian besar produksi peler nasional masih diduduki oleh kaum miskin kota: buruh pabrik, pedagang asong, anak jalanan, petani, nelayan, dan para urban dari desa-desa miskin. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi peler terus dilakukan, tanpa lelah. Walau begitu tetap kita harus punya prinsip. Bahwa mereka hanya menjual peler miliknya, serta mengkoordinirnya. Menjadi komoditas andalan dan unggulan. Mereka dilarang menjual desa, bangsa dan identitasnya. Mereka menjual peler hanya untuk menukarkan harga lapar dengan harga beras dan bahan pokok lainnya.
“Habis, tidak satupun yang perduli dengan kehidupan kami, kecuali diri kami sendiri. Sebab negara sudah tidak kuasa. Sebab negara sibuk dengan urusan pribadinya, sebab negara sibuk dengan perutnya sendiri”, kata mereka.
Jangan ganggu peler kami. Hak milik kami seutuhnya.
Hanya peler yang mampu mensejahterakan hidup kami,
Hanya peler yang mampu membayar hutang-hutang kami
Hanya peler yang membayar gaji kami
Hanya peler yang menghidupi anak-anak kami
Hanya peler yang memberikan peluang kerja kami
Hanya peler yang membayar kotrakan rumah kami
Hanya peler yang membiayai kesehatan kami
Hanya peler yang menjadi modal kami
Apakah negara mampu ngurusi dan menjaga kepentingan kami, keluarga kami, saudara kami, bangsa kami dan wilayah kami?
Negara hanya berpikir kepentingannya sendiri, mengeruk kekayaan wilayah dan jerih payah kami, serta memeras bangsanya sendiri.
Hanya peler satu-satunya pendekar kami
Hanya Peler penyelamat bangsa
Siapapun menggugatnya akan kena batunya
Peler negri bersatu tak bisa dikalahkan
Anda punya peler mari bersatu
Sumbangkan peler anda
Membayar bank dunia
Desas-desus Peler
Desus pertama. Peler akan menjadikan dirinya sebuah idiologi baru di negri tercinta ini. Penganut idiologi ini kebanyakan kaum muda Indonesia. Diantaranya para pelacur, bandit-bandit, pejabat korup, penjual hukum, penjual agama dan masih banyak lagi. Idiologi peler ini diprediksikan akan membawa berkah dan sebagai idiologi masa depan yang berwawasan humanistis, sosialistis dan berbau agamis, yang akan meluluhlantakkan idiologi yang ada sebelumnya. Idiologi peler merupakan idiologi dahsyat, berkekuatan jin dan setan yang ada di bumi ini. Tuhannya adalah kekayaan, dendam, nafsu syahwat, ilmu pemgetahuan, teknologi dan uang.
Desus kedua. Peler akan dijadikan cindramata. Atau dijadikan sebagai bahan produksi seni kerajinan lainnya. Umpamanya bross, konde, gantungan kunci, hiasan di mobil, patung di taman, sebagai asbak rokok, dompet, tutup botol, mainan anak, mainan bapak ibu, gagang sedokan, gagang sapu, dan peralatan dapur lainnya.
Diharapkan dari sector seni kerajinan peler ini akan menambah pendapatan rakyat dan tumbuhnya home industry seni kerajinan rakyat. Sehingga menumbuhkan sector perekonomian rakyat yang terpadu, dengan budidaya peler yang lebih maju. Basis ekonomi kerakyatan pun menjadi nyata. Pengangguran, krisis ekonomi akan tertanggulangi. Dengan demikian pendidikan akan lebih maju. Orang tua akan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah yang mendidik, bukan sekolah sebagai candu. Dengan pendidikan orang akan berpikir merdeka. Dan diharapkan akan memerdekakan dari penjajahan yang menjamur seperti peler.
Desus ketiga. Kabar gembira bagi sejarah nasional, bahwa setiap generasi peler akan didokumentasikan di museum, sebagai barang bukti sejarah. Supaya anak cucu kita tidak asing lagi dengan peler-peler masa pendahulunya. Sebagai modal perawatan dan perluasan serta pembangunan museum peler nasional, berbagai benda sejarah dan benda purbakala, benda seni sebaiknya di privatisasikan, sama saja dengan BUMN lainnya, atau di jual saja pada pengusaha barang sejarah, kolektor barang antik, atau investor asing. Sebagai modal dan kita gantikan dengan peler nenek moyang, yang turut berjasa dalam memperjuangkan peler sebagai hak yang hakiki dari negri yang memiliki harga diri. Di samping itu sebagai media pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Bagaimana manfaat dan pemanfaatannya. Sehingga pengetahuan masyarakat akan terus berkembang.
Desus keempat. Seni sastra peler. Perkembangan sastra akan sangat ditentukan oleh peler. Peler sebagai penentu kebijakan dalam berkarya sastra. Sastrawan harus memiliki kekuatan dan cita rasa peler nasional supaya diperhitungkan negri super power dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Bila perlu kita meminta lisensi Amerika. Supaya sastrawan memegang senjata dan mampu menghalau serta memerangi teroris dalam sastra.
“Ha ha ha ha ha… ah ah ah…,”
“Hi hi hi hi hi… ih ih ih…,” ada yang ketawa ketiwi.
Desus selanjutya masih dalam proses. Sebelumnya nikmati dulu desus peler berikut ini.
Pelermu aduhai
Aku tunduk padamu
Tiada dua
Hanya untukmu
Hanya untukku
Oh kuserahkan segala
Biar rakyat berteriak
Ah aku sungguh
Segalanya kamu
Aku penguasa peler
Keputusan di tanganku
Engkau satu kuperjuangkan
Demi nusa dan bangsa hasratku
Ah sayang kita ke ranjang
Kita berlayar
Biarlah nelayan kehabisan tangkapan
Yang penting indehoy
Ah sayang kita di sofa saja
Kita membajak
Biarlah petani kehabisan lahan
Asal kita asoy
Akulah penguasa pelermu
Aku bersumpah demi peler
Akan kutunjukan keperkasaan padamu
Memungut pajak atau membuat undang-undang
Atau memecat pejabat atau menjual asset-aset negara
Iman sudah kuikat erat pada pelermu
Takan tergoyahkan walau badai melanda
Walau aceh menuntut merdeka
Juga dimana-mana
Walau pulau-pulau dan sipadan ligitan terbang
Walau teror mendar-der-dor kita
Oh indahnya pelermu
Melebihi Nusantara
Hutan belantara Sumatra
Atau Kalimantan, pasir putih pantai Bali,
Budaya Jawa, atau adat istiadat Irian Jaya
Kau mengguncang jagat intelektualitasku
Membakar nafsu birahiku
Oh peler nahkodaku
Aku siap menerima perintah
Apakah harus menjual bangsaku
Apakah harus ngutang bank dunia
Apakah harus menipu rakyat jelata
Ini kejayaan kita
Mari kita keruk sumber daya yang ada
Katakanlah pelerku
Katakanlah dengan lantang
Aku rela diperkosamu
Seperti tenaga kerja wanita kita
Seperti buruh kita dari malayasia dan luar negara
Atau seperti perempuan Aceh melawan perlakuan tentara
Atau seperti gadis tionghoa pada mei 1998
Asal jangan menuntut kenaikan upah
Asal jangan menuntut kesejahtraan
Asal jangan menuntut pelayanan kesehatan
Asal jangan minta turunkan harga sembako
Asal jangan minta turunkan harga BBM
Asal jangan hapus dwifungsi militer
Kamu tahu inilah harta milik kita
Oh peler idolaku
Aku tak kuasa berpaling darimu
Kita ditakdirkan bersatu
Peduli apa motifasimu
Aku tersungkur sudah dipenghulu
Aku tak kuasa pada kerakusan dan keganasanmu
Walau sesungguhnya aku tak suka
Tapi kenikmatan kujalani juga
Walau sesungguhnya menyiksa
Oh pelerku sayang
Aku berada dalam penjaramu
Aku puas digagahimu
Beratus bahkan beribu kalipun
Semalam
Aku pasrah
Kutagih bila ku rindu
Kumarah bila kau lesu
Aku sadar sekadar sadar
Kekuatanmu tidak lagi prima
Kau beranjak renta seperti juga indonesiaku
Tapi jangan khawatir
Sekarang kan ada pil viagra
Atau kuku bima seperti juga bank dunia
Kau akan pulih seperti semula
Kala perjaka
seperti juga semangat perjuangan tahun ‘45
Peler lucu pujaan hati
Harus kubawa ke mana kerajaan ini
Haruskah ku tenggelamkan layaknya Sriwijaya
Haruskah kujunjung layaknya Amerika Serikat
Atau mengalir saja seperti keruhnya sungai Musi
Oh peler kusir pikir semata
Kehausanmu akan dunia membuatku buta
Kelaparanmu akan kekuasaan menciptakanku
Senjata dan bala tentara
Jangan saja janjimu luntur
Karena kuasaku
Kau suka sudah pasti aku setuju
Hanya pelermu yang kumau
Apapun resikonya
Oke- oke saja
Biar banyak pengangguran
Biar rakyat miskin kelaparan
Biar banyak demonstrasi
Biar banyak korupsi kolusi nefotisme dan manipulasi
Biar banyak aborsi dan ekstasi
Aku tidak perduli
Prek
Ya prekkkk
Pelermu yang kumau
Titik
Yang utama pelermu tidak jajan kemana-mana
Apalagi pada pramuria
Pelermu milikku
Jadi hanya berlabuh di pantaiku
Oh peler yang manis
Kekuasaanku tergantung padamu
Kau menjajah kaumku
Bila aku berpaling darimu
Kekuasanku hilang makna
Apa kata anak cucu
Mencoreng tahi di muka
Sedang kau punya ketajaman
Mencuri waktu dariku
Ke rumah bordil
Pelermu dikawal pengawal
Dengan ekstra ketat
Dan dana tutup mulut
Oh pelerku yang berwibawa
Tak mampu mengikuti jejakmu
Sesungguhnya ingin melakukannya
Bagaimana caranya
Impossible
Kadang aku juga bosan denganmu
Ingin melacur
Saat hasrat kekuasaanku meninggi
Libido menguasai kekuasanku
Ih kubayangkan peler di kamar mandi
Dengan sikat gigi
Pelerku
Indahnya kita bersama di mata dunia
Sejoli yang perkasa
di tangan kita segala kuasa
Ke mana-mana yang disuka bisa, mudah, lancar dan cepat
Ah pelerku
Apa lagi yang belum dirasa
Sudah semua
Inilah surga kita
Bajingan tengik tak mampu menjamah
Perampok ulung tak bernyali lagi
Algojo siap siaga kuasa kita
Kita merem ia melek
Kita tamasya ia berjaga-jaga
Kita berjalan ia pegang senjata
Ia selalu di belakang kita
Oh peler hanya satu kamu
Apa gerangan yang kau khawatirkan
Apa gerangan yang kau pikirkan
Apa gerangan yang kau takutkan
Apakah dunia pendidikan kita yang maju mundur
Apakah penduduk yang semakin pintar
Apakah lemah syahwatmu itu
Ah
Tidak mungkin aku memuaskan dengan sikat gigi selalu
Aku butuh peler baru
Yang orsinil bila perlu
Tapi kamu pasti tidak setuju
Sebaliknya pasti kamu memuaskan hawa nafsu
Walau aku cemburu
Pasti kamu cucuk sini cucuk situ
Jika aku tidak mampu
Aku ragu akan kesetiaanmu
Mana ada peler punya mata
Ia punya rasa
Oh pelerku
Aku takluk padamu
Asal jangan duakan milikku
Aku rela jadi kerbaumu
Kaulah gembalaku
Riwayatku ada padamu
Berapa repelita kau suka
Pelermu penguasa kekuasaanku
Pelermu pemimpin bangsaku
Kau pahlawan Ordeku
Peleeeeerku yang romantis (rokok makan gratis)
Masih panjang perjalanan kita
Dari sabang sampai merauke
Berjajar pulau pulau
Semua tetap mendukung kita
Kendali kupegang
Kau pegang kendali
Coblos gambar symbol raksasa
Oh pelerku yang perkasa
Siapa yang tak tunduk padamu
Seluruh mata tertuju padamu
Kau kebarat
Mereka ke barat
Kau ke timur
Mereka ke timur
Kau ke utara
Mereka ke utara
Kau ke selatan
Mereka ke selatan
Ah pelerku yang bijaksana
Aku ingin sekali berontak padamu
Mengapa aku tak kuasa
Apakah aku tak tega
Apakah aku terbiasa
Apakah aku tak bertenaga
Barangkali ilmu peletmu bekerja sempurna
Jangan-jangan rakyat kena peletmu
Jangan-jangan aku bekerja karena peletmu
Jangan-jangan peletmu pelermu
Pelermu peletmu
Bagaimanapun kekuatan peler cukup berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekuatan peler tidak akan terkalahkan oleh senjata tercanggihpun. Kekuatan peler harus diimbangi dengan iman dan takwa. Apabila dalam kamus besar Indonesia ada pelernya, maka negara kita akan lebih maju. Apalagi setelah ditinjau ulang nanti, Kelentit pun tidak ada, maka ini akan mengganggu eksistensi gender. Jangan sampai diskriminasi itu terjadi dalam kamus besar Indonesia. Sepertinya diskriminasi itu akan terus berlangsung. Sebelum kamus besar Indonesia memiliki peler.
Benar dugaanku, Kamus Besar Indonesia tidak ada pelernya yang ada kata Pelir. Pe.lir n kemaluan laki-laki; zakar; Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hal. 846. Dan kelentit ternyata ada tetapi yang kumaksud bukan (1.) Ke.len.tit n daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva (lubang pukas). (2.) ke.len.tit n tumbuhan rumput, biasa digunakan untuk obat, KBBI, hal. 532.
Sesungguhnya apa yang kumaksudkan tidak bisa terditeksi oleh kamus sebesar apapun. Sesungguhnya kamus itu berada dalam hati nurani. Mari kita gali hati nurani mencari peler yang terkubur, orang yang mendapatkannya pertanda orang yang telah dibukakan pintu hatinya.
Palembang, Januari 2003
PEREMPUAN BERWAJAH KUSUT
Jajang R Kawentar
Menghadapi kehidupan yang menikam. Seorang Perempuan
berwajah kusut tergesa-gesa ke Statsiun Kereta,
langsung masuk ke dalam kereta hendak meluncur.
Tiba-tiba ia disergap hawa dingin AC. Linglung. Krisis
percaya diri, barangkali. Penumpang kereta itu langka.
Tujuh pasang mata tertuju padanya. Duduk. Beku.
Di tempat sampah yang menempel dinding kereta samping
duduknya, muncul bunyi asing. Tiba-tiba hewan kecil
loncat, melarikan diri. Celurut. Ya celurut itu gagah
berani melewati kaki Perempuan yang telanjang,
berulangkali. “Ih gelinya setengah mati.” Tetapi ia
diam, takut hewan kecil itu malu, terganggu. Ia
sendiri malu. Hewan itu tidak punya malu. Kayak
kelaparan, mencari makan. Celurut lewat begitu saja,
ke depan dan ke belakang, dari tepi kiri ke tepi
kanan, kolong kursi.
Parfum celurut menyebar segar. Khas. Penaka kentut
orang yang makan telor asin, jengkol, sambal, tambah
ikan Peda. Hidung dan mulut celurut monyong sekitar
lima centi meter. Diperhatikannya dari waktu ke waktu
mondar-mandir di pinggir-pingir lorong kotor yang
sempit. Matanya bundar, terang benderang. Berjalan
nabrak-nabrak, entah sengaja atau karena buta. Kadang
berlari cepat sekali, bak pencuri dikejar pelari yang
memperebutkan medali. Kadang mengendus-ngenduskan
hidungnya, entah mengenali sesuatu atau menandai.
Celurut lucu, kalau pakai baju dan diberi dasi; duduk
memeluk kaki Perempuan yang telanjang. Menatap penuh
dengan rasa kesetaraan penderitaan, serta kesetaraan
perasaan. Kecemasan Perempuan itu dibawanya pergi,
lewat pinggir kolong kursi menuju ke depan dari arah
duduknya. Pandangan Perempuan itu mengikuti, hingga
lenyap menghilang ditelan langkah seribunya. Kembali
ia membetulkan duduknya.
“Aaaaaaaaaa.......,” perempuan necis yang duduk
sendiri, tiga baris dari arah depan, di hadapannya,
menjerit sambil berlari. Memeluk seorang pria yang
juga duduk sendiri, di kursi sebelahnya. Pria yang
sedang membaca koran harian kota itu terkejut. Hampir
saja giginya nyangkut di sandaran kursi depannya.
“Kurang ajar! Seronok,” gumamnya. “Ada apa tante?”
ujar pria itu sambil mengelus punggungnya. Perempuan
necis, memeluknya semakin erat. Mereka mulai merasakan
hangatnya pelukan.
“Jangan panggil aku Tante, Mbak kan sedap.” Berbisik.
“Sebetulnya ada apa tante?”
“Jangan panggil aku Tante, kupingku gatal. Mbak kan
sedap,” jawabnya lagi.
“Sialan, dia iseng to. Ta’kira ada yang membuatnya
kaget, ketakutan. Eeee dasar godaan yang terkutuk.
Sayang aku bukan penganut rasis. Aku feminis,”
gerutunya. *******
Mata Perempuan berwajah kusut terus memantau mereka.
Semakin asyik. Seru. Saru. Ia iri sendiri.
“Mereka orang kaya, mau apa saja bisa, mau apa saja
ada, kaya. Tidak kayak aku ini, kayak orang gila,
kayak munyuk, sama-sama kayaknya,” pikirnya.
“Huaaah....., hah!” Perempuan berwajah kusut nguap
lebar-lebar, lalu menirukan gerakan senam aerobic,
badannya dimiringkan ke kiri ke kanan dua kali-dua
kali. Kedua tangannya diacungkan menantang langit
menirukan gerakan sebelumnya, sesudah itu
memeras-meras kepalanya, menjambak-jambak rambutnya.
“Aku tidak punya tujuan jelas ke mana. Apakah sekedar
mencoba menikmati kereta eksekutif termasuk tujuan?
Tetapi yang jelas, kereta ini, eksekutif.” ******
Pandangan Perempuan berwajah kusut masih fokus ke
arah dua orang tadi, perempuan dan laki-laki. Kali ini
ujung rambutnya saja yang tampak. Hitam dan kusut.
Mungkin mereka telah tertidur bareng. Tiba-tiba ada
seorang petugas kereta, mengenakan jas biru, dasi
biru, topi plesetan polisi juga biru. Dia menyalakan
TV yang menyiarkan berbagai kebejatan: merangsang
birahi, amarah dan nafsu. Kapital (isme).
Seperti telah direncanakan, petugas kereta menatap
Perempuan berwajah kusut dengan nanar. Sekedipan mata
merunduk. Dia takut. Ia penumpang gelap. Disaat
merundukan kepala, Perempuan berwajah kusut melihat
dua gepok uang bergambar Presiden di bawah kursi
depan, dekat kakinya. Setengah percaya setengah
takhayul, tangan gemetar, lalu meraih uang tersebut.
“Astaga, ini uang beneran atau palsu ya? Baru semua.
Masih terasa hangat bekas mesin penghitung serta
genggaman tangan karyawan bank. Kenapa hampir setiap
pinggirnya robek-robek kecil?” pikirnya. Dengan sejuta
tanya, seribu jawaban, ia masukkan dua gepok uang itu
ke saku jaket kumalnya.
“Permisi Bu!” Petugas kereta menepuk punggung
Perempuan itu, lalu menampankan tangannya. Tidak
ketahuan kapan ia mendekatinya. Seperti mengetahui
yang telah dimasukan ke dalam saku jaketnya.
Tentu saja Perempuan berwajah kusut terkejut takut,
layaknya diberi petasan yang sedang menyala, bengong.
Tangannya merogoh dua gepok uang yang baru saja
diamankannya. Dalam hatinya ia berdoa: “Ya Tuhan
lindungilah hambaMu ini, limpahkanlah keberuntungan
dan anugrahMu pada kami kaum papa. Amin.” Perempuan
berwajah kusut gagap-gugup: “Uang Pak?”
“Karcis!,” jawab petugas.
“Karcis?” Perempuan berwajah kusut mengulanginya,
sambil mengelus dada.
“Ya. Karcis!,” petugas kereta meyakinkan.
Perempuan itu merogoh saku jaket sebelahnya, lalu dia
acungkan uang lima ribu rupiah yang ia bawa dari
rumahnya ke depan muka petugas kereta.
“Apaan nih?” petugas kereta benar-benar menyerang
berang.
“Masukkan saja ke saku bapak, buat anak istri, buat
jajan. Lumayan Pak, nambah-nabahin uang makan,” jawab
Perempuan itu.
“Anda mencoba merayu saya ya. Berbuat yang di
haramkan Tuhan, yang diperangi rakyat. Ini zaman
reformasi euy! Nanti anda, saya laporkan ke polisi,
memaksa kolusi.”
“Apa bapak tidak butuh uang tambahan untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari. Saya yakin, gaji bapak tidak
cukup untuk menghidupi keluarga sebulan. Iya kan?
Sebelum lapor ke polisi, pikir berulangkali,” kata
Perempuan itu.
“Seharusnya anda yang berpikir hati-hati Bu, ini kan
kereta eksekutif, harga karcisnya berapa? Masa cuma
bayar lima ribu. Kapan saya kayanya?” celetuk petugas
kereta.
“Oooh. Kalau begitu bapak mencoba memeras saya ya?”
“Anda itu bagaimana, mestinya Ibu jangan pergi kalau
tidak punya banyak uang. Dua gepok uang rupiah
sekarang belum tentu cukup Bu.”
Begitu mendengar kata-kata itu, Perempuan itu yakin,
kalau petugas kereta mengetahui dua gepok uang yang
diamankannya. “Ya sudah, saya turun di sini.”
“Ah, yang betul. Apa anda berani turun sekarang?”
Petugas kereta melotot. Kereta melaju dalam kecepatan
tinggi.
“Jadi bagaimana Pak?” Perempuan berwajah kusut
nyerah.
“Anda turun mana?”
“Mmh nggak tahu........”
“Masa nggak tahu tujuan? Apa anda diusir suami...
karena selingkuh...?”
“Tidak.”
“Apa anda diberhentikan dari pekerjaan? PHK? atau
memang belum pernah bekerja, tidak punya
pengalaman...?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa anda naik kereta api ini?”
“Saya hanya mencoba menikmati kereta eksekutif. Sejak
aku lahir hingga setua ini, belum pernah mencicipi
sesuatu yang eksekutif. Baru ini kali pertama. Saya
orang Dusun. Miskin.”
“Salah sendiri kenapa miskin? Anda tahu, kereta ini
dirancang khusus untuk orang yang banyak uang -- punya
kekuasaan. Bukan untuk orang seperti anda. Sini, bayar
lima puluh ribu saja!”
“Lima puluh ribu? Yang bener saja Pak?” Perempuan
berwajah kusut mengulurkan tujuh ribu lima ratus.
“Tidak bisa. Lima puluh ribu itu sudah cukup murah.
Kalau anda beli karcisnya di loket, harganya Seratus
Lima Puluh Ribu perak Bu. Atau mau didenda?”
“Petugas kereta sama saja dengan yang punya kereta,”
pikir Perempuan berwajah kusut. Kembali ia merogoh
saku jaketnya yang berisi dua gepok uang. Sejenak
berpikir: “Wah kalau disini bisa berabe,” “Permisi
pak, saya mau buang air dulu,” katanya. Perempuan
berwajah kusut pergi ke WC, diikuti petugas kereta.
Mungkin petugas itu khawatir kalau-kalau Perempuan
berwajah kusut ngabur.
Tidak lama kemudian Perempuan berwajah kusut keluar
dengan memegang selembar uang lima puluh ribuan di
dalam sakunya. Petugas kereta yang sejak tadi menunggu
di pintu WC, langsung menampankan tangan dan
diterimanya uang dari tangan Perempuan itu. Petugas
tidak bertanya kenapa pinggir-pinggir uang itu
robek-robek kecil, hanya meraba-rabanya sebentar: asli
atau palsu. Diciumnya uang gambar Presiden tersebut
dengan mesra. Perempuan berwajah kusut terkejut,
ternyata uang yang diterima petugas kereta itu tidak
ada masalah.
Uang dua gepok cukup membuat Perempuan itu tentram,
tetapi tidak bagi rasa berdosa; mengambil hak orang.
Segala sesuatu yang ada di sekelilingnya seperti hantu
membayanginya. Ia ke tempat semula, memendam
debar-debar resah di dada.
“Aaaaaaaaaaaa... Aaaa... aaa aa a.....,” perempuan
necis menjerit ulang dan menangis. Pria yang di
sampingnya diam saja, pikirnya; pasti perempuan itu
bercanda lagi, berakting, minta diperhatikannya. Pria
itu pura-pura tidur. Perempuan berwajah kusut, melihat
keseriusan dalam kesedihan dan tangisannya. Dia
menghampirinya.
“Ada apa mbak?”
“Ada yang bolongin iniku, hancur, habis,.....”
Perempuan necis menyodorkan tasnya yang bolong hampir
se-per-empat-nya, dan memperlihatkan isinya pada
Perempuan berwajah kusut.
“Wah ini pasti pekerjaan Celurut mbak! Mmm ini apaan
mbak, sabu-sabu ya, atau putow?” Perempuan berwajah
kusut melihat sesuatu seperti yang penah ia lihat di
TV tadi. Tapi ia tidak perduli.
“Ah masa Bu, ada Celurut makan uang bu? Bercanda.
Mana mungkin kereta Dwipangga* ini ada Celurutnya.
Mustahil, Impossible...sebellllll.”
“Apa anda ndak tahu, sekarang sedang musim Celurut
dan hama wereng mbak?”
Pria yang pura-pura tidur itu, terperanjat dan
berdiri: “Mungkin Celurut itulah yang menghabiskan
uang di bank, bukan diselewengkan, pasti Celurut
berdasi masuk bank. Berapa uangnya yang hilang, mbak?”
“Cuma lima gepok.”
“Lima gepok?”
Perempuan necis itu menangis sejadi-jadinya, uangnya
lenyap. Perempuan berwajah kusut merogoh saku jaketnya
dalam-dalam. Dalam hatinya ia tersenyum, “Apakah Tuhan
tahun ini akan terus berpihak kepadaku? Terimakasih
Celurut, kiriman uangnya sudah kuterima. Cash. Akan
kujadikan modal. Apakah uang ini hasil penjualan
barang haram itu? Ah masabodoh, yang penting uang
sayaaang.” Perempuan berwajah kusut menggenggam erat
uang dalam jaket kumalnya, seperti menggenggam dosa
dua gepok uang bergambar presiden itu. Dia tidak jadi
meminjam ke bank, ia meminjam langsung pada Tuhan.
Palembang 2003
* Dwipangga: Kereta eksekutif jurusan Solo
Balapan-Jakarta (Argo Dwipangga)
* Celurut: Tikus kecil
Boneka Anjing Berwarna Pink
Jajang R Kawentar
Perempuan sarat penat mengiba sebakul anggur untuk diperas sebagian di pendam.
Ia berjanji dengan seorang pengamen di tepi sungai Musi yang keruh lumpur pabrik sedang airnya pasang bergelombang perlahan. Dari seberang naik perahu ketek melewati jembatan Ampera yang kian renta. Sampai di tempat yang dijanjikan tepat.
"Itu dia perempuan berjilbab! Katanya hari ini adalah tanggal kelahirannya. Ingin menghabiskan waktu denganku. Apa mungkin ia percaya dengan bujang buntu, pengamen Benteng Kuto Besak? Ah yang penting penampilan dulu. Sampai di mana kemampuan mempermainkan kata-kata dan suasana. Aku yang terbawa arus atau dia yang akan hanyut dalam nina bobok seribu satu wajahku."
Sepertinya ia seorang muslim taat. Sholat tidak pernah keliwat, di dalam tas warna hitamnya terbuka seperangkat alat Sholat dan boneka anjing berwarna pink. Katanya anjing itu kawan setianya. Tidurpun bersamanya. Anjing pink kecik itu namanya seperti nama aktor bintang film Bollywood. Berulang kali ia memanggil namanya dengan kasih sayang sambil dipangku dipeluk cium. Lalu diletakkan kembali ke dalam tas. Kepalanya sedikit ke luar. Supaya memperhatikan kami berdua berbicara, katanya.
"Aku nih bujang lapuk, buntu pulok. Kiro-kiro dio gala kuajak ke tenda biru, nanggap Orgen Tunggal dari Kertapati sano. Samo nanggap kiayi sejuta umat. Maskawinnya gitar kopong, sekeranjang puisi dan sebakul rindu di relung-relung hati dalam dinding-dinding jantungku."
Jilbab putih sampai gelembung buah dada. Pakaiannya warna cream agak ketat. Sehingga lekak-lekuk tubuhnya terbentuk kain tipis yang melapisinya agak seksi. Merangsang bagi yang melihatnya. Badannya tidak begitu tinggi. Namun cukup sintal. Ia baru kira-kira empat bulan tinggal di Kota Pempek. Ia lahir dua puluh tahun lalu di kota Lampung, tepatnya di Kota Bumi. Namun lebih tepatnya lagi entah di pedusunan mana. Wajahnya bulat, matanya bulat bibirnya tebal, alisnya tipis, hidungnya agak pesek. Cara berbicaranya tidak menunjukan yang terpelajar. Tapi, katanya ia sales produk multilevel marketing. Sebagai sales ia sudah cukup mahir dalam soal mengarahkan lawan bicara supaya terus memperhatikannya. Namun sebagai pribadi dia kurang mampu membimbing dirinya yang kosong dan sunyi.
"Aku sarjana lulusan fakultas ekonomi jurusan manajemen, jadi tukang ngamen. Padahal cita-cita jadi manajer Bank. Apa aku salah jurusan? mestinya sekolah seni, bukan ekonomi. Tapi wong tuo jugo yang kepengen aku sekolah ekonomi. Kalu aku sekolah seni dak katik yang gala biayai. La rusak nian memang dunio ni."
Ia terdiam. Air matanya meleleh membelah pipinya. Mengalir sederas sungai Musi. Sengaja kudiamkan dan kutatap lama kunikmati kekosongan dan kesunyiannya. Biar, biarlah memorinya melayang mengembara ke negri impiannya. Aku lebih suka kalau sesuatu yang belum dicapainya ia nikmati dalam imajinasinya. Puas, puaskanlah hati sehingga kekecewaan luluh latak.
"Ingin rasanya kubisikan Selamat ulang tahun. Semoga panjang umur, enteng jodoh, banyak rezekinya, sukses dan sehat selalu. Kamu sekarang tidak sendiri, aku di sampingmu menjagamu. Jangan kau risaukan lagi, untuk sekedar makan siang dan malam, atau beli permen kesuakaanmu. Namun tiada daya menyampaikannya, sungguh aku ikut bahagia sekaligus bersedih."
Ia hanya sendiri di kota yang keras, penduduknya doyan kapal selam. Ia tidak gentar. Aku yang baru dikenalnya kemarin diserahkannya seluruh kepercayaannya, sedikitpun keraguannya lenyap. Sebelum aku di sampingnya, Tuhan telah dulu melindunginya. Aku mengira, ia sedang dalam krisis psikis.
Meskipun ia tidak bercerita tentang didirinya, aku tahu keadaan ia sekarang sebenarnya. Terpaan hidupnya yang ganas semacam orang terkena sumpah sampah atau guna-guna ginogitu. Pasrah dan menyerah menjadi tumpahan segala bebannya. Hanya saja tidak cukup itu sebagai tumbal. Akan tetapi kelelahannya telah meradang menjadi pesakitan. Gila. Orang-orang gila memandangnya.
Tidak ada yang sempat harus dibicarakan dengannya dalam pertemuan empat mata itu. Tangannya yang bermain, matanya yang bermain, hatinya yang bermain, pikirannya yang bermain . Wajahnya ialah rajutan kekuasaan Tuhan yang ia pikul selama hidupnya. Namun kemampuan menyelimuti kekakukikukan kenyataan keterampilan andalannya.
Hari semakin lanjut malam. Boneka anjing berwarna pink terus mencatat dan mencermatpandangi kami tiada henti.
Benteng Kuto Besak, Feb 2005
MOHON DO’A RESTU
Jajang R. Kawentar
Mira tersiksa dengan perlakuan Masdar, tunangannya. Dia selalu menghindar kalau diajak jalan-jalan ke Mall, kalaupun mau, pasti menelusuri jalan-jalan sepi. Biasanya tangan Masdar tidak lepas menggandeng Mira, kadang tangannya nakal bin jahil. Kini dipegang tangannya saja ditepiskannya, entah mengapa. Kalau Mira bertanya tentang hal itu Masdar selalu mengatakan tidak apa-apa, tetapi muka Masdar cemberut. Mira mengira mungkin karena Masdar sudah puas dengan kegadisannya. Sejak awal pertemuannya Mira dan Masdar selalu melakukan hubungan seperti suami istri. Saking cintanya Mira padanya, dia tidak pernah memperpanjang masalah itu dan dia tidak ingin membuat keributan dengannya. Namun tidak baik ada rahasia dalam hubungannya, apalagi akan berumah tangga.
Biarpun tindakan Masdar akhir-akhir ini menyakiti perasaan Mira, tetapi dia selalu melakukan hubungan suami istri. Mereka akur hanya diranjang. Padahal perkawinan mereka tinggal sebulan lagi, Masdar sepertinya mulai bosan dengan Mira, mungkin karena Masdar dan Mira tidak pernah melewatkan hari-harinya tanpa kencan. Sebelum memutuskan untuk menikah Mira dan Masdar tinggal satu apartemen.
Mereka masih kuliah di perguruan tinggi yang sama. Mira fakultas ekonomi, Masdar di fakultas filsafat. Mira berprinsip: Kenikmatan itu sangat mahal harganya, tidak dapat dibeli dan sulit untuk mendapatkannya. Apabila kenikmatan atau kesenangan itu tidak bisa dia dapatkan dari hasil kerja sama dengan masdar, maka dia akan mendapatkan kerugian, oleh karena itu perlu merger dengan yang lain dan itu sah dari pada tidak mendapatkan kesenangan atau kenikmatan sama sekali. Sementara Masdar berprinsip: Bumi ini bulat dan berputar pada porosnya dan akan kembali menempati tempat asalnya, begitu juga keinginan yang menggebu akan turun drastis sampai titik nol atau minus dan pada suatu saat akan menempati titik seratus atau seribu plus. Seperti ketika pandangan pertamanya pada Mira. Itu sangat wajar adanya dan apabila hal itu menimpa dirinya sekarang, dia harus menerimanya sebagai takdir.
Suatu hari, Mira minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Kejadian itu setelah mereka melakuan hubungan di ranjang, Mira tiba-tiba menjadi muak dengan Masdar. “Mas, aku akan pulang, mungkin lusa aku kesini lagi.”
“Pulang? Jadi bagaimana rencana pergi ke Mall besok?”
Mira menjadi benci serta gondok mendengar kata Mall dan pergi jalan itu. Apalagi kalau mengingat setiap tindakan Masdar yang membuatnya kesal, sebel. Dia tidak berani mengatakan itu. “Ibu sakit, aku akan menengoknya.” kata Mira.
“Ibumu sakit? Sakit apa? Kemarin dia telpon, dia bilang sehat.”
Mira lupa kalau setelah pertunangan itu, ibunya hampir seminggu sekali menghubungi Masdar. Mira bingung, mukanya merah padam, dadanya kembang kempis. Kerena memang ibunya tidak sakit, itu hanya alasan saja supaya dia bisa pulang. “Tadi aku telpon, sekarang ibu di rumah sakit.” Maksudnya waktu Mira telpon, ibunya berada di rumah sakit. Bukan sedang sakit. Tetapi pengertian Masdar lain, dia jadi khawatir.
“Ibu sakit apa Mir?”
“Pokoknya aku mau pulang.”
“Aku ikut!” kata Masdar.
“Ikut? Besok kamu kan ujian?”
“Oh, iya. Tapi tidak apa, cuma satu mata kuliah ini.”
“Jangan. Kamu harus ujian biar cepet lulus!” Akhirnya Masdar sadar. Apa yang dikatakan Mira itu benar. Mira berhasil mempresentasikan proposalnya. Dia pulang menemui cowok yang baru dia kenal, kerjanya sebagai manajer pabrik di kota dia tinggal. *****
Sehari setelah kepergian Mira, Astuti datang. Dia teman dekat Mira kuliah. Pagi-pagi sekali. Dia mengetuk pintu mengagetkan Masdar yang masih tidur: semalaman nonton sepak bola di TV. Masdar mengira Mira yang datang, dia sudah siap menerkam. Ia membukakan kunci pintunya, Masdar sangat terkejut, karena yang datang bukan Mira. Masdar bengong, Astuti adalah wanita yang dia incar sebelum pacaran dengan Mira. Dan Astuti juga hampir terperangkap ke dalam pelukan Masdar. Namun Astuti tidak seagresif Mira, jadi Mira lebih mudah terperangkap Masdar. Astuti membawa segerombolan tas, seperti hendak bepergian jauh atau baru datang dari jauh.
“Bagaimana kabarnya mas?” Astuti menutup mulut Masdar yang bolong.
“Eee...Astuti, silahkan masuk. Baru datang atau mau pergi?” Masdar sambil membantu membawa barang bawaannya masuk. Astuti membuka sepatunya dan menyimpannya di depan pintu agak menyamping.
“Saya sengaja datang ke sini, Mira ada mas?” Astuti kagok, karena dalam hatinya masih menyimpan perasaan cinta yang pernah kedodoran itu.
“Istriku pergi ke rumah ibunya, nanti sore juga datang. Ada yang penting?”
“Tidak ada.” Jawab Astuti; Rupanya Masdar mengakui Mira sebagai istrinya. Mungkin supaya Astuti tidak curiga kalau mereka itu sebenarnya belum resmi suami istri. Tetapi tidak membuat Astuti menyerah, sebelum menyerang. Sebenarnya dia juga tahu kalau mereka itu kumpul kebo. “Saya mau ikut menginap di sini. Saya mau nyari kerja.”
Masdar mikir tujuh keliling, bagaimana dengan Mira? Ya kalau Astuti seminggu dapat kerja, bagaimana kalau sebulan atau setahun belum juga dapat. Apartemen itu hanya satu kamar saja. Namun ini kesempatan emas buat Masdar untuk meraih kembali cinta yang pernah kandas. Apalagi badan Astuti kini tambah seksi, memakai pakaian ketat. Masdar jelalatan melihat Astuti yang langsing, tidak seperti Mira, berpacaran dengannya malah langseng.
“Bagaimana dengan tempat kos-mu itu Tut?”
“Aku kan sudah berhenti kuliah, orang tuaku tidak sanggup lagi membiayaiku.”
Masdar akhirnya memutuskan kalau Astuti boleh tinggal bersamanya, pikirnya; Mira akan datang nanti sore dan mereka bersahabat. Pikiran serta perasaan Masdar dengan Astuti sama. Mereka sama-sama menyimpan rindu dendam, dendam rindu.
Sore itu Mira belum juga datang, biasanya tidak pernah meleset. Dia selalu tepat, menepati janjinya. Berarti dia akan datang besok pada sore yang sama, pikir Masdar. Peluang itu tidak disia-siakannya. Astuti juga mempunyai gagasan seperti itu. Di malam itu, hal yang sama telah dilakukan Masdar pada Astuti, seperti pertama kali dilakukan pada Mira yang membuat mereka ketagihan untuk mengulangnya.
Pagi harinya Masdar mengajak Astuti ke Mall beli keperluan sambil jalan-jalan. Ia sangat yakin kalau Mira tidak akan datang sepagi itu, karena dia tahu kalau Mira alergi dengan matahari pagi. Masdar meramal, pasti ia datang nanti sore pada jam yang tepat seperti biasanya. Masdar membukakan pintu, dia melihat sepatu yang dipakai Mira waktu mau pulang; ada di depan pintu bersebelahan dengan sepatu Astuti. Masdar yakin kalau sepatu itulah yang dipakai Mira waktu pulang. Di atas sepatu itu ada saputangan, Masdar segera mengambilnya, tidak salah lagi, saputangan itu milik Mira. Astuti melihatnya. Masdar pura-pura tidak terjadi sesuatu, padahal hatinya dag dig dug tidak karuan. Mungkinkah Mira semalam datang dan mendengarkan percakapanku? Melihat aku dengan Astuti sedang.....?
“Saputangan siapa mas?” Tanya Astuti pura-pura tidak tahu.
“Tidak. Saputangan saya jatuh.”
Mereka berangkat. Sesampainya di pintu mall Astuti melihat Mira baru keluar dari Mall digandeng seorang cowok, mereka naik ke dalam sebuah mobil mercy warna biru. Masdar tidak melihatnya, dia nyelonong begitu saja. Astuti berpikir: Pasti Mira tidak pulang ke rumahnya. Pulang, itu hanya alasan dia saja untuk mencari daun muda yang kaya. “Kini kau miliku Masdar”. Astuti senyum dikulum sambil merangkul Masdar masuk Mall.*****
Hari berganti hari, minggu pun berganti, Mira tidak nongol-nongol padahal perkawinannya tinggal sehari lagi. Ibunya juga tidak pernah telpon. Masdar telpon kerumahnya selalu nada sibuk. Dari keluarga Masdar juga tidak ada yang telpon. Masdar mulai stres. Astuti belum juga dapat kerja, dia malah lebih suka tinggal di kamar bersama Masdar. Akhirnya Masdar memutuskan untuk pergi kerumah calon mertuanya itu. Disana, rumahnya sudah dihias dengan janur, perasaan Masdar pun menjadi tenang dan dimulutnya mengulum senyum. “Akhirnya kawin juga” pikir Masdar. Sebelum masuk dia melihat tulisan “Mohon Do’a Restu Mira dan Roni”.
Yogyakarta-Palembang 2000
SAJAK-SAJAK DUSUN
Perampok Lembah Bukit Serelo
Sejuta bandit menunggu lembah bukit serelo, menyandera keindahannya.
Harta karun tersingkap berdesakan menampakkan diri di tanah dusun
Tiada orang silau memandangnya, memberi suluh pada bara api kehendak
Emas hitam dan minyak bumi titipan puyang beguyur memupuk keyakinan
Semua berada di ladang petani yang subur kerinduan dan kasih sayang turun-temurun
Namun harga kehidupan dengan harga ladang sebagian ditukar untuk mengganti seonggok daging yang memompa kehendak iklan
Kini warisan abadi diperlombakan pada pasar kalangan dan sejuta bandit menunggu lengah pemilik ladang
Ratusan ribu hektar wilayah asset masa depan pindah tangan pada para tengkulak
Tiada orang dusun terkeler-keler dengan mata uang yang memberi gemerlap
Kini di ladang, di kebun, di sawah, tumbuhan dan binatang tunduk pada robot-robot yang berjalan dari jantung kota, dari jantungnya modal
Rata-ratalah pada kehendak kuasa yang mengundang air liur, tak dapat lagi tertahan
Penduduk dusun terpojok pada jurang metropolitan
Matanya terbakar, segumpal daging di dada hangus menyusuri kehadiran jaman
Hidup bertetangga dengan kemiskinan yang paling dasar
Tak ada yang dapat dipegang, hanya kaki yang patah oleh kemalasan
Biji kopi, getah karet, bulir padi tinggal potret-potret di dinding
Biji kopi beralih biji emas, getah karet beralih minyak milik pemegang saham
Penduduk tinggalah di gubuk-gubuk, menyanyikan tangis ayam
Sepanjangan warisan tak pernah kan kembali ke pangkuan
Emas hitam dan minyak bumi ditinggalkan dalam nyanyian
Sejuta bandit merampok seluruh warisan puyang dengan kerinduan dan kasih sayang
Ditinggalkannya mimpi-mimpi di seberang lematang sambil menepuk dadanya.
Tak terasa keyakinan dan kekayaan lenyap di pasar serta di dada
Pagarsari, 2009
MERAPI ALAM TAMBANG
Kepada bijih emas hitam di alam merapi raya para petani berharap
Jangan eksploitasi lahan kami, biar bijih emas hitam putih dan kuning di dalamnya, biar gudang uang di dasarnya
Ribuan nyawa anak cucu kami bersamanya
Keluarga besar dan kecil berpijak di atasnya
Pucuk-pucuk daun kopi kering dan ranting-ranting menyimpan pesan ribuan tahun sejarah yang kan sirna
Kini ribuan kendaraan raksasa berduyun-duyun mengangkut bijih emas hitam putih dan kuning ke depan gerbang industri petaka yang mencetak dolar untuk membeli lumbung bencana
Aduhai kota mimpi pesat kemajuan dusun, lapangan kerja petani menjadi lubang suram anak cucu
Kenikmatan semu itu digusur ke kota di dekat tempat tidur orang kaya, yang menempatkan orang-orang di pabrik-pabriknya, otaknya dicuci dan diperas segalanya
Hanya keindahan negri kebun kopi dan karet, wanginya tertanam dan kini kenangan
Mereka beramai-ramai menjual lahan tani untuk membeli sofa, Handphone, motor bebek atau parabola
Mereka beramai-ramai menggadaikan cangkul dan traktor ke perusahaan tambang, manalah laku di pasar saham, palinglah setinggi buruh angkut atau ganjal ban eksapator
Mereka beramai-ramai mengejar ramainya kota sebagai surga yang hilang disejuknya perbukitan
Kurang apa lagi bijaknya lahan warisan yang menghidupi ratusan nyawa memenuhi jaman dan rangkaian silsilah puyang hingga ditampikkan kepada pemakan diri sendiri
Banyak yang terbuang dari alam pikir hingga alam penghidupan
Usah berharap pada kenangan semua telah digagahi
dan mintalah segera hentikan
Lahat, 2009
ALAMAT BARU
Alamatmu dimana bukan pekerjaan kontraktor bukan
Puluhan tahun mengukir alamat kini bangunan alamat sederhana dengan cara sederhana berdiri tegap bersama alamat tetangga
anak-anak berjalan sekolah tingkat tinggi
pagarsari ujung puncak bukit
nama terpampang memancar sinar
orang-orang memandang pasti, surat datang sendiri
tamu sarat singgah, alamat milik sendiri
alamat lama bedeng seng sirna sendiri
ingatan menyusuri pagarsari ujung puncak bukit
alamat sejahtera milik kami
berteduhlah seluruh garis dari orang-orang pencari alamat
alamat ini untuk siapapun menghendakinya
asal semua merasa memiliki
alamat baru diukir setahun silam
singgahlah kalau kau suka
Lahat, 2009
DI ALAMAT BARU
denyut kota di bawah bukit berkeliaran di pandangan
pohon-pohon alamat tumbuh menjulang dan seperti talang
sejumput-sejumput kehidupan mencari alamat
ada yang menghapus dan mengkur serta mengukir alamat
pun berlari dari alamat
di alamat baru udara segar berlimpah
air lematang diantar alamat
tunggulah di alamat baru
mendekatlah dengan kami
banyak suka menghampiri
Lahat, 2009
UNTUKMU
Panutan dalam tetek bengek
Aku belum mampu memenggal hidup
Yang kelewat jahil
Dan perjuangan berubah tak bermakna
Usahlah katakan aku beramal
Umpamakan saja pembunuh kau kandung
Yogyakarta 10 April 1995
Memecah Ombak
Kepala dibentur dinding ombak
Pecah, lantai gelisah
Dirimu membaca raut wajah memerah
Bunga merekah di atas rindu
Kecupan pertama kali karam bersama
Dasi kupu-kupu biru
Kau berdiri depan pintu
Menghirup seluruh
Relakan badan terbelah
Kala kulewati jalan pijakanmu
Salam dari anak perahu
Memecah ombak mimpimu
Sei Selincah, Okt 02
Katamu
Jangan biarkan tikus dipenjara cinta
Wahai perempuan di mata dunia
Adalah alat vital
Kau hirup bau nafsu
Menjadi bayi
Menjadi penghuni perumpamaan
Perasaan dan nalar
Apakah benar itu perumpamaan
Nabi atau anak ingusan
Dari sini tidak tersirat harap
Dari sini pemandangan terkabarkan
Berupa bulu-bulu
Gatal tak gatal digaruk di kepala
Itulah penjara itulah cinta:
Katamu lembut
Kenten, Sept 02
.
Kepada Ali
:Kawanku di Aceh
Berteriak darah
Berbentuk kerikil digenggaman
Peluru kendali di denyut nadi
Kaukah itu
Bakung, 105112000
Prasasti Usang
Aku belajar pada gunung Dempo dan Jempol
Pada Prasati Usang
Terbuang
Aku bak sampah riwayatmu
Ludas
Akulah pemerintah biadab itu
Wahai para cecunguk
Itulah kukatakan tadi
Bakung, 1052002
Biar Liarkan Saja
Kau terbakar kata neraka
Butiran permata membara dada sendiri
Kau juga anjing
Penjaga kebusukan
Biar liarkan saja
Bakung, 105. 2002
PUASA
Puasa
Berperi haluan indahnya nurani ditusuk belati
Menjerit nikmatnya ujung hati
Suasana ketulusan menyemai surga
Puasa
Doa berharap terlahir
Kuasa Tuhan terlaksana:
Puasa
Kenten, 8102002
TUHAN I
Prit-parit
Comberan
Belatung
Cacing
Borok
KeagunganMu
Kenten, 182002
TITAH
Pura-pura rupanya
Lupa alif pula
Tantangtintingtenteng
Ngaji ilmu bila pilu
Ambil Wudlu
Titah patuh tak jemujemu
Kambang Ikan, 2002
Hujan
Hujan tuhan air mata
Hujan kalimat tuhan
Hujan menghujam hutan tuhan
Hutan hantu hujan air mata
Hantu tuhan hujan kalimat
Maksiat
Kambang Iwak, 2002
Obat Nyamuk
Malam berlumur darah
Tiga nyawa lepas di tangan sekaligus
Kawanan pencuri terbang membawa kejahatan
Tak ada lagi cerita
Preman nyamuk bertahta
Dihalau senjata kimia
Perang terjadi di media
Obat nyamuk racun serangga
Bakung, 2003
SILAT LIDAH
Silat lidah puncak penatmu
Jujur ditunggu-tunggu
Pikiran terpenggal
Perkata menyayat-nyayat telinga
Peduli apa, senjata di balik kata dan celana
Kaparkan di parit atau muka rumah
Lalu labeli: dijual!, tukar tambah
Atau di sewakan pada selembar kertas putih
Usung diri sendiri ke liang lahat
Ini jaman 2000an, apapun berkenan
Semua setujuan
Menyayat-nyayat telinga biasa
Mencincang hati lalapan hari-hari
Silat lidah olahraga sehat kapan saja
Cuci mata cuci otak berbelanja
Supermarket rumah mimpi
Upacara pagi depan televisi
Pekerjaan takan terhenti
Tiada mengenal lelah
Yang penting happy
Silat lidah seni beladiri masa kini
Bakung,105. 28122002
Aku Menunggu Hujan
Aku menunggu hujan
Tanamanku hangus di ladang
Kuagungkan sisi jari mungil tuhan
Bercinta
Berlari terus bercerita
Mencari persatu hembusan
Suasana erotis
Pengertian bull shit milik para pengecut
Katakan semua
Pakai topeng
Generasi badut
Pengaruh melawan alam
Hina jelata di mata
Pemandangan dunia menyebar
Kutunggu hujan
Kambang Iwak, 2002
SYAIR BAWAH TRAFFIC LIGTH
Syair lirih suara bawah traffic light
Mencincang memeras mencuri
Hati rasa otak
Menerjang-terjang idiologi babi buntung
Idologi perut bawah perut
Idilologi ibu pertiwi
Oh ibu suri pertiwi
Kini sembako di ujung langit
Dapatkah idiologi subsidi
Atau UUD baru
Atau tahi kucing
Atau babi ngepet
Atau penjara
Atau pemilihan langsung umum bebas rahasia
Atau tidak langsung sikat rahasia umum
Bebas dan langsung
Syair lirih bawah benderaku
Syair bawah traffic light
Sei Selincah, 2002
BATU
Kurang ajar
Katamu meledak
Koran hari ini
Siapapun tahu batu
Singgah padamu
Bakung, 105. 2002
PERBEDAAN
Kau bersenjata mesin, aku nyali
Kau berseragam, aku telanjang
Yogyakarta, Maret 1998
PUPUK
Bukankah pupuk menaburkan
Airmata ke tubuh bumi
Dan petani menuai amarahnya
Menanggung tunggakkan
Tak usai lunas
Membasmi segala
Membuka pupuk wacana
Sadar kesabaran utamanya
Bakung, 105. 2002
KEHORMATAN
Tetangga mengadu
Celana dalam anakgadis diculik
Kehormatan digagahi
Pemuda dibawah umur merenggut
Tali beha putus diperdaya pula
Diremas-remas hati luka
Darah muda mengalir di tubuh
Perawan tua kampung tersebut namanya
Minta kawin segera
Di jalan dihadang orang tua
Pemuda berkedudukan harapannya
Pemuda impian dijerat tipudaya
Perawan tua kampung tersebut namanya
Tercapai cita-cita
Mengeluh pemuda bawah umur jadinya
Perawan tua kampung menghiasi cerita berusa-busa
Celana dalam koyak di sengaja
Banyak pemuda mencicipi
Kehormatan telah hilang sebelumnya
Piala bergilir dulunya
Mengeluh pemuda bawah umur
Tiba getahnya
Berteriak terperosok lubang dalam kehormatannya
Bakung, 2003
PEGADAIAN
Celana dalamku koyak
Pakai puisi orang-orang tertawa
kutambal
pakai duit baru bisa
aku tidak percaya
puisi gagal bisa nambal
celana satu-satunya koyak di pegadaian
FUCK YOU
Membaca suratmu dijepit pintu
Cinderela menemukan sepatu kaca
Pecah dua kalimat di mulutnya
FUCK YOU!
Astaga gua dikibulin Anjing
harta berharga kecolongan
malam tadi bujuk rayu mesra
hilang ingatan
berlayar ke ujung pulau
12 ronde di ring
KO
Sumpah pocong di peternakan
Sumpah serapah sialan
Membaca suratmu mengukir tinju
Sewindu lalu
Bakung 105, 2003
TEH TUBRUK KOPI TUBRUK
Kemarin teh tubruk kopi tubruk gunung Dempo
Hari ini petani keracunan urea
Tersedak kimia, tanah tandus, banjir dan longsor
Petani di amputasi
Pemetik teh kopi menjual tenaga ke
Dipetik para begajul
Menyisakan lapar tak berkesudahan
Menyisakan pedagang anggur
Menyisakan bajing loncat
Menyisakan bandit-bandit
Menyisakan tanda-tanda:
Buat apa P dan K KTP MPR
Besok teh tubruk kopi tubruk negri adikuasa
Meraja
Lahan petani terlunta-lunta
Anak istri menganga
Wibawa kepala RT tiada
Menyuapi konglomerat yang ada
Pekerjaan senantiasa mendapat pahala
Celakalah umat segera
Pejabat negara tidak becus menjaga
Kambang Ikan, 2003
PEMANDANGAN KEDAMAIAN
Harusnya ruang rohani membebaskan kuasa pada hak milik
tanpa toleransi tanpa deskripsi
Satu-satu menjadi kata benda,
penjelajahan terjebak lembaran harga di pasar
Bukan kuasa petunjuk dengan alasan benang kusut
Harusnya kuasa Tuhan bersama pandangan-pandangan
Pemandangan damai.
ANDAI KAU DI SINI
Waktu lari mengejar janji
Ingatan erat merekat
Mencumbu kian dekat
Hanyut bersama hujan
Mengalir setiap sore hingga larut malam
Membanjiri jiwa mendamba
Kau pendamping
Terlukis mengharap tiba memeluk hidup
Buah telah matang di pohon
Minta dipetik
Jambu, salak dan rambutan
Untukmu
Tugas lebih berarti
Andai kau di sini
Tasikmalaya, 1995
SUDUT KERINDUAN
Kutinggalkan kau dengan rumah
Cahaya hati dan sudut kerinduan
Dalam keterbatasan pandang dan raga
Ingin kurengkuh
Andai tanganku dapat menyambung hidupmu
Disini
Tasikmalaya, 1995
PENJARA
Jeruji air jatuh
Aku terkurung di situ
Setengah hari mencumbumu
Di rumah ditunggu rindu
Wajah disambut cemberut
Setengah mati cemburu
Aku ingin membantu memecah batu di dadaku
Kau dibuai bisikan angin
Bermimpi taksadar diri
Penjarakan aku
mati kutu
Kambang Ikan, 222003
ARUMBA
Musik bercerita bunyi
Tentang melodi hidup:
Nyiur
Gemericik
Semilir
Negeri agraris
Negeri Alunan Rumpun Bambu
Sei Selincah, 2003
Pelacur
Ibu Pertiwi melacurkan diri
Pura-pura TKI
Menjajakan vagina ke negri tetangga
Pakai paspor resmi penghuni negri
Kedaulatan bulat dihianati
Belati tertancap di hati rakyat
Cucuran keringat budak sepanjang jaman
Selama hayat dikandung badan
Menanti perubahan peradaban alam
Sampai ibu pertiwi sadar diri
Bocah ingusan memimpin negri
Bakung, 2222003
NEGRI UBUR-UBUR
Malam ini kumakan kenyang
Tubuhmu semlohay
Terdampar di ranjang
Negri ubur-ubur
Aku tergiur puting korupsi
Berdasi tanpa CD dan BH
Di lokalisasi terhormat
Mengaji konstitusi, hatinurani
Rakyat tetap birahi terpendam
Gagah berani siap diperkosa
Sepintar-pintarnya aset negri ubur-ubur
Pemuas hawa nafsu sepanjang jaman
Bakung, 2003
TUNGKU
Tungku menyala di ufuk
Menanak sawah pertanda
Menanak pabrik pertanda
Suluh berduyun-duyun dari dusun
Mempertaruhkan api jiwa
Maslahat
Menanam anak masa depan
Mengolah keagungan
Oh pengangguran alam luncurkan buku bacaan pekerjaan
Dimanakah hak yang dimakan
Dimanakah kewajiban kemanusiaan
Cinta dialamatkan
Perang dipertautkan
Berlabuh di muara perempuan
Bersandar pada mercusuar kejantanan
Penduduk ketakutan
Sebagian tertawa kegirangan
Tungku padam di barat daya kemiskinan
Bakung, 2003
PERJALANAN
Malam ini mayat dikuburkan
Orang-orang mendengkur
Hidup ditangguhkan
Menjemput fajar kehidupan
Relung perjalanan
Mata perlajaran kesenian
Bakung, 2003
31
PERTUNJUKAN HARI INI
Kekerasan lapangan pekerjaan luas
Saat ini menangis menderu
Bertemu pada orde
Berharap pada partai
Menjual janji
Memupuk mimpi
Pencabulan pekerjaan lapangan luas
Pertunjukan cantik hari ini
Bakung, 2003
MEMBACA
Membaca Karl Marx
Menghisap rokok sampai pabriknya terbakar
NAFKAH
Nafkahku hari ini bertemu malam
Bertemu kawan
Meruntuhkan harapan dan mimpi anak istri
Rumah kontrakan menerima sumbangan
Bersembunyi di perut
Terasa lapar dan dahaga
Terasa benar dan salah berkata
Nafkahku kalah bertanding
Dengkul melawan kesebelasan monopoli pasar
Arena Imperialis kapitalis
Pembantaian restu hukum
Nafkahku menemui ajal
Saat pedang ekonomi menebas
Kedua tangan dan leher putus di jalan menuju sarapan
menghantarkan makanan dan minuman ke mulut membusuk
AKU DI ATASMU
Kalau begitu aku mampu di atasmu
Sayang aku cemas pekerjaan tetap
Sungguh mampu mengejarmu
Tapi makan anak istri
Kalau begitu tunggu esok
Aku di depanmu
Merampas seluruh padamu
SATU NUSA SATU BANGSA
Tuhan biarkan aku membencimu
Ah aku sedih
Apa kata air matatuhan jauh
Membunuhku
Mengganggu jalan hidup
Ah aku mau saja dibodohi
Tuhan di mana
Aku di lumpur
Biarkan aku menghabisimu
Hatiku satu jadi ragu
Satu nusa satu bangsa
Tuhan maha esa
SEMBARANGAN
Sembarangan bicara tuhan tidak ada
Bagaimana kalau benarbenar ada
Tidak percaya alamat neraka
Percaya masuk surga
Apa kabar tuhan
Apakah perlu maha psikiater
Manusia menganggap diri tuhan
Membaca kitab kiamat segera
PANCE
Pengusaha Batu Bara
Wak Ranca la seminggu ini begorek di kebunnye, kalu-kalu saje ade biji batu-bara di lahannye tu. Kalu seandainye saje ade, ini lokak besak, bakal jadi jeme beduit. Hamper gale-gale tetanggenye, la merate bemotor bahkan ade yang bemobil. Gara-gara di kebonnye ade biji emas hitam alias biji batu bara. Tinggal saje wak Ranca yang kular-kilir bejalan keting saje kadang naik ojek tetanggenye. Kinaan rai Wak Ranca agak kusam dan masam.
“Kalu ketemu emas itam di kebon tu, aku nak muka usaha suhang saje. Usaha batu bara Ranca Sukses Makmur. Yang lain pasi lewat,” uji wak Ranca.
Wak Ranca belum ngerti kalu wak Barum la lame jadi makelar lahan tanah. Utamenye lahan tanah yang mengandung bijih-bijian atau yang mengandung minyak-minyakan, seperti bijih emas, bijih besi, bijih kace, bijih batu bara, dan biji kopi, atau yang mengandung minyak, seperti minyak serai, sawit, minyak tanah.
Sementara wak Ranca kepeningan makmane nian bijih batu bara tu. Gale-gale tetanggenye kebonnye la dijual dengan Perusahaan Tambang. Mangke tanah itu dibeli jeme, pasti ade ape-apenye di bawah kebonnye tu. Tapi dide nian ngerti dengan bijih batu bara ade dide di kebonnye.
Gare-gare itu wak Ranca midang nak nanye dengan wak Barum, makmane nian dengan batu bara. Masalahnye wak Ranca dengar kalu perusahaan batu bara di Lahat la maju nian. Die nak niru, perusahaan itu.
“Ngape kaba galak pening Ca. Kalu kaba nak ngerti, tanah Lahat ini ade gale bijih batu bara. Kalu bukan batu-bara mungkin ada minyaknye. Kite dek pacak ngolahnye dewe, ade alat dewek nak ngaweke bijih batu bara tu. Dide mudah Ca. Mendingan tanah tu dijual saje. Kite dapat duit banyak, pacak meli segale macam yang dek pacak kite beli dulu. Kite pacak senang-senang, ao?” kate wak Barum.
“Ai Barum, kobon aku ni cuma itulah. Kalu kebon itu dijual makmane dengan lahan sawah ayu kaba tu, kite sare nak betani. Kele makan dari mane, duit dari jual kebon dek mungkin cukup untuk idup. Makmane uji kaba?” jawab wak Ranca.
“Duitnye kele dibuat modal lain saje, atau buat beli kebon yang lain. Kalu pacak kan kaba jadi pengusaha,” kate wak Barum.
“Itu die, aku nak jadi pengusaha saje. Pengusaha batu bara, tapi batu bara di kebon dewek. Aku kire kalu saje kite galak same-same, besatu. Pacak ngawe perusahaan batu bara. Makmane uji kaba Rum?” (jrk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar