Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Bukit Serelo Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
Catatan Buku Antologi Puisi Empat Wajah
Jajang R Kawentar
Manusia diturunkan ke bumi ini sebagai kholifah, sebagai pemimpin, baik pemimpin bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat dan seterusnya. Kholifah ini kita artikan saja dengan bahasa populis: Presiden. Pasti ada yang tidak menerima dengan pengertian yang saya ajukan tersebut. Tetapi, anggap sajalah itu Presiden. Presiden yang saya maksud adalah presiden dalam buku antologi puisi “Empat Wajah”; karya cipta penyair cukup “kongkorongok, kukuruyuk” di Sumatra Selatan dan Nasional. Siapa saja empat wajah tersebut?: Ahamad Rapanie Igama, Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu dan Z.A. Nara Singa. Mereka merupakan generasi yang cukup ulet dalam menggeluti profesi dalam kepenyairannya. Sehingga mampu menelurkan karya-karya baru, meskipun tidak semuanya segar, bahkan ada juga yang basi.
Cobalah membaca ulang beberapa kumpulan puisi Rendra, Taufik Ismail, Gunawan Muhamad, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji, Acep Zamzam Noor, Ira Iramani, Sobron Aidit dan masih banyak lagi deretan penyair yang mendokumentasikan ke dalam buku. Sampai saat ini buku-buku sastra terus mengalir. Dengan membaca beberapa buku kumpulan puisi itu kita akan mengetahui ke mana arah “Empat Wajah” itu menghadap, serta akan menunjuk kholifah atau presidennya.
Presiden apo dio? Kita pernah mengenal atau mendengar Presiden Malioboro, di Yogyakarta: Umbu Landu Paranggi sekitar tahun 1971. Ia aktif sebagai penggerak dalam Persada Studi Klub dan juga sebagai pengasuh lembar budaya koran Pelopor. Dialah yang selalu memberikan semangat kepada sastrawan atau penyair muda dengan telaten dan kerapkali mengadakan pementasan, diskusi, dialog bersama Umar Kayam, Rendra, M.H. Ainun Najib dan dedengkot-dedengkot sastrawan (seniman) Yogyakarta di Malioboro sambil lesehan. Hampir setiap Minggu bahkan setiap hari selalu saja ada kegiatan yang mereka lakukan.
Di sini saya mensinyalir terdapatnya singgasana kepresidenan yang telah di duduki. Meskipun kursi kepresidenan yang di gunakan atau kebijakan yang di lakukan presiden ini berbeda pula dengan yang dilakukan oleh Presiden Malioboro. Dan, belum ada persetujuan ataupun pernyataan dari kalangan masyarakat sastrawan wong kito, tentang kedudukan presiden ini. Barangkali masih takut, atau ragu-ragu, atau malu-malu, atau tidak tahu, atau menolak kehadirannya itu. Mungkin sayalah orang pertama yang menyatakan telah lahirnya seorang Presiden itu. Saya yakin pernyataan saya ini akan menimbulkan pro-kontra antar penyair kito. Namun tidak akan sampai muncul slogan seperti “mendukung Presiden sampai mati”. Kagek dulu oi..mati!
Lesunya kegiatan sastra; umumnya seni, di Palembang, mungkin karena tidak adanya pengukuhan tentang jabatan presiden. Selama ini jabatan Presiden di sini kosong. Mungkin tidak ada yang berani, tidak ada yang mau, atau semua merasa menjadi presiden. Padahal tidak semua orang mampu menjadi presiden. Dalam pengertian, presiden yang mampu meminpin umatnya (baca: para penyair atau sastrawan). Siapakah Prsiden itu?
Dengan munculnya antologi puisi Empat Wajah, menjawab keraguan penyair dan masyarakat, mengenai: siapakah penyair kita yang terpampang di rak buku, baik rak buku di Toko Buku atau Perpustakaan atau di rak buku pribadi?. Dapat dinikmati dan dikenang. Selama ini hanya terpampang di selembar koran, sesudah itu dibuang atau dikilokan (dijual). Kalau begitu, sungguh sayang karya-karya yang monumental tidak terdokumentasikan secara utuh. Hanya sesaat belaka. Dalam hal ini memang, kita perlu kepeloporan, perlu presiden untuk mendokumentasikan karya-karya sastra kita, supaya masyarakat atau anak cucu kita dapat mengenali penyair daerahnya sendiri. Jangan sampai seperti peninggalan kerajaan Sriwijaya, entah di mana, tidak pasti. Baru katanya saja. Barangkali setelah terpilihnya presiden, kegiatan kesenian di Palembang jadi lancar, banyak kegiatan sastra atau kegiatan seni rupa atau pentas teater dan tari, serta mau memperjuangkan seni dan kebudayaan kito. Amien.
Sepertinya, “dua wajah” dari Empat Wajah itu terus bersaing, antara menjadi Presiden atau menjadi tukang pijat Presiden, atau saling pijat-memijat diantara keduanya. Siapa saja yang bersaing itu? Bersaing? Memangnya balapan? Apalah maknanya, marilah kita sama-sama mencoba mencatat atau memperhatikan Puisi A. Rapanie Igama.: Kebanyakan puisinya bermain-main dengan kata dan bunyi yang ditimbulkan dari kata yang ia pilih. Barangkali karena konsentrasi penulis bercabang kepada bunyi atau makna. Sehingga antara tema yang diambil dengan pesan yang akan disampaikan menjadi hambar. Kata dramawan Rendra bahwa untuk sebuah karya yang monumental, dibutuhkan kefrustasian yang sangat besar. Kefrustasian adalah stres dan goncangan jiwa. Mungkin saat penciptaan karya goncangan jiwanya kurang.
Ada beberapa puisi yang dianggap berbeda dan lebih mantap: “Rindu” dan “Sketsa Kota”. Rindu (Bagi: d&t): ini rindu/ mendesak/ mengeluarkan/ seluruh air tubuh/ menghimpit seluruh jerit/ ini ronta/ terkurung di dada/ ini langkah/ terjepit di jejak/ ini mata/ tertambat pada bayangmu/ sunyi/ kugenggami bening pagi/ jerit luka bunga/ ringkik kuda birahi/ dibenamkan sumur/ di gunung sunyi/ di tengah kota merah/ menyala api/ rindu/ dibenam sekam, (hal.13).
Bagaimana dengan karya Anto Narasoma? Beliau ini banyak mengungkapkan tentang kemanusiaan, kekuasaan dan keagungan Tuhan. Saya melihat dunia kewartawanannya sangat kental dalam karya-karyanya, misal tercermin jelas dalam “Palestina Dalam Sebidang Papan Catur”, “Lenyap dalam Mimpi dan Kekerasan (Kepada Eurico Guteres)”. Beliau ini cukup lihai mengatur emosinya sehingga membaca karyanya terasa dinamisnya. Ia tidak memberikan kesempatan kepada pembaca untuk tidak mengikuti liukan-liukan bahasa atau kalimat yang ia titipkan makna di dalamnya. Ada satu puisi yang saya anggap menarik, berbicara kepada istrinya tetapi sesungguhnya kepada semua ibu-ibu atau perempuan masa kini, begini: tidurlah,/ jangan membelalakan mata/ pada bantal yang tergolek/ di atas mimpi tanpa batas.// sebab,/ mimpi akan menjelaskan kesia-siaan/ saat keinginan mendongak/ dalam sekeping waktu/ antara ada dan tiada.// istriku,/ sepanjang hari yang kental/ berkuatlah pada susumu.// sebab,/ harta pada nilai-nilai harga/ adalah anak-anak kita.// mulut-mulut mereka yang menganga,/ dan pernik dua matanya,/ adalah ladang masa depan/ yang bernas di dalam lumbung/ kehidupan kita.// istriku,/ pejamkan matamu,/ kita akan tetap berbaur dengan cinta/ yang dikerdipkan dalam sekeping waktu/ di bawah langit-langit rumah kita, (Dalam Impian Kental (Bagi Istrku), hal. 24).
Adapun Anwar Putra Bayu banyak menyuarakan suara rakyat yang tertindas atau ditindas. Berbicara tentang kondisi rakyat di daerah, pemerintahan yang kacau dan korup, berdasar perasaaan dan pengalamannya. Sepertinya bagi dia, kata, kalimat dan bahasa, sebuah lalapan sehari-hari sehingga tampak lugas dan tegas. Baiklah kita perhatikan sajak pendeknya yang sarat kritik, Pada Sebuah Ladang: Kami riwayatkan/ semua itu kepadamu/ tentang politik yang kacau negri ini/ tentang bahasa pemimpin yang sukar dicerna/ dan tentang makna sebuah kehancuran.// Sajak tidak lebih/ sekedar kebanggaan yang mulya/ dari ladang milik kami/ dan dari bumi diri sendiri// Kemudian akan terdapat di sana/ selamat datang dan selamat tinggal/ untuk diungkapkan/ lewat sebuah coretan/ dan sebuah penelusuran/ dari pengetahuan milik kita yang sejati/ serta dalam kebenaran/ lantas kebenaran milik siapa?// Ladang sesungguhnya/ kebenaran itu sendiri, (hal. 48).
Kalau membaca puisi Z. A. Nara Singa berjudul Paku, saya teringat dengan puisi Sutardji, puisi mbeling atau antologi puisi santrawan Bandung “ORBA”. Paku: Kenapa/ Ku/ Kena/ Paku/ Kenapakukenapakukenapakukenapaku// Kena kakaiku/ Kaku/ Kuku kakiku kaku/ Kena paku/ Kenapakukenapakukenapakukenapaku// Kupaku papaku/ Memaku mamaku/ Paku papaku/ Memaku mamaku/ Maka/ Jadilah/ Aku/ !, 1985 (hal. 58). Inti dari tema puisi-puisi Z.A. Nara Singa berupa wejangan dan pemberitahuan.
Saya hanya membaca yang terdapat di buku. Saya tidak tahu siapa yang memilih karya puisi yang layak ditayangkan ke dalam buku tersebut. Apakah setiap penyair yang berkehendak, bahwa karya yang terbaik menurut penyairlah yang didokumentasikan, atau ada tim kuratornya? Setelah saya baca bolak -balik buku antologi puisi itu, sepertinya satu selera. Selera siapakah itu? Mungkinkah selera sang Presiden atau pesan sponsor?
Lalu Siapakah Presiden itu? Masih belum terjawab. Apabila menilik dari pengalamannya Anwar Putra Bayu cocok menjabatnya, tidak sedikit karyanya yang di publikasikan oleh Sumatra Ekspres, baik berupa cerpen, opini, dan puisinya. Tentunya setiap karya masuk ke redaksi, dan diproses pada sidang redaksi di sanalah Anto Narasoma berperan, beliau ini bekerja disitu. Seandainya saja Anto Narasoma tidak setuju dengan penerbitan karya Anwar Putra Bayu? Apa jadinya? Lalu siapakah Presiden itu? Jawabannya ada pada saudara pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata