Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Bukit Serelo Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
Pesan Untuk A. Rapanie Igama
Jajang R Kawentar
Mau kutumpahkan
air mata hati menahun padamu
tetapi engkau kekasih dan cintaku
kutak mau engkau hanyut
maka air diam menjadi telaga kalbu
tergenang dalam sanubariku
(A. Rapanie Igama, Air Mata, BPMB, 38.)
Tulisan ini pesan yang tercecer, sebagai upaya menghidupkan budaya kritik sastra yang “sehat”. Selama ini budaya kritik mengalami sakit. Mungkin juga tulisan ini sebagai pelipur lara, serta upaya profokasi bagi yang sedang menikmati kemewahan dan kenikmatan alam raya. Semoga saja merasa tersinggung, dan naik darah untuk menulis, mencerca tulisan ini dengan argumentasi ilmiahnya, bukan semata-mata tanpa jiwa.
Baiklah penulis menempatkan diri sebagai paranormal sastra, maka segera akan membedah kandungan dalam kata dan kalimat yang ditulis Rapanie di atas, sebagai berikut: Puisi ini ia tulis pada tahun 2001, terdapat pada buku kumpulan puisi beliau yang terbaru “Bilakah Pelayaran Malam Berakhir” (BPMB). Di cetak bulan November dan peluncurannya dilaksanakan di aula Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) pada 30 November 2002 lalu. Dihadiri oleh pejabat dewan Kesenian dan beberapa kolega, seniman dan sastrawan Palembang. Sebuah prestasi dalam dunia sastra Palembang dan nusantara pada umumnya. Kredibilaitas sastrawan lokal ini dipertaruhkan dalam menghadapi dunia global dan masyarakat yang individulistik.
Mendokumentasikan sastra ke dalam bentuk buku, merupakan upaya lebih memasyarakatkan sastra kepada khalayak. Di mana buku lebih praktis, fleksible, dan lebih utuh menampilkan sosok penulisnya, ketimbang sastra yang terdapat di Koran-koran, majalah, booklet dan sejenisnya. Namun Apakah masyarakat Palembang mencintai buku, atau gemar membaca? Berapa persen orang yang membeli buku dan berapa yang membeli buku sastra?
Dalam BPMB terdapat 26 puisi Rapanie, dari sekian puisi yang terdapat di buku, 12 puisi diambil dari buku antologi sebelumnya. Empat puisi dari buku antologi puisi tunggalnya Potret Bingkai (PB), diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Kebudayaan Wirakarsa, Oktober 1998, diantaranya puisi Kancil (hal. 2), Kepada Musi 1 (hal 4), Sang Gunung (hal. 8), Salamku Pada Muara (hal. 13), Instan (hal. 14). Lima puisi dari Antologi Puisi Menghitung Duka (MD), diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Dinas P & K, Maret 2000, Anto Narasoma, A. Rapanie Igama, I. Aditya C., Purhendi, Warman P., diiantaranya puisi, Legitimasi: Entah Milik Siapa (hal. 6), Tipu (hal. 7), Melodi rencong (hal. 8), Negri Duka (hal. 9), Legitimasi Bimbang (hal. 10). Tiga puisi dari Antologi puisi Empat Wajah (EW) diterbitkan oleh Balai Bahasa Palembang, Desember 2000, A. Rapanie Igama, Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu, ZA. Narasinga, diantaranya puisi: Kursi (hal. 1), Simpang (hal. 11), Rindu (hal. 13).
Hampir seluruh puisi yang diambil dari antologi puisi sebelumnya mengalami perubahan, baik itu pengurangan kata, misal: ini, itu, yang, di, sebab, telah, dihilangkan. Penambahan kata, atau memberi imbuhan meng, mem, atau mengubah kata imbuhan dan terjadi juga pada judul serta tahunnya. Penulis akan mengambil satu contoh puisi pada setiap buku yang diambil untuk antologi BPMB yang mengalami penambahan atau pengurangan tersebut.
Mari kita perhatikan puisi yang terdapat pada buku Potret Bingkai., judulnya Kancil; Si Kancil anak nakal/ suka mencuri timun/ ini lagu foklor/ di kebun, lapangan, jalanan/ gedung dan gudang/ berkas serta kursi (Palembang 1998). Kita bandingkan dengan puisi yang sama pada Buku BPMB: Judulnya menjadi Si Kancil; Si Kancil anak nakal/ suka mencuri ketimun// ini lagu foklor bangsawan rimba/ tikus-tikus, anjing kota dan rayap negri/ di dalam tanah kebun, lapangan, jalanan/ gedung, gudang pena dan kursi// duh, bumi negri kian mongering/ pucat anemia, terus bersenandung/ si kancil anak nakal (1998-2002).
Selanjutnya, pada buku Menghitung Duka berjudul Legitimasi Bimbang yang terdiri dari tiga bait; …..//…../ takut/ nyawa hanya seharga pisang di Ambon/ siap dilahap dan dicincang-cincang Rencong/ hingga gagap, gemetar lalu tercenung/ mencari-cari forkot merah menyala/ mencari-cari sangar banteng mulut putih/ mencari-cari green pelahap hijau/ mencari-cari loreng yang coreng-moreng/ mencari-cari pilihan para pahlawan mahasiswa/ sebab konon hidup mesti memilih/ kendatipun barangkali salah memilih// Kepadamu, Yang Mulia Ibrahim An-Nakho’i/ benarkah kami berlebihan/ bicara kami, makan kami dan tidur kami?/ Sayang hanya lembar-lembar kitabmu bicara/ tak ada cahaya menjawab/ Hanya pasti, kami masih tertambat/ pada tiang ketiak legitimasi bimbang.
Kita bandingkan dengan puisi yang sama judulnya menjadi Legitimasi 2 pada BPMB, berikut bait ke tiga dari empat bait: …..// Nyawa nyatanya seharga pisang Ambon/ siap dilahap dan dicincang-cincang rencong/ Hingga gagap, gemetar dan termenung sendiri/ Mencari-cari simbol, warna, dan pilihan/ Namun legitimasi terus menuntun pada gelombang/ Benarkah bicara, makan, tidur kami berlebihan?// Lembar-lembar kitab Ibrahim An-Nako’i/ Bercahaya memancar di atas sebongkah batu tua/ Menyaksikan sebuah perahu kandas/ Dia atas karang legitimasi bimbang. (Palembang, 2000).
Supaya lebih jelas bagaimana penambahan dan pengurangan kata dalam buku kumpulan puisi BPMB dari buku Antologi Puisi sebelumnya kita nikmati Fragmen-fragmen Kursi, puisi tersebut ada tujuh bait, dan dipilih dua bait untuk mewakilinya yaitu bait ke dua dan ke lima: (2) kursi itu kamu sirami/ dengan santet duit/ kini dia meminta tumbal/ nurani// (5) seperti di film-film kartun/ kamu dikejar-kejar kursi/ kenapa enggan?/ tak heran kalau kamu/ dilempar kursi (1998,1999). Pada buku BPMB puisi tersebut bertambah dua bait, menjadi sembilan bait dan judulnya menjadi Kursi. Kita lihat perbandingan kata pada bait yang sama: (2) kursi kau sirami santet duit/ kini dia minta tumbal/ nurani// (5) kamu dikejar-kejar kursi/ kenapa enggan berpeluk?/ tak heran kalau kau/ dilempar kursi (1998,1999, 2001).
Saudara Rapanie Igama begitu leluasanya (merdeka) dalam mengubah syair yang telah dipublikasikan sebelumnya. Ia menggunakan otoritasnya sebagai penyair sepenuhnya. Mau diobok-obok atau dicincang-cincang, direbus atau digoreng puisi itu sepenuhnya hak kehendaknya. Tetapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan setiap tahun puisi itu berubah-rubah, tergantung mood atau suasana hati. Sehingga kita pembaca harus cermat, pabila di tahun depan terbit antologi puisinya, kita cek bersama ada perubahan lagi atau tidak. Pelayaran Puisi, Bilakah Berakhir?
Dalam buku antologi puisi BPMB tersebut di akhiri oleh tiga tulisan DR (HC) Drs. H Ismail Djalili, Dra. Latifah Ratnawati, M.Hum dan Anto Narasoma sebagai pengamat. Dalam tulisan pengamat tersebut si pembaca dicoba digiring untuk memahami teks dan konteks yang terdapat dalam puisi. Teks dan konteks yang terdapat dalam puisi itu sepenuhnya adalah milik pembaca. Apabila pembaca sudah digiring oleh pemahaman, maka teks puisi tersebut akan semakin sempit. Mengandung permasalahan yang dijelaskan, tidak adalagi metafor. Karena pemahaman yang tadinya milik umum (beragam), menjadi seragam dengan adanya pembahas, atau katakanlah tinjauan atau sebuah pengantar, atau kritikan. Semestinya sebuah tulisan apapun namanya sebaiknya ditulis pada sebuah media yang memiliki kopentensi untuk itu. Sehingga menjadi wacana, dan khalayak umum akan membantah atas pemahaman-pemahaman yang keliru yang dilontarkan pengamatnya tersebut. Diharapkan akan terjadi diskusi atau dialog, baik itu antara penulis, kritikus/ pengamat dan pembaca.
Kalau beberapa tulisan pengamat disertakan dalam sebuah antologi, artinya buku itu sudah selesai (mapan). Untuk apalagi diperbincangkan. Apakah akan terjadi revisi kalau dalam pengamatan si pengamat itu terjadi kekeliruan pendapat?. Tulisan pengamat itu hak umum bukan hanya milik yang membaca buku. Tetapi bagi yang tidak membaca buku tersebut pun, apabila tinjauan pengamat atau kritikus yang membahas buku BPMB itu dimediamassakan tentu akan ikut membacanya.
Bagi penulis BPMB menggambarkan gonjang-ganjingnya situasi social politik dan budaya kita. Dikarenakan perebutan kepentingan, serta pelembagaan KKN yang semakin nyata dalam kehidupan masyarakat kita. Sehingga orang-orang seperti srigala yang siap menerkam saudara, kawan dan lawan. Biang dari semua ini adalah karena Uang yang dianggap sebagai tuhan dan kekuatan segala-galanya. Barangkali berat beban itu juga sama dengan permasalahan yang menimpanya, seperti puisi Air Mata di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata