Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Bukit Serelo Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
MENENGOK PEMBINAAN DUNIA KESENIAN DI DAERAH
Jajang R Kawentar
Apabila melihat beberapa permasalahan berkesenian di daerah hampir tidak jauh beda dengan daerah lainnya. Intinya berkesenian adalah pada pembinaan. Memang munculnya seorang seniman atau seorang pecinta seni itu tidak selonong boy begitu saja: datang, ada dan jadi. Tetapi ada yang namanya proses untuk menjadikan (seniman, pekerja seni, pecinta seni). Untuk menjalani proses menjadikan seseorang kepada yang dimaksud, ini dinamakan istilah pembinaan. Dalam istilah pembinaan itu ada yang namanya, pengkaderan atau pembibitan (baca: memberikan wacana, wawasan seni), pelatihan (workshop) karya, kritik karya, memberikan sarana yang bisa menampung hasil karyanya (outlet); berupa pementasan atau publikasi teks karya, di samping itu diadakannya kompetisi. Setiap pembinaan harus dilakukan secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dan didukung berbagai pihak. Bagaimana dengan seniman yang melakukan pembinaan terhadap dirinya sendiri yang diakibatkan dari virus mimpi untuk menjadi seorang seniman terkenal, sering kita sebut seniman autodidak.
Menjadi seorang seniman bukan anugerah, atau mukjizat, pasti mewarisi sifat-sifat dan kebiasaan seniman sebelumnya. Warisan itu diterima bisa dari orang tua, keluarga, orang terdekat, karena membaca teks, atau dari pendidik; baik disampaikan melalui oral, maupun melalui teks. Orang tua dan orang-orang yang mewarisi kesenimanan memberikan sebuah mimpi yang melekat pada alam bawah sadar anak untuk terus menggapainya.
Melekatkan mimpi pada alam bawah sadar ini memakan waktu yang cukup lama. Perlu kesabaran dan ketekunan menemani mereka hingga mereka setuju, sreg atau logis diterima akal sesuai dengan daya pikirnya. Anak sendiri memiliki penilaian yang konstan, terhadap hasil yang didapat dari pembinaan, bukan instan. Sehingga terbentuklah keyakinan dalam diri si anak untuk menekuni bidang seni yang sesuai dengan minatnya.
Pembinaan yang produktif dilakukan tentu bukan pada orang dewasa atau orang tua, akan tetapi pada akar rumputnya yaitu anak usia dini, atau pada usia prasekolah dan usia sekolah dasar, menengah pertama serta menengah umum. Karena pada usia selanjutnya adalah pemantapan mengenai pendalaman proses “menjadi”.
Tidak mudah mengantarkan anak-anak kita memasuki proses “menjadi”, apalagi menjalaninya. Tantangannya cukup rumit. Banyak faktor di sekeliling kita dan di sekeliling anak yang mengompori untuk menggembosi spirit seorang anak menggapai mimpi tersebut. Mimpi yang akan mengantarkan kepada menjadi seniman, pekerja seni, atau pecinta seni. Terkadang penggembosan itu muncul dari lingkungan keluarga, lingkungan rumah dan sistem pendidikan. Orang tua banyak tidak setuju apabila anaknya bergiat di kesenian. Alasannya menjadi seniman itu berarti menjadi gembel. Disamping itu tidak sedikit tetangga, atau kawan-kawan sebayanya yang mempermalukan, apabila mengikuti kegiatan kesenian, terutama kesenian daerah. Ada istilah gengsi, kuno atau ketinggalan jaman. Ditambah lagi permasalahannya dengan sistem pendidikan kita yang menganaktirikan mata pelajaran kesenian. Pendidikan seni bagi anak didik menjadi tidak penting karena bukan mata pelajaran yang diujian-nasionalkan. Mungkin kalau dihilangkan saja tidak masalah. Gurunya pun sulit dicari di sekolah-sekolah. Boleh di cek berapa sekolah negeri yang sudah memiliki guru kesenian. Sedangkan mata cabang pendidikan seni ada beberapa: seni media rekam (fotografi dan film), seni rupa (lukis, grafis, disain, seni kriya), seni pertunjukan (tari, musik, teater).
Perbandingan antara orang atau lembaga yang memberikan pembinaan dengan orang atau lembaga yang menggembosi, lebih banyak penggembosannya ketimbang pembinaan. Kekuatan produktif melawan kontra produktif itu tidak sebanding, walau begitu isme-isme produktif atau kreativitas seniman sangat berpengaruh terhadap prilaku kontra produktif tersebut.
Apa untungnya pembinaan kesenian dan apa kerugiannya dengan penggembosan? Di samping agama, seni berfungsi juga menghaluskan, rasa dan budi pekerti. Belajar seni dan menjadi pekerja seni dituntut untuk lebih sensitif atau peka terhadap berbagai bentuk peristiwa dan gejala yang terjadi di sekitar lingkungannya, di dalam dan di luar dirinya.
Harus kita akui kreatifitas seni merupkan bagian dari kecerdasan yang dimiliki kita. Tidak semua orang mampu menciptakan sesuatu yang dipikirkan oleh seniman atau pekerja seni, dan tidak semua orang memikirkan apa yang diciptakan seniman. Gagasan seniman dan kreatifitas seniman merupakan bagian dari kecerdasan emosional (EQ): Emotional Question. Kecerdasan yang setara dengan kecerdasan lainnya seperti IQ (Intelektual Question) dan SQ (Spiritual Question). Pada umumnya saat ini masyarakat kita atau orang tua lebih mengutamakan pembinaan IQ saja dan atau SQ saja. Karena kecerdan IQ dan SQ dianggap kecerdasan yang eksklusif, tiada bandingannya, kecerdasan yang mutlak dimiliki setiap orang yang ingin memiliki martabat. Bukan tidak mungkin hal ini disebabkan oleh faktor keterbatasan pemahaman ilmu pengetahuan atau pemikiran yang kolot, atau cara pandang orang menggunakan kacamata kuda. Untuk itu kecerdasan EQ dilirik sebelah mata.
Masyarakat kita memandang setiap pembinaan akan berakhir bagaimana seseorang mendapat pekerjaan. Karena yang dinilai dan bernilai pendapat awam adalah yang berhubungan dengan IQ dan bagaimana SQ-nya. Begitupun dalam sertifikat pendidikan formal selalu yang diutamakan bagaimana nilai IQ dan SQ. Setiap pembinaan atau pendidikan selalu yang diutamakan bagaimana nilai yang tertera di sertifikat. Bukan sejauhmana kemampuan dan keahlian apa yang telah dimiliki anak. Karena membubuhkan sebuah nilai sangat mudah, memiliki kemungkinan untuk dikorup. Tetapi kemampuan atau keahlian akan tampak dari hasil karya atau kreatifitas yang diciptakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata