Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
CERITA PENDEK SUMSEL DI KAMBANG IWAK
Jajang R Kawentar
Pada hari Minggu 03 Juni 2007, jam 14.00 WIB. Kambang Iwak Palembang kedatangan tamu Cerpenis Sumatera Selatan. Cerpenis yang biasa karyanya menghiasi koran-koran “besar” yang bermukim di Palembang dan mendominasi pasar pembaca Sumsel. Cerpenis yang di miliki Sumatera Selatan ini tidak begitu banyak, masih dalam hitungan jari kaki dan tangan.Sehingga kita dapat memprediksi karya siapa saja yang bakal muncul di koran pada setiap Minggunya. Penulis cerita pendek yang sering kita baca di koran-koran “besar” Sumsel tidak asing seperti T. Wijaya, Imron Supriadi, Purhendi, Alpansyah, Anto Narasoma, Eko Sulistiyo, M.Arpan Rahman, Rifan Najib, Pinasti S. Zuhri, Rendi Fadilah, Solehun, Koko P. Bhairawa, Nurahman, Kunto Wibisono dan Sutan Iwan Sukri Munaf. Laki-laki lebih mendominasi kesusastraan Sumsel dan perempuan harus mengejar. Perempuan penulis cerita ada dalam hitungan sebelah tangan namun jarang menghiasi koran “besar” Sumsel akan tetapi menghiasi buku, dan majalah. Seperti Azzura Dayana, Yeni Pusvyta. Nama-nama yang tertulis di sini merupakan nama yang karyanya pernah penulis nikmati.Namun bagaimana untuk menyelaraskan visi dan misi dalam membangun sebuah wacana atau gerakan cerpen atau gerakan sastra atau gerakan “kebudayaan” Sumsel bila yang hadir adalah gerakan curiga atau gerakan tak bergeming.
Kita memang beda kita punya visi misi sendiri-sendiri kau ke kiri kau ke kanan kau ke atas kau ke belakang dan bagai arah mata angin atau air mengalir seperti sungai Musi atau seperti rawa. Bagaimana kita akan membangun sebuah gerakan kebudayaan atau gerakan sastra, apabila tidak ada keselarasan, apabila yang dibicarakan seputar tingkahlaku, tidak pada teks karya.
Semegah apapun kegiatan cerpenis Sumsel orangnya dalam hitungan jari kaki dan tangan digoyang. Wajah yang lama, mungkin kusut dan keriput. Ada juga dalam hitungan sebelah tangan muka-muka baru dan cukup ngebut dalam berkarya seperti naik kendaraan Jepang. Cerita Pendek Sumsel di Kambang Iwak dapat diprediksi bagai sebuah reuni dari perguruan ngaji di Langgar. Namun walau demikian gerakan Cerita Pendek Sumsel di Kambang Iwak sangat berarti dalam sebuah percaturan percerpenisan Sumsel. Gerakan kecil saja jarang apalagi gerakan ngebor seperti “Inul”. Atau saya salah membaca, ada sebuah gerakan yang tidak tampak oleh kasat mata, tapi oleh keset mate.
Gerakan Kambang Iwak ini tidak begitu menarik untuk ditonton tetapi akan lebih menarik jika yang merasa sebagai penulis cerpen atau yang berminat dalam dunia cerita pendek ikut terlibat adu mulut teks, adu cerita tajam, adu jalan cerita dan adu kekuatan cerita. Asal jangan mengadu domba cerita, mengadu ayam dalam cerita boleh saja. Mari jujur dalam cerita, mari bersilat lidah dalam cerita, mari ngibul dalam cerita, mari bercinta dalam cerita, mari berteori dalam cerita, mari berguru kepada cerita. Namanya saja cerita, bohong. Namun tidak salah belajar dari cerita, sebab cerita merupakan kehidupan nyata yang dikarang seperti kehidupan yang pernah dialami atau tidak pernah sama sekali.
Barangkali jika pencerita berkumpul dalam gerakan Cerita Pendek di Kambang Iwak atau dimana saja akan banyak cerita yang bisa dinikmati. Atau gerakan sastra (Cerpen) Kambang Iwak ini hanya sekedar cerita pendek saja. Gerakan Kambang Iwak ini seperti Gerakan SMS, hanya cerita dari handphone ke hp, yang bergerak hanya di sekujur hp cerpenis Sumsel. Tidak sampai gerakan jalan cerpenis menuju Kambang Iwak.
Tunggu ceritanya di hp cerpenis. Sebuah gerakan pasti ada aksi dan ada reaksi. Tetapi cerpenis Sumsel atau pekerja seni Sumsel lebih suka menikmati kesendirian, romantis, sentientil atau lebih tertarik dengan sesuatu yang kompromis. Apabila disodorkan sebuah gerakan atau sesuatu yang melibatkan kebersamaan dan menuntut sebuah militansi, seperti ketakutan akan terganggu eksistensinya. Entah karena merasa sudah lebih dulu go public, karena dak level, atau karena masalah individu yang sudah mengakar. Seandainya bukan karena hal yang sentimental pasti tidak akan ada halangan atas undangan kegiatan di manapun dan siapapun yang mengundang, bukan persoalan. Apabila yang dipahami adalah sebuah gerakan maka siapapun bergerak untuk mencapai tujuan bersama.
Kambang Iwak memang harus difungsikan sebagai koordinat gerakan kebudayaan daripada hanya digunakan untuk pacaran sambil duduk atau berlari-lari anjing. Kalau tidak memungkinkan untuk gerakan kebudayaan, yang kecil bae barangkali gerakan sastra (seni). Barangkali pemerintah kota dukung gerakan sastrawan (seniman), karena, pemerintah yang bijak akan memberi ruang kreatif dan insentif bagi setiap pekerja seni untuk berkarya.
Apabila Kambang Iwak menjadi koordinat gerakan kesenian maka yang terjadi minimal setiap minggu kegiatan kesenian akan selalu menghiasi ruang kosong itu digunakan untuk kerja kreatif para pekerja seni. Lebih dari itu kita dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat ke arah yang positif. Sebaiknya memang pemerintah membuat sebuah gedung Taman Budaya. Bukan gedung untuk resepsi pernikahan, seperti pada umumnya di Sumsel, gedung kesenian disewakan menjadi gedung pernikahan. Pemerintah daerah mana yang mampu dan mau memfasilitasi setiap pekerja seni? Mimpi kali?! Seperti kita tahu bahwa karya seni dan segala fasilitas yang dimiliki disebuah daerah merupakan salah satu bukti peradaban manusia di daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata