Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
SASTRA TUTUR SUMSEL TERGANTUNG
DI KEPALA DAERAH
Jajang R Kawentar
Selama orang bisa berbicara dan bercerita maka tradisi bertutur itu akan melangsungkan kehidupannya. Apabila konsepnya tradisi lisan (oral tradition) seperti diungkapkan Anton Bae (Siapa Bilang Sastra Tutur Akan Punah, MI, 18/11/2007) maka kelahiran tradisi sastra tutur sesungguhnya sejak manusia hadir di bumi dan mulai berkomunikasi maka mereka sedang memulai proses tradisi bertutur. Tradisi sastra tutur ini menjadi beragam sesuai dengan gaya bahasa dan keadaan wilayahnya dengan berbagai budaya pendukungnya, begitupun cara mengekspresikannya atau penampilannya. Tema dan ide isi tuturan dipengaruhi dari watak dan karakter orang di wilayahnya.
Masyarakat tradisional Sumatera Selatan (Sumsel) mengenal nama dan istilah sastra tutur dengan tema, isi dan bentuk ekspresi yang relatif berbeda seperti, Senjang dari daerah Sekayu, Reduy dari Prabumulih, Tadut, Tangis Ayam dari Besmah, Bujang Jelihim dari Ogan Ilir, Betogow dari Kayuagung, Nanday dari Musi Rawas, Bujang Jemaram dari Ogan Komering Ilir, Njang Panjang dari Ogan Komering Ulu, Warahan dari Komring, Andai-andai hampir disetiap tempat ada dan masih banyak lagi. Pertunjukan sastra tutur ini bisa sehari semalam bahkan sampai empat hari empat malam tanpa berhenti.
Mengelola Seni Budaya
Sumsel memiliki banyak kekayaan seni budaya adiluhung, tidak hanya sastra tutur. Tetapi apalah arti semua itu apabila masyarakat dan fihak terkait tidak dapat mengelolanya dengan baik. Seolah-olah masyarakat sendirilah yang melakukan pembusukkan atau pendustaan terhadap peninggalan leluhurnya atau para pekerja senilah yang menjadi sasaran karena tidak dapat menjaganya, dan tidak dapat meregenerasikannya. Anak muda mana saat ini yang bangga terhadap seni budaya leluhurnya dengan ikut peran serta dalam kegiatan seni budaya tersebut. Apalagi melakukan penelitian dan melakukan prospek terhadap generasi muda lain supaya mengenal dan mencintai warisan seni budaya leluhurnya.
Dalam satu hal kita bisa memaklumi, karena sifat manusia yang selalu berubah, melakukan perubahan dan terbawa perubahan jaman. Perubahan inilah yang seringkali luput dari penilaian atau penelitian. Kita apriori dengan perubahan ini, karena masing-masing individu sibuk dengan permasalahan dirinya serta periuknya. Menjaga atau melestarikan warisan seni budaya leluhur seperti mempertahankan sebuah keyakinan dan menciptakan sebuah mitos yang dapat menjalin rasa kemanusiaan di setiap wilayah atau di dalam keluarga.
Perubahan yang dialami tidak akan lewat begitu saja apabila ada orang atau lembaga yang sangat konsen terhadap seni budaya. Kesalahannya adalah Sumatera Selatan yang luas dan berpenduduk jutaan tidak memiliki lembaga pendidikan tinggi seni yang memiliki kompetensi dalam melanggengkan seni budaya daerah yang kini hampir punah. Lembaga pendidikan seni yang ada seperti Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) saja dikacaukan oleh oknum yang tidak berwawasan seni budaya. Universitas Sriwijaya yang besar dan cukup tua saja tidak memiliki keberanian untuk membuka jurusan seni. Barangkali masalah ekonomis menjadi pertimbangannya, bukan masalah strategis (menjaga aset bangsa: menjaga warisan seni budaya bangsa). Sumsel sedikit memiliki ahli seni berbasis lokal yang memiliki pendidikan formal dan sedikit memiliki tenaga kependidikan yang betul-betul mendapatkan pengetahuan seni. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan apresiasi masyarakat terhadap seni.
Sesungguhnya ada beberapa lembaga pemerintah yang memiliki kompeten dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah seperti, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dewan Kesenian. Pembinaannya di Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dewan Kesenian dan pengembangannya di Dinas Pariwisata dan Budaya. Atau bisa saja diputar.
Sastra Tutur Sebagai Media Hiburan Sekaligus Media Penyadaran
Apabila kita berbicara tentang pengelolaan kekayaan budaya, tentu harus ada sebuah struktur kerja atau komponen-komponen penunjang terhadap kelangsungan sebuah teradisi tersebut. Struktur kerja itu dahulu kala dalam tradisi lisan, hanya semacam kesepakatan bersama tidak tertulis. Jaman berubah, keadaan berubah, tradisi sastra tutur itu masih relatif orsinil. Bahkan cenderung resistan dengan keadaan perubahan yang ada. Gagasan, tema, teknik mengekspresikan atau penampilannya tidak berubah, yang berubah adalah para penontonnya atau audiensnya. Pemikiran audiensnya tidak lagi dapat mengikuti cara atau teknis pertunjukkannya. Terlalu banyak menyita waktu, dan terasa monoton, kejenuhan menyelimuti audiens. Maka pemikiran praktis dan ekonomis bagi kaum urban di jaman modern muncul; lebih baik nonton tv, video atau dengerin mp3 sambil duduk di rumah atau sambil jalan-jalan ke mal. Dari pada suntuk duduk, ngerti juga ndak, malah kayak orang “bego”, mendingan tidur atau kerja sekalian.
Jika tidak ada penjagaan melalui struktur kerja seperti sebuah lembaga dan pembentukan komponen dalam pembangunan mitos atau yang dapat mempersatukan rasa kemanusiaan, kebersamaan, kebangsaan dan juga ketuhanannya. Maka tradisi akan lenyap oleh kekuatan kebutuhan material domestik yang sangat mendesak yang membuat perut keroncongan sehingga harus berjuang mendapatkan sesuap nasi terlebih dahulu ketimbang mengutamakan kehidupan sastra tutur, yang dianggap sebagai media hiburan tidak berdampak terhadap ketahanan tubuh.
Namun sastra tutur berpeluang terhadap ketahanan mental, sosial budaya, karena dalam sastra tutur mengajarkan tentang moral, etika, dan spiritual sebagai media penyadaran. Orang yang berbuat jahat akan diganjar dengan kemurkaan dan orang yang berbuat kebaikan akan diganjar dengan keselamatan. Cerita heroik tentunya mengajarkan kepada audiens tentang kepahlawanan, tidak mudah menyerah dengan kenyataan, terus berjuang untuk mendapatkan kemenangan, kekayaan dan kekuasaan.
Mari Identifikasi Diri
Apakah saat ini masyarakat sebagai produsen yang sekaligus konsumen dan pemerintah sebagai komponen pendukung, memiliki kepentingan terhadap sastra tutur? Sastra tutur kini menjadi kegiatan seni yang cukup eksklusif yang berusaha tercerabut atau dicabut dari akar tradisinya karena efek industri kapitalis, apalagi dengan pasar bebas dan globalisasi ini.
Tanda-tanda kepunahan sudah jelas, ada beberapa indikator yang menjerumuskan tradisi sastra tutur kepada kepunahan. Apakah masih terjadi proses regenerasi penutur tradisi sastra tutur? Mari identifikasi bagaimana populasi penuturnya? Berapa orang penutur yang sudah meninggal dan berapa yang masih hidup? Berapa orang yang masih muda dan yang sudah tua? Ada berapa kali pementasan sastra tutur dalam kurun sebulan, setahun dan seterusnya? Ada berapa massa yang masih setia dengan penampilan sastra tutur. Ada berapa lembaga pemerintah dan lembaga budaya masyarakat yang peduli terhadap tradisi sastra tutur.
Mari kita bertanya pada diri kita. Apakah kita peduli dengan sastra tutur? Sejauhmana kepedulian kita? Berapa kali menghadiri penampilan sastra tutur? Berapa kali membicarakannya dalam diskusi atau dialog dengan kawan-kawan. Apa yang sudah dilakukan untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi itu, lalu program apa yang akan dilakukan ke depan? Apabila kepedulian itu hanya di bibir manis saja, maka kehancuran itu sedang berlangsung.
Kekuatan Lembaga Budaya (Non Profit) dan Lembaga Profit
Kerjasama dan peran aktif dari Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (Kobar 9) Palembang dengan Bank Sumsel sebagai lebaga profit menjadi sangat berarti bagi kelangsungan Sastra tutur di Sumsel. Berbagai usaha sudah dilakukan dalam kerjasama tersebut diantaranya, festival sastra tutur, revitalisasi sastra tutur, mendokumentasikannya dan mencoba mempublikasikannya. Sebuah usaha yang membutuhkan energi yang tinggi dan tentunya membutuhkan dana tidak sedikit, untung saja Bank Sumsel sebagai bank pemerintah memiliki kepedulian yang rendah hati terhadap dunia kesenian daerahnya.
Sepatutnyalah didukung lembaga pemerintah dan lembaga budaya masyarakat. Apa pedulinya pemerintah daerah terutama yang memiliki tradisi sastra tutur. Pemerintah pada umumnya berkepentingan terhadap seremonialnya saja. Mereka seperti tidak berdaya ketika dihadapkan dengan permasalahan pada tradisi sastra tutur, begitupun dengan permasalahan seni budaya yang lain, apalagi pada sumber daya manusianya.
Seandainya saja lembaga budaya Kobar 9 tidak ada motor penggeraknya maka apa yang terjadi? Apabila Kobar 9 tidak didukung Bank Sumsel yang mendanai kegiatan sastra tutur, apa kata dunia? Tapi bagaimana bila Sumsel benar-benar kehilangan tradisi sastra tutur tersebut? Saya rasa tidak ada yang akan merasa kehilangan. Akan tetapi, seandainya puyang menanyakan kembali warisannya, bagaimana? Adakah yang bertanggung jawab? Bukankah warisan seni budaya merupakan identitas bangsanya? Jangan tunggu kehilangan identitas itu, seyogyanya sedari sekarang melestarikannya. Tidak sedikit bangsa yang kehilangan identitasnya dan material menjadi identitasnya. Kalau material menjadi identitas maka berbagai kearifan lokal ikut lenyap bersamanya.
Kalau saja kepala pemerintahan daerah membuat kebijakan bagi setiap bank, Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan swasta yang terdapat di daerahnya untuk dapat berperan membina salah satu seni budaya daerah yang hampir punah itu maka akan menghidupkan kembali seni tradisi serta menghidupi para pekerja seni serta menghidupi nasabahnya. Berarti menghidupkan semangat kesetaraan di hati rakyat. Salam Budaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata