Selasa, 01 September 2009

MEMANDANG BEKUBE DARI PUISI PINASTI S ZUHRI


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

MEMANDANG BEKUBE DARI PUISI PINASTI S ZUHRI
Jajang R Kawentar


Benteng kuto besak penuh asmara

Adat terbenam di riak sungai musi

biarlah punah tak tergali

(Pinasti S Zuhri/Benteng kuto Besak/02.01.2005)

Benteng Kuto Besak (Bekube) saat ini merupakan salah satu tempat wisata di tengah kota Palembang tepi sungai Musi yang hampir setiap hari ramai dikunjungi warga. Bekube menjadi tempat favorit bagi keluarga, terutama para remaja, atau pasangan muda. Seringkali pasangan tertangkap basah sedang indehoy, atau melakukan adegan mesum. Bekube menjadi tempat bersemainya kisah kasih orang-orang yang sedang dimabuk asmara. Bekube juga menjadi tempat pelarian bagi sebagian para pelajar yang malas masuk kelas belajar, dan tempat pelarian bagi orang-orang yang ingin rileks, barangkali hanya sekedar ingin melihat gerak air di sungai Musi atau melihat orang-orang yang sedang berpacaran, bermesraan. Kemungkinan juga tempat pelarian para buronan, yang maling harta, maling rasa: cinta; maling hati, maling mata, dan maling tuhan.

Suasana Bekube juga memberikan sumbangan inspirasi bagi siapa saja, tak terkecuali penulis (sastrawan) baik sebagai materi tulisan maupun inpirasi gagasan-gagasan. Barangkali juga menjadi terminal bagi pekerja sex komersial, para pencopet dan sejenisnya untuk menyusun rencana: target. Memang di Bekube memiliki suasana romantik dan suasana magis, yang mendukung kegiatan para pengunjungnya.

Apabila dicermati kegiatan atau perubahan sosial para pengunjung yang terjadi di seputar Bekube; secara garis besar ada 3 aspek: pertama menjamurnya pasangan muda yang bermesraan karena daya tarik yang dimiliki Bekube,: nilai sejarah, nilai estetik (keindahan: arsitektur seperti gedung meseum Mahmud Badaruddin, Jembatan Ampera, Benteng pertahanan alam: sungai Musi, udara dan cakrawala); kedua, adat dalam sejarah yang eksistensinya tenggelam; ketiga, perkembangan cara berpakaian yang mengobral paha dan dada.

Sebagai penyair, saudara Pinasti cukup peka terhadap perkembangan lingkungan Bekube dan sekitarnya. Di mana sebuah sejarah telah membuktikan alih fungsi Bekube tersebut; dulu dan sekarang. Marilah kita cermatpandangi Bekube dalam Puisi Benteng Kuto Besak:

pada jalanan bertebaran kemesraan/

muda-mudi melepaskan hasrat/

disetiap sudut tembok museum/

keakraban terjalin begitu syahdu/

tanpa malu-malu//

pada jalanan bertebaran kemesraan/

tampak sudah biasa menata kota/

mengukir citra/

Benteng kuto besak penuh asmara//

Adat terbenam di riak sungai musi/

biarlah punah tak tergali/

sejarahmu terganti/

tumpahan darah dulu/

tumpahan cinta sekarang//

Biarlah tercipta/

adat muda adat modern/

Telanjang memalukan/

Berpakaian memilukan//*

Apabila kita mencoba memandang Bekube dalam prespektif puisi Pinasti S Zuhri, Benteng besar itu kini telah dijebol ulang. Dahulu dijebol lewat perundingan antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan pemerintah Kolonial Belanda. Saat ini Benteng sebagai simbol perjuangan dan pertahanan milik wong Palembang, yang susah payah dibangun oleh nenek moyang dengan semangat patriotisme dan nasionalisme guna membela wilayah dari serangan kolonial Belanda dan dari serangan siapapun dari luar. Kini mendapat serangan yang tiada hentinya dari dalam lingkungan Benteng Kuto Besak itu sendiri, dari penduduk Palembang sendiri.

Pinasti S Zuhri membuktikannya dari satu sisi emosional seksual remaja sekarang, namun sesungguhnya tidak hanya remaja tetapi siapapun yang memiliki emosional seksual, Bekube menjadi bagian terminalnya, khususnya pada sore dan malam hari;

pada jalanan bertebaran kemesraan/

muda-mudi melepaskan hasrat/

disetiap sudut tembok museum/

keakraban terjalin begitu syahdu/

tanpa malu-malu//

Di Bekube para pasangan muda, tuapun juga seperti hilang rasa “kemaluannya”. Entah atmosfir apa yang memberikan peluang mental seperti itu di sana. Berpelukan, berciuman, meraba-raba di Sekwilda (sekitar wilayah dada) atau Bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan adegan yang lebih syur lagi ada. Kegiatan seperti itu menjadi hal yang lumrah ditemui di Bekube. Namun apakah kegiatan yang dulu ditabukan itu hanya terjadi di Bekube saja, bagaimana dengan Kambang Iwak, Punti Kayu? Seandainya dirunut, Bekube merupakan perjalanan terakhir dari kemesraan muda-mudi melepaskan hasrat. Di Bekube sendiri prilaku itu mucul semenjak dibukanya plaza Benteng Kuto Besak. Akhirnya citra itu terukir sebagai tempat begituan. Bagaimana merubah imej itu? Tentunya harus ada ketegasan dari pihak yang berwenang, dan kerjasama dengan manajemen hiburan yang baik supaya pengunjung Bekube tidak melulu menonton orang yang lagi bermesraan. Sehingga memancing orang lain untuk melakukan hal sama di tempat itu .

Dengan lumrahnya prilaku yang dianggap tidak wajar itu sepertinya Pinasti tidak ada daya upaya untuk melawan ketidaksesuaian dengan lingkungan yang dicermatinya, bahkan ia cenderung membiarkan hal itu terus berlangsung sebagai bagian dari proses kehidupan. Saya kira adat yang bermuara pada Simbur Cahaya merupakan jalan terbaik pada masanya, sekarang adat terbenam di riak sungai musi, etika kesopanan telah terlupakan; biarlah punah tak tergali karena kini sejarahmu terganti.

Prilaku atau budaya anak muda kita sudah begitu parahnya. Adat istiadat adiluhung yang sama-sama dijunjung tinggi oleh seluruh anggota masyarakat dulu, kini memudar bahkan: biarlah punah tak teergali, katanya. Sejarahmu terganti/ tumpahan darah dulu/ tumpahan cinta sekarang// Dulu sejarahnya tempat itu untuk mempertahankan tanah air dengan darah dan nyawa. Sekarang cukup dengan mencinta tanah air, atau bercinta, berprilaku mengubur etika kesopanan.

Biarlah tercipta/

adat muda adat modern/

Telanjang memalukan/

Berpakaian memilukan//*

Sejarah boleh berganti tetapi kita harus ingat akar di mana tanah dipijak, di sana langit dijunjung. Adat istiadat yang dibangun oleh puyang kita dulu memiliki kearifan lokal yang tidak bisa tergantikan. Orang sekarang hanya mampu memusnahkannya, tidak lebih baik dari yang dulu. Sehingga merasa cukup dengan cinta yang mengumbar asmara; hawa nafsu belaka, antara laki-laki yang tergila-gila dengan perempuan yang kegatelan. Cinta menjadi sebuah alasan yang cukup manjur bagi penyair.

Pada bait terakhir Pinasti membuka kartu. Saat ini manusia memasuki dunia budaya modern, sehingga daripada mengenakan pakaian yang memilukan, apalagi telanjang lebih memalukan. Barangkali penyair melihat kasus mode pakaian pamer pusar, atau melihat kejadian di Bekube yang semi blue film: adegan-adegan panas menjelang adegan ranjang. Sepertinya ia mengatakan biarlah; lanjutkanlah adegan panas, asal adegan ranjang lanjutkanlah lagi.

Ada kekeliruan dalam menangkap dan ngungkap nilai modern. Hemat saya kemodernan dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi. Kalau adat, itu berkaitan dengan sikap moral. Zaman boleh modern tetapi adat tetap berjalan pada pakemnya. Kearifan lokal puyang dulu merupakan adat yang harus kita jaga.

Saya tidak mellihat ada pemandangan tentang keindahan alam Bekube dalam puisi ini, yang tampak adalah sosok-sosok. Tidak tampak bagaimana jembatan Ampera yang menanti, museum yang murung, plaza yang manja, benteng yang tertidur mendengkur dan pasar 16 ilir yang gusar kena gusur. Memang Benteng Kuto Besak dapat dimasuki dari seluruh penjuru mata angin. Tergantung anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata