Lampung Post
Minggu, 3 Agustus 2008
SENI BUDAYA
Rumah Penjara, Cerpen Jajang R. Kawentar
AKU punya kawan seorang penyair, itu kataku. Tetapi lain kata tetangganya. Ia pengangguran sinting, tanpa beban. Banyaklah tertawanya ketimbang menampakkan muka masam atau muka jeruk purutnya. Kalau kata kawanku yang lain, ia figur antikemapanan sejati untuk saat ini. Hidup tidak untuk masa depan. Hidup adalah saat ini dan nikmatilah saat ini sebelum kesempatan itu mampus bersama harapan dan kenyataan. Aku meyakinkannya ia sebagai penyair total. Maksudku total dalam membuat teks atau syair serta total teks itu menjadi kehidupannya. Apabila melihat tingkah lakunya itulah syair show life-nya. Kalau terpana atau menggelengkan kepala tiga kali melihatnya, berarti syairnya itu melaksanakan tugasnya laksana sihir atau hipnotis. Itulah salah satu kelebihan syairnya.
Sekian banyak syair yang dilahirkannya, tidak ada yang dapat dijadikannya rumah. Padahal ia sangat mendambakan sebuah rumah yang cantik, yang dapat memanjakannya dari terik matahari, dari dinginnya embun pagi, dari kelelahan yang sangat. Namun, telah menjadi rumah bagi jiwanya. Ia tidak peduli dengan keadaan dirinya yang menurut orang lain merusak mata dan memekakkan pendengaran. Ia jalani lalu lintas kehidupan dengan sabar, realistis dan kadang subversif.
Rumah kawanku itu di belakang rumah penjara negara. Maaf, rumah penjara itu terlalu sarkasme, terlalu subversif, terlalu menggocoh ulu hati, terlalu melecehkan, kurang manusiawi, menyamai kekuasaan Tuhan: untuk itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan biar terasa akrab, bersahabat, ramah dan manusiawi alias bermoral atau beradab; seperti istilah bencana kelaparan menjadi rawan pangan, rasanya terdengar menyejukkan kalbu, serasa tiada ada sesuatu peristiwa yang tragis walau yang kelaparan itu ribuan orang dan atau yang mati ratusan. Lembaga Pemasyarakatan sebuah tempat di mana orang-orang yang dijebloskan ke dalamnya adalah orang-orang yang tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak mempedulikan hak orang lain atau melanggar ketentuan hukum yang telah digariskan lembaga.
Kawanku itu namanya Samiun. Biasa dipanggil Miun. Ia kawan satu dusunku. Dusun yang jauh di bawah kaki Gunung Dempo. Hawanya dingin, sejuk, mata airnya jernih bening tanpa ada campuran limbah pabrik pupuk, kertas, atau karet. Di kaki gunung tidak ada pabrik yang merusak ekosistem atau mencemari alam di mana mereka bernaung. Mereka mengakrabi alam dengan kearifan dan kesederhanaan. Aman. Damai. Namun perlahan pasti globalisasi menghajar seluruh style dusun menjadi snobis, konsumerisme serta trendy, seperti robot-robot bernyawa di rumah susun, apartemen, atau di kolong-kolong jembatan, di tepi-tepi sungai. Asyik deh, huh!
Angin semilir diembuskan bersama wangi bunga kawo (kopi), padi, dan tanah yang perawan, juga bau keringat para petani yang memetik buah, menanam bibit dan sedang menyabit rumput. Di sanalah kami dilahirkan, di dalam kesegaran alam dan lingkungan yang mengagungkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat tinggi, siapa pun saudara, asal satu dusun. Begitulah di perantauan, lain pula kalau sudah tiba di dusun, kembali ke tabiat semula sebagai makhluk yang juga mentasbihkan ego individualnya.
Miun saraf, maksudnya urat saraf otaknya terganggu sehingga mengganggu cara pandang berpikir dan entahlah, mungkin gila. Orang-orang dusun mengenal Miun dari kebiasaan yang dianggapnya buruk, tidak wajar. Miun sering berteriak-teriak atau menjerit, seperti meneriakkan sesuatu yang tidak pernah dimengerti warga dusun, seperti sebuah ungkapan rasa yang mengimpitnya, entah jeritan sebuah harapannya yang sering terlipat dalam ketiaknya dan ketiak warga, atau hanya sebuah kejahilan yang wajar dari jiwa muda, jiwa pemberontak. Namun, apa yang diberontakinya? Ya itulah, sumur dalam dapat diukur, hati dan jiwa orang mana kita tahu kedalamannya. Barangkali kita tidak mau tahu dan tidak mau belajar untuk mendalami dan mengukurnya. Kita memang tai kucing! Mengatakan Miun saraf, jangan-jangan kita lebih saraf dari Miun. Huh!
Aku benci dengan orang-orang seperti itu. Mencela orang tapi diri tidak pernah berkaca. Kadang aku juga tolol seperti itu. Namun, tidak ada orang yang luka karenanya hingga bercucuran darah, hanya luka hati tidaklah tampak menyemburkan darah. Kita memang sering menghina hati kita sendiri apalagi dengan orang lain, barangkali. Jiwanya merintih seperti tertusuk belati di ulu hati. Apalagi dikhianati sang kekasih. Aaaaaaa!!!
Rumah Miun di belakang penjara. Bentuk rumahnya tidak seperti rumah pada umumnya, memiliki ruang-ruang tertentu sesuai fungsinya. Rumahnya hanya persegi empat, kira-kira dua setengah meter kali dua meter persegi. Tinggi atapnya kira-kira dua setengah meter. Ruang itulah yang ia miliki untuk memenuhi segala kebutuhannya. Orang yang pernah melihat rumahnya, mengkhawatirkan akan konstruksi bangunannya yang sangat melarat dari kekuatan semestinya guna menyangga beban yang ditimpakan kepada tiang-tiang dari bambu yang dibelah dua.
Anyaman bilik bambu sebagai dinding rumahnya sudah mulai bolong melebar, sebagian dilapisi koran-koran basi. Lantainya semen campur pasir yang diaci. Kalau dilihat dari bentuknya bukanlah rumah, tapi tempat tinggal, karena di situlah ia tinggal lima tahun terakhir. Tempat tinggal itu merupakan tempat istirahat setelah ia berkeliling mengumpulkan barang-barang yang dibuang orang ke bak sampah. Ia menjadi pemulung setelah mengelilingkan ijazahnya untuk mencari pekerjaan. Entah berapa ratus keliling ia tidak pernah diterima perusahaan-perusahaan yang berdiri angkuh itu, pusing tak terobati. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sendiri membuat perusahaan sendiri, apa-apa sendiri. Hasilnya adalah tempat tinggal yang mengkhawatirkan orang. Namun, orang-orang sepertinya tidak pernah mengkhawatirkannya.
Tempat tinggal itu tidak menempel ke dinding gedung penjara. Beratap seng plastik, maksudnya bentuk atapnya seperti seng yang bergelombang terbuat dari plastik. Sehingga di dalam ruangan itu terang, baik siang atau malam. Di atas tempat itu ada sebuah lampu milik Lembaga Pemasyarakatan yang menyala setiap malam. Bohong!
Tempat tinggal itu terlalu lebar kalau hanya untuk ngorok sendirian, atau hanya sekadar untuk berkencan dengan binatang malam. Di dalamnya ada satu gerobok dari kayu bekas, satu gantungan pakaian, satu tikar pandan wangi, satu sendok plastik, satu piring plastik dan satu gelas plastik. Gelas, kok plastik, yang namanya gelas itu pasti beling atau kaca! Aneh? Jangan aneh dengan zaman gilo. Lama-lama kita sendiri yang aneh melihat kita.
Miun penyairku, sekarang juga, di sini, akan kutelanjangi kau. Aku terlalu menyayangi syair-syairmu yang kau curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Aku akan menyelesaikanmu dengan kata-kataku. Aku percaya katakata lebih tajam dari pedang. Katakataku kuasah dengan bukubuku dan katakataku kusekolahkan pada alam raya dan katakataku mencatatkan katakata dalam diriku menjadi senjata tajam. Lebih jitu dari peluru lebih tajam dari samurai.
Miun telah beberapa bulan tidak lagi menempati tempat tinggalnya. Semua tetangganya tidak mengerti ia pergi ke mana. Tidak ada yang berani memasuki tempat tinggalnya. Tidak ada maling yang mengincar barang-barang buruk tidak berharga itu. Kecuali syair-syairnya yang ia curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Kawan-kawan di sekitar tempat tinggalnyalah yang sering menjadi tamu tak diundang. Mereka mengerti betul keadaan di dalam tempat tinggal itu. Tempat tinggalnya tidak dikunci.
Aku datang hanya sekadar untuk menanyakan berapa banyak katakata kalimat gagasanku dan yang tidak kuketahui, telah ia rampas paksa di saat aku sedang mengedipkan mata. Namun niat itu tidak jadi kulakukan. Setelah memasuki ruangan ada selembar surat yang disematkan di dinding bilik bambu dengan tusuk gigi.
Palembang, 9 Juli 2005
Kepada kawan-kawan yang aku hormati. KINI AKU TELAH MENEMPATI RUMAH PENJARA SEL. MAWAR NOMOR 0065 (sel mawar memangnya Bungalau?!). Begini, kepada polisi, aku mengakui telah mencuri banyak, tak terhitung, katakata kalimat gagasan kontemporer dan yang tidak kumengerti, telah kurampas paksa di saat seorang kawanku sedang mengedipkan mata. Aku sering lupa siapa namanya. Kata-kata itu telah aku jual untuk menghidupiku sendiri. Kini aku tidak sanggup lagi untuk menghidupi tubuh sebatangkara ini.
Ya sebaiknya kuakui kesalahan itu dan aku bisa masuk rumah penjara. Biarlah hidupku menjadi bagian dari anggaran negara. Entah berapa lama. Hanya aku ingin di rumah penjara sampai hari kiamat nanti. Kini aku telah mengerti bagaimana caranya. Salam,
Tertanda. Samiun.
Rasanya aku tidak perlu menyelesaikan rencana busukku itu. Ternyata ia sudah melakukannya sendiri. Barangkali ia mengetahui rencana busukku itu. Walau sesungguhnya aku tidak tega atas kejadian yang menimpanya, meskipun atas kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya skenario itu telah aku buat supaya ia merasa jera atas perbuatan yang menurutku telah merugikan dan mengganggu eksistensiku dalam dunia entah aku sendiri terkadang bingung dengan keinginanku ini. Aku telah merugikan orang yang belum tentu merugikanku, hanya sekadar meminjam gagasanku tanpa seizinku. Itu saja.
Namun, rasanya duniaku telah diporakporandakannya. Sepertinya ia memaksaku untuk menjadi sehelai bayi, yang diarahkan ibunya dan berdasarkan naluri kemanusiaannya memproses dari tidak bisa bicara menjadi cakap, dari merangkak menjadi lari, dari bayi menjadi punya bayi, dari belajar menulis huruf menjadi mempermainkan hurup bahkan mempermainkan kata mempermainkan kalimat. Sekarang kalimat yang telah kupermainkan itu, kau yang memainkan permainanku-nya itu. Lagi-lagi hak milik, lagi-lagi hak cipta tidak memiliki hak. Apa guna identitas kalau kita semua akan mati juga. Identitas hanya tunggal, Tuhan. Kata mereka yang beriman dan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan.
Kami bersaudara di kota karena kemiskinan. Di dusun belum tentu bertegur walau berdampingan.
Palembang, 2008
JAJANG R. KAWENTAR lahir di Tasikmalaya, 1970. Kini menetap di Lahat, Sumatera Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata