Senin, 27 Desember 2010

TAIKUCING AKADEMI SASTRA PALEMBANG






TAI KUCING AKADEMI SASTRA PALEMBANG [ASAP]!
Oleh Jajang R Kawentar
“Selamat, telah dibantu Alex Noerdin uang sebesar 5 juta. Semoga Persoalan kito ke depan dapat terselesaikan. Amin.”
Demikian isi SMS masuk ke handphone saya pada 03:36pm tanggal 10 Februari 2008, dari nomor orang yang tidak saya kenal, pada saat Akademi Sastra Palembang [ASAP] yang saya bina mendapat bantuan uang pembinaan dari H. Alex Noerdin sebelum beliau menjadi Gubernur pada tahun 2008. Begitupun judul dari tilisan ini merupakan rentetan SMS yang membombardir ke HP saya. Sengaja SMS ini saya simpan sebagai peluru dalam membangun kesenian yang saya yakini.
Saya berpikir, tidak ada seorangpun ataupun lembaga yang perduli dengan kegiatan yang dilakukan [ASAP] saat itu, dan keputusan kami menerima uang pembinaan dari H. Alex Noerdin merupakan penghargaan atas segala yang telah kami lakukan dalam menggairahkan sastra di Palembang. Terus terang memang pada saat itu kami butuh dana untuk membuat rekaman musikalisasi puisi yang sedang digarap oleh Pinasti S Zuhri dan kawan-kawan Salva Band. Kami juga butuh dana untuk penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen dari anggota kami, seperti Dahlia, Pinasti, Anton Bae, Duhita Arimbi, Pipit Hendra dan ada beberapa puisi dari Efvhan Fajrulah, cerpen Arpan Rahman dan puisi penyair gunung Syamsu Indra Usman.
Ketika kami hendak menerima uang pembinaan dari H. Alex Noerdin tersebut terjadi tarik ulur, karena barangkali ada kepentingan politis yang sedang bergolak saat itu. beberapa kawan ada yang melarang kami menerimanya dan kawan yang lain meminta kami untuk menerimanya. Akan tetapi menurut saya kesenian tidak memandang politis, kami tetap berkarya dan tidak bergantung pada tatanan politis. Namun siapapun yang berniat membantu dalam pengembangan kesenian tentu ini lebih baik daripada memiliki kesan keperdulian terhadap kesenian tetapi hanya wacana dan wacana saja. Oleh karenanya dana pembinaan itu kami terima dan Pinasti S Zuhri menerima langsung pada acara pemberiannya tersebut. Kamipun mengucapkan terimakasih, semoga ke depan kami mendapatkan yang lebih banyak lagi.
Saya meyakini pemimpin yang baik, yang memiliki visi ke depan, pasti menyertakan kesenian dalam pembangunan masyarakatnya. Seperti juga bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya. Sebab kesenian adalah refleksi dari bangunlah jiwanya, sebagai bagian dari pembangunan rasa nasionalisme. Apabila rasa nasionalisme itu luntur, bisajadi diakibatkan karena nilai-nilai seni dan budaya lokal yang berakar, kemungkinan tidak dijaga dan tidak terawat. Sudah bisa dipastikan karena tidak ada peran dari masyarakat juga pemerintah sebagai penyelenggara negara memeliharanya.
Dan kepala daerah merupakan bagian dari ujung tombak pembangunan jiwa masyarakat dalam hal ini adalah seni budaya dan agamanya.
[ASAP] yang Perlu Ruang
Kegiatan yang kami lakukan memang tidak begitu spektakuler atau menjadi fenomenal. Akan tetapi paling tidak [ASAP] telah mencatatkan sebuah ruang dalam sejarah kesusatraan di Palembang yang mungkin ada beberapa orang yang sekarang sudah dikenal seperti Anton Bae, Pinasti S Zuhri, Dahlia, Pipit Hendra, Duhita Arimbi, dan Soufie Retorika. Setiap hari Sabtu sore kami berkumpul membaca, menulis puisi dan membedahnya.
Ruang gerak kegiatan kami diantara Jalan Semangka sebagai markas, Kambang Iwak dan Meuseum Badaruddin. Kambang Iwak merupakan tempat favorit kami dalam melakukan pertemuan, menggelar baca puisi, cerpen atau bedah karya. Sesekali kita juga bermimpi menyelenggarakan kegiatan sastra yang bisa dinikmati pengunjung Plaza Kambang Iwak. Saat itu Kambang Iwak tidak ada orang jualan. Kami pernah memiliki keinginan bahwa Kambang Iwak menjadi ruang publik untuk menikmati pertunjukan sastra atau teater. Hal ini bukan tidak mungkin, karena ruang yang ada sangat memungkinkan untuk kegiatan semacam gelar baca puisi, baca cerpen, sastra tutur, lounching buku, atau pertunjukan teater terbuka.
Namun harapan itu masih terus tersimpan, karena persoalan hidup yang selalu pluktuatif, serta mencari tempat yang menguntungkan bagi kehidupan itu. Kini [ASAP] itu menyebar, meruang, dibeberapa kota tetapi paling tidak ada sebuah sejarah yang melingkupi dalam perjalanan kesusastraan yang dilaluinya. Sehingga kini barangkali bagi para pelakunya tidak bisa dielakan, atas kehadiran [ASAP] tersebut.
Ada beberapa orang yang seringkali hadir atau pernah hadir dalam kegiatan diskusi atau bedah karya yang digelar [ASAP] seperti Rifan Nazip, Rendi Fadilah, Purhendi, Ahmad Muhaimin, Arpan Rahman, Efvhan Fajrulah, Nurahman, Taufik Wijaya, Anwar Putra Bayu, Agus Hernawan, Acep Zamzam Noor, Raudal Tanjung Banua, Sutan Iwan Soekri dan beberapa orang lainnya yang tidak tersebutkan.
Anugrah itu Diharapkan
Ternyata Penghargaan dari H. Alex Noerdin sebagai gubernur kini begitu dinantikan oleh para penggiat atau pelaku seni. Terbukti dari beberapa orang yang menerima dan yang tidak menerima itu seringkali kami dengar semacam gerutuan. Bagi yang merasa layak menerima lalu tidak mendapatkannya maka ada saja semacam prolog wajah sejarah orang yang menerima itu. Sepertinya terkesan apabila ada orang yang menerima penghargaan atas kerja kerasnya itu kawan kita tidak terima. Tetapi apabila kawan kita yang layak menerima penghargaan dan dia tidak mendapatkannya juga mendapat celaan, dan prolog wajah sejarah orang itupun kembali berkumandang.
Saya berharap kebijakan atau kebiasaan baik memberikan anugrah atau penghargaan atau apapun namanya ini, juga diikuti oleh kepala pemerintah yang ada di daerah. Guna menggairahkan kesenian di daerah dalam skup yang lebih kecil. Karena berkesenian itu akan tumbuh baik apabila semangat berkarya itu terus tumbuh, serta dengan adanya pengakuan atau penghargaan tersebut maka rasa percaya diri sipenerima penghargaan tersebut semakin terjaga. Dengan harapan bagi siapapun teruslah berkarya dan berkarya, bergiat menjalani profesi sebagai penyelaras kehidupan. Menghibur atau mencerahkan pemikiran masyarakat atau para pejabat dengan seni serta memelihara tradisi yang ada, supaya citra dari Sumatera Selatan khususnya dan terkhusus berbagai suku serta bahasa yang terdapat di pelosok tetap lestari.
Perbedaan atau keanekaragaman itu harus dijaga sebagai kekayaan dari wilayah Sumatera Selatan. Bagaimana menumbuhkan kebanggaan kepada masyarakat bahwa berbeda itu bukan sesuatu yang buruk, karena seperti yang sering kita dengar dari bahasa saja, sepertinya bahasa Palembang lebih mendominasi dan menghegemoni bahasa lain. Hal ini bisa kita cermati seperti di daerah-daerah terutama para remaja, yang menggunakan bahasa itu.
Tidak hanya bahasa, bahkan berbagai bentuk seni dari pusat kota menjadi dominan digandrungi remaja. Sementara seni tradisi atau budaya daerahnya sendiri ditinggalkannya karena memandang seni yang terdapat di daerah sendiri dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Bukan malah sebagai kebanggaan, karena memiliki seni tradisi yang berbeda menandakan adanya proses sebuah peradaban manusia yang relatif tinggi di daerah tersebut.
Bagaimana pemimpin daerah bisa menjadi tauladan dalam mencintai seni budaya daerahnya sendiri dan memulai bekerja mengembangkan atau merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi daerahnya supaya kepribadian dan jatidiri sebuah daerah itu tetap terjaga. Karena diyakini bahwa seni budaya dan seni tradisi tercipta dari kearifan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata