Air Terjun Milang Menjanjikan Pencerahan Baru
Oleh Jajang R Kawentar
Tempat wisata Air Terjun Milang yang terletak antara Kecamatan Merapi Selatan dan Kecamatan Merapi Barat, bisa ditempuh melalui jalan simpang Patung di Desa Padang Kecamatan Merapi Selatan dan dari Desa Tanjung Beringain masih dari Kecamatan Merapi Selatan. Dengan waktu tempuh hanya satu jam berjalan tanpa henti, namun kalau banyak berhenti bisa sampai 2-2,5 jam.
Air terjun Milang merupakan aset terpendam Kabupaten Lahat yang sangat berharga dibandingkan dengan bongkahan batu bara yang berada di dalam tanah sekitar lokasi wisata tersebut. Aset wisata itu tidak bisa tergantikan apabila disekitar lokasi air terjun itu juga di rusak karena eksplorasi dan ekploitasi kebutuhan tambang batu bara. Selain itu batu bara merupkan sumber daya alam yang akan habis dan menyisakan kehancuran serta masalah. Masyarakat kecil kembali yang akan menerima penderitaan akibat eksploitasi alam tersebut.
Air terjun Milang itu apabila dikelola dengan baik, kemudian akan menghasilkan pendapatan asli daerah, yang berdapak terhadap kesejahteraan masyarakat Lahat terutama disekitar daerah wisata tersebut. Memang hasilnya tidak bisa instan seperti eksploitasi batu bara, namun aset ini lambat laun akan menghasilkan pendapatan lebih dari harga batu bara. Keutamaanya karena masyarakat umum dapat merasakan manfaat dari wisata air terjun tersebut.
Namun apabila di daerah lokasi tersebut juga menjadi lahan tambang batu bara maka yang menikmati hasil dari tambang tersebut sesungguhnya hanya beberapa gelintir orang saja yang akan menikmatinya. Jelas batu bara itu tidak akan dikelola oleh daerah atau masyarakat akan tetapi dibawa ke luar kota dan orang luar yang akan menikmati dari hasil eksplorasi dan ekploitasi batu bara tersebut. Di samping itu masyarakat Merapi akan menuai kerusakan lingkungannya, dari pada menuai keindahan alamnya. Mungkin warga dunia akan mengutuknya.
Menikmati Panorama dan Pengetahuan Alam
Air terjun Milang diperkirakan tingginya sekitar 30 meter dengan 7 tingkatan air jatuh. Di tingkatan pertama atau paling atas, tingkatan ke dua dan tingkat tiga terdapat kolam atau lubuk yang cukup luas. Menurut warga Merapi Selatan di lubuk itulah terdapat banyak ikan yang berkembang biak. Sungguh indah panorama itu, apalagi kalau di sekitar air terjun itu di tata dan rumputnya di bersihkan. Lalu ditanami kembali kayu yang memperkuat struktur tanah yang curam dengan Pinus, menambah panorama lain lebih sejuk.
Air yang mengalir begitu jernih dan pada umumnya warga yang pergi ke kebun dan yang sengaja berkunjung ke air terjun Milang meminum air sungai tersebut tanpa di masak terlebih dulu. Mereka langsung memasukan ke dalam botol kemasan sebagai persediaan dalam perjalanan. Barangkali kandungan mineral yang terdapat dalam air tersebut lebih baik dari air kemasan yang di jual di pasaran.
Disekitar lokasi air terjun Milang banyak tempat untuk pengambilan gambar atau foto. Karena lokasi air terjun ini merupakan pertemuan antara tiga bukit, diantaranya bukit Milang itu. Alam ini sepertinya sudah menyediakan tempatnya yang tepat, sungguh luar biasa. Tepat di air jatuh terakhir itu ada sebuah batu yang bisa digunakan untuk berfose. Batu itu bisa memuat sekitar sepuluh orang untuk berfose, dan persis di depannya ada batu datar sebesar rumah kira kira bisa memuat 100 orang lebih untuk berfose. Sehingga kenangan bersama ke air tejun Milang tidak akan luput dari dokumentasi dalam perjalanan berwisata bersama.
Apabila hendak berkemah, di lokasi ini jelas tersedia tempat yang sungguh pas, meskipun di kebun milik petani kopi. Tempat ini juga menyediakan fasilitas untuk berkemah, kayu bakar, tempat mandi, mencuci, dan lokasi berkemah. Memang tidak ada lokasi yang datar seperti sebuah lapangan, akan tetapi ada tempat-tempat untuk mendirikan tenda-tenda yang berdekatan.
Menurut warga Merapi Selatan yang pernah berkunjung ke Air terjun Milang, di lokasi bukit-bukit itu sangat baik untuk di tanami tembakau, dan kopi. Di lapisan tanah itu terdiri dari humus, atau daun-daun yangkering dan membusuk. Menurut mereka tanaman di sini tidak perlu lagi di pupuk, tinggal bagaiman membersihkan ruput yang mengganggu di sekitar tanaman.
Sebelum menuju lokasi kita bisa melihat, bagaimana perkebunan durian yang sudah berumur ratusan tahun, kebun kopi, padi tadah hujan, dan perkebunan karet rakyat. Sekaligus kita bisa belajar bagaimana para petani itu menyadap karet, atau memetik buah kopi. Sekaligus kita bisa belajar dari alam tersebut sebagai ilmu pengetahuan.
Out Bound Sambil Refleksi Tubuh
Berbagai rintangan menuju lokasi air terjun Milang, mengajarkan kepada kita bagaimana menyelesaikan masalah, perlu tekad kebersamaan dalam menyelesaikannya. Sebab jalan yang ditempuh menuju ke lokasi berbagai medan, mulai dari jalan tanah, jalan air, lumpur dan berbatu. Ada jalan yang datar, menurun dan jalan yang terjal. Pariasi bentuk medan ini kita anggap out bound dan perjalanan yang menantang serta menyenangkan ini bisa dianggap permainan. Namun sepanjang perjalanan itu kita akan disuguhkan oleh alam yang mungkin belum pernah kita lihat sebelumnya, dan ini sebagai kejutan-kejutan dalam kehidupan yang kemudian akan menjadi kenangan atau sebuah cerita yang manis dan mungkin tidak akan habis bila dibahas.
Untuk mencapai lokasi harus ada perjuangan yang kuat. Untuk itu sejak awal niatan mengunjungi sesuatu yang indah dan menyenangkan itu perlu keteguhan, kesabaran serta sebuah usaha. Air terjun Milang merupakan anugrah atau sebuah hadiah dimana kita sudah merasa lelah untuk mencapainya, maka air terjun itu akan membayarnya dengan lunas.
Keindahan alam Merapi akan lengkap ketika kita melangkahkan kaki menuju air tejun Milang. Bukit Besar, Bukit Serelo (Bukit Jempol) dan bukit-bukit batu yang berjejer. Menjadi panorama yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan lokasi wisata dimanapun yang memiliki perbukitan atau pegunungan.
Beberapa anak sungai yang harus disebrangi dengan air yang mengalir jernih, serta batu-batu yang menghampar apabila membuka sepatu dan membiarkan kaki kita telanjang maka akan terjadi refleksi secara alami, begitulah yang dialami oleh para petani di sekitar bukit-bukit tersebut. Kita juga bisa membayangkan bagaimana para petani itu dengan penuh semangat mencari penghidupan di alam dengan bercocok tanam padi dan berkebun, mungkin dengan hasil tidak seberapa dan membawa hasil taninya yang sangat jauh tanpa berkendaraan, namun mereka tetap menempuh jalan hidupnya dengan penuh semangat.
Refleksi tubuh juga bisa dilakukan di lokasi air terjun, selain kita berjalan di batu-batu yang memijat telapak kaki, juga kita bisa merasakan air yang jatuh itu tidak merpa batu tetapi menerpa tubuh kita. Air yang jatuh itu serupa pukulan-pukulan kecil dan keras ke tubuh kita. Ini juga serupa sebuah terapi atau refleksi, dan sesudahnya kita akan merasakan semacam pencerahan-pencerahan baru dari air tejun Milang ini. Air yang jernih yang akan menimbulkan kerinduan akan alam yang terus lestari. Semakin lengkap pencerahan itu ketika menghirup udara di sekitar lokasi air terjung yang begitu segar.
Kita sudah bisa merasakan sejuknya udara itu sekitar 500 meter dari lokasi, seperti masuk ke dalam air. Kesejukan ini semakin nikmat, ketika memasuki petang, malam dan pagi hari. Sambil minum kopi hangat dan berbincang, rasanya kita semakin akrab dengan alam.
Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat merupakan segerombolan anak muda dari Lembah Bukit Serelo Kabupaten Lahat yang ngulik dunia sastra. pengajiannya dilaksanakan pada setiap Sabtu dan Minggu pukul 14.00 WIB-selesai bertempat di sebuah bukit Desa Pagarsari. Komunitas ini sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung. salam Budaya!
Minggu, 16 Januari 2011
KENDALA REGENERASI SENI TARI TRADISIONAL
Oleh Jajang R Kawentar
Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan raja atau pada Dewa, atau menyambut para pejabat, dan sebagai bahasa pergaulan. Tarian yang diciptakan bukan karena kebutuhan ekspresi si penari.
Kemungkinan beberapa tarian daerah itu tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hanya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja. Tidak lagi sebagai representasi dari rutinitas atau aktifitas berkesenian.
Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga untuk aset seni terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat secara mamadai.
Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian daerah itu memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang di bawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang peduli. Ketidakpedulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.
Kecurigaan Pada Lembaga Akademis Seni
Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut dalam melestarikan dan pengembangan seni. Misal, Sumatera Barat dengan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Seni Padang, IKIP Medan, Bengkulu punya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), kalau di Jawa dan Bali banyak bertebaran perguruan tinggi seni. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif akan terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Dengan demikian diharapan akan bermunculan berbagai komunitas seni, atau kelompok seni sebagai benteng pertama dalam kesinambungan estapet warisan seni.
Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni. Sekolah seni yang ada tidak mendapat tempat selayaknya sebagai sekolah seni, dan ada juga kecurigaan dengan jurusan seni yang ada hanya untuk mengejar kebutuhan tenaga kerja sebagai guru atau karena sertifikasi. Sehingga bukan kualitas lulusan yang didapat, namun kuantitas yang diraih. Apakah ini akan memperkeruh suasana kesenian, atau justru memperbaiki keadaan?
Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetulnya hal ini sangat melukai para pekerja seni.
Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.
Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.
Sekolah Menengah Seni dan Perguruan Tinggi Seni
Di Sumatera Selatan yang saya ketahui hanya ada dua sekolah Menerngah yang berlatar belakang seni, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Palembang yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri (SMSR N) Palembang dan SMK N 2 Kayuagung yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri (SMIKN) Kayuagung Kabupaten OKI. Sementara untuk Perguruan Tinggi Seni yang secara khusus tidak ada, namun Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) kini terdapat di Universitas PGRI Palembang.
Untuk daerah teritorial yang sangat luas seperti Sumatera Selatan sungguh lembaga akademis yang minim ini sangat memprihatinkan. Seyogayanya setiap kota/kabupaten terdapat sekolah kejuruan seni, sebagai pilihan dan sebagai penyeimbang dalam pengembangan profesi generasi muda di kemudian hari.
Apabila sekolah yang di kembangkan di setiap kabupaten/kota bahkan juga provinsi hanya sekolah kejuruan yang memfasilitasi kemampuan teknik. Maka akan terjadi kepincangan, karena seperti kita tahu kemampuan otak kiri dan otak kanan siswa berbeda. Untuk mengembangkan minat dan bahan seni siswa harus memiliki wadahnya atau ada lembaga yang menaunginya. Disamping itu untuk melengkapi para penerus seni dan budaya yang memang sadar atau tidak sangat dibutuhkan.
Siapakah penerus seni dan budaya daerah kita kalau tidak dimulai dari pendidikan atau lembaga akademis yang bisa mengawal serta menyalurkan minat dan bakat, dan juga mengembangkan pengetahuan seni budaya daerahnya kalau bukan dari putra daerahnya sendiri menjadi penerus dan kebanggaan daerahnya.
Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan raja atau pada Dewa, atau menyambut para pejabat, dan sebagai bahasa pergaulan. Tarian yang diciptakan bukan karena kebutuhan ekspresi si penari.
Kemungkinan beberapa tarian daerah itu tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hanya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja. Tidak lagi sebagai representasi dari rutinitas atau aktifitas berkesenian.
Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga untuk aset seni terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat secara mamadai.
Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian daerah itu memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang di bawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang peduli. Ketidakpedulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.
Kecurigaan Pada Lembaga Akademis Seni
Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut dalam melestarikan dan pengembangan seni. Misal, Sumatera Barat dengan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Seni Padang, IKIP Medan, Bengkulu punya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), kalau di Jawa dan Bali banyak bertebaran perguruan tinggi seni. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif akan terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Dengan demikian diharapan akan bermunculan berbagai komunitas seni, atau kelompok seni sebagai benteng pertama dalam kesinambungan estapet warisan seni.
Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni. Sekolah seni yang ada tidak mendapat tempat selayaknya sebagai sekolah seni, dan ada juga kecurigaan dengan jurusan seni yang ada hanya untuk mengejar kebutuhan tenaga kerja sebagai guru atau karena sertifikasi. Sehingga bukan kualitas lulusan yang didapat, namun kuantitas yang diraih. Apakah ini akan memperkeruh suasana kesenian, atau justru memperbaiki keadaan?
Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetulnya hal ini sangat melukai para pekerja seni.
Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.
Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.
Sekolah Menengah Seni dan Perguruan Tinggi Seni
Di Sumatera Selatan yang saya ketahui hanya ada dua sekolah Menerngah yang berlatar belakang seni, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Palembang yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri (SMSR N) Palembang dan SMK N 2 Kayuagung yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri (SMIKN) Kayuagung Kabupaten OKI. Sementara untuk Perguruan Tinggi Seni yang secara khusus tidak ada, namun Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) kini terdapat di Universitas PGRI Palembang.
Untuk daerah teritorial yang sangat luas seperti Sumatera Selatan sungguh lembaga akademis yang minim ini sangat memprihatinkan. Seyogayanya setiap kota/kabupaten terdapat sekolah kejuruan seni, sebagai pilihan dan sebagai penyeimbang dalam pengembangan profesi generasi muda di kemudian hari.
Apabila sekolah yang di kembangkan di setiap kabupaten/kota bahkan juga provinsi hanya sekolah kejuruan yang memfasilitasi kemampuan teknik. Maka akan terjadi kepincangan, karena seperti kita tahu kemampuan otak kiri dan otak kanan siswa berbeda. Untuk mengembangkan minat dan bahan seni siswa harus memiliki wadahnya atau ada lembaga yang menaunginya. Disamping itu untuk melengkapi para penerus seni dan budaya yang memang sadar atau tidak sangat dibutuhkan.
Siapakah penerus seni dan budaya daerah kita kalau tidak dimulai dari pendidikan atau lembaga akademis yang bisa mengawal serta menyalurkan minat dan bakat, dan juga mengembangkan pengetahuan seni budaya daerahnya kalau bukan dari putra daerahnya sendiri menjadi penerus dan kebanggaan daerahnya.
HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA
HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA
Oleh Jajang R Kawentar
Sejarah seni budaya Indonesia tidak lepas dari pengaruh partai politik yang berkuasa. Seni Sastra, seni Rupa dan seni tari sekalipun dipengaruhi kepentingan politik dan mendapat suport dari sebuah partai dominan, atau karena perintah raja yang berkuasa saat itu. Begitu pula dengan Tari Gending Sriwijaya, sebuah tarian yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.
Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti dicetak tahun 2007. Buku ini menarik ditinjau akan sejarah Tari Tanggai tersebut.
Sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Tidak adakah solusi untuk menghidupkannya, supaya dewan kesenian itu kembali bergairah dengan kehadiran berbagai pengelolaan kesenian di daerahnya. Padahal ada yang namanya musyawarah yang dilakukan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) setiap tahunnya.
Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.
Tari Tanggai Sebuah Evolusi
Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.
Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.
Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.
Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.
Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.
Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.
Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.
Perlu Penyempurnaan
Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat bingung pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga tariannya bernafaskan Budhisme. Apakah pencipta tari Gending Sriwijaya itu juga beragama Budha?
Perlu kiranya penyempurnaan dalam penyajian data serta mendeskripsikan evolusi dari tari gending Sriwijaya hingga menjadi tari Tanggai. Karena buku ini sangat penting sebagai acuan, atau sebagai sejarah perjalanan terciptanya seni tari Tanggai yang sampai saat ini masih dipercaya sebagai tarian yang cukup sakral di Sumatera Selatan.
Meskipun terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun, kecuali untuk kemanusiaan.
Oleh Jajang R Kawentar
Sejarah seni budaya Indonesia tidak lepas dari pengaruh partai politik yang berkuasa. Seni Sastra, seni Rupa dan seni tari sekalipun dipengaruhi kepentingan politik dan mendapat suport dari sebuah partai dominan, atau karena perintah raja yang berkuasa saat itu. Begitu pula dengan Tari Gending Sriwijaya, sebuah tarian yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.
Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti dicetak tahun 2007. Buku ini menarik ditinjau akan sejarah Tari Tanggai tersebut.
Sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Tidak adakah solusi untuk menghidupkannya, supaya dewan kesenian itu kembali bergairah dengan kehadiran berbagai pengelolaan kesenian di daerahnya. Padahal ada yang namanya musyawarah yang dilakukan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) setiap tahunnya.
Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.
Tari Tanggai Sebuah Evolusi
Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.
Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.
Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.
Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.
Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.
Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.
Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.
Perlu Penyempurnaan
Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat bingung pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga tariannya bernafaskan Budhisme. Apakah pencipta tari Gending Sriwijaya itu juga beragama Budha?
Perlu kiranya penyempurnaan dalam penyajian data serta mendeskripsikan evolusi dari tari gending Sriwijaya hingga menjadi tari Tanggai. Karena buku ini sangat penting sebagai acuan, atau sebagai sejarah perjalanan terciptanya seni tari Tanggai yang sampai saat ini masih dipercaya sebagai tarian yang cukup sakral di Sumatera Selatan.
Meskipun terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun, kecuali untuk kemanusiaan.