Minggu, 16 Januari 2011

KENDALA REGENERASI SENI TARI TRADISIONAL

Oleh Jajang R Kawentar

Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan raja atau pada Dewa, atau menyambut para pejabat, dan sebagai bahasa pergaulan. Tarian yang diciptakan bukan karena kebutuhan ekspresi si penari.

Kemungkinan beberapa tarian daerah itu tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hanya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja. Tidak lagi sebagai representasi dari rutinitas atau aktifitas berkesenian.

Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga untuk aset seni terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat secara mamadai.

Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian daerah itu memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang di bawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang peduli. Ketidakpedulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.

Kecurigaan Pada Lembaga Akademis Seni

Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut dalam melestarikan dan pengembangan seni. Misal, Sumatera Barat dengan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Seni Padang, IKIP Medan, Bengkulu punya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), kalau di Jawa dan Bali banyak bertebaran perguruan tinggi seni. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif akan terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Dengan demikian diharapan akan bermunculan berbagai komunitas seni, atau kelompok seni sebagai benteng pertama dalam kesinambungan estapet warisan seni.

Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni. Sekolah seni yang ada tidak mendapat tempat selayaknya sebagai sekolah seni, dan ada juga kecurigaan dengan jurusan seni yang ada hanya untuk mengejar kebutuhan tenaga kerja sebagai guru atau karena sertifikasi. Sehingga bukan kualitas lulusan yang didapat, namun kuantitas yang diraih. Apakah ini akan memperkeruh suasana kesenian, atau justru memperbaiki keadaan?

Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetulnya hal ini sangat melukai para pekerja seni.

Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.

Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.


Sekolah Menengah Seni dan Perguruan Tinggi Seni

Di Sumatera Selatan yang saya ketahui hanya ada dua sekolah Menerngah yang berlatar belakang seni, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Palembang yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri (SMSR N) Palembang dan SMK N 2 Kayuagung yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri (SMIKN) Kayuagung Kabupaten OKI. Sementara untuk Perguruan Tinggi Seni yang secara khusus tidak ada, namun Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) kini terdapat di Universitas PGRI Palembang.

Untuk daerah teritorial yang sangat luas seperti Sumatera Selatan sungguh lembaga akademis yang minim ini sangat memprihatinkan. Seyogayanya setiap kota/kabupaten terdapat sekolah kejuruan seni, sebagai pilihan dan sebagai penyeimbang dalam pengembangan profesi generasi muda di kemudian hari.

Apabila sekolah yang di kembangkan di setiap kabupaten/kota bahkan juga provinsi hanya sekolah kejuruan yang memfasilitasi kemampuan teknik. Maka akan terjadi kepincangan, karena seperti kita tahu kemampuan otak kiri dan otak kanan siswa berbeda. Untuk mengembangkan minat dan bahan seni siswa harus memiliki wadahnya atau ada lembaga yang menaunginya. Disamping itu untuk melengkapi para penerus seni dan budaya yang memang sadar atau tidak sangat dibutuhkan.

Siapakah penerus seni dan budaya daerah kita kalau tidak dimulai dari pendidikan atau lembaga akademis yang bisa mengawal serta menyalurkan minat dan bakat, dan juga mengembangkan pengetahuan seni budaya daerahnya kalau bukan dari putra daerahnya sendiri menjadi penerus dan kebanggaan daerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata