Minggu, 16 Januari 2011

HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

Oleh Jajang R Kawentar


Sejarah seni budaya Indonesia tidak lepas dari pengaruh partai politik yang berkuasa. Seni Sastra, seni Rupa dan seni tari sekalipun dipengaruhi kepentingan politik dan mendapat suport dari sebuah partai dominan, atau karena perintah raja yang berkuasa saat itu. Begitu pula dengan Tari Gending Sriwijaya, sebuah tarian yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.

Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti dicetak tahun 2007. Buku ini menarik ditinjau akan sejarah Tari Tanggai tersebut.

Sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Tidak adakah solusi untuk menghidupkannya, supaya dewan kesenian itu kembali bergairah dengan kehadiran berbagai pengelolaan kesenian di daerahnya. Padahal ada yang namanya musyawarah yang dilakukan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) setiap tahunnya.

Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.

Tari Tanggai Sebuah Evolusi

Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.

Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.

Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.

Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.

Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.

Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.

Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.

Perlu Penyempurnaan

Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat bingung pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga tariannya bernafaskan Budhisme. Apakah pencipta tari Gending Sriwijaya itu juga beragama Budha?

Perlu kiranya penyempurnaan dalam penyajian data serta mendeskripsikan evolusi dari tari gending Sriwijaya hingga menjadi tari Tanggai. Karena buku ini sangat penting sebagai acuan, atau sebagai sejarah perjalanan terciptanya seni tari Tanggai yang sampai saat ini masih dipercaya sebagai tarian yang cukup sakral di Sumatera Selatan.

Meskipun terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun, kecuali untuk kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata