Jumat, 04 November 2011

PUISI FIKRI MS GENDING


Fikri MS

Membakar Kemenyan
Aku bakar kemenyan dan ranting kenanga di pinggan tanah liat
Aku panjatkan mantra-mantra kepada leluhur
Aku bersila di atas tikar pandan menghadap matahari
Aku ratapi kemarau dan angin yang berdebu

Langit terbelah diarak angin
mukaku ditampar silau senja
lalu gerimis terperas dari awan yang memekat
menjadi murka
guntur saling membentur
menggelegar mencakar-cakar tanah yang tandus
mendengus beringas
senja berubah menjadi kilat
apakah ini laknat yang menimpa
atau mantra yang diterima?

Mantra-mantra yang berubah menjadi lembaran proposal
berubah menjadi angka-angka
Kemenyan berubah menjadi gubuk-gubuk yang terbakar
Ranting kenanga berubah menjadi tulang-tulang
dan pinggan berubah menjadi tas cover

Batang-batang kayu berubah menjadi batang-batang emas
berubah menjadi menara
Gunung-gunung berubah menjadi burung-burung kecil
berubah menjadi bulu yang terbang
melayang-layang di atas sawah, ladang dan kebun tebu
dan berubah menjadi gedung-gedung
menjulang menancapkan kakinya di perut petani

Dan bumi pun berubah
Aku pun berubah
menjadi liar
menjadi-jadi, menjadi-jadi

Menjadi sapu tangan berwarna kuning terkoyak
Branda Cafe, Bulan Maret 2011


Malam yang Membusuk
Malam yang membusuk pelan-pelan
Aku terdampar di kaki lima

Dimamah kepahitan yang terurai satu persatu menjadi mimpi,

Mimpi-mimpi yang saling menghujam
Menusuk-nusuk gendang pendengaranku, berbisik
Berisik sekali

Membanting tubuhku ke lantai debu
Aku tersedak dijejali beribu sesak
Keindahan yang terampas
Dihajar masa lalu yang hampir saja sempurna

Aku terbujur di lantai debu
Pucat ditampar bulan
Maret, 04 2011



Lenguh Nafas Tarianmu
Kutenangkan jiwa menghadirkan pancaran matamu yang
Teduh

Kembali

Aku tersenyum mengenang engkau tersenyum

Syair ini menguraikan tentang lenguh nafas yang terhembus
pelan
ke luar dari bibirmu
bersama lembut kata-kata yang menyimpan rahasia perempuan
yang kau sampaikan lewat tarian

Engkau telah mengajakku tanpa isyarat
Menggandeng lenganku tanpa rengkuhan
Tanpa kata atau bisikkan

Wangi yang tersibak dari tanganmu
Terbuka lenguh bersama nafas menjinakkan angin dan debu-debu
Daun dan rumput tergoda
Aku pun tergoda

Kucium harum
Wangi itu tersibak lagi
Lembut dan hampir sempurna dari ketiadaan

Menarilah, menarilah bersama angin yang kau taklukkan
Teruslah menari,
Menari, menari-nari menyibakkan wangi silih berganti

Hingga semerbak harum yang menggeliat
seperti seorang Dewi
yang lari dari khayangan

Dan terus, teruskan gemulaimu
Karna musik dan lagu masih beriak

.... ... ...

Kutenangkan jiwa menghirup dalam
aroma tubuhmu
yang memancar dari teduh matamu
bersama nafas menjelma ke dalam sukmaku
menunggu di ujung malam
menjadi sebuah mimpi
yang kutempa menjadi sajak tentang engkau dan rahasiamu

Bahwa kecantikkanmu telah menyapaku
... ... ...

Kutenangkan jiwa membalas tarianmu dengan syair ini
Sementara ombak zaman menderu-deru berbisik
Membisikkan kata yang menggoda
menjadi iklan di jalan raya

Dan kau masih akan menari untukku
dan menari menyibakkan wangi yang terlepas
seperti denting gitar yang memanjakan nyanyian
dengan petikan merdu bergejolak-gejolak
di antara sangsi dan sangsai bahwa kecantikkan
bukanlah purnama pucat
di antara awan dan bintang
... ... ...

Kutenangkan jiwa ini menyapamu dalam sajak
sebelum semuanya usai atau kembali
menjadi biasa

Maret, 04 2011 Di Branda Teater


Syair Sepasang Mata
Mata ini tuan yang punya
hendak dibawa kemana gerangan sangsi
Bila tau luka kan berdarah
manalah mungkin tuan kan datang
meminang hamba telangkup tirai
menindih bantal di bawah lelah

Memeluk pelangi di tengah malam
Seperti bulan terkurung pekat
Duhai pujangga peramu kata
Alangkah bijak tautan makna
Terselubung ayunan kemban
Jadilah dendam terkubur dalam
Aforisme, 05 Maret 2011


Sebatang Pedang
Sebatang pedang tercancang di atas bukit di bawah matahari
Seorang petani mendekatinya pelan-pelan
Lalu pedang itu berpaling menenggelamkan diri meninggalkan pulunya seperti tunggul kayu
Aforisme,10 Maret


Sepasang Mata
Seperti kelopak bunga yang sejuk di pagi hari mekar menggoda mata seorang perempuan yang melintas di hadapannya dengan kaki telanjang di atas bebatuan kerikil yang kasar berat berserakan. Aroma wangi yang terbawa angin sampai juga ke jagat penciuman sebagai anugerah yang terlontar dari bumi menuju sukma sang Dewi yang menutup lembar masa pada suatu dini hari ketika akan menjadi sesuatu yang disebut keindahan. Sebuah karya yang dahsyat dari sejumlah kedahsyatan yang memancar tak sanggup termaknakan dalam ribuan abad sekalipun. Inilah keindahan tersebut sebagai sepasang mata yang berkabar.


Tentang Kau Malam Ini
Sukmaku masuk ke dalam bening matamu
malam ini
Senyummu yang menggoda
Membiarkan
Aku merayu seorang diri
Menghibur kegelapan malam dan angin
yang mendayu-dayu
Beriringan salam yang tersumbat dari telapak tanganku yang goyah

Ada gejolak yang menggelegak mendahului
perjalanan ini
Dan kau kian sempurna gadisku

Aku yang tengadah ke muka alam
Menghaturkan mimpi yang kupesan
Sejak sekian lama
Sejak kau berlenggang menari
Mengiring denting gitar
Sore itu

Tak bisa kunyanahkan percakapan denganmu gadisku
Engkau telah memabukkanku
dalam panjang duka gelisah
Engkau telah menarik perumpamaan
Dalam sekejap langkah
goyahlah sukmaku jadinya
Mendapati engkau yang manja
Kepadaku

Saat ada yang menggodamu
Aku gairah dan sempurna

Kau bagaikan kupu-kupu merah
Yang terbang hinggap di kembang kertas
Oh... aku geram menatapmu gadisku

Malam ini
Kau merajuk resah padaku
Aku seakan saja
Sebab risaumu bukanlah makna bagiku
Risaumu hanyalah jelaga yang mengkristal
Menjadi rayu untukmu
Bahwa aku memang memanjakanmu

Tentang kau malam ini
Senyummu selengkung manis daun sirih
Dan aku tergoda
Mengabulkan mimpi yang tersendat
Karna amarah memang tak ubahnya
Sebagai kebencian akan masa laluku
Yang hampir sempurna
Sebelum kau ku rayu.

Malam ini kau mengusik tenggelamku
Pelan-pelan
Gadisku gelisah aku karna senyummu
Dan kau berucap selamat malam
Tanpa kata-kata

Senyummu menjelaskan itu.
Branda 12 Mei 2011

Aku Yang Gelisah Payah
Aku yang gelisah payah
Mengurai keadaan yang memancung

Tak ubahnya jerami yang tersilap api
Aku membakar
Memberontak terhadap syair yang nyinyir
Bau amis penderitaan tak terkalahkan
Kenapa kita diam tatkala terinjak-injak?
Terkapar di tengah jalan raya kemakmuran negeri ini.

Apakah murkaku tak boleh memohon restu
Atas derita kaumku?
Dipompa kekejaman yang panjang
Kebencian yang melontar-lontar
Kebusukan yang terselimut oleh senyum dan rayu yang bijak

Kemanakah kebenaran itu?
Kemana perginya ia?
Apakah masih menyelinap di bawah bantal keadilan?
Lalu berujung menjadi mimpi
Yang tak pernah usai.

Api dendam membakar jiwaku yang kering
Menodai udara yang suci.


Membayangkan Wajahmu
Membayangkan wajahmu tak sanggup aku
Kau telah menjelma sebagai kesaksian

Aku tersumbat langkah
Tersekat dalam diam manjamu
Ibarat kata seumpama debu
Engkau lengket pada permukaan lalu nampak
Sebagai cahaya yang redup
Remang disemai malam kelabu

Kata-kataku menjadi sesahduan yang mengutuk
Menjamumu dalam hidangan mimpi
Tersaji dalam kedamain

Akulah asmara itu
Terjerembab dalam kesakitan
Karna engkau memayungiku
Di saat tiada hujan atau panas

Baiknya kukabarkan segera lekas
Pada alam yang menggodaku
Sebaiknya kupasrahkan
Pada Tuhan yang Agung

Kemanusiaan mencabikku dari depan
Belakang dan tengkukku
Akulah kebencian itu
Menyapamu selembut salju
Sementara jiwa-jiwa lain menampikanku menjadi pecahan batu
Bergelimang asam pedu

Terbukalah pintu
Lalu aku diam membayangkan kedatanganmu
Tak bisa aku.

Tak sanggup


Saungku Saungmu
Berhentilah berjanji
Datanglah padaku di saat tak terduga
Karna waktu akan pertemukan kita
Entah kapan atau di mana tepatnya

Aku hanya sebatang pedang yang mulai berkarat di rayu debu
Dan engkau ibarat hujan gerimis
Menetes memasamkan jiwaku

Payah lelah kau persoalkan di pundakku
Aku mengeras tak bersuara
Waktu telah menjawab
Dan kau adalah kesia-sian tanpa pesan
Dan aku menjadi tonggak yang keras mengaduh pada batu
Sakit menjerit
Begitu sulit mendebatkannya
Kau datang aku tiada
Berhentilah menjanjikan sesuatu
Peristiwa kita masih panjang
Aku akan memelukmu mungkin di saat kekakuanku merambat
Pelan-pelan di sela jari dan lekuk tubuh ini.


Rombongan Liar
Mereka adalah senjata yang baru jadi
Dipesan jauh-jauh hari
Diramu racun ampibia
Mengoyak luka tak tertahankan
Lalu mati pelan-pelan

Mereka adalah serdadu tanpa medan
Berjuang ke segala arah
Curiga terhadap siapa
Mendengus apa saja
Menghina siapa saja

Tak jadi soal menang atau kalah
Sebab perlombaan belum selesai

Mereka menolak tunduk
Menolak beranjak
Berani menentang kebenaran sebagai pertanyaan
Penuh
Adakah kebenaran itu adanya

Mereka burung gereja
Terbang kemana suka
Menjemput mimpi di bawah genteng
Dan lengan tiang listrik

Mereka rombongan liar
Hidup di alam liar
Makan-makanan liar
Berbaju liar

Mereka seperti ular daun
Menyelinap di antara cabang pohon kekuasaan
Menjelma sebagai daun
Menggigit dengan racun

Mereka rombongan liar
Dan suka berkata
“Kami ini ular!”



Kembali
Kita duduk di barat bulan
Bercerita tentang asmara yang tenggelam di telan perjumpaan
Yang lenyap oleh kesibukan
Kau dan aku sama-sama mendesah berat
Sebab tak menentu ke mana arah bicara

Aku menepi
Dan kau pun menepi mengikuti mau yang tak pasti
Selamatlah kita yang tengah digoda masa lalu yang hampir saja
menjadi

Dan bulan kian sempurna
Angin menyingkap selimut jingga itu
Lalu lekas kembali menjadi sempurna keadaannya
Maka, satu persatu keluarlah kebijaksanaan
Menyerupai burung malam yang lalu segera lenyap menembus gelap

Kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata