Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Bukit Serelo Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
Jajang R Kawentar
Menciptakan media atau outlet (pelepasan) karya sastra tidak semudah dan tidak seindah yang di bayangkan. Perlu perjuangan yang cukup melelahkan. Pada pelaksanaannya di lapangan, selalu saja ada hal-hal yang tidak diinginkan. Misal, ada saja nada-nada sumbang yang sampai ke telinga, baik itu dari guru-guru atau dari orang tua siswa. Bahwa belajar seni yang di dalamnya terkandung sastra, tidak dianggap sebagai mata pelajaran yang penting dalam system pendidikan kita. Buat apa? Toh di dalam Ebtanas tidak diujiankan. Tidak akan membuat siswa tidak naik kelas kalaupun nilainya merah. Mereka hanya berfikir belajar Matematika, IPA, PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris saja yang di utamakan, belajar seni atau belajar sastra tidak penting. Menguras waktu dan tenaga, hasilnya tidak ada. Hal semacam inilah, membuat terpukul.
Barangkali karena apresiasi anak, guru-guru dan orang tua terhadap seni atau sastra sangat rendah. Disayangkan bagi guru-guru serta orang tua yang mencemooh terhadap kegiatan kreatifitas seni anak. Berkarya seni dianggap pekerjaan yang sia-sia. Kasus semacam ini biasanya terjadi di daerah-daerah. Di mana orang-orang masih berkutat pada pemikiran sempit, yang beranggapan bahwa seni tidak dapat menghidupi, yang akan membawa kepada kemiskinan. Mereka beranggapan hanya orang-orang bodoh dan dungu yang menggeluti dunia seni.
Sehingga dengan demikian menghambat proses belajar mengajar seni/sastra. Di sekolah guru-guru yang mencemooh di rumah orang tuanya. Jadi wajar saja kalau anak-anak malas untuk membaca, malas untuk berkresi apalagi berfikir kreatif. Sebab pola pendidikan seni telah dihambat oleh struktur institusinya sendiri. Bagaimana masyarakat mau menghargai hasil karya seni? Sepertinya semua pintu tertutup.
Dampaknya, tidak adanya fasilitas bagi kegiatan kesenian, tidak adanya dukungan moril dan spirituil bagi anak-anak yang belajar mencintai karya seni. Selalu ada saja yang menjadi alasan untuk menghambat pelaksanaan kegiatan seni. Di memori mereka yang terekam bahwa kegiatan semacam itu sampah. Sangat rumit menjalani pencerahan lewat pendidikan seni di sekolah. Namun kembali berpulang kepada pribadi guru. Apakah terus maju pantang mundur, atau maaf-maaf saja.
Prinsip pertama bagaimana memotifasi anak untuk mencoba memahami realitas social yang ada. Sebab tidak ada satu sisi kehidupanpun yang tidak mempengaruhi kesenian atau seni/sastra dan begitupun sebaliknya. Sehingga anak secara tidak langsung akan memahami dirinya dengan menghubungkannya dengan seni. Mulai dari baju yang ia pakai, gaya rambutnya, sepatu, jam tangan, pena, tas,; dari yang dilihat/dibaca misal, gejala alam, perubahan social, politik, budaya, TV, koran, majalah, buku,; dari yang didengar, musik, gaya bicara, bahasa dan masih bayak lagi. Sebagai daya sentuh motifasi. Dengan begitu anak dengan kesadarannya akan mulai memahami dan terbuka wawasannya, bahwa seni/sastra memiliki peran yang sama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Berkarya seni/sastra perlu keahlian dan kesadaran yang dalam, untuk itu perlu belajar ilmunya.
Kedua: bagaimana belajar berkarya seni/sastra? Berkarya seni/sastra, berarti belajar berekspresi, belajar mengungkapkan perasaan. Tidak semua orang dapat mengungkapkan perasaan. Sehingga perlu belajar dan latihan yang kontinu. Mulai dari hal-hal yang sangat sederhana atau barangkali tidak “bermakna”. Diharapkan dengan latihan tersebut, mereka juga belajar memahami, mencintai dan menghargai karya seni/sastra. Terpenting mereka mulai belajar membaca. Baik itu membaca lingkungan sekitarnya, atau membaca karya seni orang lain. Dengan membaca tersebut anak belajar memahami, mencintai, dan menghargai lingkungannya sekaligus memahami, mencintai orang lain. Artinya mereka kita ajak untuk memiliki pendirian, sebab berekspresi atau mengungkapkan perasaan sama saja dengan belajar mengungkapkan pendapatnya.
Selanjutnya, bagaimana mengakui eksistensi (kehadiran) karya seni/sastra yang diproduksi anak didik? Dalam hal ini menanpung pendapat. Penampungan berupa sarana atau media dari hasil berekspresi: di sekolah biasanya memiliki majalah dinding (Mading). Sarana sederhana untuk penampungan karya seni/sastra. Dengan demikian kehadiran karya seni/sastra anak bisa dinikmati oleh anak-anak lainnya. Di samping itu frekuensi berkarya anak dapat diketahui, antara anak yang aktif dan berkualitas. Lebih lanjut, karena Mading merupakan media yang rapuh, sesaat dan tidak bisa dijadikan dokumentasi yang otentik. Maka sebaiknya dibuatkan lagi media yang bisa dimiliki dan dinikmati oleh anak yang lebih fleksibel. Misal, difotokopi dan dibundel, bagi yang ingin memilikinya dapat digandakan, lalu beberapa disimpan di perpustakaan sebagai bukti eksistensi. Setiap tahun dan setiap kelas akan menggoreskan sejarah pendapatnya ke dalam karya seni/sastra yang terdata dengan baik.
Di sinilah memulai proses pematangan jiwa, motifasi, dan berkarya anak. Sehingga muncul percaya diri yang tinggi serta tumbuh kesadaran murni dalam berekspresi dan berkreasi karya seni/sastra. Bagi anak-anak yang kreatif tentunya. Bukan kesadaran palsu, yang paksakan karena adanya tekanan tugas sekolah. Mereka tidak akan memperdulikan lagi nada sumbang yang mendiskreditkan dengan kegiatan seni/sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata