Rabu, 02 September 2009

MENDALAMI DUNIA PEREMPUAN DALAM BAHASA RUPA

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


SENJAKALA EROS: MENDALAMI DUNIA PEREMPUAN DALAM BAHASA RUPA
Jajang R Kawentar


Senjakala Eros adalah sebuah tajuk Solo Exhibition Painting Eduard (Edopop) di Art Forum, 82 Cairnhill Road, Singapore, yang di selenggarakan tanggal 13 – 24 Oktober 2007. Pameran di Singapura ini bukan yang pertama dijajaki Edopop, bahkan ia pernah pameran keliling di beberapa kota negara Copenhagen (Denmark), Canada, Virginia, New Jersey, New York di USA. Edopop yang lahir di Palembang 1972, belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Palembang. Ia terus beranjak pesat, terus bertarung memperjuangkan estetiknya di tengah budaya global dan ia telah mampu merebut perhatian masyarakat seni dunia karena kemampuan dan kegigihannya. Ia menyelesaikan Sarjananya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Program Studi Seni Lukis (1995 – 2000). Kini ia tinggal di Yogyakarta. Apakah ia menjadi salah satu penerus dari tokoh seni lukis Indonesia asal Sumatera Selatan, Amri Yahya?
Dalam pameran kali ini Edopop melukiskan berbagai permasalahan perempuan dan anak menurut pandangannya terhadap pengamatannya selama ini, terutama dalam keluarganya. Gagasannya muncul ketika anak pertama lahir perempuan. Saya melihat kegalauan itu mengemuka karena seorang Edopop banyak mengkonsumsi konsep-konsep kapitalisme dan konsep idiologi dari barat dengan perbandingan konsep lokal.
Edopop melukiskan bentuk perempuan dan anak yang sangat terkekang dengan memvisualkannya melalui tanda-tanda yang tidak jauh dari dapur dan tanda-tanda yang dimiliki perempuan kita pada umumnya, seperti benang, kain, panci, kaki yang mulus terikat atau berdiri disatu kaki, kepala yang terikat atau terbebani masalah atau tuntutan. Begitupun dengan tubuh yang dibalut atau dililit kain, bahkan tubuhnya nyaris tidak pernah tampak karena ditutup kain.
Dalam pengantar katalog Pameran Tunggal Edopop yang ditulis Hendro Wiyanto pembaca dibawa ke dunia perempuan yang di sekat oleh istilah gender. Kalau kita berbicara tentang demokrasi dan kesetaraan maka apabila kita mengupas isue gender, itu basi. Allah sudah mengatur di dalam Al-Quran dan Hadist, apa hak dan kewajiban perempuan serta hak dan kewajiban sebagai laki-laki. Al-Quran dan Al-Hadist adalah mutlak bagi umat Islam. Diantara keduanya memiliki aspek unik yang memiliki keterbukaan kemahfumannya. Memperdebatkan tentang gender berarti kita akan kembali ke belakang yang mempertajam perbedaan dan menekankan kecenderungan mudaratnya, isue ini dihembuskan oleh kekuatan faham kapitalis, sebagai politik kapitalisme yang bergerak guna merubah image pasar. Menurut saya itu propaganda kapitalisme dalam membuka pasar global. Sebagai upaya merubah pandangan masyarakat yang digiring dari label pelanggaran hak asasi manusia.
Sebetulnya bagi umat Islam sudah sangat jelas pedomannya Al-Quran dan Al-Hadist. Namun yang membedakannya bagi orang Timur sebagai budaya adalah konsep atau cara pandang, atau penghargaan orang barat dengan orang timur terhadap subjek perempuan dan laki-laki itu yang berbeda. Cara pandang laki-laki terhadap perempuan dan cara pandang perempuan terhadap laki-laki itu yang berbeda.
Semakin peliknya perdebatan tentang gender semakin besarnya keuntungan yang diraup oleh kaum kapitalis. Dengan begitu perempuan menjadi sumber eksploitasi bagi produk dan merk-merk dagang bagi kaum laki-laki, bagi pengusaha, perusahaan dan majemen, begitupun sebaliknya. Gender alat propaganda yang akan menyilap mata siapa saja yang lebih mencintai dunia material, sasaran yang sangat vital adalah anak-anak. Seperti juga masyarakat awam, masyarakat dusun di pedalaman Sumatera yang telah menikmati kecanggihan teknologi. Mereka adalah korban daripada kerja keras kaum kapitalis yang dibayang-bayangi oleh isue gender tersebut.
Kita sebagai bangsa yang besar tentu memiliki kebudayaan dan latar belakang budaya serta etnis yang juga kaya, maka, saya kira Edopop bermula dari masa lalu atau sejarah dirinya yang dilahirkan di daerah yang memiliki sungai yang besar dan lebar serta rawa-rawa yang luas, juga budaya atau adat istiadat yang unik di tempat di mana ia dilahirkan, yang juga berbeda dengan budaya di mana sekarang ia tinggal. Karya yang tertuang dalam kanvas itu merupakan olah rasa dan olah pikir perpaduan sejarah masa kecil dengan pandangan seorang Edopop saat ini yang dewasa, berpendidikan, tinggal di lingkungan penduduk yang memiliki pola pikir modern dan liberal, serta memiliki pergaulan dengan kaum intelektual.
Hendro Wiyanto tampak gugup ketika memandang sebuah gagasan baru yang di usung oleh seorang Edopop seorang pelukis kelahiran Palembang. Sepertinya dia tidak memiliki catatan tentang kebudayaan nusantara termasuk catatan latar belakang budaya si pelukis yang dicermatinya. Ia bermodalkan referensi barat yang secara ideologi berbeda dengan subjek yang ditulisnya. Kita memiliki aset kebudayaan yang tinggi dan memiliki referensi sejarah yang kaya belum digali. Tentunya tidak hanya Jawa saja, Sumatera Selatan atau khususnya Palembang, memiliki budaya, tradisi dan sejarah yang berbeda. Pengalaman batin dan latar belakang Pelukis tentunya melekat di alam bawah sadarnya.
Proses pencarian gagasan Edopop menyisir kembali perjalanan dari tempat ia dilahirkan. Mulai dilahirkan dari rahim ibundanya, dilahirkan di Ibu kota yang memiliki karakter kuat sebagai laki-laki, sistem kekeluargaan yang kuat, dan memiliki karakter yang keras serta lugas. Kini keterikatan batin dengan istrinya yang telah melahirkan anaknya berkelamin perempuan, dan kemungkinan pada saatnya nanti anaknya akan melahirkan anak pula.
Ini adalah gagasan pandangan baru tentang objek lukisan dan sebuah pergulatan permasalahan dari subjek pelukis. Sebuah kegalauan yang berawal dari sebuah rumah dimana terdapat keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah sebagai salah satu subjek penentu dalam keluarga dan ibu serta anak menjadi objeknya. Sementara ibu dan anak sendiri adalah subjek yang berbeda dan tersendiri. Memiliki permasalahannya sendiri-sendiri yang sesungguhnya saling sangkut-paut lahir dan batin. Bermula dan berakhir dari kebutuhan lahir batin itu bersatu, menemukan sesuatu dan kehilangan sesuatu permasalahan.
Namun demikian dalam adat dan akar budaya subjek menjadi latar belakang yang tidak bisa dipisahkan. Banyak dari akar budaya itu yang harus dijunjung tinggi, seperti petata-petiti puyang yang memberikan makna hidup supaya lebih baik. Pabila dibenturkan dengan keadaan jaman sekarang tentunya banyak pula petata-petiti tidak setajam semula. Seperti sudah kita ketahui bahwa ketajaman petata-petiti berperang dengan peluru kendalinya sistem kapitalis yang meringkus budaya peninggalan puyang. Petata-petiti itu sudah berubah menjadi merk-merk dagang. Tidak hanya petata-petiti tetapi berbagai bentuk produk lokal seperti kain Tajung, Songket, Jumputan ataupun tradisi daerah hingga tradisi keluarga menjadi terpecah. Karena beribu tradisi baru setiap hari yang ditawarkan oleh sistem kapitalis. Ini merupakan salah satu permasalahan, perenungan estetik yang butuh pemecahan dan pencitraan.
Beberapa bentuk dan objek lukis yang terdapat di kanvas itu merupakan proses perenungan estetik dan bagian dari pada pemecahan dan pencitraan baru yang dilalui oleh seorang Edopop yang tentunya akan memunculkan sesuatu yang lebih tajam dari keadaan sekarang. Dengan semakin tajamnya pisau pembedah dalam menemukan sebuah kekuatan estetik, olah rasa dan olah pikir maka seorang Edopop akan terus melahirkan karya terpilih yang melampaui kemampuan dirinya sekarang.
Sebagai penikmat selalu menunggu estetika baru semacam apa dan pencitraan baru semacam apa yang ditawarkannya nanti kepada khalayak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata