Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...
SEJARAH DAN DEWAN KESENIAN
Jajang R Kawentar
Semacam mitos membicarakan kemegahan dan kejayaan kerajaan Sriwijaya, atau keraton Kesultanan Palembang. Rasa-rasanya kemegahan dan kejayaan itu ada dalam angan-angan, begitupun Dewan Kesenian yang berdiri hampir di setiap Kabupaten dan Kota. Kedengarannya “kata” Dewan Kesenian begitu megah dan gagah, tetapi seperti bedak atau gincu pelengkap kecantikan wajah kalau mau pergi ke tempat sedekahan atau ke pasar malam. Sulit mencari jejak untuk lebih dapat mempercayainya, bukan hanya sekedar cerita dari sedikit peninggalan yang tersisa. Sulit untuk dibanggakan tanpa dasar-dasar yang kuat sebagai bukti yang lebih akurat atas keberadaan sejarah di atas itu, bukankah malah jembatan Ampera (jembatan Bung Karno) yang dibanggakan wong kito saat ini. Padahal itu berasal dari GANTI RUGI penjajahan orang Jepang. Begitupun juga dengan seringnya Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) mengundang atau mengadakan event untuk pekerja seni dari luar daerah Sumsel yang sudah mapan seperti Rendra atau Ratna Sarumpaet, dengan menggunakan dana yang tidak sedikit. Apabila pekerja seni lokal mengadakan pentas, mungkin bisa sepuluh bahkan dua puluh kali pementasan. Kesempatan itu diberikan kepada orang lain, seniman kita sendiri tidak dalam skala prioritas untuk pentas. Karena alasan itu pekerja seni kita menjadi malas berkarya, meskipun masih ada saja semangat berkeseniannya. Seniman dan kesenian orang lain menjadi semakin maju dan kesenian kita semakin terperosok.
Dewan kesenian harus mampu merangkum berbagai perkembangan kesenian yang ada di masyarakat, memfasilitasi setiap organisasi atau kelompok kesenian. Apabila dewan kesenian memiliki misi membina dan mengembangkan kesenian daerah tentu harus sungguh-sungguh, jangan setengah hati. Sehingga seni atau kesenian daerah itu dapat diikutsertakan atau dapat berpartisipasi dalam pembangunan mental dan spiritual bangsa. Kegiatan seni atau kesenian bukan hanya sebagai pelengkap dalam acara seremonial belaka.
Saya kira pemimpin Dewan Kesenian baik di Provinsi maupun di Kabupaten dan kota bukan sekedar menjadikan lembaga Dewan Kesenian kendaraan politik, sebagai tempat menempel identitas, biar dianggap organisatoris. Sebagai pemimpin Dewan Kesenian harus dapat memperjuangkan perkembangan kesenian, memaksimalkan kegiatan kesenian, meningkatkan tarap hidup seniman. Jangan menganggap enteng seniman seperti orang kurang kerjaan, buruh harian. Kerja seniman memerlukan energi ekstra, perlu konsentrasi tinggi serta kesabaran, ketelatenan, waktu yang relatif panjang dan keahlian yang memadai. Sehingga pemerintah memperlakukan seniman tidak proporsional.
Bagaimana Seniman yang bekerja di dewan kesenian itu dihargai dengan layak dan memaksimalkan kinerjanya. Rasanya tidak manusiawi apabila seniman yang bekerja di Dewan Kesenian dibayar 10% dari UMR. Bagaimana masyarakat bisa menghargai kerja seniman, Ketua Dewan Kesenian sebagai pimpinan dalam lembaga formal itu sama dengan melecehkan seniman. Pemimpin Dewan Kesenian tahun 2008 harus memiliki komitmen meningkatkan kualitas dan kuantitas seni budaya, tanpa memihak terhadap salah satu komuniti atau ikut dalam politik praktis. Mengolah para pekerja seni atau seniman menjadi sumber daya manusia yang profesional, bermartabat, dan menjunjunjung tinggi seni budaya bangsanya.
Bagaimana pemimpin daerah juga ikut andil dalam mensejahterakan kehidupan seniman. Memberikan banyak peluang usaha, dan kesempatan kerja. Selalu saja seniman lokal tidak mendapatkannya karena kurangnya modal dan pengalaman dalam bersaing untuk mendapatkan proyek atau kerja. Seniman pertunjukan semakin sempit ruang apresiasinya, karena sempitnya peluang yang diberikan baik pemerintah, apalagi masyarakat. Kesenian Sumsel yang memiliki latar belakang keagungan kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam menjadi hancur. Sekarang apalagi yang dapat dibanggakan dari peninggalan sejarah seni budaya tersebut. Apakah hanya cerita saja ataupun catatan yang sulit dibuktikan keakuratan dan keaktualannya.
Untuk itu seniman harus diikutsertakan dalam pembangunan bangsa ini melalui kemampuannya berkarya seni budaya dan pemerintah dapat memfasilitasinya. Masyarakat membutuhkan kreatifitas seniman yang segar memiliki bobot high Art tetapi tidak melepaskan kekayaan nuansa tradisi lokal. Begitupun wisatawan dari lokal dan global mendambakan suguhan seni budaya lokal yang segar dan dapat menghibur. Apabila pemerintah tidak bekerja sama dengan pekerja seni di daerahnya, lalu dengan siapa lagi pemerintah bermitra dalam mensukseskan kepariwisataan dan seni budaya Sumsel ini, seperti juga program Visit Musi 2008. Tidak terus bermitra dengan negri Cina dan negri-negri yang lain, sementara bangsanya sendiri yang menjadi objeknya serta subjeknya yang berdaya. Apabila kita bergantung dengan luar negri atau dengan orang di luar Sumsel ini saya kira sebuah keniscayaan saja. Majunya seni budaya dan kepariwisataan itu karena masyarakat di dalamnya dan keindahan alamnya.
Untuk memajukan seni budaya dan kepariwisataan harus ada suport positif bagi para seniman, dengan gairah berkesenian dan fasilitas seni memadai maka maha karya akan segera marak dapat diapresiasi masyarakat. Disamping itu ada dokumentasi dan karya monumental yang dirawat seperti juga Jepang membangun Jembatan Bung Karno yang sangat dibanggakan oleh penggunanya.
Meskipun jembatan Bung Karno itu menjadi image sungai Musi dan masyarakat kota Palembang, biarpun ikon yang salah. Karena ikon itu salah satu monumen sejarah bahwa Jepang pernah berkuasa, bercokol di sana dan menindas masyarakat Palembang. Selama monumen itu dijaga dan dirawat apalagi dicatat dalam buku dalam tulisan-tulisan, diabadikan dalam album foto, bahkan di jadikan simbol-simbol penting dalam lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, maka jembatan itu tentu akan terus mengingatkan kita pada tragedi kemanusiaan yang getir. Tetapi pada umumnya orang sekarang tidak perduli lagi dengan sejarah, seperti tidak perdulinya dengan seni budaya sendiri.
Lalu untuk apa ada departemen seni budaya, kalau tidak dapat ikut mempasilitasi pemberdayaan seniman dan mengakomodir karya-karya seniman. Departemen itu hanya membayar orang yang tidak bekerja untuk kepentingan korpnya dan tidak bertangung jawab terhadap masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata