PENCIPTAAN KARYA SENI DAN PENDERITAAN RAKYAT
Jajang R Kawentar
Penciptaan karya seni sebagai bahasa ungkap
pekerja seni mengalami perkembangan dan perubahan: Opini
dan aspirasi pekerja seni dinyatakan secara lugas, berani
dan vulgar. Tetapi terkadang manusia khilaf; entah karena
faktor pendidikan atau pengetahuan yang kurang, atau
karena solidaritas kemanusiaan yang dimiliki pekerja seni
dan masyarakat terhadap pemerintah, lemah. Begitupun
sebaliknya. Atau nilai ketaqwaannya tidak seimbang antara
yang vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dengan yang
horizontal (hubungan manusia dengan manusia;
lingkungannya). Sehingga salah kaprah, tetapi tidak ada
yang mau dikata demikian, karena apa yang mereka
ungkapkan mempunyai maksud baik.
Penderitaan rakyat bawah sangat dominan dalam
mempengaruhi inspirasi para pekerja seni. Tidak sedikit
pekerja seni yang mengungkapkan penderitaan rakyat itu
dengan membusungkan dada, merasa berkewajiban menuangkan
itu ke dalam karya seninya. Penderitaan rakyat menjadi
lahan penggalian pekerja seni dalam menciptakan karya
seninya. Sebuah penderitaan yang mereka anggap dahsyat,
diolah dan dikemas menjadi sesuatu yang indah, tampak
romantis, kadang tampak mengerikan, kadang penderitaan itu
menjadi sangat menyenangkan.
Kalau demikian, tentu kita akan berpendapat: betapa
kejamnya seni itu, penderitaan menjadi sesuatu yang
menyenangkan, yang biasa-biasa menjadi tampak menyeramkan.
Pemutar balikan fakta terjadi, dan karena ini seni,
dianggap sah, tidak ada yang berani mempermasalahkannya,
karena kita (rakyat) sudah cukup direpotkan dengan
penderitaan yang kita terima.
Penderitaan itu adalah bencana, bagi rakyat bawah. Bagi
pekerja seni; itu adalah anugrah dan bagi mereka yang
menyukai hasil karya seni seperti itu adalah sebuah
hiburan yang sangat menarik. Para kritikusnya juga ikut
memberi label (melegitimasi) sebagai karya seni
kontemporer yang menjiwai jiwa zaman. Tentu ini sangat
menyedihkan, dalam keadaan rakyat menderita sepertinya
mereka ikut merasakan penderitaan yang rakyat rasakan. Di
balik itu, dengan banyaknya penderitaan yang rakyat
rasakan, semakin banyak pula ide yang bisa mereka tuangkan
ke dalam karyanya (semoga tidak benar). Tidak sedikit pula
para pekerja seni mendadak mendapat keuntungan dari
penderitaan rakyat ini, karena karyanya menjadi populer
(trend atau laku).
Kesalahan yang dilakuakan pekerja seni seperti itu
dianggap wajar dan halal oleh masyarakat yang memang tidak
mengerti (karena faktor kesenjangan pemahaman tentang
seni, antara pekerja seni dengan (rakyat) masyarakat
umum). Terkadang pekerja seni dengan kritikus seni
bersekongkol untuk menyatakan pembenaran, memuluskan
jalannya seni seperti itu. Seni dan pekerja seni
dipisahkan dari rakyatnya. Pekerja seni menjadi mahluk
yang mempunyai tugas terbatas, hanya mengungkapkan
penderitaan rakyat atau idealismenya; mereka tidak harus
memikirkan apa yang akan terjadi setelah karya seni itu
tercipta. Berarti dengan begitu, pekerja seni hanya
mementingkan dirinya, kepuasan pribadi; memuaskan orang
yang berkepentingan dengan karya seni, dan mengambil
keuntungan dari penderitaan rakyat itu tanpa ada timbal
balik; sebuah pertolongan untuk melepas penderitaan rakyat
tersebut.
Pekerja seni hanya melakukan hak-haknya sebagai warga
masyarakat: mengungkapkan segala bentuk perasaannya ke
dalam sebuah karya dengan bebasnya. Sementara kewajiban
sebagai warga masyarakat, membantu atau menolong
masyarakat dari keadaan tertindas, kesakitan, kelaparan,
krisis ekonomi, politik, hukum dan krisis moral itu, tidak
dilakukannya. Apakah cukup hanya dengan mengungkapkan
kegelisahannya itu?: yang sebetulnya rakyatlah yang
merasakan itu. Karya seni seperti itu cenderung merupakan
propaganda Status Quo: Rakyat janganlah menuntut lebih
dari kemampuan yang ada dalam posisi rakyat, cukuplah
dengan mengetahui bahwa kita sedang berada dalam situasi
krisis itu.
Dengan bersusah payah para pekerja seni itu menuangkan
ide penderitaan yang dirasakan rakyat ke dalam sebuah
karyanya. Sehingga menimbulkan kesan, ini lho keadaan
rakyatku, sengsara, tertindas, kelaparan, penyakitan dan
entah berapa lama lagi mereka akan mati” Tentu betapa
sedih dan sakitnya hati rakyat, disodorkan karya pekerja
seni seperti itu. Bagi rakyat yang tidak mengerti, tidak
tahu, akan menerima atau cenderung masabodoh terhadap
perlakuan pekerja seni yang mendiskreditkan dirinya
(rakyat).
Perlakuan pekerja seni itu seperti terjadi pada seorang
dokter yang memeriksa pasiennya dan lalu mengatakan
penyakit yang diderita pasien itu tanpa memberikan
suntikan, obat atau resep; supaya sipasien tersebut dapat
sembuh dari penyakit yang dideritanya dan merasakan
kembali hidupnya yang sehat.
Pekerja seni memang bukan dokter, tetapi apabila pekerja
seni mengetahui keadaan masyarakat tertindas, tentu akan
menciptakan karya-karya yang mengembangkan ke arah
bagaimana solusi atau jalan keluar dari kemelut
penderitaan tersebut. Tidak melulu mengungkapkan
penderitaan yang ada, tanpa memberikan dorongan spiritual
pada rakyatnya supaya bersatu padu, tenang, sabar, dan
melawan berbagai bentuk ketidakadilan; untuk membentuk
rakyat yang adil dan makmur. Kontribusi seperti itulah
kewajiban pekerja seni bagi masyarakat dan sebagai bagian
dari masyarakatnya. Sebaiknya masyarakat juga diikut
sertakan dalam pemilihan tema dan gagasannya, sesuai
kebutuhannya. Sehingga seni menjadi berguna dan bermanfaat
bagi rakyat di sekitarnya.
Penderitaan rakyat bawah merupakan ujian bagi para
pekerja seni dan rakyat itu sendiri. Apakah demi objek
sebuah karya, para pekerja seni akan tega mengeksploitasi
penderitaan rakyat atau mengikuti terus egonya? Sampai
dimana kepedulian pekerja seni melihat kenyataan yang
diderita rakyat. Rakyat tidak butuh gambaran atau cerita
yang sedang dan akan dideritanya, berilah ‘suntikan’ atau
‘obat’ atau ‘resep’. Para pekerja seni cukup kreatif dalam
membuat formula ‘obat’ supaya rakyat dapat keluar dari
penderitaannya dan karena kesatuan serta usaha keras
pekerja seni dengan semua komponen rakyatlah yang akan
mampu melepaskan segala penderitaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata