BIBIR KETEMU BIBIR
Catatan Penghargaan Seni DKSS dan WS. Rendra
Oleh Jajang R Kawentar
Pembacaan puisi WS. Rendra dalam acara penganugrahan penghargaan seni Dewan Kessenian Sumatera Selatan (DKSS) terhadap pekerja seni yang dianggap telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia kesenian di Sumatera Selatan diakhiri adengan bibir ketemu bibir (ciuman). Adegan itu dilakukan Rendra kepada Ken Zuraida, di atas panggung saat duet suami istri itu baca puisi. Pembacaan puisi itu disaksikan ratusan penonton yang kebanyakan awam. Adegan akhir inilah yang melekat di benak penonton awam. Esensi puisi yang dibawakannya lenyap terhapus oleh adegan tabu, yang sering dilakukan orang se-Palembang anget di balik dinding, kini telah pecah. Meskipun Rendra melakukan ciuman itu dengan istrinya sendiri, namun publik melihat dengan mata terbelalak meperhatikan dengan seksama, mulai Rendra menyodorkan bibirnya perlahan mendekat dan istrinya juga ikut mendekat. Saat-saat bibir ketemu bibir, penonton begitu tegang. Orang-orang yang tadinya riuh rendah, sejenak bisu, sepi, seperti di balik dinding. Apakah si Burung Merak itu akan benar-benar akan beradu bibir atau sebelum sampai di rem terlebih dahulu. Ternyata tepuk tangan riuh penonton disambut lagi dengan senyum gembira menerima adegan ‘horor’ itu. Dulu hal itu tabu dilakukan di muka umum sekarang ditrima dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat dan berbagai tingkatan umur. Ada wakil Gubernur, ada beberapa pemuka adat dan tokoh budaya, guru, pekerja seni, siswa-siswi SMA, SMP dan umum lainnya.
Anak-anak SMA dan SMP agak sedikit histeris, entah sebagai tanda apa. Barangkali sebagai tanda keriangan mereka, keharuan, atau kekerasan. (Kekerasan terhadap norma yang selama ini di jaga dan dipertahankan oleh masyarakat Adat). Saya kira prilaku pekerja seni ini sangat dahsyat untuk di tiru oleh masyarakat umum, dan kini sebuah tirani telah gugur oleh seorang guru, seorang tokoh budaya yang cukup kokoh pada sebuah negri. Pertanda lampu hijau telah menyala bagi para pemuja kemerdekaan, terutama para remaja untuk melakukan hal yang sama di muka umum. Ini adalah kekhawatiran dan pertanda perkembangan perilaku. Mencium bibir di muka umum menjadi hal yang lumrah bagi pemuda-pemudi dusun. Saya yakin adegan bibir ketemu bibir itu sebuah ungkapan dramatik dari puisi, tidak dimaksudkan untuk menotori citra Adat masyarakat Sumatera Selatan. Namun saya juga yakin penonton adegan bibir ketemu bibir dari beberapa etnik, atau dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Selatan. Sehingga hal ini sedikit banyak akan diserap sampai ke tempat mereka tinggal dan sedikit banyaknya mereka akan bercerita pada lingkugannya.
Fenomena bibir ketemu bibir ini akan lebih dahsyat ketimbang film esek-esek Indonesia atau film forno (Blue Film) yang ditonton di balik dinding dengan kalangan terbatas. Karena adegan dalam pembacaan puisi Rendra ini dinikmati dengan mata telanjang penonton dan yang melakukannya adalah seorang yang menjadi publik figur.
Adegan Bibir-ketemu bibir hal yang sudah biasa (tidak aneh) dilakukan oleh orang-orang metropolitan. Namun bagi orang-orang dusun itu hal yang luar biasa. Fenomena ini bisa kita nikmati di tempat-tempat tertentu di Palembang. Umpamanya, di taman Kambang Iwak, Benteng Kuto Besak dan sekitarnya, Puntikayu, namun tidak sefulgar yang di lakukan WS. Rendra di panggung Graha Budaya Sumatera Selatan yang baru diserahterimakan.
Bagi pekerja seni barangkali pertujukan tersebut hanyalah pertunjukan yang syarat dengan estetika, atau apalah namanya. Barangkali menjadi suatu kebanggaan, bahwa pekerja seni boleh melakukan apa saja atas nama estetika. Lalu bagaimana dengan norma-norma Adat yang dibangun oleh nenek moyang Sumatera Selatan dulu kala? Susah payah membangun dan mempertahankannya, tiba-tiba hancur hanya karena sesaat.
Saya kira WS. Rendra mestinya menjelaskan apa yang dilakukannya di atas panggung itu kepada masyarakat penonton pada saat itu. Sehingga interpretasi penonton tidak miring atau forno. Pada umumnya memang sebuah pertunjukan atau karya seni yang baik itu katanya harus memiliki multi tafsir. Penulis merupakan salah satu orang awam yang menolak adegan tersebut dilakukan di atas panggung Graha Budaya Sumatera Selatan. Saya tidak mengerti dengan wakil Gubernur, beberapa pemuka adat dan tokoh budaya, yang hadir pada saat itu. Sepertinya mereka mengamini adegan bibir ketemu bibir tersebut sebagai sesuatu yang layak untuk dipertontonkan dikhalayak masyarakat Sumatera Selatan. Salam Budaya!
Desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Urunan Kata