Jumat, 22 Oktober 2010

Bahasa Lahat Akar Khasanah Budaya


Bahasa Lahat Akar Khasanah Budaya
Oleh Jajang R Kawentar

Diskusi yang berawal dari kehawatiran Komunitas Sastra Lembah Serelo (KSLS) terhadap Bahasa Lahat yang penggunanya terutama anak-anak muda di kota Lahat banyak menggunakan bahasa Palembang. KSLS sendiri saat ini sedang menggiatkan program penulisan sastra berbahasa daerah Lahat, jelas berkorelasi dengan perkembangan sastra daerah yang berakar pada bahasa daerah terutama bahasa Lahat sebagai bahasa ibunya. Kegiatan diskusi ini dilaksanakan Minggu (17/10) di markas KSLS di Desa Pagarsari Lahat, dihadiri oleh para pecinta sastra dan pecinta bahasa Lahat.

Yudistio Ismanto salah satu penyair dari KSLS yang kini terus berkarya menggunakan bahasa Lahat sebagai media ekspresinya mengungkapkan, bahwa selain terus menggali makna yang tersurat dan arti yang tersirat dari setiap kata juga mencoba menciptakan gaya bahasa baru dalam larik-larik puisinya.

Menurutnya bahasa daerah Lahat ini lebih menarik ketika dijadikan sebagai media ekspresi seperti puisi, disamping itu juga masih sangat jarang orang memanfaatkan bahasa Lahat menjadi karya sastra yang juga bisa dinikmati oleh siapapun di negri ini. Dia juga berharap dengan terus berkarya menggunakan bahasa Lahat, bisa menunjukkan kekayaan budaya sendiri, bangga menggunakan bahasa sendiri dan bahasa itu juga tetap lestari, juga bisa dikenal oleh dunia.

Yudistio sendiri sebetulnya bukan asli keturunan dari puyang (nenek moyang) Lahat. Ibu Bapaknya orang Jawa yang merantau ke Lahat dan dia lahir di Kota Lahat. Hanya saja dia dibesarkan di kompleks orang Lahat dan bergaul dengan mereka. (Kota Lahat merupakan daerah urban yang didatangi oleh orang-orang dari berbagai desa di wilayah Kabupaten Lahat).

Bahasa daerah ini apabila digunakan untuk media ekspresi seperti puisi, cerita pendek, ataupun dongeng dan legenda maka bahasa ini akan lebih hidup, apalagi dipelajari di sekolah-sekolah. Baik mempelajari pengucapannya juga bagaimana teknik penulisannya. Semua ini sesungguhnya ilmu pengetahuan budaya mengenai tatabahasa daerah Lahat. Bisa jadi belum ada yang menelitinya.

Anak muda Lahat masa kini lebih banyak menggunakan bahasa di luar bahasa Ibunya seperti berbahasa Palembang dan sedikit bahasa ala Betawi atau bahasa gaul, mereka mengikuti pergaulan jamannya, sepertinya bila menggunakan bahasa daerahnya sendiri dianggap kurang gaul, ketinggalan jaman (suduk: udik). Pendapat ini berdasarkan pantauan beberapa peserta diskusi yang hadir. Barangkali fenomena ini tidak hanya di Lahat saja, tetapi mungkin dibeberapa baerah lainnya.

Tetapi apabila di dusun (desa) atau di daerah luar Kota Lahat yang masih di dalam Kabupaten Lahat, bahasa daerah masih terjaga. Karena apabila di dusun ada warga yang menggunakan bahasa di luar kebiasaannya, seperti menggunakan bahasa Palembang atau bahasa Indonesia, seringkali warga itu diolok-olok. “awak jeme dusun sinilah, cacak-macak”.

Menurut Masjayadi, S.Pd guru sejarah SMA N 1 Merapi Selatan, sebagai warga pengguna bahasa Lahat tidak perlu khawatir akan kehilangan penggunanya, karena di dusun-dusun itu masih teguh menggunakan bahasa ibunya. Tetapi teknik penulisan bahasa daerah sangat penting. Karena selama ini kita hanya menggunakan bahasa daerah secara lisan saja, jarang menggunakan bahasa daerah dalam bentuk tulisan. Mungkin dengan adanya pembelajaran bahasa daerah dalam bentuk lisan dan tulisan, bahasa Lahat akan terus terpelihara dengan baik. Di samping itu dikemudian hari akan memberikan nuansa seni sastra yang unik dan khas. Karena bahasa daerah ini merupakan kekayaan seni budaya, dan sejarahnya bisa terus kita telusuri.

Dalam memasukkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran di sekolah harus ada keinginan dari dinas terkait dan direspons oleh para guru yang memiliki keinginan melestarikan dan menggali bahasa daerah tersebut serta memiliki kemampuan memahami kosa kata dalam berbahasa daerah. Dengan belajar bahasa daerah serta menuliskannya, pelajar atau kita akan memulai belajar dan mengingat kembali berbagai nama barang atau sebutan, istilah, pepatah, pantun, cerita, silsilah dan berbagai macam perkembangan dalam bahasa daerah tersebut. Tentunya hal ini sangat menarik dan akan bermanfaat untuk memperteguh jati diri sebuah daerah yang memiliki bahasa yang khas sebagai manifestasi kebudayaannya. Bahasa itu sendiri akan menunjukkan karakter daerahnya, selain sebagai identitas sebuah bangsa.

Karena alasan melestarikan seni budaya dan menjaga jati diri serta menjaga karakter daerah Lahat, hemat penulis, perlu kiranya dibuat kamus bahasa daerah Lahat sebagai acuan dalam penulisan bahasa yang baku atau minimal glosarium bahasa Lahat. Selain itu sebagai usaha pelestariannya perlu dilakukan muatan local di sekolah-sekolah, dengan mengarang atau menciptakan karya sastra berbahasa daerah. Dengan demikian kita memulai lagi belajar menulis pantun daerah, cerita rakyat berbahasa daerah, puisi atau bentuk syair-syair lainnya.

KSLS kini sudah memulai menyusun glosarium atau kumpulan kata-kata berbahasa Lahat. Selain itu KSLS membuka kerjasama dengan berbagai lembaga atau bagi siapa saja yang hendak belajar sastra atau membuka dikusi guna menumbuh kembangkan kecintaan terhadap sastra daerah. Hal ini akan berlanjut dengan membuat beberapa event sastra daerah, dan akan mendokumentasikan beberapa karya sastra berbahasa daerah. Tentunya bagi siapapun yang tertarik, hendak bergabung, dan memiliki karya berbahasa daerah, mencoba memfasilitasinya.

Kesimpulan diskusi: selama ini kita lebih sering mengagung-agungkan daerah lain mengenai perkembangan seni budayanya atau sastranya. Kini waktunya kita membangun keagungan karya seni budaya yang kita miliki. KSLS mengajak segala lapisan masyarakat, gunakanlah bahasa daerah menjadi kebanggaan kita dan mulailah menulis dengan bahasa daerah sendiri.
Penulis:guru SMA N 1 Merapi Selatan Lahat

Selasa, 05 Oktober 2010

Rumah Penjara

Lampung Post
Minggu, 3 Agustus 2008
SENI BUDAYA
Rumah Penjara, Cerpen Jajang R. Kawentar

AKU punya kawan seorang penyair, itu kataku. Tetapi lain kata tetangganya. Ia pengangguran sinting, tanpa beban. Banyaklah tertawanya ketimbang menampakkan muka masam atau muka jeruk purutnya. Kalau kata kawanku yang lain, ia figur antikemapanan sejati untuk saat ini. Hidup tidak untuk masa depan. Hidup adalah saat ini dan nikmatilah saat ini sebelum kesempatan itu mampus bersama harapan dan kenyataan. Aku meyakinkannya ia sebagai penyair total. Maksudku total dalam membuat teks atau syair serta total teks itu menjadi kehidupannya. Apabila melihat tingkah lakunya itulah syair show life-nya. Kalau terpana atau menggelengkan kepala tiga kali melihatnya, berarti syairnya itu melaksanakan tugasnya laksana sihir atau hipnotis. Itulah salah satu kelebihan syairnya.

Sekian banyak syair yang dilahirkannya, tidak ada yang dapat dijadikannya rumah. Padahal ia sangat mendambakan sebuah rumah yang cantik, yang dapat memanjakannya dari terik matahari, dari dinginnya embun pagi, dari kelelahan yang sangat. Namun, telah menjadi rumah bagi jiwanya. Ia tidak peduli dengan keadaan dirinya yang menurut orang lain merusak mata dan memekakkan pendengaran. Ia jalani lalu lintas kehidupan dengan sabar, realistis dan kadang subversif.

Rumah kawanku itu di belakang rumah penjara negara. Maaf, rumah penjara itu terlalu sarkasme, terlalu subversif, terlalu menggocoh ulu hati, terlalu melecehkan, kurang manusiawi, menyamai kekuasaan Tuhan: untuk itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan biar terasa akrab, bersahabat, ramah dan manusiawi alias bermoral atau beradab; seperti istilah bencana kelaparan menjadi rawan pangan, rasanya terdengar menyejukkan kalbu, serasa tiada ada sesuatu peristiwa yang tragis walau yang kelaparan itu ribuan orang dan atau yang mati ratusan. Lembaga Pemasyarakatan sebuah tempat di mana orang-orang yang dijebloskan ke dalamnya adalah orang-orang yang tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak mempedulikan hak orang lain atau melanggar ketentuan hukum yang telah digariskan lembaga.

Kawanku itu namanya Samiun. Biasa dipanggil Miun. Ia kawan satu dusunku. Dusun yang jauh di bawah kaki Gunung Dempo. Hawanya dingin, sejuk, mata airnya jernih bening tanpa ada campuran limbah pabrik pupuk, kertas, atau karet. Di kaki gunung tidak ada pabrik yang merusak ekosistem atau mencemari alam di mana mereka bernaung. Mereka mengakrabi alam dengan kearifan dan kesederhanaan. Aman. Damai. Namun perlahan pasti globalisasi menghajar seluruh style dusun menjadi snobis, konsumerisme serta trendy, seperti robot-robot bernyawa di rumah susun, apartemen, atau di kolong-kolong jembatan, di tepi-tepi sungai. Asyik deh, huh!

Angin semilir diembuskan bersama wangi bunga kawo (kopi), padi, dan tanah yang perawan, juga bau keringat para petani yang memetik buah, menanam bibit dan sedang menyabit rumput. Di sanalah kami dilahirkan, di dalam kesegaran alam dan lingkungan yang mengagungkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat tinggi, siapa pun saudara, asal satu dusun. Begitulah di perantauan, lain pula kalau sudah tiba di dusun, kembali ke tabiat semula sebagai makhluk yang juga mentasbihkan ego individualnya.

Miun saraf, maksudnya urat saraf otaknya terganggu sehingga mengganggu cara pandang berpikir dan entahlah, mungkin gila. Orang-orang dusun mengenal Miun dari kebiasaan yang dianggapnya buruk, tidak wajar. Miun sering berteriak-teriak atau menjerit, seperti meneriakkan sesuatu yang tidak pernah dimengerti warga dusun, seperti sebuah ungkapan rasa yang mengimpitnya, entah jeritan sebuah harapannya yang sering terlipat dalam ketiaknya dan ketiak warga, atau hanya sebuah kejahilan yang wajar dari jiwa muda, jiwa pemberontak. Namun, apa yang diberontakinya? Ya itulah, sumur dalam dapat diukur, hati dan jiwa orang mana kita tahu kedalamannya. Barangkali kita tidak mau tahu dan tidak mau belajar untuk mendalami dan mengukurnya. Kita memang tai kucing! Mengatakan Miun saraf, jangan-jangan kita lebih saraf dari Miun. Huh!

Aku benci dengan orang-orang seperti itu. Mencela orang tapi diri tidak pernah berkaca. Kadang aku juga tolol seperti itu. Namun, tidak ada orang yang luka karenanya hingga bercucuran darah, hanya luka hati tidaklah tampak menyemburkan darah. Kita memang sering menghina hati kita sendiri apalagi dengan orang lain, barangkali. Jiwanya merintih seperti tertusuk belati di ulu hati. Apalagi dikhianati sang kekasih. Aaaaaaa!!!

Rumah Miun di belakang penjara. Bentuk rumahnya tidak seperti rumah pada umumnya, memiliki ruang-ruang tertentu sesuai fungsinya. Rumahnya hanya persegi empat, kira-kira dua setengah meter kali dua meter persegi. Tinggi atapnya kira-kira dua setengah meter. Ruang itulah yang ia miliki untuk memenuhi segala kebutuhannya. Orang yang pernah melihat rumahnya, mengkhawatirkan akan konstruksi bangunannya yang sangat melarat dari kekuatan semestinya guna menyangga beban yang ditimpakan kepada tiang-tiang dari bambu yang dibelah dua.

Anyaman bilik bambu sebagai dinding rumahnya sudah mulai bolong melebar, sebagian dilapisi koran-koran basi. Lantainya semen campur pasir yang diaci. Kalau dilihat dari bentuknya bukanlah rumah, tapi tempat tinggal, karena di situlah ia tinggal lima tahun terakhir. Tempat tinggal itu merupakan tempat istirahat setelah ia berkeliling mengumpulkan barang-barang yang dibuang orang ke bak sampah. Ia menjadi pemulung setelah mengelilingkan ijazahnya untuk mencari pekerjaan. Entah berapa ratus keliling ia tidak pernah diterima perusahaan-perusahaan yang berdiri angkuh itu, pusing tak terobati. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sendiri membuat perusahaan sendiri, apa-apa sendiri. Hasilnya adalah tempat tinggal yang mengkhawatirkan orang. Namun, orang-orang sepertinya tidak pernah mengkhawatirkannya.

Tempat tinggal itu tidak menempel ke dinding gedung penjara. Beratap seng plastik, maksudnya bentuk atapnya seperti seng yang bergelombang terbuat dari plastik. Sehingga di dalam ruangan itu terang, baik siang atau malam. Di atas tempat itu ada sebuah lampu milik Lembaga Pemasyarakatan yang menyala setiap malam. Bohong!

Tempat tinggal itu terlalu lebar kalau hanya untuk ngorok sendirian, atau hanya sekadar untuk berkencan dengan binatang malam. Di dalamnya ada satu gerobok dari kayu bekas, satu gantungan pakaian, satu tikar pandan wangi, satu sendok plastik, satu piring plastik dan satu gelas plastik. Gelas, kok plastik, yang namanya gelas itu pasti beling atau kaca! Aneh? Jangan aneh dengan zaman gilo. Lama-lama kita sendiri yang aneh melihat kita.

Miun penyairku, sekarang juga, di sini, akan kutelanjangi kau. Aku terlalu menyayangi syair-syairmu yang kau curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Aku akan menyelesaikanmu dengan kata-kataku. Aku percaya katakata lebih tajam dari pedang. Katakataku kuasah dengan bukubuku dan katakataku kusekolahkan pada alam raya dan katakataku mencatatkan katakata dalam diriku menjadi senjata tajam. Lebih jitu dari peluru lebih tajam dari samurai.

Miun telah beberapa bulan tidak lagi menempati tempat tinggalnya. Semua tetangganya tidak mengerti ia pergi ke mana. Tidak ada yang berani memasuki tempat tinggalnya. Tidak ada maling yang mengincar barang-barang buruk tidak berharga itu. Kecuali syair-syairnya yang ia curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Kawan-kawan di sekitar tempat tinggalnyalah yang sering menjadi tamu tak diundang. Mereka mengerti betul keadaan di dalam tempat tinggal itu. Tempat tinggalnya tidak dikunci.

Aku datang hanya sekadar untuk menanyakan berapa banyak katakata kalimat gagasanku dan yang tidak kuketahui, telah ia rampas paksa di saat aku sedang mengedipkan mata. Namun niat itu tidak jadi kulakukan. Setelah memasuki ruangan ada selembar surat yang disematkan di dinding bilik bambu dengan tusuk gigi.

Palembang, 9 Juli 2005

Kepada kawan-kawan yang aku hormati. KINI AKU TELAH MENEMPATI RUMAH PENJARA SEL. MAWAR NOMOR 0065 (sel mawar memangnya Bungalau?!). Begini, kepada polisi, aku mengakui telah mencuri banyak, tak terhitung, katakata kalimat gagasan kontemporer dan yang tidak kumengerti, telah kurampas paksa di saat seorang kawanku sedang mengedipkan mata. Aku sering lupa siapa namanya. Kata-kata itu telah aku jual untuk menghidupiku sendiri. Kini aku tidak sanggup lagi untuk menghidupi tubuh sebatangkara ini.

Ya sebaiknya kuakui kesalahan itu dan aku bisa masuk rumah penjara. Biarlah hidupku menjadi bagian dari anggaran negara. Entah berapa lama. Hanya aku ingin di rumah penjara sampai hari kiamat nanti. Kini aku telah mengerti bagaimana caranya. Salam,

Tertanda. Samiun.

Rasanya aku tidak perlu menyelesaikan rencana busukku itu. Ternyata ia sudah melakukannya sendiri. Barangkali ia mengetahui rencana busukku itu. Walau sesungguhnya aku tidak tega atas kejadian yang menimpanya, meskipun atas kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya skenario itu telah aku buat supaya ia merasa jera atas perbuatan yang menurutku telah merugikan dan mengganggu eksistensiku dalam dunia entah aku sendiri terkadang bingung dengan keinginanku ini. Aku telah merugikan orang yang belum tentu merugikanku, hanya sekadar meminjam gagasanku tanpa seizinku. Itu saja.

Namun, rasanya duniaku telah diporakporandakannya. Sepertinya ia memaksaku untuk menjadi sehelai bayi, yang diarahkan ibunya dan berdasarkan naluri kemanusiaannya memproses dari tidak bisa bicara menjadi cakap, dari merangkak menjadi lari, dari bayi menjadi punya bayi, dari belajar menulis huruf menjadi mempermainkan hurup bahkan mempermainkan kata mempermainkan kalimat. Sekarang kalimat yang telah kupermainkan itu, kau yang memainkan permainanku-nya itu. Lagi-lagi hak milik, lagi-lagi hak cipta tidak memiliki hak. Apa guna identitas kalau kita semua akan mati juga. Identitas hanya tunggal, Tuhan. Kata mereka yang beriman dan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan.

Kami bersaudara di kota karena kemiskinan. Di dusun belum tentu bertegur walau berdampingan.

Palembang, 2008

JAJANG R. KAWENTAR lahir di Tasikmalaya, 1970. Kini menetap di Lahat, Sumatera Selatan

PUISI DI LAMPUNG POST

Lampung Post Online



Lampung Post
Terbit sejak 10 Agustus 1974

Info
Profil Perusahaan

Cari Berita


Minggu, 5 Oktober 2008
SENI BUDAYA
Sajak Jajang R. Kawentar

Panen Malapetaka

kami berlari ke bukit mencari semak-semak

namun semua telah dibakar tamakmu

kulihat semak-semak kini pada hatimu

kulihat abu dan arangnya ada pada matamu

kami temui puing-puing perjuangan petani di tepi hutan dan ladang

kami temui jejak tapak kaki mereka berlari ke pasar koorporasi

lahan mereka impas diganyang gunung globalisasi

lahan mereka dirampok dan diperkosa pasar

para petani kini bersembunyi ke sudut-sudut kota

di lembah-lembah sampah di lorong-lorong tikus

menanam bibit angan-angannya kembali

dengan sisa tenaga dan semangat agrarisnya yang dikerdilkan buah sistem

bercocok tanam bunga-bunga bank

hati terbakar lembaran uang

mata pencarian menjadi mata uang menutup matanya

kini musim paceklik dan menculik hak kawan dikibarkan

sebab musim tanam telah tiada

musim panen malapetakalah tiba

Lahat, 2008

--------

Buruh Tani Melarikan Diri

batang-batang bebaris polisi pamong praja

cangkul sengkuit menjadi jeruji besi di kantor polisi

petani berperang melawan hama wereng

tanah tidak lagi mau kompromi dengan bibit

tuan tanah menaikkan harga sewa dari satu ke dua pikul

harga-harga hidup semakin menjalar pada tingkah laku

pada pakaian dan penampilan

pekerjaan pokok ditinggalkan dengan lelah

menyisir pabrik-pabrik menawarkan otot

menyisir jalanan dan gang-gang kota hingga tong-tong kosong

lahan kian gersang terbakar angan-angan

alang-alang disertai angin subur

daun tajam menembus awan bunga bermekaran

tidak ada lagi untuk ganjal perut kecuali melarikan diri

mungkin di kerumunan orang ada harapan

mungkin semudah harapan pada kerumunan orang

hutan belantara menawarkan sengsara

hasil ladang dan sawah hanya ketegangan

makan hati dan tulang sum-sum

keluarga terlantar di tengah kebun kopi dan di ladang padi

setapak demi setepak mengepak tenaga melarikan diri

gunung dan bukit mengajak berlari

sungai dan tebat mengajak berlari

yang dikejar secarik kapital

yang dikejar di bursa saham

perut dipikirkan kepala kelaparan dibiarkan

tidak kepalang tidak ada urusan

modal telah habis dimakan zaman

melarikan diri pilihan tanpa bekal dikepal kepala

petani diam dalam pelarian

memikul dagu sepanjangan

sepanjang jalan memanjangkan angan

langit mendung pegunungan

langit biru perkotaan

petani berlari memandang langit

tanah kelahiran diceraikan

air dan angin teguh pada janji

menanti kembali melarikan diri

melarikan diri kembali menanti diri

Lahat, 2007

-------

Pengembaraan di Belantara Keperawananku

perawanku pecah disinari bulan empat belas lalu

angin dari Gunung Dempo dan Merapi menyelimuti

engkau bercerita kejayaan Sriwijaya dan mengaku sebagai Prabu Siliwangi

engkau memang laki-laki gagah saat itu

aku ingat Parangtritis debur ombaknya menyentuh kemaluanku

pasir putih di pantai itu menjadi hatiku dan masa depanku

darah ini adalah harta yang kau pinjam dari mimpi-mimpi kecilku

cintamu kau untai untuk membayar luka dari kelaki-lakianmu

serta senjata yang kau todongkan pada kewanitaanku

perawan mana tak tunduk pada tulusnya perlindungan yang teguh dan belaian kesatria Pajajaran o meyakinkanku meskipun bangkai busuk yang tidak pernah kucium

aku membalasmu dengan cumbu candu yang meracuniku

engkau terus meminta ke parangtritis meski telah merapat di dermaga Boom Baru

engkau menrontokkan buah dan daun-daun yang tumbuh dalam keraguanku

engkau merobohkan tiang-tiang yang ada di dada

aku pasrah sebelum berperang

aku tak kuasa pada jampi-jampi yang membuatku melayang di awan-awan

engkaulah penyebab terlambat datang bulan itu, sinarnya hanya dalam ingatanku

aku mabuk dirimu yang mabuk Lekra seperti minum ciunya Klaten

ini pengembaraan di belantara keperawananku

aku ingin melepaskan omong kosong atas kemanusiaanmu

aku ingin kesejahteraan yang kau lupakan

kau sendiri lupakan dirimu untuk yang lain

hargamu itu telah dibayar puluhan tahun lalu

kembalilah padaku, pada keperawananku

hari ini kau jelajahi sungai Musi beraroma perompak yang membawa catatan Sriwijaya

seperti kapal yang karam

engkau Parangtritis dan Prabu Siliwangi menjadi benakmu

walau Lematang dan air Karang lintasanmu

lekat perawanku bersamamu walau luka merindumu

aku ingat halaman Keraton Sultan Hamengkubuwono tempat istirahat kita

dan orang tuaku menuntun ke kediaman Sultan Mahmud Badaruddin

hingga ke kawah tengkurep tempat peristirahatannya kini

telah kau bangun cerita dan kata-kata di kotaku

dan kau berikan cindera mata bagi penduduk yang tak penah mengenalmu

kau goreskan pula tanda-tanda pada prasasti yang tak pernah mereka mengerti

seperti keperawananku denganmu

juga heningnya mengenangmu

heningnya air Musi mengutuki derasnya

aku telah tertipu dan terlanjur menyukaimu

berilah aku ketulusan dan kasih sayang dari bangunan cerita serta kata-katamu

seperti juga Lekra dan partai yang tidak pernah mati itu

perawanku pecah disinari bulan empat belas

penemuanku pertama dari luka abadi

kejahatan pada diriku sendiri melalui engkau

namun kau sepakat dengan kontrak

keperawananku abadi milikmu

Palembang, 2006

------

Kuda Troya

1.

lihatlah aku kuda

tak tanggung binal dalam cengkeraman

dirimu pasti sembunyi atau berlari-lari hilang nyali

diriku menyeringai di balik kacamata hitam tuanku

aku bangga dalam kendali

bersama tuan menari ke sana ke mari

biar duka lupa

biar beban tuan ringan

tunggangi aku jangan sungkan

aku kuda sejatimu

tak sadarkan diri siapa

rasanya sudah merdeka

padahal genggaman tuan meringkus segala

namun nafsu belaka untuk bergaya di depan semua

tidak mengira dirinya kuda

dapat malu mestinya ia

mengumpat semua melihatnya

lihatlah aku kuda

kuda raja

2.

iba berkumpul di dada

ia kuda tak dinyananya

hina dipandangnya

harga diri tiada henti diinjaknya

siapa hendak melepaskan kacamata hitam tuannya

harga merdeka mahal harganya

menjadi tunggangan tuan dirahasiakannya

kuda troya nama asalnya

tuan riang mendapatkannya

terkabul segera keinginannya

3.

tak sadarkan diri kuda

kacamata gelap dikenakan

dengan bangga sambil bergaya

pandangan satu jadi keyakinan

ditarik kiri kanan tuan punya kehendak

hendaknya sadar punya berontak

mengertilah kuda lenyap jatidirinya

waktu menunggu malu

kini bersembunyilah

kuda tak dapat berubah rupa

derap jalannya seperti tentara

pasukan seribu satu komandannya

4.

tampak segala rupa kuda

dulu dibenam dalamdalam

kini tumbuh penuh duri

duriduri dibawanya tidur dan berlari

bernyanyi tidur dalam duri

walau tetap kadang sadarkan diri

jampi-jampi tuannya sehidup semati

mengikatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki

bahkan hatinya tak berkutik lagi

pikirnya disihir kendali

5.

tuannya serupa robot

percaya takhayul-takhayul ilmu

percaya diri titisan raja

yang ditelan tak kunyah-kunyah

yang dikunyah disembur-sembur

semua percaya dukunlah ia

kerjanya memangsa lengah

6.

kuda kena sembur

katanya inilah belajar

terimakasih belenggu

katanya inilah guru

pawang kuda troya

bisa mewujudkan mimpi-mimpi

terbiuslah ia

jadilah ia

kuda troyalah ia

7.

robot tunggang kuda

dilecut berkali-kali

tiada henti meminta lagi

Palembang, 2005

-----

Jajang R. Kawentar, lahir di Tasikmalaya 9 Oktober 1970. Lulusan fakultas seni rupa, institut seni indonesia yogyakarta, puisi, cerpen, artikel pernah dimuat di media lokal dan nasional.
Cetak Berita
Copyright © 2004 Lampung Post. All rights reserved.
In associated with Media Indonesia Online.
Comments and suggestions please email webmaster@metrotvnews.com

LENGKINGAN SUARA AZAN

Sungai Musi masih mengalir deras walau kadang coklat atau susu jembatan Ampera menyebranginya berdiri kokoh seperti kendaraan mobil dan motor Jepang pemiliknya kita mengakuinya dengan dada busung
*****
Lengkingan suara adzan magrib gaya Timur Tengah dari corong Masjid Agung Palembang Darussalam yang bangunannya artistik dan klasik dibuat pada zaman Kesultanan Mahmud Badaruddin I. Menurut buku yang berjudul Mesjid Agung Palembang yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2003 peletakan batu pertama pembuatan Mesjid Agung ini pada hari Senin, tanggal 26 Mei 1748 M. Terakhir direnovasi pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden yang ke lima Negara Republik Indonesia yang juga Putri dari Presiden Pertama, serta H. Rosihan Arsyad sebagai Gubernur Sumatera Selatan pada waktu itu, merembesi dari pori-pori ke hati yang lagi guligato . Rasa hati ingin kugaruk hingga lecet dan berdarah.
Agar tidak karuan penghuni rasa hati berhenti. Sepertinya gerangan menyerang dermaga rasa tiada puasnya. Dermaga rasa hampir tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai Musi yang tenang di permukaan, namun deras di kedalaman. Begitulah tampaknya.Suasana sekitar dermaga Sungai Musi, Pasar 16 Ilir, Benteng Kuto Besak dan lingkungan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu masih rame orang berkeliaran. Mereka seperti hendak mencari persembunyian.
Lampu-lampu taman dan lampu hias tiba-tiba menyala serentak seperti bintang-bintang dan kunang-kunang beterbangan. Meski hemat energi telah diserukan oleh Presiden baru kita.Mang Ujang masih terduduk manggu di teras Museum, menghadap dua patung Ganesa katanya peninggalan zaman Sriwijaya. Apa iya?; menjadi tontonan yang cukup mengejutkan bagi para pejiarah sejarah Sriwijaya. (Patung yang satu buruk rupa karena belum selesai; barangkali ditinggal oleh si pembuatnya pergi untuk perang atau ditinggal mising , padahal ketentuan ketika membuat patung itu tidak boleh mengeluarkan kotoran.
Akhirnya patung itu tidak jadi diselesaikannya. Satu lagi patung yang sempurna karena proses pemahatannya selesai; barangkali si pematung ini sudah teken kontrak dan bayarannya sudah lunas); sambil menatapi jembatan panjang yang melintasi Sungai Musi peninggalan zaman imprealisme Jepang, mang Ujang masih bertahan dengan sikapnya termanggu kakunya.Gelap. Matahari bersembunyi di balik semak belukar. Terang benderang serentak lampu-lampu yang mengelilingi sebuah tulisan di atas jembatan itu terbaca AMPERA: Amanat Penderitaan Rakyat. Konon yang memberi nama Ampera adalah Ir. Soekarno, Bapaknya Marhaenisme dan Nasakom, Presiden pertama Republik Indonesia.
Di atas tulisan AMPERA ada jam dengan angka yang juga dikelilingi lampu berwarna merah 18:15 jelas. Jam ini seringkali rusak dan tidak berada di tempat karena direparasi. Terkadang juga ada gambar raksasa yang menempel pada separo tiang jembatan. Gambar yang menandakan kekuasaan negara. Simbol arogansi pemerintah.Sekarang paras mang Ujang seperti sedang memikul sepikul beras di kepalanya dan hidungnya seperti sedang mencium bau air kencing dalam pispot.
Sementara itu di atas jembatan Ampera lalulalang kendaraan yang hampir seluruhnya Produk Jepang yang membanjiri negeri kita dan sampai saat ini menjadi salah satu kebanggaan milik orang-orang Palembang. Kita menjadi percaya bahwa orang asing menjajah melalui teknologi menguntungkan rakyat kita. Kita menjadi budaknya dari segala aspek; pemasaran, iklan, bahkan rakyat kita dilibatkan secara emosional supaya merasa ikut memiliki merk-merk Jepang atau Amerika dan dibangunnya rasa kekeluargaan diantara pecinta produk negara imperialis itu untuk mengikatnya.
Huh! Kampang!Memang kita menjadi tidak perlu susah payah berpikir, susah payah membuat dan berbuat. Kita seperti robot, bahkan lebih canggih robot buatan mereka. Kita hanya cukup mengeluarkan uang, entah uang itu dari mana, bagaimana mendapatkannya yang penting uang. Selesai perjuangan hidup rakyat kita. Aman Plembang.Orang-orang rakyat Plembang atau bangsa nusantara terindah telah menjadi robot dan akan terus melahirkan robot-robot baru yang lebih canggih dan sekaligus lebih bodoh dan tolol dan kampang terkampang dan terburit. Huh!Kita menjadi konsumtif. Hanya mampu menerima pilihan dari produk yang mereka tawarkan. Barangkali tidak pernah terlintas di benak kita untuk membuat produk yang sama untuk bersaing dengan produk milik imperialis itu.
Ah tololnya diri kita, padahal kita sudah tahu, mengerti, bahkan ngelotok di luar kepala! Lima tahun kuliah untuk apa? Huh! Gengsi tak laku, tak dapat digunakan untuk alat pembayaran. Kecuali alat vitalku alat vitalmu.Harus kita akui kali ini pada umumnya kita hanya mampu merusak, mempreteli, memodifikasi, memakainya, tidak perduli reparasinya, apalagi membuatnya untuk meniru saja sangsi! Entah kapan-kapan kita akan mandiri pada kaki sendiri. Sebagai bangsa kita tertindas, kita hanya sebagai negara kreditor, penanam utang, anti modal, gundiknya preman. Rentan dalam membuat kebijakan. Keberadaan negara dan bangsa dalam kubangan pelecehan negara dan bangsa lain.
Ah apa kesadaran kita berbangsa dan bernegara ini hanya sekedar imitasi atau berebut dengan perut pribadi-pribadi singga lapar. Atau kesadaran kita milik imprealis itu, atau kesadaran tumbuh karena pupuk imperialis, atau kesadaran kita juga diciptakan para imperialis. Huh! Kacus!.Ampera menjadi monumen yang menjadi simbol bahwa kejayaan Jepang mencengkram kita tetap kuat. Ampera membuat kenangan buruk dan menjadi hantu bagi yang mengerti dan memahaminya.
Apalagi bagi yang mengalaminya.Mang ujang masih duduk di tempat tadi. Ia takut pulang ke rumah kontrakannya yang sudah dua bulan belum dibayarnya dan sekarang sudah pertengahan ketiga bulannya. Ia takut pulang istrinya sering kesurupan, hari ini tidak membawa hasil apa-apa, tidak juga makanan untuk makan sekeluarga berikut mertua yang renta. Tidak juga untuk perutnya yang tipis, hanya segelas air putih tadi pagi sebelum ia berangkat ke luar kontrakannya dan pamit kepada istrinya untuk bekerja dan sedikit berjanji dengannya untuk melunasi hutang-hutangnya serta membawakan garam juga beras.
"Maafkan aku anakku, istriku, mertuaku, kutuk saja aku jadi jembatan Ampera yang ke dua. Aku sudah tak sanggup lagi menjadi manusia, yang harus melawan robot." Kata terakhir sebelum ia tidur di teras Museum Badaruddin II."Laa ilaaha illallaah." Melengking suara Adzan berakhir.***

Palembang, 2006