Selasa, 05 Oktober 2010

LENGKINGAN SUARA AZAN

Sungai Musi masih mengalir deras walau kadang coklat atau susu jembatan Ampera menyebranginya berdiri kokoh seperti kendaraan mobil dan motor Jepang pemiliknya kita mengakuinya dengan dada busung
*****
Lengkingan suara adzan magrib gaya Timur Tengah dari corong Masjid Agung Palembang Darussalam yang bangunannya artistik dan klasik dibuat pada zaman Kesultanan Mahmud Badaruddin I. Menurut buku yang berjudul Mesjid Agung Palembang yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2003 peletakan batu pertama pembuatan Mesjid Agung ini pada hari Senin, tanggal 26 Mei 1748 M. Terakhir direnovasi pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden yang ke lima Negara Republik Indonesia yang juga Putri dari Presiden Pertama, serta H. Rosihan Arsyad sebagai Gubernur Sumatera Selatan pada waktu itu, merembesi dari pori-pori ke hati yang lagi guligato . Rasa hati ingin kugaruk hingga lecet dan berdarah.
Agar tidak karuan penghuni rasa hati berhenti. Sepertinya gerangan menyerang dermaga rasa tiada puasnya. Dermaga rasa hampir tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai Musi yang tenang di permukaan, namun deras di kedalaman. Begitulah tampaknya.Suasana sekitar dermaga Sungai Musi, Pasar 16 Ilir, Benteng Kuto Besak dan lingkungan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu masih rame orang berkeliaran. Mereka seperti hendak mencari persembunyian.
Lampu-lampu taman dan lampu hias tiba-tiba menyala serentak seperti bintang-bintang dan kunang-kunang beterbangan. Meski hemat energi telah diserukan oleh Presiden baru kita.Mang Ujang masih terduduk manggu di teras Museum, menghadap dua patung Ganesa katanya peninggalan zaman Sriwijaya. Apa iya?; menjadi tontonan yang cukup mengejutkan bagi para pejiarah sejarah Sriwijaya. (Patung yang satu buruk rupa karena belum selesai; barangkali ditinggal oleh si pembuatnya pergi untuk perang atau ditinggal mising , padahal ketentuan ketika membuat patung itu tidak boleh mengeluarkan kotoran.
Akhirnya patung itu tidak jadi diselesaikannya. Satu lagi patung yang sempurna karena proses pemahatannya selesai; barangkali si pematung ini sudah teken kontrak dan bayarannya sudah lunas); sambil menatapi jembatan panjang yang melintasi Sungai Musi peninggalan zaman imprealisme Jepang, mang Ujang masih bertahan dengan sikapnya termanggu kakunya.Gelap. Matahari bersembunyi di balik semak belukar. Terang benderang serentak lampu-lampu yang mengelilingi sebuah tulisan di atas jembatan itu terbaca AMPERA: Amanat Penderitaan Rakyat. Konon yang memberi nama Ampera adalah Ir. Soekarno, Bapaknya Marhaenisme dan Nasakom, Presiden pertama Republik Indonesia.
Di atas tulisan AMPERA ada jam dengan angka yang juga dikelilingi lampu berwarna merah 18:15 jelas. Jam ini seringkali rusak dan tidak berada di tempat karena direparasi. Terkadang juga ada gambar raksasa yang menempel pada separo tiang jembatan. Gambar yang menandakan kekuasaan negara. Simbol arogansi pemerintah.Sekarang paras mang Ujang seperti sedang memikul sepikul beras di kepalanya dan hidungnya seperti sedang mencium bau air kencing dalam pispot.
Sementara itu di atas jembatan Ampera lalulalang kendaraan yang hampir seluruhnya Produk Jepang yang membanjiri negeri kita dan sampai saat ini menjadi salah satu kebanggaan milik orang-orang Palembang. Kita menjadi percaya bahwa orang asing menjajah melalui teknologi menguntungkan rakyat kita. Kita menjadi budaknya dari segala aspek; pemasaran, iklan, bahkan rakyat kita dilibatkan secara emosional supaya merasa ikut memiliki merk-merk Jepang atau Amerika dan dibangunnya rasa kekeluargaan diantara pecinta produk negara imperialis itu untuk mengikatnya.
Huh! Kampang!Memang kita menjadi tidak perlu susah payah berpikir, susah payah membuat dan berbuat. Kita seperti robot, bahkan lebih canggih robot buatan mereka. Kita hanya cukup mengeluarkan uang, entah uang itu dari mana, bagaimana mendapatkannya yang penting uang. Selesai perjuangan hidup rakyat kita. Aman Plembang.Orang-orang rakyat Plembang atau bangsa nusantara terindah telah menjadi robot dan akan terus melahirkan robot-robot baru yang lebih canggih dan sekaligus lebih bodoh dan tolol dan kampang terkampang dan terburit. Huh!Kita menjadi konsumtif. Hanya mampu menerima pilihan dari produk yang mereka tawarkan. Barangkali tidak pernah terlintas di benak kita untuk membuat produk yang sama untuk bersaing dengan produk milik imperialis itu.
Ah tololnya diri kita, padahal kita sudah tahu, mengerti, bahkan ngelotok di luar kepala! Lima tahun kuliah untuk apa? Huh! Gengsi tak laku, tak dapat digunakan untuk alat pembayaran. Kecuali alat vitalku alat vitalmu.Harus kita akui kali ini pada umumnya kita hanya mampu merusak, mempreteli, memodifikasi, memakainya, tidak perduli reparasinya, apalagi membuatnya untuk meniru saja sangsi! Entah kapan-kapan kita akan mandiri pada kaki sendiri. Sebagai bangsa kita tertindas, kita hanya sebagai negara kreditor, penanam utang, anti modal, gundiknya preman. Rentan dalam membuat kebijakan. Keberadaan negara dan bangsa dalam kubangan pelecehan negara dan bangsa lain.
Ah apa kesadaran kita berbangsa dan bernegara ini hanya sekedar imitasi atau berebut dengan perut pribadi-pribadi singga lapar. Atau kesadaran kita milik imprealis itu, atau kesadaran tumbuh karena pupuk imperialis, atau kesadaran kita juga diciptakan para imperialis. Huh! Kacus!.Ampera menjadi monumen yang menjadi simbol bahwa kejayaan Jepang mencengkram kita tetap kuat. Ampera membuat kenangan buruk dan menjadi hantu bagi yang mengerti dan memahaminya.
Apalagi bagi yang mengalaminya.Mang ujang masih duduk di tempat tadi. Ia takut pulang ke rumah kontrakannya yang sudah dua bulan belum dibayarnya dan sekarang sudah pertengahan ketiga bulannya. Ia takut pulang istrinya sering kesurupan, hari ini tidak membawa hasil apa-apa, tidak juga makanan untuk makan sekeluarga berikut mertua yang renta. Tidak juga untuk perutnya yang tipis, hanya segelas air putih tadi pagi sebelum ia berangkat ke luar kontrakannya dan pamit kepada istrinya untuk bekerja dan sedikit berjanji dengannya untuk melunasi hutang-hutangnya serta membawakan garam juga beras.
"Maafkan aku anakku, istriku, mertuaku, kutuk saja aku jadi jembatan Ampera yang ke dua. Aku sudah tak sanggup lagi menjadi manusia, yang harus melawan robot." Kata terakhir sebelum ia tidur di teras Museum Badaruddin II."Laa ilaaha illallaah." Melengking suara Adzan berakhir.***

Palembang, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urunan Kata