Sabtu, 05 November 2011

SANG PROLETAR ITU OCOP AKAR


Oleh Jajang R Kawentar

Catatan ini akan membukakan pandangan kita kepada aktivitas kepenyairan seorang Ocop Akar (M. Yusuf) yang kita tahu ia adalah seorang proletar yang berjuang untuk banyak orang dan selalu memikirkan tentang kemanusiaan. Hanya sayang sedikit orang menghargai kemampuan, perjuangan dan ketulusannya, sepertinya mengabaikan kehidupannya. Ia tampak tidak pernah perduli dengan hal yang tidak seiring keyakinannya. Ia tetap pantang mundur untuk merebut seperti yang diharapkannya walau terkadang harus menerima kekecewaan.
Ocop Akar kini telah pulang ke Rahmatullah pada tanggal 6 Juni 2006, kini kita hanya akan mengenang kehidupannya. Ia sebuah simbol pejuang rakyat melalui kesenian. Dalam pembicaraan setiap dalam pertemuan terutama dengan saya tidak terlepas dengan realisme sosial. Sepertinya ia tidak ingin mengenal selain itu. Pada pra reformasi dan pasca reformasi ia selalu ikut melawan tirani sosial, dan yang sangat signifikan adalah kehadirannya dalam beberapa pergerakan, seperti yang sering ia katakan dan dari keterangan beberapa kawan karibnya. Baik pergerakan sosial maupun pergerakan kesenian, dan ia seorang yang cukup komit dalam keterlibatannya itu.
Seakan-akan ia merekomendasikan kepada kita arti atau pengertian dari kalimat yang telah lama ditinggalkan orang, sepertinya ia tetap meyakini itu: “Zaman kita sekarang ini adalah zaman kaum borjuis, yang memiliki cirri khas berbeda: antagonisme kelas. Pada zaman ini masyarakat secara keseluruhan terbelah menjadi dua buku besar,menjadi dua kelas besar yang saling berhadap-hadapan : borjuis dengan ploletar.” (Karl Marx & Friedrich Engel). Seperti juga ia menuliskan: “Aku tidak memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup api nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi, idealisme, makanan dari jiwaku. Inilah semua yang aku makan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya – mendayungkan citaku dan cintaku secara bersama-sama ke pulau harapan. Untuk inilah aku hidup.” (Ocop Akar, Catatan Pemulung 3).
Begitulah Ocop Akar dengan penampilannya yang sederhana, memiliki rambut gondrong pada masanya itu mengingatkan saya kepada penyair yang sama-sama mencoba meruntuhkan tirani sosial dengan puisi-puisinya ia mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan: Wiji Thukul. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perjuangan kompleks yang dilakukan Ocop Akar sangat berat, namun ia sangat tegar dalam menghadapi semuanya itu, dan kita semua sepertinya tidak pernah perduli dengannya. Begitupun ia tidak pernah terdengar mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Pertemuanku dengannya saat merencanakan Hari Bumi pada tahun 2003 dan kami, Anton Bae, Edwint Fass, Evhant Fajrullah, bersama kelompok K9 dan beberapa mahasiswa Unsri, mengadakan Performance Art di Bundaran Air Mancur Mesjid Agung Palembang. Selamat jalan kawan, kami cukup tertegun dan khusu dengan perjuanganmu. Semangat hidupmu itu yang ingin kami cangkokkan pada segenap generasi.

EKSPEDISI PUISI KE TEBAT SEKEDI


Oleh Jajang R Kawentar

Tebat Sekedi (Danau Sekedi) merupakan tempat yang sangat indah, cukup unik, dan masih asing bagi para pelancong, begitupun para pencinta alam. Tebat yang berada di antara bukit Larangan terletak di daerah Lintang tepatnya di dusun Sukadana Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Bukit Larangan itu sendiri merupakan perbatasan daerah Lintang dengan daerah Kikim. Salah satu tempat yang layak menjadi objek wisata alam dan cukup potensial untuk dikembangkan, di samping pembangunan daerah-daerah terisolir di sepanjang jalan menuju Tebat Sekedi.
Menurut saya cerita masyarakat tentang terjadinya Tebat Sekedi seperti dongeng khayalan. Namun secara turun temurun cerita ini terus berlanjut dengan bumbu-bumbu sedikit dan seperti halnya sebuah mitos penunggu Laut Selatan Nyi Roro Kidul. Tebat itu menjadi sakral, namun kesakralannya tidak diciptakan atau tidak diamini atau tidak dikondisikan masyarakatnya, seperti yang dilakukan masyarakat yang ada di pesisir laut Kidul dengan mengadakan upacara-upacara sajenan. Barangkali karena penduduk Sukadana dan yang menempati talang-talang atau petani penggarap kebun kopi yang tinggal menempati pondok-pondok yang berada di hutan itu beragama Islam.
Belum terdengar ada orang yang sengaja datang ke sana hanya untuk meminta pesugihan. Kalau yang datang masyarakat biasa pasti ia buruh tani, kalau pengusaha atau pedagang pasti ia akan membeli biji kopi atau membeli kebun kopi, kalau yang datang pajabat pasti ia ingin terpilih kembali dalam kedudukannya dengan mengerahkan massa, mengeluarkan sedikit dana serta sedikit bumbu mimpi supaya massa terbuai, maka masyarakat serta merta penuh mendukungnya.
Sekedi adalah nama orang pemilik atau penemu Tebat. Saya kira cerita tentang Tebat Sekedi ini pun memiliki beberapa versi. Cerita yang saya dapat sebagai berikut: Sekedi adalah seorang yang miskin, memiliki banyak hutang sehingga ia tidak lagi mampu untuk membayarnya. Untuk melunasi hutangnya itu ia rela untuk bekerja berbulan-bulan membersihkan rumput di kebun milik orang yang dihutanginya. Karena begitu luasnya kebun yang harus dibersihkannya, sehingga rumput yang telah selesai dibabatnya tumbuh rimbun kembali. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekedi selalu diganggu oleh seekor burung, “Sekedi bayar hutangmu, Sekedi bayar hutangmu, Sekedi bayar hutangmu.” Pada suatu saat Sekedi sudah tidak sabar lagi dengan ocehan burung tersebut, maka burung itu dilemparnya dengan Sengkuit (pisau rumput).
Sekedi terus mencari Sengkuit yang dilemparkannya, di sekelilling tempat Sekedi mencari Sengkuit itu air semakin banyak dan terus membesar, pada saat menemukannya, Sengkuit menancap di sela-sela bebatuan dan rupanya air keluar dari sela-sela itu. Namun Sengkuit yang ia temukan tidak lagi memiliki gagang (peganngannya). Sekedi berpikir gagang Sengkuitnya pasti habis dimakan ikan. Rupanya memang benar dalam kubangan air itu banyak ikannya. Jangan tanyakan dari mana ikan itu bermunculan dan dari mana air itu terus menggenangi tempat itu.
Sekedi berhenti bekerja merumput. Setiap hari ia mengambil ikan. Lama Sekedi tidak pulang-pulang ke dusun, yang punya kebun heran. Maka ia pergi ke kebunnya untuk mengontrol pekerjaan Sekedi. Setibanya di kebun ia kaget, karena rumputnya masih tinggi-tinggi dan banyak sekali tulang-tulang ikan. Terjadilah transaksi, kalau Sekedi mau memberitahukan darimana ikan-ikan itu didapatkan, dengan perjanjian hutangnya lunas. Dengan begitu Sekedi tidak memiliki lagi hutang. Ia tinggal di sekitar Tebat itu hingga akhir hayatnya.
Menurut cerita lain Tebat Sekedi itu memiliki empat musim pergantian warna airnya, merah, biru, kuning dan hijau. Apabila ada pendatang baru ke tempat itu selalu disambut dengan guyuran hujan. Sewaktu kami tiba ke tebat itu pukul 17.00 WIB., dan sebagian peserta ekspedisi mandi, serta berwudlu, gerimis pun turun membasahi kami hampir enam puluh menit. Warna Tebat pada saat itu kehijau-hijauan seperti banyak lumutnya. Kami semua tertegun dan mengucap, “Alhamdulillah, betapa indahnya.”
Mengenai cerita tentang tamu (pendatang baru) yang datang ke tempat itu selalu disambut dengan guyuran hujan. Ada tamu yang sejak ia datang hingga kepergiannya terus diguyur hujan yang begitu lebatnya. Namun ketika kami datang disambut hanya dengan gerimis dan hujan itu hanya sesaat saja. Entah pertanda apa ya? Kami merasa menjadi tamu istimewa, mendengar cerita tersebut.
Saya kira keindahan Tebat Sekedi tidak kalah dengan danau Batur yang ada di Bali atau Danau Ranau yang ada di Kabupaten Ogan Komring Ulu Sumatera Selatan yang berbatasan dengan provinsi Lampung. Hanya saja Tebat Sekedi tidak di sentuh oleh Dinas Pariwisata Daerah Lahat atau oleh orang-orang yang terampil dan kreatif. Tebat Sekedi diserahkan kepada alam itu sendiri untuk mengelolanya. Pagi-pagi Tebat itu menghilang, diselimuti kabut, airnya sedingin es. Di tengah-tengah Tebat ada pusaran. Apabila hari hujan jangan sekali-kali menyebrangi Tebat, atau melewati tengah-tengah Tebat. Menurut masyarakat, air di tengah-tengah Tebat sering kali berputar dan pernah terjadi kecelakaan seperti itu, orangnya ditelan pusaran tidak dapat ditemukan lagi.
Katanya kedalaman Tebat Sekedi ini lebih dalam dari Sungai Karang. Sedangkan Sungai Karang itu berada di bawah bukit kira-kira lima ratus meter. Saya kira ada hubungan antara kedalaman Tebat dengan pusaran dan sungai Karang. Kemungkinannya kedalaman Tebat itu berbentuk kerucut yang menghubungkan atau ada jalan keluar air melalui sungai Karang yang berada di bawah. Atau di tengah-tengah dasar Tebat ada rongga air yang keluar menuju ke sungai Karang. Mungkin saja sewaktu-waktu air keluar dengan deras, karena jalan keluar air yang melewati bibir Tebat tidak setara dengan kekuatan air yang bisa ditampungnya. Atau memang benar cerita masyarakat ada ular raksasa berkepala tujuh yang mendiami Tebat tersebut dan menyumbat lubang di dasar Tebat yang menghubungkan dengan Sungai Karang.
Menurut cerita ada orang menguji kedalaman Tebat dengan menaiki rakit ke tengah Tebat dan caranya menggunakan tali nilon yang di unjungnya diberikan badul timah. Dua gulungan nilon itu masih kurang, lalu mereka menyimpulkan bahwa kedalaman Tebat itu lebih dalam dari Sungai Karang. Tidak ada yang mencoba meneliti benar kedalaman itu atau mencoba menyelami dalamnya Tebat tersebut.
Perlu diketahui bahwa bukit Larangan itu terdiri dari tumpukan batu-batu, saya kira tanah yang menempel di atas tumpukan batu itu adalah humus atau daun-daun yang telah membusuk sekian ratus tahun, sehinga begitu tebalnya menutupi lapisan batu-batu. Biji-biji kopi yang tumbuh menjadi batang dan menjadi perkebunan, pada umumnya tumbuh di sela-sela batu dan tumbuh dengan subur, hijau, berbuah besar serta lebat. Kwalitasnyapun cukup baik. Saya sangat menyayangkan dengan sikap para petani yang menggunakan racun pembasmi rumput.
Di sekeliling Tebat Sekedi adalah tumpukan batu-batu. Ada kemungkinan hingga dasar Tebat pun batu-batu. Seandainya benar demikian dari mana datangnya air, mungkinkah mata air yang mancar, seperti dalam cerita terjadinya Tebat Sekedi. Saya kira di balik misteri ini Tebat Sekedi atau di sekitar Bukit Larangan memendam kekayaan alam yang lain seperti bijih emas, perak, dan bijih logam lainnya. Kami mengelilingi Tebat itu sekitar satu jam lamanya.
Di Hulu Tebat Sekedi terdapat Talang Lidah Tebat dan di Hilir ada Talang Sekedi. Dalam satu talang terdiri dari beberapa Dangau atau rumah penunggu kebun. Setiap Dangau diisi oleh satu keluarga atau beberapa petani penggarap. Mengapa disebut Lidah Tebat? Karena bentuk Tebat itu seperti lidah yang menjulur, sedangkan Talang Sekedi merupakan jalan pembuangan air yang bermuara di Sungai Karang. Seluruh penghuni Talang Sekedi buang air, mandi, mencuci dan mengambil air minum di pembuangan air Tebat tersebut. Airnya jernih. Seandainya ada pengusaha air mineral pasti air tebat Sekedi lebih baik dari air mineral yang sudah ada di pasaran. O ya!
Tantunya ada beberpa kesamaan mengenai mitos penunggu danau dengan danau yang ada di daerah Sumatera Selatan, tentang kedalamannya yang sangat, dan pusaran. Atau jangan sombong, berbicara sembarangan, menantang, ketika berkunjung ke tempat itu.
Ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi ini dilakukan oleh kelompok Pecinta Alam dan sekaligus sebagian anggota dari Sanggar Sastra dari sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lintang Kanan Kabupaten Lahat yang kebetulan saya sebagai pembinanya. Sebuah perjalanan yang sungguh sangat menarik dan sangat mengesankan dalam pembelajaran sastra bersama alam serta belajar mengerti, mencintai, menghargai dan menikmati lingkungan. Meskipun mereka terbiasa dengan udara yang dingin, air sungai yang dingin, suasana yang hening, namun kerjasama dalam seluruh acara yang memerlukan konsentrasi tinggi, kiranya menjadi sangat berbeda.
Saya terkadang bingung sendiri (mengapa) karena alasan seni: sastra; puisi, cerita, sepertinya menjadi begitu penting. Mau bersusah payah dengan melakukan perjalanan yang melelahkan. Secara financial kami dirugikan. Akan tetapi ada kepuasan, pengalaman yang kami raih dan tidak dapat dibayar dengan sejumlah uang. Barangkali ini salah satu petunjuk Tuhan untuk lebih dekat mengetahui kebesaranNYA. Amiin.
Ada dua puluh satu (21) siswa yang mengikuti ekspedisi ini. 10 orang laki-laki dan 11 orang perempuan. Kelas sepuluh atau kelas satu ada tiga orang dan kelas sebelas atau kelas dua ada delapan belas orang. Kelas dua ini terdiri dari kelas IPS dan kelas IPA. Mereka semua harus mengikuti seluruh aturan yang dibuat antara lain: doa, jangan sombong/ saling menghargai sesama, jangan berbicara sembarangan, jangan mengeluh, bekerjasama, mengikuti seluruh acara, mengikuti amanat pembina, dan apabila melanggar akan diberikan sangsi untuk meninggalkan ekspedisi. Hal ini diberlakukan supaya tidak terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan, baik dalam perjalanan maupun di tempat tujuan. Seluruh pengikut ekspedisi ini memiliki tugas dan keahlian masing-masing sehingga ketika di perjalanan dan di tempat tujuan tidak ada masalah.
Perjalanan ke Tebat Sekedi ditempuh dalam waktu lima jam dengan berjalan kaki. Berawal dari Sekolah SMAN 1 Lintang Kanan di Desa Muara Danau pada hari Sabtu, 4 Maret 2006, pukul 12.00 WIB. Menggunakan kendaraan hingga ke Dusun Sukadana, dimana perjalanan tidak bisa lagi menggunakan kendaraan baik roda empat maupun roda dua, kecuali dua kaki atau empat kaki. Selama itu mereka berjalan tidak menggunakan alas kaki. Hampir di sepanjang jalan itu batu-batu cukup tajam dan tanah becek serta licin. Sepatu dan sandal yang mereka pakai banyak yang jebol. Jadi mereka terpaksa mencopot alas kakinya.
Acara diawali dengan pamitan kepada kepala Desa Sukadana, yang diwakili Sekdesnya. Ada amanat jangan coba-coba untuk menantang dan berbicara sembrono baik di perjalanan menuju ke Tebat Sekedi, apalagi di Tebat Sekedinya, dan dalam perjalanan sepulangnya dari Tebat. Hal ini sangat relevan dengan perjanjian yang dibuat dalam ekspedisi. Seringkali orang yang menantang dan berbicara sembrono akan ditampakkan pada hal-hal yang gaib. Umpamanya sesat jalan atau tidak tahu jalan pulang, dan mitos-mitos lainnya yang berkembang di masyarakat Lintang; ular berkepala tujuh, ikan raksasa. Apabila bertemu dengan sesuatu yang aneh tersebut jangan banyak bicara, sebaiknya dipendam saja daripada mendapat resiko yang lebih buruk lagi. Hal itu membuat kami semakin waspada dan semakin tegas terhadap peserta ekspedisi.
Pukul 12.30 memulai angkat kaki meninggalkan dusun. Sebelum perjalanan menginjak pada sungai Karang yang merupakan satu-satunya sungai penunjuk arah ke Tebat Sekedi, kami terlebih dahulu berdoa bersama supaya dalam perjalanan mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Esa dan pemantapan wejangan supaya setiap peserta memiliki tekad yang bulat dan bersih.
Maksud ekspedisi cukup sederhana, menikmati keindahan alam dan kami bersyukur, berdoa, menyebut Nama Allah. Disamping itu diabadikan dalam keindahan kata-kata berupa cerita, puisi, dan sketsa (gambar), serta sebagaian kami simpan di hati menjadi pengalaman yang sungguh tiada tertandingi, sebagiannya lagi pengalaman ini kami sodaqohkan lewat bincang-bincang dengan kawan.
Perjalanan ini menyebrangi sungai hingga 26 kali bahkan hingga 30 kali lebih menyebrangi sungai yang sama yaitu sungai Karang, Saya kira ini diakibatkan antara perjalanan menuju ke Tebat dan perjalanan pulang berbeda. Sesungguhnya apabila menyusuri aliran sungai ke hulu maka tidak akan terjadi menyebrangi sungai Karang hingga 26 kali, namun karena alasan air sungai tinggi tidak bisa dilalui, atau karena kami memilih jalan pintas, maka harus melewati beberapa bukit dan delta. Apabila tidak memilih jalan pintas, tentu perjalanan itu akan semakin memanjang lebih jauh dan akan memakan waktu yang lebih lama. Sungai Karang bermuara di dusun Muara Karang Kecamatan Pendopo Lintang. Suasana dan pengalaman ini menjadi sebuah inspirasi sastra bagi seluruh peserta ekspedisi. Apalagi ini adalah pengalaman yang cukup segar bagi mereka, tidak ada pengalaman yang lebih baik dari ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi.
Nanti akan saya lampirkan beberapa karya puisi peserta ekspedisi. Ada dua tema yang tercipta, pertama puisi tentang perjalanan menuju ke Tebat Sekedi, dan yang kedua puisi tentang keindahan Tebat Sekedi. Hal ini sesuai dengan susunan acara yang kami buat. Pada malam pertama setelah acara sholat bersama, baca surat Yassin bersama, berdoa bersama, dan setelah makan bersama, kami juga bersama-sama menulis puisi.
Perintahnya adalah setiap peserta ekspedisi wajib menuliskan puisi minimal satu buah dengan tema perjalanan menuju ke Tebat Sekedi dalam waktu tiga puluh menit dan hasilnya dikumpulkan. Setelah terkumpul, seluruh peserta duduk bersila membuat lingkaran dan puisi dibacakan satu-persatu oleh penciptanya. Pada acara pembacaan puisi peserta ekspedisi dilarang untuk tertawa atau menertawakan. Jadi mereka hanya tersenyum dikulum saja. Hanya saja setelah selesai acara tertawa mereka tak tertahankan lagi, mereka mengulangi kalimat dalam puisi yang dirasanya lucu atau kaku.
Acara selanjutnya adalah renungan suci, semua tertunduk, merenungkan diri mereka masing-masing. Merenungkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat, mengakui segala kesalahan dan segala kekurangannya. Memohon ampun pada Tuhan, berdoa, dan bersyukur. Acara ini selesai pada pukul 24.00. WIB. Tiba waktunya istirahat. Saya melihat ada yang berubah sesaat setelah renungan suci. Ya, minimal ada yang mukanya sembap karena banyak keluar air mata.
Saya masih terus mengawasi para peserta ekspedisi hingga pukul 2 pagi. Mereka semua tertidur pulas, karena kelelahan. Ada beberapa peserta yang dalam keadaan tidur menggigil karena udara yang cukup dingin, namun mereka tidak sadar. Hanya selembar kain batik yang mereka gunakan sebagai selimut untuk perempuan dan laki-laki selembar kain sarung. Kami tidur di dangau milik petani kopi Talang Sekedi yang berukuran 3x4 meter persegi. Di Talang Sekedi terdapat dua belas dangau. Kami menempati dua dangau, satu untuk permpuan dan satu untuk laki-laki. Sebetulnya kami telah memasang dua tenda setibanya kami di Talang, berhubung hujan dan becek, akhirnya kami menumpang di dangau warga.
Di sini saya juga melihat jelas beberapa karakter peserta ekspedisi yang sebelumnya tidak saya perhatikan, ketika mereka berada di daerah jauh di Tebat Sekedi ini menjadi muncul mencolok. Ada yang sukanya berdandan, ada yang sangat perhatian dengan kawannya, ada yang lebih suka bekerja, ada yang terlihat pendiam padahal sebelumnya cukup cerewet, ada yang pelit minta ampun, ada yang tampak lebih dewasa, ada yang cuek dengan kawannya (mementingkan dirinya sendiri), ada yang manja selalu mengeluh dan malas. Namun ada kesamaannya, yaitu seluruh peserta ingin selalu diperhatikan dan mereka memiliki kemauan yang tinggi.
Pagi-pagi hari Minggu, 5 Maret 2006, pukul 8.30 WIB. Seluruh peserta ekspedisi berdiri membuat lingkaran di lapangan tempat menjemur kopi petani Talang Sekedi. Sedikit konsentrasi membayangkan atau mengingat-ingat kembali perjalanannya, segala tingkah lakunya dan seluruh kegiatannya, menghirup sejuknya udara Tebat Sekedi sekaligus bersyukur masih diberikan umur serta kekuatan.
Pukul 9.00 WIB kami mulai berangkat menuju ke Lidah Tebat yang memakan waktu 30 menit. Di Lidah Tebat, pohon cabe rawit ditanam di bawah pohon kopi. Pohon cabe itu berbuah lebat dan banyak yang masak. Di lidah Tebat inilah kita dapat menikmati keindahan Tebat dengan baik. Di sini ada beberapa batu besar. Ada juga ada sekitar lima buah Rakit milik warga, yang biasanya digunakan untuk memancing ikan, atau sebagai kendaraan menyebrangi Tebat menuju Talang Sekedi. Kegiatan di Lidah Tebat adalah seluruh peserta ekspedisi diwajibkan menggambar atau membuat sketsa Tebat Sekedi, waktunya 30 menit, setelah itu menulis puisi tentang Tebat Sekedi, dengan waktu 30 menit. Selama enam puluh menit kami menikmati suasana Tebat. Semua berdecak kagum.
Kekaguman atau keterpesonaan mereka tuangkan ke dalam karya. Mereka berkarya sendiri, karena ada peratuaran kalau ada yang dibuatkan atau meminta tolong dalam berkarya akan mendapatkan tiket pulang segera (terlebih dahulu) dengan berlari. Saya kira peraturan seperti ini penting bagi pembelajaran. Karena guna membuktikan setiap personal harus memiliki keberanian dan memaksimalkan kemampuannya. Setelah selesai ekspedisi ini mungkin mereka akan menyadari ternyata ia mampu tanpa pertolongan orang lain. Ternyata untuk bisa itu harus dipaksakan dan dibiasakan sendiri.
Dalam menggambar atau membuat sketsa Tebat, tidak semua sesuai dengan keadaannya. Namun saya melihat garis atau goresan yang sangat khas pada setiap gambar. Mereka telah berusaha menggambar semirip mungkin dengan kenyataannya tetapi perkiraan setiap peserta berbeda. Di samping itu juga para peserta mencari tempat dan sudut pandang yang berbeda. Sehingga hasilnyapun berbeda-beda. Perbedaan inilah yang kami harapkan. Begitupun dalam menulis puisi. Saya tidak mengira, kalau mereka begitu cepat menulis puisi. Dari tiga puluh menit waktu yang disediakan mungkin hanya separo waktunya. Mungkin ketika mereka sedang menggambar, mereka juga membayangkan kata-kata yang sesuai dengan pilihan atau ketertarikannya dengan tanda-tanda yang terdapat pada Tebat dan tanda-tanda yang mereka temukan di dalam pengalamannya serta dalam pengetahuannya.
Saya yakin karya yang mereka ciptakan inilah Tebat Sekedi menjadi sebuah puisi. Mereka orang pertama pencipta yang mengungkap tentang keindahan Tebat Sekedi. Apabila hal ini tidak didokumentasikan tentu menjadi kurang bermakna dan menjadi tugas kami untuk mepublikasikannya. Barangkali ada manfaat lain setelah kami terbitkan nanti menjadi sebuah buku yang berisikan puisi, cerita, dan gambar hasil dari ekspedisi ini. Tentu akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Lintang terutama bagi para penulisnya.
Kami pulang ke Talang untuk makan siang dan bersiap-siap pulang ke dusun. Saya berpesan kepada mereka, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak sekolah pada hari Senin. Kalau terasa capek, atau hanya sakit-sakit sedikit tidak masuk sekolah. Suatu saat tidak akan ada ijin bagi mereka untuk mengikuti lagi kegiatan yang sama. Tugas selanjutnya bagi mereka adalah di rumah membuat cerita tentang perjalanannya ke Tebat Sekedi. Rencana selanjutnya karya-karya kami sebelum didokumentasikan menjadi sebuah buku, akan dibuatkan majalah dinding di sekolah. Supaya mereka yang tidak mengikuti ekspedisi ini akan ikut menikmati pula.
Pukul 12.00. WIB, kami pamitan kepada seluruh warga Talang Sekedi. Kami pulang semua senang. Kami menyimpan kenangan yang rasanya tidak mungkin untuk mengulanginya lagi. Kami merasa menjadi orang yang paling berani. Memang sebaiknya perjalanan yang jauh itu jangan dulu dibayangkan, tetapi sebainya sama-sam dirasakan. Saya mengira akan ada beberapa orang mogok di jalan. Perkiraan itu jauh meleset. Semuanya bersemangat, kami saling mengingatkan untuk tidak mengeluh, rasa letih cukup untuk dinikmati. Karena kalau mengeluh tentu kita tidak akan sampai pada tujuan kita.
Akhirnya kami sampai dengan selamat pada pukul 17.30. WIB. Kami semua letih tetapi kami bergembira, tidak ada murung. Kami telah berhasil, tidak disangka ternyata kami cukup tangguh juga. Senyum selalu menghiasi bibir di sepanjang jalan pulang. Capek tapi senang. Kami selalu bercerita pengalaman yang menggelitik, hiburan gratis.
Esoknya cerita pengalaman dikumpul. Kami merencanakan pembuatan Mading pada hari berikutnya. Kami senang karena kami bisa berbagi pengalaman dengan kawan-kawan, meskipun hanya dengan puisi, cerita, dan gambar-gambar yang menurut penciptanya sangat jelek. Akan tetapi bagi yang menontonnya cukup baik dan gambar itu sendiri mampu menceritakan tentang keadaan di Tebat Sekedi.
Di sini akan ditampilkan karya-karya puisi yang mewakili peserta ekspedisi sesuai dengan selera saya. Pertama tentang Perjalanan menuju ke Tebat Sekedi.
Perjalanan, karya Bambang Irawan, Kelas 2 IPS2; Kurasakan langkahku/ kunikmati perjalananku/ demi tugasku/ kutetap maju// kumendaki bukit tinggi/ bermacam talang ku lewati/ sungai Karang begitu jernih/ menunjukkan arah ke Tebat Sekedi.
Mendaki, karya Bambang Irawan (Kelas 2 IPS2); kopi mulai dipanen/ talang baru berisi/ perasaan sangat berani/ untuk melihat Danau Sekedi// jadi orang tidak ada arti/ isi alam tak dinikmati/ walau naik mendaki/ tunjukkan diri untuk mendaki.
Pecinta Alam, karya Agustamin, kelas 2 IPA: Angin bersiul menusuk batinku/ kuberayun terbang melayang/ di atas satuan embun mengalir/ badan berapi dicekik nirwana/ berdayung melawan air Karang/ menanti sebuah keajaiban// sekawanan prajurit SMA/ berkeinginan menembus cakrawala/ jalan yang baik jadi tumpuan/ tebing larangan kami susuri/ batang alam kami temukan/ kekompakan dibunyikan// ceria hutan bergulir-gulir/ sampai di talang ditelan awan/ kami ksatria pecinta alam.
Pengembara Danau Sekedi, karya Ajudin Sumari, kelas 1 D.,: Aku berjalan menuju Danau Sekedi/ berjalan tanpa alas kaki/ dan menuju jarak 5 jam/ menyusuri sungai yang indah// diperjalanan aku senang sekali/ tiba-tiba mendengar deru dan guruh/ hatiku tetap gembira/ oh Tuhan tabahkan hati hambamu/ aku meneruskan langkahku/ mencari pengetahuan/ dan ilmu yang berguna/ bagiku dan kawan-kawan.
Jalanku Impianku, karya Yokin, kelas 2 IPS2: kaki bergetar saat melangkah/ menahan haus dahaga yang terkira/ kami berjalan seakan tanpa arah/ hingga berteduh di alam semesta// waktu berjalan banyak rintangan/ air karang menjadi teman/ disaat berjalan datang tantangan/ apapun itu tak kupikirkan// hanya denyut nadi yang mengalir/ mendaki bukit sebrangi air/ tatkala impianku melawan berpikir/ seakan jalan yng tnpa akhir// walaupun tempatmu jauh/ apapun caranya akan kami tempuh/ hanya waktu terus berlalu/ mengelus dada menusuk kalbu.
Lanhkahku, karya Exsa Feriani, kelas 2 IPS1: Aku berjalan selangkah demi selangkah/ menyusuri bebatuan dan kerikil tajam/ kuayunkan kaki dengan penuh harapan/ matahari seolah memberi petunjuk/ kicauan binatang memberikan semangat dan harapan/ seolah mereka menyambut langkahku.
Kerisauan Hati, karya Exsa Feriani, kelas 2 IPS1: Tajamnya kerikil menusuk kulit telapak kaki/ derasnya air Karang mendinginkan kakiku yang kemerahan/ keringat yang mengalir di sudut-sudut tubuhku/ bibir terdiam/ hati terus bertanya kapan/ aku temukan tujuan kapan/ kapan.
Sepanjang Jalanku, karya Yuni Fitria Andesta, kelas 2 IPS2: Sepanjang jalan bukit yang tinggi/ berulang kali melintasi air Karang/ sepanjang jalan keringatku tercecer// siapa melihat?/ jangan bicara tanpa pakta/ sepanjang jalan bukit yang tinggi/ dihadang ranting yang kering/ dihadang rumput yang panjang.
Jalan-jalan, karya Safrizal, kelas 2 IPS1: hari ini hari sabtu/ aku berjalan-jalan/ ke suatu tempat/ sungguh aku merasa sedih/ aku juga merasa senang/ melihat sungguh indah pemandangan/ pemandangan di tempat ini.
Mencapai Impian, karya Pauza Tuladha, kelas 2 IPS1: kami berjalan mengikuti air Karang/ tanpa alas kaki/ demi mencapai impian/ bunyi burung yang berkicau/ kami mendengarnya terasa haru/ sepertinya dia jauh kami datang.
Gurah (Goyang), karya Munawir Sazali, kelas 2 IPA: Aku Senang/ datang ke tempat rintanganjeramba menggoyangkan, aku kaku/ aku seang/ aku tidak tahu badanku lelah/ sungai mengajariku ke tempat tujuan/ aku senang/ penomena alam mengajakku singgah/ sejenak aku bertanya pada alam/ aku senang/ alam dan sungai mengingatkanku masalalu/ berpikir ke belakang tahun/ tampil dalam renunganku/ aku senang/ di mana aku yankin sesuatu/ keadaan akan berubah setiap waktu.
Selanjutnya akan ditampilkan karya-karya puisi yang mewakili peserta ekspedisi tentang keindahan alam Tebat Sekedi.
Tebat Sekedi, karya Puspitasari, kelas 1 C.: oh teman-teman/ betapa senang dan riang/ di saat berjalan menuju Tebat Sekedi/ canda tawa/ semua menghiasi wajah kita// namun dalam hati/ berkata kapan sampai/ untuk bermain di Talang Sekedi/ kebun kopi// terik sinar matahari kami tahankan/ lecak banyak kami injak/ asalkan sampai/ tujuan bukit Larangan.
Danau Sekedi, karya Yupintri, kelas 2 IPA: Aku melamun sejenak/ memandangi arah ke arah/ semuanya terasa indanh/ di sini aku berpikir dengan kesadaranku/ di danau ini berpikir secara panjang/ angin bertiup kencang/ menghapuskan pikiran burukku// oh danau Sekedi/ kau begitu menghibur hati yang luka/ kau memberi kedamaian di hatiku.
Keindahan Danau, karya Windika, kelas 2 IPS1: saat kaki mendaki bukit/ saat tubuh menghembuskan nafas yang lemah/ semangat teguh menemani/ hembusan angin menerpa tubuh yang bercucuran keringat/ udara begitu sejuk dirasakan/ keindahan danau kunikmati.
Tebat Sekedi, karya Linda Mariana, kelas 2 IPS2: Pancaran matahari seakan muncul dari balik semak-semak/ menyinari Tebat Sekedi yang membentang luas// Angin bertiup seakan membawa berita/ burung berkicau merdu seakan bernyanyi di Tebat Sekedi.
Danau Sekedi, karya Yangyang, kelas 2 IPS2: Danau Sekedi terbentang menghiasi alam/ dihiasi perbukitan/ pohon yang rindang jadi pandangan/ danau yang panjang jadi idaman/ sungai berliku jadi hambatan/ mendaki bukit jadi pengalaman/ susah dan senang menembus hayalan/ keinginan untuk berjalan-jalan/ pandangan menjadi hayalan/ perjalanan menjadi panutan/ melintas alam menjadi kesukaan/ untuk mencari rahasia alam.
Tuangan Hati, karya Agustamin, kelas 2 IPA: Nyanyian burung memekik hening/ desiran angin melebur batin/ jalan setapak kami lalui/ rumput-rumput bertepuk tali// dayungan kaki tiada terhenti/ menuju tempat terapi/ siang dan malam kami lalui/ canda tawa jadi ganti// keindahan alam tanpa kedipan/ akan menjadi sebuah hayatan/ kertas putih kami kotori/ dituang dalam sebuah puisi.
Aku dan Teman, karya Munawir Sazali, kelas 2 IPA: Udara sejuk merasuki tubuhku/ getaran tubuhku berdesir disetiap bagian/ kami datang ke tempat takl terbayangkan/ kicau burung pepohonan yang rindang/ menyambut kedatangan// oh ya Tebat Sekedi kata orang-orang/ sejenak aku melayang dari ragaku/ berpatroli di sekitar alam/ senyum Tebat yang manis menyambut kedatangan/ ya inilah aku// sesuatu yang belum kami lihat/ sekarang semua bersahabat dengan kami/ haruskah kami bersedih/ kami tak perlu sedih sesuatu sudah didapat/ kami kembali ke tempat yang membosankan.
Tebat Sekedi, karya Tina Dwita, kelas 2 IPA: Angin bersujud di pelupuk mata/ Tebat Sekedi berhati tenang/ memutar makna perjalanan/ dalam melepas nafas virusku/ yang tertanam di teluk kalbumu// kini doaku yang lumpuh/ air Sekedi saling memburu/ deras hujan bagai peluru/ melontarkan arti untuk bersatu/ demi menghancurkan hati yang membatu// jiwa berdesir/ roh tergelincir/ diujung petir/ pasti tersingkir// kaki dalam ikatan laksana ketan/ tak termakan dalam kehidupan.
Ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi hanya permaian belaka, dan kesenangan. Hasilnya hanya biasa-biasa saja. Hanya yang terpenting adalah pengalaman bagaimana menuliskan sesuatu yang mereka rasakan dan mereka pikirkan serta pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh sebelum disatukan dalam satu ramuan. Lalu mereka dapat meramunya sendiri dan akan menentukan seleranya sendiri. Salam!

Jumat, 04 November 2011

PUISI FIKRI MS GENDING


Fikri MS

Membakar Kemenyan
Aku bakar kemenyan dan ranting kenanga di pinggan tanah liat
Aku panjatkan mantra-mantra kepada leluhur
Aku bersila di atas tikar pandan menghadap matahari
Aku ratapi kemarau dan angin yang berdebu

Langit terbelah diarak angin
mukaku ditampar silau senja
lalu gerimis terperas dari awan yang memekat
menjadi murka
guntur saling membentur
menggelegar mencakar-cakar tanah yang tandus
mendengus beringas
senja berubah menjadi kilat
apakah ini laknat yang menimpa
atau mantra yang diterima?

Mantra-mantra yang berubah menjadi lembaran proposal
berubah menjadi angka-angka
Kemenyan berubah menjadi gubuk-gubuk yang terbakar
Ranting kenanga berubah menjadi tulang-tulang
dan pinggan berubah menjadi tas cover

Batang-batang kayu berubah menjadi batang-batang emas
berubah menjadi menara
Gunung-gunung berubah menjadi burung-burung kecil
berubah menjadi bulu yang terbang
melayang-layang di atas sawah, ladang dan kebun tebu
dan berubah menjadi gedung-gedung
menjulang menancapkan kakinya di perut petani

Dan bumi pun berubah
Aku pun berubah
menjadi liar
menjadi-jadi, menjadi-jadi

Menjadi sapu tangan berwarna kuning terkoyak
Branda Cafe, Bulan Maret 2011


Malam yang Membusuk
Malam yang membusuk pelan-pelan
Aku terdampar di kaki lima

Dimamah kepahitan yang terurai satu persatu menjadi mimpi,

Mimpi-mimpi yang saling menghujam
Menusuk-nusuk gendang pendengaranku, berbisik
Berisik sekali

Membanting tubuhku ke lantai debu
Aku tersedak dijejali beribu sesak
Keindahan yang terampas
Dihajar masa lalu yang hampir saja sempurna

Aku terbujur di lantai debu
Pucat ditampar bulan
Maret, 04 2011



Lenguh Nafas Tarianmu
Kutenangkan jiwa menghadirkan pancaran matamu yang
Teduh

Kembali

Aku tersenyum mengenang engkau tersenyum

Syair ini menguraikan tentang lenguh nafas yang terhembus
pelan
ke luar dari bibirmu
bersama lembut kata-kata yang menyimpan rahasia perempuan
yang kau sampaikan lewat tarian

Engkau telah mengajakku tanpa isyarat
Menggandeng lenganku tanpa rengkuhan
Tanpa kata atau bisikkan

Wangi yang tersibak dari tanganmu
Terbuka lenguh bersama nafas menjinakkan angin dan debu-debu
Daun dan rumput tergoda
Aku pun tergoda

Kucium harum
Wangi itu tersibak lagi
Lembut dan hampir sempurna dari ketiadaan

Menarilah, menarilah bersama angin yang kau taklukkan
Teruslah menari,
Menari, menari-nari menyibakkan wangi silih berganti

Hingga semerbak harum yang menggeliat
seperti seorang Dewi
yang lari dari khayangan

Dan terus, teruskan gemulaimu
Karna musik dan lagu masih beriak

.... ... ...

Kutenangkan jiwa menghirup dalam
aroma tubuhmu
yang memancar dari teduh matamu
bersama nafas menjelma ke dalam sukmaku
menunggu di ujung malam
menjadi sebuah mimpi
yang kutempa menjadi sajak tentang engkau dan rahasiamu

Bahwa kecantikkanmu telah menyapaku
... ... ...

Kutenangkan jiwa membalas tarianmu dengan syair ini
Sementara ombak zaman menderu-deru berbisik
Membisikkan kata yang menggoda
menjadi iklan di jalan raya

Dan kau masih akan menari untukku
dan menari menyibakkan wangi yang terlepas
seperti denting gitar yang memanjakan nyanyian
dengan petikan merdu bergejolak-gejolak
di antara sangsi dan sangsai bahwa kecantikkan
bukanlah purnama pucat
di antara awan dan bintang
... ... ...

Kutenangkan jiwa ini menyapamu dalam sajak
sebelum semuanya usai atau kembali
menjadi biasa

Maret, 04 2011 Di Branda Teater


Syair Sepasang Mata
Mata ini tuan yang punya
hendak dibawa kemana gerangan sangsi
Bila tau luka kan berdarah
manalah mungkin tuan kan datang
meminang hamba telangkup tirai
menindih bantal di bawah lelah

Memeluk pelangi di tengah malam
Seperti bulan terkurung pekat
Duhai pujangga peramu kata
Alangkah bijak tautan makna
Terselubung ayunan kemban
Jadilah dendam terkubur dalam
Aforisme, 05 Maret 2011


Sebatang Pedang
Sebatang pedang tercancang di atas bukit di bawah matahari
Seorang petani mendekatinya pelan-pelan
Lalu pedang itu berpaling menenggelamkan diri meninggalkan pulunya seperti tunggul kayu
Aforisme,10 Maret


Sepasang Mata
Seperti kelopak bunga yang sejuk di pagi hari mekar menggoda mata seorang perempuan yang melintas di hadapannya dengan kaki telanjang di atas bebatuan kerikil yang kasar berat berserakan. Aroma wangi yang terbawa angin sampai juga ke jagat penciuman sebagai anugerah yang terlontar dari bumi menuju sukma sang Dewi yang menutup lembar masa pada suatu dini hari ketika akan menjadi sesuatu yang disebut keindahan. Sebuah karya yang dahsyat dari sejumlah kedahsyatan yang memancar tak sanggup termaknakan dalam ribuan abad sekalipun. Inilah keindahan tersebut sebagai sepasang mata yang berkabar.


Tentang Kau Malam Ini
Sukmaku masuk ke dalam bening matamu
malam ini
Senyummu yang menggoda
Membiarkan
Aku merayu seorang diri
Menghibur kegelapan malam dan angin
yang mendayu-dayu
Beriringan salam yang tersumbat dari telapak tanganku yang goyah

Ada gejolak yang menggelegak mendahului
perjalanan ini
Dan kau kian sempurna gadisku

Aku yang tengadah ke muka alam
Menghaturkan mimpi yang kupesan
Sejak sekian lama
Sejak kau berlenggang menari
Mengiring denting gitar
Sore itu

Tak bisa kunyanahkan percakapan denganmu gadisku
Engkau telah memabukkanku
dalam panjang duka gelisah
Engkau telah menarik perumpamaan
Dalam sekejap langkah
goyahlah sukmaku jadinya
Mendapati engkau yang manja
Kepadaku

Saat ada yang menggodamu
Aku gairah dan sempurna

Kau bagaikan kupu-kupu merah
Yang terbang hinggap di kembang kertas
Oh... aku geram menatapmu gadisku

Malam ini
Kau merajuk resah padaku
Aku seakan saja
Sebab risaumu bukanlah makna bagiku
Risaumu hanyalah jelaga yang mengkristal
Menjadi rayu untukmu
Bahwa aku memang memanjakanmu

Tentang kau malam ini
Senyummu selengkung manis daun sirih
Dan aku tergoda
Mengabulkan mimpi yang tersendat
Karna amarah memang tak ubahnya
Sebagai kebencian akan masa laluku
Yang hampir sempurna
Sebelum kau ku rayu.

Malam ini kau mengusik tenggelamku
Pelan-pelan
Gadisku gelisah aku karna senyummu
Dan kau berucap selamat malam
Tanpa kata-kata

Senyummu menjelaskan itu.
Branda 12 Mei 2011

Aku Yang Gelisah Payah
Aku yang gelisah payah
Mengurai keadaan yang memancung

Tak ubahnya jerami yang tersilap api
Aku membakar
Memberontak terhadap syair yang nyinyir
Bau amis penderitaan tak terkalahkan
Kenapa kita diam tatkala terinjak-injak?
Terkapar di tengah jalan raya kemakmuran negeri ini.

Apakah murkaku tak boleh memohon restu
Atas derita kaumku?
Dipompa kekejaman yang panjang
Kebencian yang melontar-lontar
Kebusukan yang terselimut oleh senyum dan rayu yang bijak

Kemanakah kebenaran itu?
Kemana perginya ia?
Apakah masih menyelinap di bawah bantal keadilan?
Lalu berujung menjadi mimpi
Yang tak pernah usai.

Api dendam membakar jiwaku yang kering
Menodai udara yang suci.


Membayangkan Wajahmu
Membayangkan wajahmu tak sanggup aku
Kau telah menjelma sebagai kesaksian

Aku tersumbat langkah
Tersekat dalam diam manjamu
Ibarat kata seumpama debu
Engkau lengket pada permukaan lalu nampak
Sebagai cahaya yang redup
Remang disemai malam kelabu

Kata-kataku menjadi sesahduan yang mengutuk
Menjamumu dalam hidangan mimpi
Tersaji dalam kedamain

Akulah asmara itu
Terjerembab dalam kesakitan
Karna engkau memayungiku
Di saat tiada hujan atau panas

Baiknya kukabarkan segera lekas
Pada alam yang menggodaku
Sebaiknya kupasrahkan
Pada Tuhan yang Agung

Kemanusiaan mencabikku dari depan
Belakang dan tengkukku
Akulah kebencian itu
Menyapamu selembut salju
Sementara jiwa-jiwa lain menampikanku menjadi pecahan batu
Bergelimang asam pedu

Terbukalah pintu
Lalu aku diam membayangkan kedatanganmu
Tak bisa aku.

Tak sanggup


Saungku Saungmu
Berhentilah berjanji
Datanglah padaku di saat tak terduga
Karna waktu akan pertemukan kita
Entah kapan atau di mana tepatnya

Aku hanya sebatang pedang yang mulai berkarat di rayu debu
Dan engkau ibarat hujan gerimis
Menetes memasamkan jiwaku

Payah lelah kau persoalkan di pundakku
Aku mengeras tak bersuara
Waktu telah menjawab
Dan kau adalah kesia-sian tanpa pesan
Dan aku menjadi tonggak yang keras mengaduh pada batu
Sakit menjerit
Begitu sulit mendebatkannya
Kau datang aku tiada
Berhentilah menjanjikan sesuatu
Peristiwa kita masih panjang
Aku akan memelukmu mungkin di saat kekakuanku merambat
Pelan-pelan di sela jari dan lekuk tubuh ini.


Rombongan Liar
Mereka adalah senjata yang baru jadi
Dipesan jauh-jauh hari
Diramu racun ampibia
Mengoyak luka tak tertahankan
Lalu mati pelan-pelan

Mereka adalah serdadu tanpa medan
Berjuang ke segala arah
Curiga terhadap siapa
Mendengus apa saja
Menghina siapa saja

Tak jadi soal menang atau kalah
Sebab perlombaan belum selesai

Mereka menolak tunduk
Menolak beranjak
Berani menentang kebenaran sebagai pertanyaan
Penuh
Adakah kebenaran itu adanya

Mereka burung gereja
Terbang kemana suka
Menjemput mimpi di bawah genteng
Dan lengan tiang listrik

Mereka rombongan liar
Hidup di alam liar
Makan-makanan liar
Berbaju liar

Mereka seperti ular daun
Menyelinap di antara cabang pohon kekuasaan
Menjelma sebagai daun
Menggigit dengan racun

Mereka rombongan liar
Dan suka berkata
“Kami ini ular!”



Kembali
Kita duduk di barat bulan
Bercerita tentang asmara yang tenggelam di telan perjumpaan
Yang lenyap oleh kesibukan
Kau dan aku sama-sama mendesah berat
Sebab tak menentu ke mana arah bicara

Aku menepi
Dan kau pun menepi mengikuti mau yang tak pasti
Selamatlah kita yang tengah digoda masa lalu yang hampir saja
menjadi

Dan bulan kian sempurna
Angin menyingkap selimut jingga itu
Lalu lekas kembali menjadi sempurna keadaannya
Maka, satu persatu keluarlah kebijaksanaan
Menyerupai burung malam yang lalu segera lenyap menembus gelap

Kembali.

PANTUN BAHASE DUSUN PERANGAI

SMA Negeri 1 Merapi Selatan

Kuspita XII IPA
Putih-putih anak itik
Masihputihla kayu tunggal
Sedih-sedih kamu balik
Masih sedihla kami tinggal

Alangkah lemak midang ke sawah
Kene di sawah ade rambutan
Alahkah ribang kami sekulah
Kene SMA la di Talang Mayan

Keruntung kerengik-rengik
Lalang dik tau nidurinye
Untung dik tau ngambik
Malang dik tau mundurinye

Kecici urank-urak
Abang palak e
Nak benci nak berendak
Ribang pukuk e

Mancing bawah batu
Umpane anak tikus
Ame kabah dindak nak aku
Umak kabah kulikus

Deduhuk tengah padang
Buahe masak gale
Ame kabah masih gi ribang
Pala kite lelahian saje

Asalamualaikum
Waalaikum salam
Die tecantum
Kabah teng gelam

Bederap kembang selapis
Titiran midang bawah buluh
Menyurat sambil menangis
Mikirkah kance badah jauh

Pisang kecik jangan di gureng
Kalu digureng banyak minyak e
Budak kecik jangan dirunding
Kalu dirunding banyak kendak e



Jejuit pucuk plang
Cungdire masak gale
Teduit aku suhang
Ngecunginye galak gale

Cungdire tengah ume
Warnanye abang gale
Bukan dinda aku duitinye
Kene kaba la ade

Tempuyak campur nangke
Bekudak pangkal tangge
Tempuyak campur suon
Bekudak sedusun

Insiani XII IPA
Aku taku ngak linta
Kene linta ngisap daha
Aku takut main cinta
Kene aku masih sekola

Duduk-duduk di bawah jambu
Nginak kilat bedebar-debar
Kalu kakak ribang ngak aku
Kirim surat serte gambar

Deka Yarmiati XII IPA

Lemak tiduk ame tekelap
Lemak langguk ame alap

Ke kume batakke nasi
Sampai di ume tinggal ngulai
Dek betemu ase kemati
La betemu sedut becerai

Ke sawah mbawe pikat
Pikat bebuni di tengah jalan
Kalu sekola pepak li minggat
Itulah nak nginak jeme buyan

Sirih gading naik kenidai
Batang besile di bawahnye
Putih kuning lembut ngencepai
Aku gile uleh ulasnye

Ketik-ketik udang di api
Eman sekembang di perahu
Kecik-kecik la nak belaki
Ngarak makan agi lum pacak


Agus Sulaita XII IPA

Alangka lemak makan pedare
Anye masih lemakla makan semangke
Alangka dimak idup sare
Bilangan jeme encele gale

Pegi kekawean ngambin kinjae
Sampai dikawean nanam kawe
Hai kance banyak-banyakla belajae
Mangke dide jadi pehetuk dunie

Putrianah XII IPA

Pisang kecik jangan digureng
Amen digureng banyak minyake
Budak kecik jangan dirunding
Amen dirunding banyak kendake

Buah niu tige betangkai
Umban sutik melayang-layang
Ilmu ape yang kakang pakai
Sangka adeng te bayang-bayang

Beribu-ribu batang kelape
Anye sutik yang aku ribang
Beribu-ribu anak sekola
Anye sutik yang aku ribang

Sartiani XII IPA
Dimak nian beume tebing
Bilangan jembak rubuh gale
Dimak nian suarian damping
Bilangan jeme pacak gale

Ke ayik bawa bakul
nak mutei buah kawe
Ke balik bawa sampul
nak ngusuri ayik mate

alangka alap malam ini
luk malam malam empat-empat
ala ke aalap budak ini
luk sendal buleh nepat

bukan kami dek bekebun
kebun kami kebun tahuk
bukan kami dek bepantun
pantun kami sekampik buhuk

Arif, XII IPA

Sahini nyuluk kapuk
Pagi nyuluk dehian
Sahini kene tapuk
Pagi lelahian

Pagar alam mutung sepihak
Apanye balik ke ulu
Lalame aku dindak
Dasar kabah dek bemalu

Ton kedaton
Ke talang balek ahi
Sape nak p[antun
Tunjuki nak yupi

Bekatak seperahu
Bukan dindak daek tau

Imam Azhari XII IPA

Buah petai buah gendule
Pehulehan kerbay sandi ume
Aku betitip nak kundang kance
Ijazah jangan buhuk saje

Lemak-lemak makan semangke
Masih lemak makan semelile
Lemak-lemak di huma jeme
Masih lemak di huma jeme tue

Batang dehian pokebesak
Ditetengahe ade gegele
Bukannye ngiluki anye merusak
Itulah care jeme kite

Yumiani XII IPA

Nak kisik masih nak kacang
Kene kacang due lidi
Nak endung masih nak bapang
Kene bapang ngenjuk wali

Buah duku buah rambutan
Masak sikuk di tengah utan
Cintaku bukan buatan
Luk paku melekat di papan

Bekatak kurak karik
Besimbun bawah sehai
Uji bapang palah balek
Uji endung kele kudai

Yusita Putri XII IPA
Leliluk nebang kandis
Bahe tetebang nak seluai
Leliluk mengguri gadis
Bahe tepenggur nak kelawai

Leliluk mukak babak
bahe tekinak nak buaye
Leliluk mukak surat
bahe tetitik ayek mate

alah ke dimak mandi ayek siring
ayek siring batu gale
alahke dimak gumbak keriting
gumbak keriting kutu gale

Melissah XII IPA
Gemuroh pancor di badas
Sangsile tunduk dimandian
Anak umang jangan menangis
Sangke tetibe le bagian

Ade padi tutuk padi
Dide bepadi tutuk atah
Ame tetanti mintak ditanti
Dide tetanti tinggalka lah

Jangan takut atap lalang
Atap lalang pancoran ayek
Jangan takut tandang
Kami tandang masih ka balek

Ala ke lemak makan kweni
Kurang setalam nak dua talam
Alang ke lemak di dusun ini
Kurang semalam nak dua malam

Desi Maya Sari, XII IPA
Hujan rintik-ritik
Di baling humah kami
Ade bujang sutik
Nak maling gadis kami

Inten, XII IPA
Tenggayak pisang di utan
Luk kejadi pisang sabe
Bekayak nasib di badan
Luk ke jadi gadis tue

Ke mane burung bubut
Ncakau buah bintungan
Kemane bujang karut
Ncakau gadis taek idungan

Jiku tadi pisang bedahan
Tauka pisang bepelepah
Jiku tadi ribang belawanan
Tauka ribang sebela

Ayam jalak tiduk di nangke
Terbang ambur ke dehian
Jangan galak bekate saje
Bahe telanjut kami buyan

Burung pipit terbang ke langit
Sampai ke bukit betelue due
Ati siape yek dide sakit
Nginak kakang duduk bedue

Kain itam di jait mesin
Ditunde midang ke bename
Agi itam agi miskin
Mane ke ade diahap saje

Hibut ape hibut mak ini
Hibut nguncang kayu anak
Idup ape idup mak ini
Idup dibuang adek sanak.