Minggu, 11 Desember 2011

PAMERAN VISUAL ART SEMESTERAN




oleh Jajang R Kawentar

Pameran Visual Art (Seni Rupa) karya siswa kelas X 4, X 5 dan X 6 SMA Negeri 4 Lahat Sumatera Selatan yang dilaksanakan bersamaan dengan ulangan semester dari tanggal 5-10 Desember 2011 bertempat di ruang loby sekolah, merupakan awal dalam melangkah menuju pemberdayaan siswa dalam kesenian yang berhadapan dengan publik. Pameran tugas semester adalah out put dari kerja seni selama satu semester. hal ini upaya dalam penghargaan terhadap setiap karya yang mereka ciptakan.
Paling tidak kawan-kawan satu sekolahnya bisa mengapresiasi hasil kerja seni. Selama ini karya seni yang mereka ciptakan hanya tersimpan di laci guru atau numpuk seperti onggokkan sampah. Sehingga anggapannya bahwa karya seni itu tidak berguna dan hanya sebagai pemenuhan sebuah mata pelajaran di sekolah berangsur kita hapus.
Kali ini kita bangunkan spirit berkesenian, dan kita buat bangga dengan memiliki kemampuan dalam visual art ini. sebab tidak semua orang memiliki kemampuan dalam menciptakan keindahan yang bisa dinikmati semua orang. Namun apabila ada keinginan dan kemauan untuk belajar, tidak ada yang tidak mungkin. Memiliki kemampuan daya cipta seni yang tinggi perlu bimbingan dan perlu tersedianya ruang untuk apresiasi serta penghargaan selain pameran.
Kegiatan pameran karya seni dari tugas belajar siswa ini mudah-mudahan memacu serta memicu kreasi seni bagi yang lain. Meskipun karya-karya yang dipamerkan merupakan dasar-dasar seni rupa, yang mengutamakan garis, dan warna. Sungguh siswa sendiri kkaget dan kagum dengan karyanya sendiri, sepertinya dirinya tidak yakin kalau yang dia buat itu hasil karyanya sendiri. Hasil dari tangannya sendiri, yang tadinya selalu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menggambar, tidak punya bakat seni. Pemikiran seperti itu kini sudah luntur.
Bagaimana siswa mengolah garis dan mengkombinasikan warna. Ada 5 tugas yang harus diselesaikan dalam satu semester dan salah satu karya yang terbaik wajib dipamerkan untuk akhir semester dengan menggunakan bingkai sederhana. Setiap karya rata-rata menghabiskan waktu antara 6 sampai 8 jam pelajaran. Jadi satu karya sekitar satu bulan bahkan ada yang lebih, perhitungannya karena setiap minggu hanya 2 jam pelajaran setara satu jam pelajarannya 40 menit. Walau demikian seluruh siswa dapat melakukannya dengan baik.
Memanfaatkan Ruang Loby
Pameran ini memanfaatkan ruang loby sekolah dengan menggunakan white board, papan pengumuman sekolah dan dinding sebagai tempat menempelkan karya. Dengan alasan bahwa di ruang loby sering kali tamu menunggu bisa sambil melihat-lihat karya siswa tersebut, disamping itu ruang loby juga menjadi pintu gerbang bagi siswa datang dan pulang. Dengan demikian melihat pameran tersebut bisa sambil lalu. Penyegaran sehabis ulangan. Ruang Loby menjadi tempat strategis untuk pameran.
Pemasangan karya atau pemajangan karya di papan pengumunan atau white board sebagai alternatif, karena belum adanya properti khusus untuk pemajangan karya seperti sketsel, seperti pada penyelenggaraan pameran seni umumnya. Apalagi ada ruang khusus untuk pameran, semacam mini galeri. Sehingga karya-karya siswa yang terbaik bisa didokumentasikan dengan sewajarnya. Tidak ditumpuk dan lama-lama menjadi sampah, setelah itu dibuang atau dibakar.
Ke depan kegiatan pameran ini bisa dijadwalkan sebagai acara semesteran atau tahunan. Kegiatan pameran di sekolah ini juga menjadi jembatan dimana akan menghadapi pameran seni yang lebih besar. Umpamanya tingkat kabupaten atau provinsi dan nasional. Siswa tidak lagi bingung bagaimana memasang dan memajang karyanya saat pameran di luar sekolah. Intinya bagaimana menghargai karya tersebut, bagaimana menarik perhatian pengunjung dan bagaimana menyenangkan hati sendiri dengan bisa menghibur pengunjung dengan hasil karya seninya.
Seni Sebagai Ruang Ekspresi
Ekspresi seni menggunakan berbagai media, untuk karya seni rupa selayaknya dipamerkan dan untuk seni pertunjukkan karyanya di pentaskan di ruang publik. Dalam kesempatanpaeran seni rupa ini anggota Teater SMA Negeri 4 Lahat ikut memeriahkan dengan membacakan puisi karyanya sendiri yang ditulis secara spontan. Pembacaan puisi di depan publik ini sekaligus menjadi penilaian semester. Dibacakan di sela-sela kegiatan pameran berlangsung.
Respons dari para pengunjung pameran cukup antusias, sehingga benar menjadi hiburan
segar di sela-sela usai ulangan. beberapa puisi yang dibacakan bisa juga di apresiasi:

Choiriah Prima Putri
Sahabat

kuingat saat pertama kali mengenalmu
senang, gembira itulah hal yang pertama kali kurasa
kujalani hari-hariku bersamamu
suka dan duka kita lalui bersama
saat kujatuh kau selalu ada untukku
saat kubutuh kau selalu ada di sampingku
tapi mengapa sekarang kau berubah
kutak tahu apa salahku padamu
sehingga kau acuh tak acuh padaku
sifat indah dari dirimu masih membekas di hatiku
kutanya apa salahku
tak satu katapun keluar dari bibirmu
apa yang harus aku lakukan
aku tak mau hal yang tidak jelas
merobek persahabatan kita
tuhan tolong sampaikan paadanya
aku rindu saat-saat bersamanya
aku selalu ingin menjadi sahabatnya
aku akan tetap menunggunya
selalu dan selamanya

Tanjung Payang, Des 2011


Suri Rama C XI IPS 2
Aku

Aku adalah anak manja
aku adalah anak kecil
aku hanya bisa merengek dan meminta

ibu
aku iningin ini
dengan tangissan aku meminta
tetapi ibuku hanya tersenyum

ya tuhan
tolonglah aku
aku ingin mandiri
bukan seperti ini

tanjung payang, des 2011


Mei Syahara XI IPA 1
Rasa Ini

Mataku berkata ini
gerak bibirku berkata itu
tapi apakah hatiku ikut berkata
ini atau itu
aku tak tahu kapan rasa sesak ini akan terpancar ke luar
sampai akhirnya aku dapat tersenyum bebas dan meneteskan air mata kebahagiaan
bagaikan berlarian di atas awan
bagaikan menari di padang bunga impian
tapi apakah mungkin rasa ini akan terus kusimpan
dalam kotak kecil bernama hati
dan apakah harus kuungkapkan rasa ini
sampai kau tahu semua rahasia di dalam kotak kecil merah di ragaku
tapi aku takut
saat kau tahu kau akan melayang jauh
dan hanya menjadi bayang bayang dimimpiku
aku takut
saat kau tahu tak ada lagi senyum dan tawamu yang menghiasi hari-hariku
aku takut saat kau tahu
mungkin hal terhebat adalah tetap menyimpan rasa ini
agar aku tetap ada di dekatmu

tanjung payang, des 2011


Dian Permatasari XI IPA 1
Sebuah Pesan Perasaan

pesan ini adalah ungkapan yang sedang aku rasa
perasaan yang tak mungkin bisa kalian rasa
perlahan semua menghilang
yang tersisa hanya kenangan
aku menyesal telah sia-siakan saat itu
hanya air mata yang mengalir
semua datang secara tiba-tiba
semua datang seolah tak mengerti hati ini sedang goyah
jiwa ini tak siap menampung semua
mungkin kalian bertanya mengapa
tapi aku mohon
jangan tanya mengapa
karena kalian tak pernah tahu apa yang pernah aku rasa
cukup jaga rahasia ini dan jangan terkejut bila sesuatu terjadi
kalian tahu alasannya

tanjung payang, des 2011

Penulis: Pembina Komunitas Sastra Lembah Serelo dan guru SMA N 1 Merapi Selatan Kab. Lahat

Sabtu, 05 November 2011

SANG PROLETAR ITU OCOP AKAR


Oleh Jajang R Kawentar

Catatan ini akan membukakan pandangan kita kepada aktivitas kepenyairan seorang Ocop Akar (M. Yusuf) yang kita tahu ia adalah seorang proletar yang berjuang untuk banyak orang dan selalu memikirkan tentang kemanusiaan. Hanya sayang sedikit orang menghargai kemampuan, perjuangan dan ketulusannya, sepertinya mengabaikan kehidupannya. Ia tampak tidak pernah perduli dengan hal yang tidak seiring keyakinannya. Ia tetap pantang mundur untuk merebut seperti yang diharapkannya walau terkadang harus menerima kekecewaan.
Ocop Akar kini telah pulang ke Rahmatullah pada tanggal 6 Juni 2006, kini kita hanya akan mengenang kehidupannya. Ia sebuah simbol pejuang rakyat melalui kesenian. Dalam pembicaraan setiap dalam pertemuan terutama dengan saya tidak terlepas dengan realisme sosial. Sepertinya ia tidak ingin mengenal selain itu. Pada pra reformasi dan pasca reformasi ia selalu ikut melawan tirani sosial, dan yang sangat signifikan adalah kehadirannya dalam beberapa pergerakan, seperti yang sering ia katakan dan dari keterangan beberapa kawan karibnya. Baik pergerakan sosial maupun pergerakan kesenian, dan ia seorang yang cukup komit dalam keterlibatannya itu.
Seakan-akan ia merekomendasikan kepada kita arti atau pengertian dari kalimat yang telah lama ditinggalkan orang, sepertinya ia tetap meyakini itu: “Zaman kita sekarang ini adalah zaman kaum borjuis, yang memiliki cirri khas berbeda: antagonisme kelas. Pada zaman ini masyarakat secara keseluruhan terbelah menjadi dua buku besar,menjadi dua kelas besar yang saling berhadap-hadapan : borjuis dengan ploletar.” (Karl Marx & Friedrich Engel). Seperti juga ia menuliskan: “Aku tidak memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup api nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi, idealisme, makanan dari jiwaku. Inilah semua yang aku makan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya – mendayungkan citaku dan cintaku secara bersama-sama ke pulau harapan. Untuk inilah aku hidup.” (Ocop Akar, Catatan Pemulung 3).
Begitulah Ocop Akar dengan penampilannya yang sederhana, memiliki rambut gondrong pada masanya itu mengingatkan saya kepada penyair yang sama-sama mencoba meruntuhkan tirani sosial dengan puisi-puisinya ia mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan: Wiji Thukul. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perjuangan kompleks yang dilakukan Ocop Akar sangat berat, namun ia sangat tegar dalam menghadapi semuanya itu, dan kita semua sepertinya tidak pernah perduli dengannya. Begitupun ia tidak pernah terdengar mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Pertemuanku dengannya saat merencanakan Hari Bumi pada tahun 2003 dan kami, Anton Bae, Edwint Fass, Evhant Fajrullah, bersama kelompok K9 dan beberapa mahasiswa Unsri, mengadakan Performance Art di Bundaran Air Mancur Mesjid Agung Palembang. Selamat jalan kawan, kami cukup tertegun dan khusu dengan perjuanganmu. Semangat hidupmu itu yang ingin kami cangkokkan pada segenap generasi.

EKSPEDISI PUISI KE TEBAT SEKEDI


Oleh Jajang R Kawentar

Tebat Sekedi (Danau Sekedi) merupakan tempat yang sangat indah, cukup unik, dan masih asing bagi para pelancong, begitupun para pencinta alam. Tebat yang berada di antara bukit Larangan terletak di daerah Lintang tepatnya di dusun Sukadana Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Bukit Larangan itu sendiri merupakan perbatasan daerah Lintang dengan daerah Kikim. Salah satu tempat yang layak menjadi objek wisata alam dan cukup potensial untuk dikembangkan, di samping pembangunan daerah-daerah terisolir di sepanjang jalan menuju Tebat Sekedi.
Menurut saya cerita masyarakat tentang terjadinya Tebat Sekedi seperti dongeng khayalan. Namun secara turun temurun cerita ini terus berlanjut dengan bumbu-bumbu sedikit dan seperti halnya sebuah mitos penunggu Laut Selatan Nyi Roro Kidul. Tebat itu menjadi sakral, namun kesakralannya tidak diciptakan atau tidak diamini atau tidak dikondisikan masyarakatnya, seperti yang dilakukan masyarakat yang ada di pesisir laut Kidul dengan mengadakan upacara-upacara sajenan. Barangkali karena penduduk Sukadana dan yang menempati talang-talang atau petani penggarap kebun kopi yang tinggal menempati pondok-pondok yang berada di hutan itu beragama Islam.
Belum terdengar ada orang yang sengaja datang ke sana hanya untuk meminta pesugihan. Kalau yang datang masyarakat biasa pasti ia buruh tani, kalau pengusaha atau pedagang pasti ia akan membeli biji kopi atau membeli kebun kopi, kalau yang datang pajabat pasti ia ingin terpilih kembali dalam kedudukannya dengan mengerahkan massa, mengeluarkan sedikit dana serta sedikit bumbu mimpi supaya massa terbuai, maka masyarakat serta merta penuh mendukungnya.
Sekedi adalah nama orang pemilik atau penemu Tebat. Saya kira cerita tentang Tebat Sekedi ini pun memiliki beberapa versi. Cerita yang saya dapat sebagai berikut: Sekedi adalah seorang yang miskin, memiliki banyak hutang sehingga ia tidak lagi mampu untuk membayarnya. Untuk melunasi hutangnya itu ia rela untuk bekerja berbulan-bulan membersihkan rumput di kebun milik orang yang dihutanginya. Karena begitu luasnya kebun yang harus dibersihkannya, sehingga rumput yang telah selesai dibabatnya tumbuh rimbun kembali. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekedi selalu diganggu oleh seekor burung, “Sekedi bayar hutangmu, Sekedi bayar hutangmu, Sekedi bayar hutangmu.” Pada suatu saat Sekedi sudah tidak sabar lagi dengan ocehan burung tersebut, maka burung itu dilemparnya dengan Sengkuit (pisau rumput).
Sekedi terus mencari Sengkuit yang dilemparkannya, di sekelilling tempat Sekedi mencari Sengkuit itu air semakin banyak dan terus membesar, pada saat menemukannya, Sengkuit menancap di sela-sela bebatuan dan rupanya air keluar dari sela-sela itu. Namun Sengkuit yang ia temukan tidak lagi memiliki gagang (peganngannya). Sekedi berpikir gagang Sengkuitnya pasti habis dimakan ikan. Rupanya memang benar dalam kubangan air itu banyak ikannya. Jangan tanyakan dari mana ikan itu bermunculan dan dari mana air itu terus menggenangi tempat itu.
Sekedi berhenti bekerja merumput. Setiap hari ia mengambil ikan. Lama Sekedi tidak pulang-pulang ke dusun, yang punya kebun heran. Maka ia pergi ke kebunnya untuk mengontrol pekerjaan Sekedi. Setibanya di kebun ia kaget, karena rumputnya masih tinggi-tinggi dan banyak sekali tulang-tulang ikan. Terjadilah transaksi, kalau Sekedi mau memberitahukan darimana ikan-ikan itu didapatkan, dengan perjanjian hutangnya lunas. Dengan begitu Sekedi tidak memiliki lagi hutang. Ia tinggal di sekitar Tebat itu hingga akhir hayatnya.
Menurut cerita lain Tebat Sekedi itu memiliki empat musim pergantian warna airnya, merah, biru, kuning dan hijau. Apabila ada pendatang baru ke tempat itu selalu disambut dengan guyuran hujan. Sewaktu kami tiba ke tebat itu pukul 17.00 WIB., dan sebagian peserta ekspedisi mandi, serta berwudlu, gerimis pun turun membasahi kami hampir enam puluh menit. Warna Tebat pada saat itu kehijau-hijauan seperti banyak lumutnya. Kami semua tertegun dan mengucap, “Alhamdulillah, betapa indahnya.”
Mengenai cerita tentang tamu (pendatang baru) yang datang ke tempat itu selalu disambut dengan guyuran hujan. Ada tamu yang sejak ia datang hingga kepergiannya terus diguyur hujan yang begitu lebatnya. Namun ketika kami datang disambut hanya dengan gerimis dan hujan itu hanya sesaat saja. Entah pertanda apa ya? Kami merasa menjadi tamu istimewa, mendengar cerita tersebut.
Saya kira keindahan Tebat Sekedi tidak kalah dengan danau Batur yang ada di Bali atau Danau Ranau yang ada di Kabupaten Ogan Komring Ulu Sumatera Selatan yang berbatasan dengan provinsi Lampung. Hanya saja Tebat Sekedi tidak di sentuh oleh Dinas Pariwisata Daerah Lahat atau oleh orang-orang yang terampil dan kreatif. Tebat Sekedi diserahkan kepada alam itu sendiri untuk mengelolanya. Pagi-pagi Tebat itu menghilang, diselimuti kabut, airnya sedingin es. Di tengah-tengah Tebat ada pusaran. Apabila hari hujan jangan sekali-kali menyebrangi Tebat, atau melewati tengah-tengah Tebat. Menurut masyarakat, air di tengah-tengah Tebat sering kali berputar dan pernah terjadi kecelakaan seperti itu, orangnya ditelan pusaran tidak dapat ditemukan lagi.
Katanya kedalaman Tebat Sekedi ini lebih dalam dari Sungai Karang. Sedangkan Sungai Karang itu berada di bawah bukit kira-kira lima ratus meter. Saya kira ada hubungan antara kedalaman Tebat dengan pusaran dan sungai Karang. Kemungkinannya kedalaman Tebat itu berbentuk kerucut yang menghubungkan atau ada jalan keluar air melalui sungai Karang yang berada di bawah. Atau di tengah-tengah dasar Tebat ada rongga air yang keluar menuju ke sungai Karang. Mungkin saja sewaktu-waktu air keluar dengan deras, karena jalan keluar air yang melewati bibir Tebat tidak setara dengan kekuatan air yang bisa ditampungnya. Atau memang benar cerita masyarakat ada ular raksasa berkepala tujuh yang mendiami Tebat tersebut dan menyumbat lubang di dasar Tebat yang menghubungkan dengan Sungai Karang.
Menurut cerita ada orang menguji kedalaman Tebat dengan menaiki rakit ke tengah Tebat dan caranya menggunakan tali nilon yang di unjungnya diberikan badul timah. Dua gulungan nilon itu masih kurang, lalu mereka menyimpulkan bahwa kedalaman Tebat itu lebih dalam dari Sungai Karang. Tidak ada yang mencoba meneliti benar kedalaman itu atau mencoba menyelami dalamnya Tebat tersebut.
Perlu diketahui bahwa bukit Larangan itu terdiri dari tumpukan batu-batu, saya kira tanah yang menempel di atas tumpukan batu itu adalah humus atau daun-daun yang telah membusuk sekian ratus tahun, sehinga begitu tebalnya menutupi lapisan batu-batu. Biji-biji kopi yang tumbuh menjadi batang dan menjadi perkebunan, pada umumnya tumbuh di sela-sela batu dan tumbuh dengan subur, hijau, berbuah besar serta lebat. Kwalitasnyapun cukup baik. Saya sangat menyayangkan dengan sikap para petani yang menggunakan racun pembasmi rumput.
Di sekeliling Tebat Sekedi adalah tumpukan batu-batu. Ada kemungkinan hingga dasar Tebat pun batu-batu. Seandainya benar demikian dari mana datangnya air, mungkinkah mata air yang mancar, seperti dalam cerita terjadinya Tebat Sekedi. Saya kira di balik misteri ini Tebat Sekedi atau di sekitar Bukit Larangan memendam kekayaan alam yang lain seperti bijih emas, perak, dan bijih logam lainnya. Kami mengelilingi Tebat itu sekitar satu jam lamanya.
Di Hulu Tebat Sekedi terdapat Talang Lidah Tebat dan di Hilir ada Talang Sekedi. Dalam satu talang terdiri dari beberapa Dangau atau rumah penunggu kebun. Setiap Dangau diisi oleh satu keluarga atau beberapa petani penggarap. Mengapa disebut Lidah Tebat? Karena bentuk Tebat itu seperti lidah yang menjulur, sedangkan Talang Sekedi merupakan jalan pembuangan air yang bermuara di Sungai Karang. Seluruh penghuni Talang Sekedi buang air, mandi, mencuci dan mengambil air minum di pembuangan air Tebat tersebut. Airnya jernih. Seandainya ada pengusaha air mineral pasti air tebat Sekedi lebih baik dari air mineral yang sudah ada di pasaran. O ya!
Tantunya ada beberpa kesamaan mengenai mitos penunggu danau dengan danau yang ada di daerah Sumatera Selatan, tentang kedalamannya yang sangat, dan pusaran. Atau jangan sombong, berbicara sembarangan, menantang, ketika berkunjung ke tempat itu.
Ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi ini dilakukan oleh kelompok Pecinta Alam dan sekaligus sebagian anggota dari Sanggar Sastra dari sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lintang Kanan Kabupaten Lahat yang kebetulan saya sebagai pembinanya. Sebuah perjalanan yang sungguh sangat menarik dan sangat mengesankan dalam pembelajaran sastra bersama alam serta belajar mengerti, mencintai, menghargai dan menikmati lingkungan. Meskipun mereka terbiasa dengan udara yang dingin, air sungai yang dingin, suasana yang hening, namun kerjasama dalam seluruh acara yang memerlukan konsentrasi tinggi, kiranya menjadi sangat berbeda.
Saya terkadang bingung sendiri (mengapa) karena alasan seni: sastra; puisi, cerita, sepertinya menjadi begitu penting. Mau bersusah payah dengan melakukan perjalanan yang melelahkan. Secara financial kami dirugikan. Akan tetapi ada kepuasan, pengalaman yang kami raih dan tidak dapat dibayar dengan sejumlah uang. Barangkali ini salah satu petunjuk Tuhan untuk lebih dekat mengetahui kebesaranNYA. Amiin.
Ada dua puluh satu (21) siswa yang mengikuti ekspedisi ini. 10 orang laki-laki dan 11 orang perempuan. Kelas sepuluh atau kelas satu ada tiga orang dan kelas sebelas atau kelas dua ada delapan belas orang. Kelas dua ini terdiri dari kelas IPS dan kelas IPA. Mereka semua harus mengikuti seluruh aturan yang dibuat antara lain: doa, jangan sombong/ saling menghargai sesama, jangan berbicara sembarangan, jangan mengeluh, bekerjasama, mengikuti seluruh acara, mengikuti amanat pembina, dan apabila melanggar akan diberikan sangsi untuk meninggalkan ekspedisi. Hal ini diberlakukan supaya tidak terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan, baik dalam perjalanan maupun di tempat tujuan. Seluruh pengikut ekspedisi ini memiliki tugas dan keahlian masing-masing sehingga ketika di perjalanan dan di tempat tujuan tidak ada masalah.
Perjalanan ke Tebat Sekedi ditempuh dalam waktu lima jam dengan berjalan kaki. Berawal dari Sekolah SMAN 1 Lintang Kanan di Desa Muara Danau pada hari Sabtu, 4 Maret 2006, pukul 12.00 WIB. Menggunakan kendaraan hingga ke Dusun Sukadana, dimana perjalanan tidak bisa lagi menggunakan kendaraan baik roda empat maupun roda dua, kecuali dua kaki atau empat kaki. Selama itu mereka berjalan tidak menggunakan alas kaki. Hampir di sepanjang jalan itu batu-batu cukup tajam dan tanah becek serta licin. Sepatu dan sandal yang mereka pakai banyak yang jebol. Jadi mereka terpaksa mencopot alas kakinya.
Acara diawali dengan pamitan kepada kepala Desa Sukadana, yang diwakili Sekdesnya. Ada amanat jangan coba-coba untuk menantang dan berbicara sembrono baik di perjalanan menuju ke Tebat Sekedi, apalagi di Tebat Sekedinya, dan dalam perjalanan sepulangnya dari Tebat. Hal ini sangat relevan dengan perjanjian yang dibuat dalam ekspedisi. Seringkali orang yang menantang dan berbicara sembrono akan ditampakkan pada hal-hal yang gaib. Umpamanya sesat jalan atau tidak tahu jalan pulang, dan mitos-mitos lainnya yang berkembang di masyarakat Lintang; ular berkepala tujuh, ikan raksasa. Apabila bertemu dengan sesuatu yang aneh tersebut jangan banyak bicara, sebaiknya dipendam saja daripada mendapat resiko yang lebih buruk lagi. Hal itu membuat kami semakin waspada dan semakin tegas terhadap peserta ekspedisi.
Pukul 12.30 memulai angkat kaki meninggalkan dusun. Sebelum perjalanan menginjak pada sungai Karang yang merupakan satu-satunya sungai penunjuk arah ke Tebat Sekedi, kami terlebih dahulu berdoa bersama supaya dalam perjalanan mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Esa dan pemantapan wejangan supaya setiap peserta memiliki tekad yang bulat dan bersih.
Maksud ekspedisi cukup sederhana, menikmati keindahan alam dan kami bersyukur, berdoa, menyebut Nama Allah. Disamping itu diabadikan dalam keindahan kata-kata berupa cerita, puisi, dan sketsa (gambar), serta sebagaian kami simpan di hati menjadi pengalaman yang sungguh tiada tertandingi, sebagiannya lagi pengalaman ini kami sodaqohkan lewat bincang-bincang dengan kawan.
Perjalanan ini menyebrangi sungai hingga 26 kali bahkan hingga 30 kali lebih menyebrangi sungai yang sama yaitu sungai Karang, Saya kira ini diakibatkan antara perjalanan menuju ke Tebat dan perjalanan pulang berbeda. Sesungguhnya apabila menyusuri aliran sungai ke hulu maka tidak akan terjadi menyebrangi sungai Karang hingga 26 kali, namun karena alasan air sungai tinggi tidak bisa dilalui, atau karena kami memilih jalan pintas, maka harus melewati beberapa bukit dan delta. Apabila tidak memilih jalan pintas, tentu perjalanan itu akan semakin memanjang lebih jauh dan akan memakan waktu yang lebih lama. Sungai Karang bermuara di dusun Muara Karang Kecamatan Pendopo Lintang. Suasana dan pengalaman ini menjadi sebuah inspirasi sastra bagi seluruh peserta ekspedisi. Apalagi ini adalah pengalaman yang cukup segar bagi mereka, tidak ada pengalaman yang lebih baik dari ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi.
Nanti akan saya lampirkan beberapa karya puisi peserta ekspedisi. Ada dua tema yang tercipta, pertama puisi tentang perjalanan menuju ke Tebat Sekedi, dan yang kedua puisi tentang keindahan Tebat Sekedi. Hal ini sesuai dengan susunan acara yang kami buat. Pada malam pertama setelah acara sholat bersama, baca surat Yassin bersama, berdoa bersama, dan setelah makan bersama, kami juga bersama-sama menulis puisi.
Perintahnya adalah setiap peserta ekspedisi wajib menuliskan puisi minimal satu buah dengan tema perjalanan menuju ke Tebat Sekedi dalam waktu tiga puluh menit dan hasilnya dikumpulkan. Setelah terkumpul, seluruh peserta duduk bersila membuat lingkaran dan puisi dibacakan satu-persatu oleh penciptanya. Pada acara pembacaan puisi peserta ekspedisi dilarang untuk tertawa atau menertawakan. Jadi mereka hanya tersenyum dikulum saja. Hanya saja setelah selesai acara tertawa mereka tak tertahankan lagi, mereka mengulangi kalimat dalam puisi yang dirasanya lucu atau kaku.
Acara selanjutnya adalah renungan suci, semua tertunduk, merenungkan diri mereka masing-masing. Merenungkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat, mengakui segala kesalahan dan segala kekurangannya. Memohon ampun pada Tuhan, berdoa, dan bersyukur. Acara ini selesai pada pukul 24.00. WIB. Tiba waktunya istirahat. Saya melihat ada yang berubah sesaat setelah renungan suci. Ya, minimal ada yang mukanya sembap karena banyak keluar air mata.
Saya masih terus mengawasi para peserta ekspedisi hingga pukul 2 pagi. Mereka semua tertidur pulas, karena kelelahan. Ada beberapa peserta yang dalam keadaan tidur menggigil karena udara yang cukup dingin, namun mereka tidak sadar. Hanya selembar kain batik yang mereka gunakan sebagai selimut untuk perempuan dan laki-laki selembar kain sarung. Kami tidur di dangau milik petani kopi Talang Sekedi yang berukuran 3x4 meter persegi. Di Talang Sekedi terdapat dua belas dangau. Kami menempati dua dangau, satu untuk permpuan dan satu untuk laki-laki. Sebetulnya kami telah memasang dua tenda setibanya kami di Talang, berhubung hujan dan becek, akhirnya kami menumpang di dangau warga.
Di sini saya juga melihat jelas beberapa karakter peserta ekspedisi yang sebelumnya tidak saya perhatikan, ketika mereka berada di daerah jauh di Tebat Sekedi ini menjadi muncul mencolok. Ada yang sukanya berdandan, ada yang sangat perhatian dengan kawannya, ada yang lebih suka bekerja, ada yang terlihat pendiam padahal sebelumnya cukup cerewet, ada yang pelit minta ampun, ada yang tampak lebih dewasa, ada yang cuek dengan kawannya (mementingkan dirinya sendiri), ada yang manja selalu mengeluh dan malas. Namun ada kesamaannya, yaitu seluruh peserta ingin selalu diperhatikan dan mereka memiliki kemauan yang tinggi.
Pagi-pagi hari Minggu, 5 Maret 2006, pukul 8.30 WIB. Seluruh peserta ekspedisi berdiri membuat lingkaran di lapangan tempat menjemur kopi petani Talang Sekedi. Sedikit konsentrasi membayangkan atau mengingat-ingat kembali perjalanannya, segala tingkah lakunya dan seluruh kegiatannya, menghirup sejuknya udara Tebat Sekedi sekaligus bersyukur masih diberikan umur serta kekuatan.
Pukul 9.00 WIB kami mulai berangkat menuju ke Lidah Tebat yang memakan waktu 30 menit. Di Lidah Tebat, pohon cabe rawit ditanam di bawah pohon kopi. Pohon cabe itu berbuah lebat dan banyak yang masak. Di lidah Tebat inilah kita dapat menikmati keindahan Tebat dengan baik. Di sini ada beberapa batu besar. Ada juga ada sekitar lima buah Rakit milik warga, yang biasanya digunakan untuk memancing ikan, atau sebagai kendaraan menyebrangi Tebat menuju Talang Sekedi. Kegiatan di Lidah Tebat adalah seluruh peserta ekspedisi diwajibkan menggambar atau membuat sketsa Tebat Sekedi, waktunya 30 menit, setelah itu menulis puisi tentang Tebat Sekedi, dengan waktu 30 menit. Selama enam puluh menit kami menikmati suasana Tebat. Semua berdecak kagum.
Kekaguman atau keterpesonaan mereka tuangkan ke dalam karya. Mereka berkarya sendiri, karena ada peratuaran kalau ada yang dibuatkan atau meminta tolong dalam berkarya akan mendapatkan tiket pulang segera (terlebih dahulu) dengan berlari. Saya kira peraturan seperti ini penting bagi pembelajaran. Karena guna membuktikan setiap personal harus memiliki keberanian dan memaksimalkan kemampuannya. Setelah selesai ekspedisi ini mungkin mereka akan menyadari ternyata ia mampu tanpa pertolongan orang lain. Ternyata untuk bisa itu harus dipaksakan dan dibiasakan sendiri.
Dalam menggambar atau membuat sketsa Tebat, tidak semua sesuai dengan keadaannya. Namun saya melihat garis atau goresan yang sangat khas pada setiap gambar. Mereka telah berusaha menggambar semirip mungkin dengan kenyataannya tetapi perkiraan setiap peserta berbeda. Di samping itu juga para peserta mencari tempat dan sudut pandang yang berbeda. Sehingga hasilnyapun berbeda-beda. Perbedaan inilah yang kami harapkan. Begitupun dalam menulis puisi. Saya tidak mengira, kalau mereka begitu cepat menulis puisi. Dari tiga puluh menit waktu yang disediakan mungkin hanya separo waktunya. Mungkin ketika mereka sedang menggambar, mereka juga membayangkan kata-kata yang sesuai dengan pilihan atau ketertarikannya dengan tanda-tanda yang terdapat pada Tebat dan tanda-tanda yang mereka temukan di dalam pengalamannya serta dalam pengetahuannya.
Saya yakin karya yang mereka ciptakan inilah Tebat Sekedi menjadi sebuah puisi. Mereka orang pertama pencipta yang mengungkap tentang keindahan Tebat Sekedi. Apabila hal ini tidak didokumentasikan tentu menjadi kurang bermakna dan menjadi tugas kami untuk mepublikasikannya. Barangkali ada manfaat lain setelah kami terbitkan nanti menjadi sebuah buku yang berisikan puisi, cerita, dan gambar hasil dari ekspedisi ini. Tentu akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Lintang terutama bagi para penulisnya.
Kami pulang ke Talang untuk makan siang dan bersiap-siap pulang ke dusun. Saya berpesan kepada mereka, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak sekolah pada hari Senin. Kalau terasa capek, atau hanya sakit-sakit sedikit tidak masuk sekolah. Suatu saat tidak akan ada ijin bagi mereka untuk mengikuti lagi kegiatan yang sama. Tugas selanjutnya bagi mereka adalah di rumah membuat cerita tentang perjalanannya ke Tebat Sekedi. Rencana selanjutnya karya-karya kami sebelum didokumentasikan menjadi sebuah buku, akan dibuatkan majalah dinding di sekolah. Supaya mereka yang tidak mengikuti ekspedisi ini akan ikut menikmati pula.
Pukul 12.00. WIB, kami pamitan kepada seluruh warga Talang Sekedi. Kami pulang semua senang. Kami menyimpan kenangan yang rasanya tidak mungkin untuk mengulanginya lagi. Kami merasa menjadi orang yang paling berani. Memang sebaiknya perjalanan yang jauh itu jangan dulu dibayangkan, tetapi sebainya sama-sam dirasakan. Saya mengira akan ada beberapa orang mogok di jalan. Perkiraan itu jauh meleset. Semuanya bersemangat, kami saling mengingatkan untuk tidak mengeluh, rasa letih cukup untuk dinikmati. Karena kalau mengeluh tentu kita tidak akan sampai pada tujuan kita.
Akhirnya kami sampai dengan selamat pada pukul 17.30. WIB. Kami semua letih tetapi kami bergembira, tidak ada murung. Kami telah berhasil, tidak disangka ternyata kami cukup tangguh juga. Senyum selalu menghiasi bibir di sepanjang jalan pulang. Capek tapi senang. Kami selalu bercerita pengalaman yang menggelitik, hiburan gratis.
Esoknya cerita pengalaman dikumpul. Kami merencanakan pembuatan Mading pada hari berikutnya. Kami senang karena kami bisa berbagi pengalaman dengan kawan-kawan, meskipun hanya dengan puisi, cerita, dan gambar-gambar yang menurut penciptanya sangat jelek. Akan tetapi bagi yang menontonnya cukup baik dan gambar itu sendiri mampu menceritakan tentang keadaan di Tebat Sekedi.
Di sini akan ditampilkan karya-karya puisi yang mewakili peserta ekspedisi sesuai dengan selera saya. Pertama tentang Perjalanan menuju ke Tebat Sekedi.
Perjalanan, karya Bambang Irawan, Kelas 2 IPS2; Kurasakan langkahku/ kunikmati perjalananku/ demi tugasku/ kutetap maju// kumendaki bukit tinggi/ bermacam talang ku lewati/ sungai Karang begitu jernih/ menunjukkan arah ke Tebat Sekedi.
Mendaki, karya Bambang Irawan (Kelas 2 IPS2); kopi mulai dipanen/ talang baru berisi/ perasaan sangat berani/ untuk melihat Danau Sekedi// jadi orang tidak ada arti/ isi alam tak dinikmati/ walau naik mendaki/ tunjukkan diri untuk mendaki.
Pecinta Alam, karya Agustamin, kelas 2 IPA: Angin bersiul menusuk batinku/ kuberayun terbang melayang/ di atas satuan embun mengalir/ badan berapi dicekik nirwana/ berdayung melawan air Karang/ menanti sebuah keajaiban// sekawanan prajurit SMA/ berkeinginan menembus cakrawala/ jalan yang baik jadi tumpuan/ tebing larangan kami susuri/ batang alam kami temukan/ kekompakan dibunyikan// ceria hutan bergulir-gulir/ sampai di talang ditelan awan/ kami ksatria pecinta alam.
Pengembara Danau Sekedi, karya Ajudin Sumari, kelas 1 D.,: Aku berjalan menuju Danau Sekedi/ berjalan tanpa alas kaki/ dan menuju jarak 5 jam/ menyusuri sungai yang indah// diperjalanan aku senang sekali/ tiba-tiba mendengar deru dan guruh/ hatiku tetap gembira/ oh Tuhan tabahkan hati hambamu/ aku meneruskan langkahku/ mencari pengetahuan/ dan ilmu yang berguna/ bagiku dan kawan-kawan.
Jalanku Impianku, karya Yokin, kelas 2 IPS2: kaki bergetar saat melangkah/ menahan haus dahaga yang terkira/ kami berjalan seakan tanpa arah/ hingga berteduh di alam semesta// waktu berjalan banyak rintangan/ air karang menjadi teman/ disaat berjalan datang tantangan/ apapun itu tak kupikirkan// hanya denyut nadi yang mengalir/ mendaki bukit sebrangi air/ tatkala impianku melawan berpikir/ seakan jalan yng tnpa akhir// walaupun tempatmu jauh/ apapun caranya akan kami tempuh/ hanya waktu terus berlalu/ mengelus dada menusuk kalbu.
Lanhkahku, karya Exsa Feriani, kelas 2 IPS1: Aku berjalan selangkah demi selangkah/ menyusuri bebatuan dan kerikil tajam/ kuayunkan kaki dengan penuh harapan/ matahari seolah memberi petunjuk/ kicauan binatang memberikan semangat dan harapan/ seolah mereka menyambut langkahku.
Kerisauan Hati, karya Exsa Feriani, kelas 2 IPS1: Tajamnya kerikil menusuk kulit telapak kaki/ derasnya air Karang mendinginkan kakiku yang kemerahan/ keringat yang mengalir di sudut-sudut tubuhku/ bibir terdiam/ hati terus bertanya kapan/ aku temukan tujuan kapan/ kapan.
Sepanjang Jalanku, karya Yuni Fitria Andesta, kelas 2 IPS2: Sepanjang jalan bukit yang tinggi/ berulang kali melintasi air Karang/ sepanjang jalan keringatku tercecer// siapa melihat?/ jangan bicara tanpa pakta/ sepanjang jalan bukit yang tinggi/ dihadang ranting yang kering/ dihadang rumput yang panjang.
Jalan-jalan, karya Safrizal, kelas 2 IPS1: hari ini hari sabtu/ aku berjalan-jalan/ ke suatu tempat/ sungguh aku merasa sedih/ aku juga merasa senang/ melihat sungguh indah pemandangan/ pemandangan di tempat ini.
Mencapai Impian, karya Pauza Tuladha, kelas 2 IPS1: kami berjalan mengikuti air Karang/ tanpa alas kaki/ demi mencapai impian/ bunyi burung yang berkicau/ kami mendengarnya terasa haru/ sepertinya dia jauh kami datang.
Gurah (Goyang), karya Munawir Sazali, kelas 2 IPA: Aku Senang/ datang ke tempat rintanganjeramba menggoyangkan, aku kaku/ aku seang/ aku tidak tahu badanku lelah/ sungai mengajariku ke tempat tujuan/ aku senang/ penomena alam mengajakku singgah/ sejenak aku bertanya pada alam/ aku senang/ alam dan sungai mengingatkanku masalalu/ berpikir ke belakang tahun/ tampil dalam renunganku/ aku senang/ di mana aku yankin sesuatu/ keadaan akan berubah setiap waktu.
Selanjutnya akan ditampilkan karya-karya puisi yang mewakili peserta ekspedisi tentang keindahan alam Tebat Sekedi.
Tebat Sekedi, karya Puspitasari, kelas 1 C.: oh teman-teman/ betapa senang dan riang/ di saat berjalan menuju Tebat Sekedi/ canda tawa/ semua menghiasi wajah kita// namun dalam hati/ berkata kapan sampai/ untuk bermain di Talang Sekedi/ kebun kopi// terik sinar matahari kami tahankan/ lecak banyak kami injak/ asalkan sampai/ tujuan bukit Larangan.
Danau Sekedi, karya Yupintri, kelas 2 IPA: Aku melamun sejenak/ memandangi arah ke arah/ semuanya terasa indanh/ di sini aku berpikir dengan kesadaranku/ di danau ini berpikir secara panjang/ angin bertiup kencang/ menghapuskan pikiran burukku// oh danau Sekedi/ kau begitu menghibur hati yang luka/ kau memberi kedamaian di hatiku.
Keindahan Danau, karya Windika, kelas 2 IPS1: saat kaki mendaki bukit/ saat tubuh menghembuskan nafas yang lemah/ semangat teguh menemani/ hembusan angin menerpa tubuh yang bercucuran keringat/ udara begitu sejuk dirasakan/ keindahan danau kunikmati.
Tebat Sekedi, karya Linda Mariana, kelas 2 IPS2: Pancaran matahari seakan muncul dari balik semak-semak/ menyinari Tebat Sekedi yang membentang luas// Angin bertiup seakan membawa berita/ burung berkicau merdu seakan bernyanyi di Tebat Sekedi.
Danau Sekedi, karya Yangyang, kelas 2 IPS2: Danau Sekedi terbentang menghiasi alam/ dihiasi perbukitan/ pohon yang rindang jadi pandangan/ danau yang panjang jadi idaman/ sungai berliku jadi hambatan/ mendaki bukit jadi pengalaman/ susah dan senang menembus hayalan/ keinginan untuk berjalan-jalan/ pandangan menjadi hayalan/ perjalanan menjadi panutan/ melintas alam menjadi kesukaan/ untuk mencari rahasia alam.
Tuangan Hati, karya Agustamin, kelas 2 IPA: Nyanyian burung memekik hening/ desiran angin melebur batin/ jalan setapak kami lalui/ rumput-rumput bertepuk tali// dayungan kaki tiada terhenti/ menuju tempat terapi/ siang dan malam kami lalui/ canda tawa jadi ganti// keindahan alam tanpa kedipan/ akan menjadi sebuah hayatan/ kertas putih kami kotori/ dituang dalam sebuah puisi.
Aku dan Teman, karya Munawir Sazali, kelas 2 IPA: Udara sejuk merasuki tubuhku/ getaran tubuhku berdesir disetiap bagian/ kami datang ke tempat takl terbayangkan/ kicau burung pepohonan yang rindang/ menyambut kedatangan// oh ya Tebat Sekedi kata orang-orang/ sejenak aku melayang dari ragaku/ berpatroli di sekitar alam/ senyum Tebat yang manis menyambut kedatangan/ ya inilah aku// sesuatu yang belum kami lihat/ sekarang semua bersahabat dengan kami/ haruskah kami bersedih/ kami tak perlu sedih sesuatu sudah didapat/ kami kembali ke tempat yang membosankan.
Tebat Sekedi, karya Tina Dwita, kelas 2 IPA: Angin bersujud di pelupuk mata/ Tebat Sekedi berhati tenang/ memutar makna perjalanan/ dalam melepas nafas virusku/ yang tertanam di teluk kalbumu// kini doaku yang lumpuh/ air Sekedi saling memburu/ deras hujan bagai peluru/ melontarkan arti untuk bersatu/ demi menghancurkan hati yang membatu// jiwa berdesir/ roh tergelincir/ diujung petir/ pasti tersingkir// kaki dalam ikatan laksana ketan/ tak termakan dalam kehidupan.
Ekspedisi Puisi ke Tebat Sekedi hanya permaian belaka, dan kesenangan. Hasilnya hanya biasa-biasa saja. Hanya yang terpenting adalah pengalaman bagaimana menuliskan sesuatu yang mereka rasakan dan mereka pikirkan serta pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh sebelum disatukan dalam satu ramuan. Lalu mereka dapat meramunya sendiri dan akan menentukan seleranya sendiri. Salam!

Jumat, 04 November 2011

PUISI FIKRI MS GENDING


Fikri MS

Membakar Kemenyan
Aku bakar kemenyan dan ranting kenanga di pinggan tanah liat
Aku panjatkan mantra-mantra kepada leluhur
Aku bersila di atas tikar pandan menghadap matahari
Aku ratapi kemarau dan angin yang berdebu

Langit terbelah diarak angin
mukaku ditampar silau senja
lalu gerimis terperas dari awan yang memekat
menjadi murka
guntur saling membentur
menggelegar mencakar-cakar tanah yang tandus
mendengus beringas
senja berubah menjadi kilat
apakah ini laknat yang menimpa
atau mantra yang diterima?

Mantra-mantra yang berubah menjadi lembaran proposal
berubah menjadi angka-angka
Kemenyan berubah menjadi gubuk-gubuk yang terbakar
Ranting kenanga berubah menjadi tulang-tulang
dan pinggan berubah menjadi tas cover

Batang-batang kayu berubah menjadi batang-batang emas
berubah menjadi menara
Gunung-gunung berubah menjadi burung-burung kecil
berubah menjadi bulu yang terbang
melayang-layang di atas sawah, ladang dan kebun tebu
dan berubah menjadi gedung-gedung
menjulang menancapkan kakinya di perut petani

Dan bumi pun berubah
Aku pun berubah
menjadi liar
menjadi-jadi, menjadi-jadi

Menjadi sapu tangan berwarna kuning terkoyak
Branda Cafe, Bulan Maret 2011


Malam yang Membusuk
Malam yang membusuk pelan-pelan
Aku terdampar di kaki lima

Dimamah kepahitan yang terurai satu persatu menjadi mimpi,

Mimpi-mimpi yang saling menghujam
Menusuk-nusuk gendang pendengaranku, berbisik
Berisik sekali

Membanting tubuhku ke lantai debu
Aku tersedak dijejali beribu sesak
Keindahan yang terampas
Dihajar masa lalu yang hampir saja sempurna

Aku terbujur di lantai debu
Pucat ditampar bulan
Maret, 04 2011



Lenguh Nafas Tarianmu
Kutenangkan jiwa menghadirkan pancaran matamu yang
Teduh

Kembali

Aku tersenyum mengenang engkau tersenyum

Syair ini menguraikan tentang lenguh nafas yang terhembus
pelan
ke luar dari bibirmu
bersama lembut kata-kata yang menyimpan rahasia perempuan
yang kau sampaikan lewat tarian

Engkau telah mengajakku tanpa isyarat
Menggandeng lenganku tanpa rengkuhan
Tanpa kata atau bisikkan

Wangi yang tersibak dari tanganmu
Terbuka lenguh bersama nafas menjinakkan angin dan debu-debu
Daun dan rumput tergoda
Aku pun tergoda

Kucium harum
Wangi itu tersibak lagi
Lembut dan hampir sempurna dari ketiadaan

Menarilah, menarilah bersama angin yang kau taklukkan
Teruslah menari,
Menari, menari-nari menyibakkan wangi silih berganti

Hingga semerbak harum yang menggeliat
seperti seorang Dewi
yang lari dari khayangan

Dan terus, teruskan gemulaimu
Karna musik dan lagu masih beriak

.... ... ...

Kutenangkan jiwa menghirup dalam
aroma tubuhmu
yang memancar dari teduh matamu
bersama nafas menjelma ke dalam sukmaku
menunggu di ujung malam
menjadi sebuah mimpi
yang kutempa menjadi sajak tentang engkau dan rahasiamu

Bahwa kecantikkanmu telah menyapaku
... ... ...

Kutenangkan jiwa membalas tarianmu dengan syair ini
Sementara ombak zaman menderu-deru berbisik
Membisikkan kata yang menggoda
menjadi iklan di jalan raya

Dan kau masih akan menari untukku
dan menari menyibakkan wangi yang terlepas
seperti denting gitar yang memanjakan nyanyian
dengan petikan merdu bergejolak-gejolak
di antara sangsi dan sangsai bahwa kecantikkan
bukanlah purnama pucat
di antara awan dan bintang
... ... ...

Kutenangkan jiwa ini menyapamu dalam sajak
sebelum semuanya usai atau kembali
menjadi biasa

Maret, 04 2011 Di Branda Teater


Syair Sepasang Mata
Mata ini tuan yang punya
hendak dibawa kemana gerangan sangsi
Bila tau luka kan berdarah
manalah mungkin tuan kan datang
meminang hamba telangkup tirai
menindih bantal di bawah lelah

Memeluk pelangi di tengah malam
Seperti bulan terkurung pekat
Duhai pujangga peramu kata
Alangkah bijak tautan makna
Terselubung ayunan kemban
Jadilah dendam terkubur dalam
Aforisme, 05 Maret 2011


Sebatang Pedang
Sebatang pedang tercancang di atas bukit di bawah matahari
Seorang petani mendekatinya pelan-pelan
Lalu pedang itu berpaling menenggelamkan diri meninggalkan pulunya seperti tunggul kayu
Aforisme,10 Maret


Sepasang Mata
Seperti kelopak bunga yang sejuk di pagi hari mekar menggoda mata seorang perempuan yang melintas di hadapannya dengan kaki telanjang di atas bebatuan kerikil yang kasar berat berserakan. Aroma wangi yang terbawa angin sampai juga ke jagat penciuman sebagai anugerah yang terlontar dari bumi menuju sukma sang Dewi yang menutup lembar masa pada suatu dini hari ketika akan menjadi sesuatu yang disebut keindahan. Sebuah karya yang dahsyat dari sejumlah kedahsyatan yang memancar tak sanggup termaknakan dalam ribuan abad sekalipun. Inilah keindahan tersebut sebagai sepasang mata yang berkabar.


Tentang Kau Malam Ini
Sukmaku masuk ke dalam bening matamu
malam ini
Senyummu yang menggoda
Membiarkan
Aku merayu seorang diri
Menghibur kegelapan malam dan angin
yang mendayu-dayu
Beriringan salam yang tersumbat dari telapak tanganku yang goyah

Ada gejolak yang menggelegak mendahului
perjalanan ini
Dan kau kian sempurna gadisku

Aku yang tengadah ke muka alam
Menghaturkan mimpi yang kupesan
Sejak sekian lama
Sejak kau berlenggang menari
Mengiring denting gitar
Sore itu

Tak bisa kunyanahkan percakapan denganmu gadisku
Engkau telah memabukkanku
dalam panjang duka gelisah
Engkau telah menarik perumpamaan
Dalam sekejap langkah
goyahlah sukmaku jadinya
Mendapati engkau yang manja
Kepadaku

Saat ada yang menggodamu
Aku gairah dan sempurna

Kau bagaikan kupu-kupu merah
Yang terbang hinggap di kembang kertas
Oh... aku geram menatapmu gadisku

Malam ini
Kau merajuk resah padaku
Aku seakan saja
Sebab risaumu bukanlah makna bagiku
Risaumu hanyalah jelaga yang mengkristal
Menjadi rayu untukmu
Bahwa aku memang memanjakanmu

Tentang kau malam ini
Senyummu selengkung manis daun sirih
Dan aku tergoda
Mengabulkan mimpi yang tersendat
Karna amarah memang tak ubahnya
Sebagai kebencian akan masa laluku
Yang hampir sempurna
Sebelum kau ku rayu.

Malam ini kau mengusik tenggelamku
Pelan-pelan
Gadisku gelisah aku karna senyummu
Dan kau berucap selamat malam
Tanpa kata-kata

Senyummu menjelaskan itu.
Branda 12 Mei 2011

Aku Yang Gelisah Payah
Aku yang gelisah payah
Mengurai keadaan yang memancung

Tak ubahnya jerami yang tersilap api
Aku membakar
Memberontak terhadap syair yang nyinyir
Bau amis penderitaan tak terkalahkan
Kenapa kita diam tatkala terinjak-injak?
Terkapar di tengah jalan raya kemakmuran negeri ini.

Apakah murkaku tak boleh memohon restu
Atas derita kaumku?
Dipompa kekejaman yang panjang
Kebencian yang melontar-lontar
Kebusukan yang terselimut oleh senyum dan rayu yang bijak

Kemanakah kebenaran itu?
Kemana perginya ia?
Apakah masih menyelinap di bawah bantal keadilan?
Lalu berujung menjadi mimpi
Yang tak pernah usai.

Api dendam membakar jiwaku yang kering
Menodai udara yang suci.


Membayangkan Wajahmu
Membayangkan wajahmu tak sanggup aku
Kau telah menjelma sebagai kesaksian

Aku tersumbat langkah
Tersekat dalam diam manjamu
Ibarat kata seumpama debu
Engkau lengket pada permukaan lalu nampak
Sebagai cahaya yang redup
Remang disemai malam kelabu

Kata-kataku menjadi sesahduan yang mengutuk
Menjamumu dalam hidangan mimpi
Tersaji dalam kedamain

Akulah asmara itu
Terjerembab dalam kesakitan
Karna engkau memayungiku
Di saat tiada hujan atau panas

Baiknya kukabarkan segera lekas
Pada alam yang menggodaku
Sebaiknya kupasrahkan
Pada Tuhan yang Agung

Kemanusiaan mencabikku dari depan
Belakang dan tengkukku
Akulah kebencian itu
Menyapamu selembut salju
Sementara jiwa-jiwa lain menampikanku menjadi pecahan batu
Bergelimang asam pedu

Terbukalah pintu
Lalu aku diam membayangkan kedatanganmu
Tak bisa aku.

Tak sanggup


Saungku Saungmu
Berhentilah berjanji
Datanglah padaku di saat tak terduga
Karna waktu akan pertemukan kita
Entah kapan atau di mana tepatnya

Aku hanya sebatang pedang yang mulai berkarat di rayu debu
Dan engkau ibarat hujan gerimis
Menetes memasamkan jiwaku

Payah lelah kau persoalkan di pundakku
Aku mengeras tak bersuara
Waktu telah menjawab
Dan kau adalah kesia-sian tanpa pesan
Dan aku menjadi tonggak yang keras mengaduh pada batu
Sakit menjerit
Begitu sulit mendebatkannya
Kau datang aku tiada
Berhentilah menjanjikan sesuatu
Peristiwa kita masih panjang
Aku akan memelukmu mungkin di saat kekakuanku merambat
Pelan-pelan di sela jari dan lekuk tubuh ini.


Rombongan Liar
Mereka adalah senjata yang baru jadi
Dipesan jauh-jauh hari
Diramu racun ampibia
Mengoyak luka tak tertahankan
Lalu mati pelan-pelan

Mereka adalah serdadu tanpa medan
Berjuang ke segala arah
Curiga terhadap siapa
Mendengus apa saja
Menghina siapa saja

Tak jadi soal menang atau kalah
Sebab perlombaan belum selesai

Mereka menolak tunduk
Menolak beranjak
Berani menentang kebenaran sebagai pertanyaan
Penuh
Adakah kebenaran itu adanya

Mereka burung gereja
Terbang kemana suka
Menjemput mimpi di bawah genteng
Dan lengan tiang listrik

Mereka rombongan liar
Hidup di alam liar
Makan-makanan liar
Berbaju liar

Mereka seperti ular daun
Menyelinap di antara cabang pohon kekuasaan
Menjelma sebagai daun
Menggigit dengan racun

Mereka rombongan liar
Dan suka berkata
“Kami ini ular!”



Kembali
Kita duduk di barat bulan
Bercerita tentang asmara yang tenggelam di telan perjumpaan
Yang lenyap oleh kesibukan
Kau dan aku sama-sama mendesah berat
Sebab tak menentu ke mana arah bicara

Aku menepi
Dan kau pun menepi mengikuti mau yang tak pasti
Selamatlah kita yang tengah digoda masa lalu yang hampir saja
menjadi

Dan bulan kian sempurna
Angin menyingkap selimut jingga itu
Lalu lekas kembali menjadi sempurna keadaannya
Maka, satu persatu keluarlah kebijaksanaan
Menyerupai burung malam yang lalu segera lenyap menembus gelap

Kembali.

PANTUN BAHASE DUSUN PERANGAI

SMA Negeri 1 Merapi Selatan

Kuspita XII IPA
Putih-putih anak itik
Masihputihla kayu tunggal
Sedih-sedih kamu balik
Masih sedihla kami tinggal

Alangkah lemak midang ke sawah
Kene di sawah ade rambutan
Alahkah ribang kami sekulah
Kene SMA la di Talang Mayan

Keruntung kerengik-rengik
Lalang dik tau nidurinye
Untung dik tau ngambik
Malang dik tau mundurinye

Kecici urank-urak
Abang palak e
Nak benci nak berendak
Ribang pukuk e

Mancing bawah batu
Umpane anak tikus
Ame kabah dindak nak aku
Umak kabah kulikus

Deduhuk tengah padang
Buahe masak gale
Ame kabah masih gi ribang
Pala kite lelahian saje

Asalamualaikum
Waalaikum salam
Die tecantum
Kabah teng gelam

Bederap kembang selapis
Titiran midang bawah buluh
Menyurat sambil menangis
Mikirkah kance badah jauh

Pisang kecik jangan di gureng
Kalu digureng banyak minyak e
Budak kecik jangan dirunding
Kalu dirunding banyak kendak e



Jejuit pucuk plang
Cungdire masak gale
Teduit aku suhang
Ngecunginye galak gale

Cungdire tengah ume
Warnanye abang gale
Bukan dinda aku duitinye
Kene kaba la ade

Tempuyak campur nangke
Bekudak pangkal tangge
Tempuyak campur suon
Bekudak sedusun

Insiani XII IPA
Aku taku ngak linta
Kene linta ngisap daha
Aku takut main cinta
Kene aku masih sekola

Duduk-duduk di bawah jambu
Nginak kilat bedebar-debar
Kalu kakak ribang ngak aku
Kirim surat serte gambar

Deka Yarmiati XII IPA

Lemak tiduk ame tekelap
Lemak langguk ame alap

Ke kume batakke nasi
Sampai di ume tinggal ngulai
Dek betemu ase kemati
La betemu sedut becerai

Ke sawah mbawe pikat
Pikat bebuni di tengah jalan
Kalu sekola pepak li minggat
Itulah nak nginak jeme buyan

Sirih gading naik kenidai
Batang besile di bawahnye
Putih kuning lembut ngencepai
Aku gile uleh ulasnye

Ketik-ketik udang di api
Eman sekembang di perahu
Kecik-kecik la nak belaki
Ngarak makan agi lum pacak


Agus Sulaita XII IPA

Alangka lemak makan pedare
Anye masih lemakla makan semangke
Alangka dimak idup sare
Bilangan jeme encele gale

Pegi kekawean ngambin kinjae
Sampai dikawean nanam kawe
Hai kance banyak-banyakla belajae
Mangke dide jadi pehetuk dunie

Putrianah XII IPA

Pisang kecik jangan digureng
Amen digureng banyak minyake
Budak kecik jangan dirunding
Amen dirunding banyak kendake

Buah niu tige betangkai
Umban sutik melayang-layang
Ilmu ape yang kakang pakai
Sangka adeng te bayang-bayang

Beribu-ribu batang kelape
Anye sutik yang aku ribang
Beribu-ribu anak sekola
Anye sutik yang aku ribang

Sartiani XII IPA
Dimak nian beume tebing
Bilangan jembak rubuh gale
Dimak nian suarian damping
Bilangan jeme pacak gale

Ke ayik bawa bakul
nak mutei buah kawe
Ke balik bawa sampul
nak ngusuri ayik mate

alangka alap malam ini
luk malam malam empat-empat
ala ke aalap budak ini
luk sendal buleh nepat

bukan kami dek bekebun
kebun kami kebun tahuk
bukan kami dek bepantun
pantun kami sekampik buhuk

Arif, XII IPA

Sahini nyuluk kapuk
Pagi nyuluk dehian
Sahini kene tapuk
Pagi lelahian

Pagar alam mutung sepihak
Apanye balik ke ulu
Lalame aku dindak
Dasar kabah dek bemalu

Ton kedaton
Ke talang balek ahi
Sape nak p[antun
Tunjuki nak yupi

Bekatak seperahu
Bukan dindak daek tau

Imam Azhari XII IPA

Buah petai buah gendule
Pehulehan kerbay sandi ume
Aku betitip nak kundang kance
Ijazah jangan buhuk saje

Lemak-lemak makan semangke
Masih lemak makan semelile
Lemak-lemak di huma jeme
Masih lemak di huma jeme tue

Batang dehian pokebesak
Ditetengahe ade gegele
Bukannye ngiluki anye merusak
Itulah care jeme kite

Yumiani XII IPA

Nak kisik masih nak kacang
Kene kacang due lidi
Nak endung masih nak bapang
Kene bapang ngenjuk wali

Buah duku buah rambutan
Masak sikuk di tengah utan
Cintaku bukan buatan
Luk paku melekat di papan

Bekatak kurak karik
Besimbun bawah sehai
Uji bapang palah balek
Uji endung kele kudai

Yusita Putri XII IPA
Leliluk nebang kandis
Bahe tetebang nak seluai
Leliluk mengguri gadis
Bahe tepenggur nak kelawai

Leliluk mukak babak
bahe tekinak nak buaye
Leliluk mukak surat
bahe tetitik ayek mate

alah ke dimak mandi ayek siring
ayek siring batu gale
alahke dimak gumbak keriting
gumbak keriting kutu gale

Melissah XII IPA
Gemuroh pancor di badas
Sangsile tunduk dimandian
Anak umang jangan menangis
Sangke tetibe le bagian

Ade padi tutuk padi
Dide bepadi tutuk atah
Ame tetanti mintak ditanti
Dide tetanti tinggalka lah

Jangan takut atap lalang
Atap lalang pancoran ayek
Jangan takut tandang
Kami tandang masih ka balek

Ala ke lemak makan kweni
Kurang setalam nak dua talam
Alang ke lemak di dusun ini
Kurang semalam nak dua malam

Desi Maya Sari, XII IPA
Hujan rintik-ritik
Di baling humah kami
Ade bujang sutik
Nak maling gadis kami

Inten, XII IPA
Tenggayak pisang di utan
Luk kejadi pisang sabe
Bekayak nasib di badan
Luk ke jadi gadis tue

Ke mane burung bubut
Ncakau buah bintungan
Kemane bujang karut
Ncakau gadis taek idungan

Jiku tadi pisang bedahan
Tauka pisang bepelepah
Jiku tadi ribang belawanan
Tauka ribang sebela

Ayam jalak tiduk di nangke
Terbang ambur ke dehian
Jangan galak bekate saje
Bahe telanjut kami buyan

Burung pipit terbang ke langit
Sampai ke bukit betelue due
Ati siape yek dide sakit
Nginak kakang duduk bedue

Kain itam di jait mesin
Ditunde midang ke bename
Agi itam agi miskin
Mane ke ade diahap saje

Hibut ape hibut mak ini
Hibut nguncang kayu anak
Idup ape idup mak ini
Idup dibuang adek sanak.

Minggu, 12 Juni 2011

ABDUL KOHAR IBRAHIM

Biodata :

A.Kohar Ibrahim





Nama lengkap : Abdul Kohar Ibrahim

Nama pelukis (tandatangan karya lukis) : Abe



Lahir 1942 di Jakarta, Indonesia.



Menerima pendidikan Seni Rupa di :

Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles,

Brussel, Belgia.



Alamat:

Belgia : Bruxelles, Belgique.

Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Tangerang, Indonesia.



.

Penghargaan / Diploma:
(1) Brevet d’Exellence & Diplôme de Fin d’Etude de l’Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles (1975, 1979).

(2) Prix de Gouden Pluim (Spectraal, Gent, 1981).

(3) Médaille d’Argent du Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1987).

(4) Médaille d’Argent de l’Académie Internationale des Arts Contemporains et Diplôme d’Officier (pour reconnaître et protéger sa valeur artistique) 1986.

(5) Médaille d’Or (1987) et Médaille de Platine de l’AIAC (Enghien, 1988).



Biodata. Bibliographie :
(1) Media Massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, L e Pourquoi Pas ? Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online: SwaraTV, DepokMetroNet, CybersastraNet, CimbuakNet. Sedangkan buku-buku dan kamus yang memuat biodata, antara lain :

(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.

(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.

(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.

(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.

(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.

(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.

(8) Artis Peintre Abe Alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.



Exposisi :
Sejumlah eksposisi individual maupun kolektif. Antara lain : Galerie Hendrik De Braekeler (Antwerpen, 1977). Galerie Rik Wauters (Bruxelles, 1977). Galerie Van de Velde (Gent, 1979). Les Arts en Europe (Bruxelles, 1979). Galerie APAC (Schaerbeek, Bruxelles, 1980). Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1980, 1987, 1990). Galerie Escalier (Bruxelles, 1980). Spectraal (Gent, 1981). Galerie Gouden Pluim (Gent, 1982). Galerie Erasme (Anderlecht, 1983, 1990). Galerie Schadow (Celle, RFA, 1986). Europa Bank (Gent, 1987, 1988, 1990). 50 Artistes de Belgique (Bruxelles, 1986). A.I.A.C. (Enghien, 1987). Spectraal (Nieuwpoort, 1988). Galerie Het Eeuwige Leven (Antwerpen, 1993). De Kreiekelaar (Schqerbeek 1997). Parcours d’Atistes (Commune de Schaerbeek, 1998). En Modus Vivendi (Oude Kerk, Vichte, 2003). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2004). Museum Haji Widayat (Magelang, Indonesie, 2004). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2006). Ruang Expo Balaikota Hotel Communale de Schaerbeek, Brussel 2007. Guilliaum & Caroline Gallery, Bruxelles 2008.



Sebagai Penulis:
Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Multiply.

Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni « Kreasi » ; Majalah Budaya & Opini Pluralis « Arena » dan Majalah Opini « Mimbar ».

Sejumlah esai budayanya yang dibukukan, antara lain : “Sekitar Tempuling Rida K Liamsi », telaah buku kumpulan puisi Rida, terbitan Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004. « Identitas Budaya Kepri », terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005. « Kepri Pulau Cinta Kasih », karya bersama Lisya Anggraini, Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006. Berkas-berkas esai seni dan sosio-budaya lainnya berupa : « Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil », « Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas » ; « Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu » ; « Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis », dan lainnya lagi.

Buku dan atau kumpulan tulisan bersama berupa kucerpen dan kupuisi, antara lain : Kumpulan cerpen « Korban » , penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.

Kumpulan puisi « Berkas Berkas Sajak Bebas », penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.

Kumpulan esei bersama : « Lekra Seni Politik PKI », Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.

Kumpulan sajak bersama : « Puisi », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.

Kumpulan esei bersama : « Kritik dan Esei », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.

Kumpulan cerpen bersama: « Kesempatan Yang Kesekian », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.

Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindah Yang Melawan Tirani » I, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.

Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindas Yang Melawan Tirani » II, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.

Kumpulan sajak : « Di Negeri Orang », penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.

Kumpulan tulisan bersama: Antologi Puisi Cerpen Curhat Tragedi Nasional 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan & Malka, 2005.

Kumpulan esai bersama : « Identitas Budaya Kepri », penerbit Dewan Kesenian Kepri Tanjung Pinang 2005.

Novel : « Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008.

Kumpulan esai : « Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.

Kumpulan puisi : « Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.

Kumpulan cerpen bersama Lisya Anggraini : « Intuisi Melati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.



Yang belum atau dalam perencanaan untuk dibukukan : Berkas berkas naskah kumpulan esai seni budaya, kumpulan cerpen, kumpulan puisi dsb.

Simak : Kumpulan Kumpulan Tulisan. Yang melengkapi Biodata ini.



Lebih lengkap bisa disimak-lacak di beberapa situs, antara lain, sebagai berikut :

ABE-Kreasi Multiply Site :



http://artscad.com/@/AKoharIbrahim/



Catatan : Nama asli, alias dan samaran. Sejak mulai melakukan kegiatan tulis menulis medio tahun 50-an, sebagai tanda-tangan digunakan nama asli A. Kohar Ibrahim atau lengkapnya : Abdul Kohar Ibrahim. Tanda-tangan untuk semua karya lukis : Abe. Sedangkan nama samaran atau pen-name : Aki, A. Brata Esa, Sybrata, Rahayati, Bande Bandega, DT atau Dipa Tanaera. (2008-2011). ***



Catatan :

Disiar ulang setelah dilengkapi demi informasi selayaknya bagi pemerhati dan segenap pembaca umumnya – Facebook : 12 Juni 2011.

Abe - A.Kohar Ibrahim

Kamis, 07 April 2011

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Sabtu, 26 Maret 2011

PUISI-PUISI SURYA ADI PRATAMA



Syair Buat Devela Tanjung

Mungkin waktu yang terasa berlalu

Membawa puih-puih pergi menjauh

Dan manusia hanyalah sebutir pasir

Berserakan di hamparan zaman



Yang mengikuti kemana takdir berhembus

Dan mungkin waktu melapukan batu

Membuat besi menjadi karat

Membuat dunia menjadi tidak seperti yang kita kira dan angankan



Walau sungguhpun waktu berkuasa

Persahabatan sejati tak kan mudah pudar olehnya

Akan kenangan saat mimpi-mimpi sersemi semerbak

Dan akan kenangan saat mimpi-mimpi terhempas

Berkeping di jalan berlubang kehidupan

Dan kau ada disana sebagai sahabat

Yang memahami keluh kesah

Atas kebaikan yang mungkin tidak ku sadari





Oleh sekedar canda yang membuat hidup ini lebih memiliki

Arti menjauhkan rasa nyeri sedari

Dan sahabat………………………

Jika apa yang kita miliki memang persahabatan yang tulus

Maka ada tali silaturahmi yang mesti kita jaga

Walau jarak merenggangkan ikatan dan harapan-harapan

Membawa kita berlayar ke negeri asing

Ketahuilah bahwa ada seorang sahabat yang akan membantu jika engkau membutuhkannya

Kado ini tak lebih berharga

Ketimbang kebaikanmu selama ini

Hanya sekeping tanda mata

Agar kau tak lupa

Bahwa ada bahagia untuk menjadi seorang saudara


Kampus Serasan, 14 Februari 2011





Lelaki Pendendam

Malam ini purnama seolah tertutup awan hitam

Lelaki berusia 18 tahun yang tak pernah berhenti menaruh dendam terhadap mantan kekasihnya

Sakit hati teramat sangat karena diputuskan oleh pacarnya

Membuat sifatnya menjadi lelaki penuh dendam

Dendam yang begitu membara dalam hati seperti panasnya lahar yang keluar dari gunung merapi

Melahap sebuah perkampungan yang berdosa

Seperti Tsunami mengamuk menyapu Kepulauan Mentawai



Di puncak perbukitan yang semakin tertutup kabut tebal

Mata yang memerah menerabas rimbun hutan di malam gelap

Lelaki bertubuh gempal, berambut ikal dan sayatan luka dihatinya

Seakan menjadi pencabut nyawa menyinggahi setiap manusia



Tiba-tiba, angin malam berhenti dan awan hitam yang menutup rembulan seakan lenyap

Aku merasakan firasat buruk menerpa dirinya

Kepada lelaki yang begitu polos

Hati dan pikirannya mulai dirasuki oleh setan yang tak terkendali

Karena rasa dendam yang menyelimuti hatinya

Tersakiti oleh seorang wanita yang mempermainkan hatinya

Entah bagaimana aku harus menghentikan niatnya

Untuk tidak menyakiti wanita yang telah menyakiti hatinya

Membalaskan dendamnya selama ini

Biarlah maha kuasa yang akan menghukum

Wanita keparat seperti Dia


Devela, 07 Februari 2011


Surya Adi Pratama, Muaraenim, 26 Mei 1989, Akitif di Sanggar Teater Gending Muaraenim...

PUISI-PUISI AGUNG TRI HIDAYAT



Sajak Untuk Aparat

di waktu matahari
mulai memancarkan sinarnya
aku melihat
sejumlah aparat sedang berdiri di pinggiran jalan
mengamati pengendara
alat transportasi
dan aku melihat anak remaja
yang terhenti perjalanannya
karna melanggar aturan lalu lintas
sehingga membuatnya terjebak diantara para aparat
mungkin hanya ada satu kalimat yang pantas untuk kalian para aparat
………………………

hey kau aparat
kau itu tikus liar
yang suka
menggerogoti hak rakyat


Muaraenim, 2011




Ratapan Lelaki Tua

di pagi yang dingin itu
aku menangis
…aku teringat
pada cintaku yang tak
pernah ku ungkapkan
aku menyesal tak berani
mengungkapkan
kepadanya
kini aku sadar
bahwa sakitnya di tolak
tidak sesakit cinta di pendam

mondera tugu muaraenim maret-2011


Agung Tri Hidayat, Muaraenim, 1 Januari 1994. bergiat di Sanggar Teater Gending Muaraenim...

Rabu, 23 Maret 2011

PUISI PUISI WIDIA




IBU YANG HEBAT

ibu,kau takkan bisa tergantikan
kau harta paling berharga yang kumiliki
kuingin kau selalu ada untukku
kuingin kau tetap di sampingku
ibu, tanpamu kutak bisa melakukan semua
tanpa doamu hidupku takkan bahagia
kau tak bisa kulupakan walaupun sekejap
ibu yang hebat,yang bijaksana
membuatku selalu bahagia
ibu,kuingin kau bangga padaku
aku orang paling bahagia mempunyai ibu sepertimu
terimah kasih sang pencipta kau berikan ibu yang hebat
wahai ibu yang hebat




KARANG

wahai karang ditepi pantai
betapa hebatnya kau
terus berjuang tanpa memgenal lelah
walau diterpa badai gelombang
kau tetap bertahan
karang aku ingin sepertimu
yang hebat,yang kuat
tak pernah menyerah walau dihantam badai gelombang
wahai kau karang di tepi pantai





SENJA DI MALAM HARI

malam semakin larut
angin berhembus kencang
menusuk sampai ke dalam tulang
ah...
rupanya malam semakin larut
bergulir seindahnya malam
aku duduk termenung
memandangi langit yang tak bertepi
hanya suara jangrik terdengar
indahnya malam ini dihiasi sang bintang....
begitu menajubkan..
ada senja di malam hari
aku tak ingin beranjak
begitu indahnya senja di malam hari

Lintang Kanan, 2011

Kamis, 24 Februari 2011

PUISI-PUISI CHAIRUL SUJAN



Perempuan Malam


perempuan cantik itu
kembang wangi para lelaki
setiap hari mereka dituju
dinikmati najis tanpa henti
ia perempuan harum
menyusuri malam remang
menyebar nikmat berbungkus laknat
sambil menghitung dalam luka lama

ia perempuan berselubung sepi
mengumpulkan lembaran pribadi
bayang misteri yang menghatui
hidup yang tidak pasti

ketika datang terang
singgahi undangan langkah
yang selalu meludahi dengan dengki
ia tak perduli karena ada hati
berisi minyak wangi
ia tumpahkan pada money

air matanya mengalir membasahi
di balik senyum manis mengiringi
tidak ada iman yang memahami
sang iman dianggap mengampuni
nur telah pergi dari hati
dosa tak jadi hal terbebani
masyarakat mencaci tak peduli
yang penting bisa makan hari ini
bertahan hidup walau tak memaknai

sepi telah mencair jadi cinta
segala tak terduga terjelma
ia pergi dengan suka cita
sebagai perempuan malam


Dakwah Di Atas Dusta


jangan sebut aku hina
selama kau juga masih suka
kau juga masih merasakan kenikmatan dunia
bukankah begitu
saat kau merayu
kau mengetuk pintu dan berkata
kita kembali di jalannya

lalu aku hanyut dalam genggaman,
kau angkat terbang aku dalam surga dunia terpanggang
seperti masakan bumbu sedap rasanya
tanpa jemu kau sampaikan atas firman
dan petunjuk sunnah
meracuni pikiranku
dan hujat luar golonganmu
semua insan mengikuti jejak langkah
tapi sayang terdona
yang sesungguh tak nyata
keinginan berkuasa padamu
tak pernah bahas aqidah dari pertama
duhai pendusta yang mengatasnamakan
jangan bodohi kami dengan muslihat dan keterlenaan
padahal semata umpan garapan keinginanmu
aku tak mau kau bodohi seperti kambing dungu
biar kami tanggung sendiri

sungguh politikmu buat buta
aku beribadah bukan karna manusia
dipuji pemimpinnya, menyesatkan
harus dilawan jika ingin bebas
semua sirna setelah aku mengubur detak kagum
maka hati ini telah menanti terjemah semua yang fana
penolakan telah terjadi karena beban ini
aku tak mau menjual iman bertukar keyakinan dan mengabaikan nilai
hidup yang dipertaruhkan pada Robb ku…….



Rembulan


rembulan malam ini mengajakku bertandang
menimang bayang di jendela
wahai rembulan,
engkau labuhkan sinar di rumah
di kamar ini tertanbat sepi,berkelana
mungkin tahu gelisah malam di hatiku
mengukir risau daun yang gugur
dan membuai dalam mimpi
bersama wajahmu yang berlalu



Puncak Pagar Sari


di Pagar Sari ku buat puisi
panjang lampai sederhana sedang
tidak jemu walau ada peluh
tidak gentar walau ada rintang
jikalau hati bimbang

kelak pasti mengsugesti
apabila terpelihara
sedikitlah cita cita
pekerjaan kepala harus dibela
nanti akal berupayah
lihat pada budi bahasa
belajar bertanya tidak putus asa
hidangan pisang ubi dan secangkir kopi
tak pernah henti mengobati



Mawar di Tangan

mawar itu tumbuh
hanya untuk satu hal
agar manusia merasakan
wanginya sepanjang waktu

mawar ditanganku
seberapa indah bila kutanam dirumahmu
mawar dihatiku,
seberapa wangi bila kuselipkan dijilbabmu
mawar dibibirku,
seberapa sedih bila kulukis di air matamu
mawar ditintaku,
seberapa tetes bila kualirkan dinamamu
mawar dido’aku,
adakah sampai dijarakmu


Tentang Penulis, Chairul Sujan lahir di Lahat, 24 April 1987, tercatat sebagai Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah-Yayasan Pendidikan Islam (STIT-YPI) Lahat semester IV aktif di Kumunitas Sastra Lembah Serelo [KSLS] Lahat, sebagai ketua Litbang Forum Pemuda Muslim Lahat (FORMULA), beberapa kali membacakan puisi dalam acara Sastra di Lahat.

Minggu, 16 Januari 2011

Air Terjun Milang Menjanjikan Pencerahan Baru

Air Terjun Milang Menjanjikan Pencerahan Baru


Oleh Jajang R Kawentar

Tempat wisata Air Terjun Milang yang terletak antara Kecamatan Merapi Selatan dan Kecamatan Merapi Barat, bisa ditempuh melalui jalan simpang Patung di Desa Padang Kecamatan Merapi Selatan dan dari Desa Tanjung Beringain masih dari Kecamatan Merapi Selatan. Dengan waktu tempuh hanya satu jam berjalan tanpa henti, namun kalau banyak berhenti bisa sampai 2-2,5 jam.

Air terjun Milang merupakan aset terpendam Kabupaten Lahat yang sangat berharga dibandingkan dengan bongkahan batu bara yang berada di dalam tanah sekitar lokasi wisata tersebut. Aset wisata itu tidak bisa tergantikan apabila disekitar lokasi air terjun itu juga di rusak karena eksplorasi dan ekploitasi kebutuhan tambang batu bara. Selain itu batu bara merupkan sumber daya alam yang akan habis dan menyisakan kehancuran serta masalah. Masyarakat kecil kembali yang akan menerima penderitaan akibat eksploitasi alam tersebut.

Air terjun Milang itu apabila dikelola dengan baik, kemudian akan menghasilkan pendapatan asli daerah, yang berdapak terhadap kesejahteraan masyarakat Lahat terutama disekitar daerah wisata tersebut. Memang hasilnya tidak bisa instan seperti eksploitasi batu bara, namun aset ini lambat laun akan menghasilkan pendapatan lebih dari harga batu bara. Keutamaanya karena masyarakat umum dapat merasakan manfaat dari wisata air terjun tersebut.

Namun apabila di daerah lokasi tersebut juga menjadi lahan tambang batu bara maka yang menikmati hasil dari tambang tersebut sesungguhnya hanya beberapa gelintir orang saja yang akan menikmatinya. Jelas batu bara itu tidak akan dikelola oleh daerah atau masyarakat akan tetapi dibawa ke luar kota dan orang luar yang akan menikmati dari hasil eksplorasi dan ekploitasi batu bara tersebut. Di samping itu masyarakat Merapi akan menuai kerusakan lingkungannya, dari pada menuai keindahan alamnya. Mungkin warga dunia akan mengutuknya.

Menikmati Panorama dan Pengetahuan Alam

Air terjun Milang diperkirakan tingginya sekitar 30 meter dengan 7 tingkatan air jatuh. Di tingkatan pertama atau paling atas, tingkatan ke dua dan tingkat tiga terdapat kolam atau lubuk yang cukup luas. Menurut warga Merapi Selatan di lubuk itulah terdapat banyak ikan yang berkembang biak. Sungguh indah panorama itu, apalagi kalau di sekitar air terjun itu di tata dan rumputnya di bersihkan. Lalu ditanami kembali kayu yang memperkuat struktur tanah yang curam dengan Pinus, menambah panorama lain lebih sejuk.

Air yang mengalir begitu jernih dan pada umumnya warga yang pergi ke kebun dan yang sengaja berkunjung ke air terjun Milang meminum air sungai tersebut tanpa di masak terlebih dulu. Mereka langsung memasukan ke dalam botol kemasan sebagai persediaan dalam perjalanan. Barangkali kandungan mineral yang terdapat dalam air tersebut lebih baik dari air kemasan yang di jual di pasaran.

Disekitar lokasi air terjun Milang banyak tempat untuk pengambilan gambar atau foto. Karena lokasi air terjun ini merupakan pertemuan antara tiga bukit, diantaranya bukit Milang itu. Alam ini sepertinya sudah menyediakan tempatnya yang tepat, sungguh luar biasa. Tepat di air jatuh terakhir itu ada sebuah batu yang bisa digunakan untuk berfose. Batu itu bisa memuat sekitar sepuluh orang untuk berfose, dan persis di depannya ada batu datar sebesar rumah kira kira bisa memuat 100 orang lebih untuk berfose. Sehingga kenangan bersama ke air tejun Milang tidak akan luput dari dokumentasi dalam perjalanan berwisata bersama.

Apabila hendak berkemah, di lokasi ini jelas tersedia tempat yang sungguh pas, meskipun di kebun milik petani kopi. Tempat ini juga menyediakan fasilitas untuk berkemah, kayu bakar, tempat mandi, mencuci, dan lokasi berkemah. Memang tidak ada lokasi yang datar seperti sebuah lapangan, akan tetapi ada tempat-tempat untuk mendirikan tenda-tenda yang berdekatan.

Menurut warga Merapi Selatan yang pernah berkunjung ke Air terjun Milang, di lokasi bukit-bukit itu sangat baik untuk di tanami tembakau, dan kopi. Di lapisan tanah itu terdiri dari humus, atau daun-daun yangkering dan membusuk. Menurut mereka tanaman di sini tidak perlu lagi di pupuk, tinggal bagaiman membersihkan ruput yang mengganggu di sekitar tanaman.

Sebelum menuju lokasi kita bisa melihat, bagaimana perkebunan durian yang sudah berumur ratusan tahun, kebun kopi, padi tadah hujan, dan perkebunan karet rakyat. Sekaligus kita bisa belajar bagaimana para petani itu menyadap karet, atau memetik buah kopi. Sekaligus kita bisa belajar dari alam tersebut sebagai ilmu pengetahuan.

Out Bound Sambil Refleksi Tubuh

Berbagai rintangan menuju lokasi air terjun Milang, mengajarkan kepada kita bagaimana menyelesaikan masalah, perlu tekad kebersamaan dalam menyelesaikannya. Sebab jalan yang ditempuh menuju ke lokasi berbagai medan, mulai dari jalan tanah, jalan air, lumpur dan berbatu. Ada jalan yang datar, menurun dan jalan yang terjal. Pariasi bentuk medan ini kita anggap out bound dan perjalanan yang menantang serta menyenangkan ini bisa dianggap permainan. Namun sepanjang perjalanan itu kita akan disuguhkan oleh alam yang mungkin belum pernah kita lihat sebelumnya, dan ini sebagai kejutan-kejutan dalam kehidupan yang kemudian akan menjadi kenangan atau sebuah cerita yang manis dan mungkin tidak akan habis bila dibahas.

Untuk mencapai lokasi harus ada perjuangan yang kuat. Untuk itu sejak awal niatan mengunjungi sesuatu yang indah dan menyenangkan itu perlu keteguhan, kesabaran serta sebuah usaha. Air terjun Milang merupakan anugrah atau sebuah hadiah dimana kita sudah merasa lelah untuk mencapainya, maka air terjun itu akan membayarnya dengan lunas.

Keindahan alam Merapi akan lengkap ketika kita melangkahkan kaki menuju air tejun Milang. Bukit Besar, Bukit Serelo (Bukit Jempol) dan bukit-bukit batu yang berjejer. Menjadi panorama yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan lokasi wisata dimanapun yang memiliki perbukitan atau pegunungan.

Beberapa anak sungai yang harus disebrangi dengan air yang mengalir jernih, serta batu-batu yang menghampar apabila membuka sepatu dan membiarkan kaki kita telanjang maka akan terjadi refleksi secara alami, begitulah yang dialami oleh para petani di sekitar bukit-bukit tersebut. Kita juga bisa membayangkan bagaimana para petani itu dengan penuh semangat mencari penghidupan di alam dengan bercocok tanam padi dan berkebun, mungkin dengan hasil tidak seberapa dan membawa hasil taninya yang sangat jauh tanpa berkendaraan, namun mereka tetap menempuh jalan hidupnya dengan penuh semangat.

Refleksi tubuh juga bisa dilakukan di lokasi air terjun, selain kita berjalan di batu-batu yang memijat telapak kaki, juga kita bisa merasakan air yang jatuh itu tidak merpa batu tetapi menerpa tubuh kita. Air yang jatuh itu serupa pukulan-pukulan kecil dan keras ke tubuh kita. Ini juga serupa sebuah terapi atau refleksi, dan sesudahnya kita akan merasakan semacam pencerahan-pencerahan baru dari air tejun Milang ini. Air yang jernih yang akan menimbulkan kerinduan akan alam yang terus lestari. Semakin lengkap pencerahan itu ketika menghirup udara di sekitar lokasi air terjung yang begitu segar.

Kita sudah bisa merasakan sejuknya udara itu sekitar 500 meter dari lokasi, seperti masuk ke dalam air. Kesejukan ini semakin nikmat, ketika memasuki petang, malam dan pagi hari. Sambil minum kopi hangat dan berbincang, rasanya kita semakin akrab dengan alam.

KENDALA REGENERASI SENI TARI TRADISIONAL

Oleh Jajang R Kawentar

Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan raja atau pada Dewa, atau menyambut para pejabat, dan sebagai bahasa pergaulan. Tarian yang diciptakan bukan karena kebutuhan ekspresi si penari.

Kemungkinan beberapa tarian daerah itu tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hanya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja. Tidak lagi sebagai representasi dari rutinitas atau aktifitas berkesenian.

Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga untuk aset seni terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat secara mamadai.

Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian daerah itu memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang di bawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang peduli. Ketidakpedulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.

Kecurigaan Pada Lembaga Akademis Seni

Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut dalam melestarikan dan pengembangan seni. Misal, Sumatera Barat dengan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Seni Padang, IKIP Medan, Bengkulu punya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), kalau di Jawa dan Bali banyak bertebaran perguruan tinggi seni. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif akan terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Dengan demikian diharapan akan bermunculan berbagai komunitas seni, atau kelompok seni sebagai benteng pertama dalam kesinambungan estapet warisan seni.

Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni. Sekolah seni yang ada tidak mendapat tempat selayaknya sebagai sekolah seni, dan ada juga kecurigaan dengan jurusan seni yang ada hanya untuk mengejar kebutuhan tenaga kerja sebagai guru atau karena sertifikasi. Sehingga bukan kualitas lulusan yang didapat, namun kuantitas yang diraih. Apakah ini akan memperkeruh suasana kesenian, atau justru memperbaiki keadaan?

Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetulnya hal ini sangat melukai para pekerja seni.

Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.

Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.


Sekolah Menengah Seni dan Perguruan Tinggi Seni

Di Sumatera Selatan yang saya ketahui hanya ada dua sekolah Menerngah yang berlatar belakang seni, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Palembang yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri (SMSR N) Palembang dan SMK N 2 Kayuagung yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri (SMIKN) Kayuagung Kabupaten OKI. Sementara untuk Perguruan Tinggi Seni yang secara khusus tidak ada, namun Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) kini terdapat di Universitas PGRI Palembang.

Untuk daerah teritorial yang sangat luas seperti Sumatera Selatan sungguh lembaga akademis yang minim ini sangat memprihatinkan. Seyogayanya setiap kota/kabupaten terdapat sekolah kejuruan seni, sebagai pilihan dan sebagai penyeimbang dalam pengembangan profesi generasi muda di kemudian hari.

Apabila sekolah yang di kembangkan di setiap kabupaten/kota bahkan juga provinsi hanya sekolah kejuruan yang memfasilitasi kemampuan teknik. Maka akan terjadi kepincangan, karena seperti kita tahu kemampuan otak kiri dan otak kanan siswa berbeda. Untuk mengembangkan minat dan bahan seni siswa harus memiliki wadahnya atau ada lembaga yang menaunginya. Disamping itu untuk melengkapi para penerus seni dan budaya yang memang sadar atau tidak sangat dibutuhkan.

Siapakah penerus seni dan budaya daerah kita kalau tidak dimulai dari pendidikan atau lembaga akademis yang bisa mengawal serta menyalurkan minat dan bakat, dan juga mengembangkan pengetahuan seni budaya daerahnya kalau bukan dari putra daerahnya sendiri menjadi penerus dan kebanggaan daerahnya.

HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

HUBUNGAN PARTAI KOMUNIS DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

Oleh Jajang R Kawentar


Sejarah seni budaya Indonesia tidak lepas dari pengaruh partai politik yang berkuasa. Seni Sastra, seni Rupa dan seni tari sekalipun dipengaruhi kepentingan politik dan mendapat suport dari sebuah partai dominan, atau karena perintah raja yang berkuasa saat itu. Begitu pula dengan Tari Gending Sriwijaya, sebuah tarian yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.

Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti dicetak tahun 2007. Buku ini menarik ditinjau akan sejarah Tari Tanggai tersebut.

Sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Tidak adakah solusi untuk menghidupkannya, supaya dewan kesenian itu kembali bergairah dengan kehadiran berbagai pengelolaan kesenian di daerahnya. Padahal ada yang namanya musyawarah yang dilakukan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) setiap tahunnya.

Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.

Tari Tanggai Sebuah Evolusi

Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.

Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.

Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.

Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.

Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.

Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.

Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.

Perlu Penyempurnaan

Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat bingung pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga tariannya bernafaskan Budhisme. Apakah pencipta tari Gending Sriwijaya itu juga beragama Budha?

Perlu kiranya penyempurnaan dalam penyajian data serta mendeskripsikan evolusi dari tari gending Sriwijaya hingga menjadi tari Tanggai. Karena buku ini sangat penting sebagai acuan, atau sebagai sejarah perjalanan terciptanya seni tari Tanggai yang sampai saat ini masih dipercaya sebagai tarian yang cukup sakral di Sumatera Selatan.

Meskipun terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun, kecuali untuk kemanusiaan.