Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat merupakan segerombolan anak muda dari Lembah Bukit Serelo Kabupaten Lahat yang ngulik dunia sastra. pengajiannya dilaksanakan pada setiap Sabtu dan Minggu pukul 14.00 WIB-selesai bertempat di sebuah bukit Desa Pagarsari. Komunitas ini sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung. salam Budaya!
Selasa, 25 Agustus 2009
Senin, 24 Agustus 2009
EMPAT WAJAH SATU PRESIDEN
Catatan Buku Antologi Puisi Empat Wajah
Jajang R Kawentar
Manusia diturunkan ke bumi ini sebagai kholifah, sebagai pemimpin, baik pemimpin bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat dan seterusnya. Kholifah ini kita artikan saja dengan bahasa populis: Presiden. Pasti ada yang tidak menerima dengan pengertian yang saya ajukan tersebut. Tetapi, anggap sajalah itu Presiden. Presiden yang saya maksud adalah presiden dalam buku antologi puisi “Empat Wajah”; karya cipta penyair cukup “kongkorongok, kukuruyuk” di Sumatra Selatan dan Nasional. Siapa saja empat wajah tersebut?: Ahamad Rapanie Igama, Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu dan Z.A. Nara Singa. Mereka merupakan generasi yang cukup ulet dalam menggeluti profesi dalam kepenyairannya. Sehingga mampu menelurkan karya-karya baru, meskipun tidak semuanya segar, bahkan ada juga yang basi.
Cobalah membaca ulang beberapa kumpulan puisi Rendra, Taufik Ismail, Gunawan Muhamad, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji, Acep Zamzam Noor, Ira Iramani, Sobron Aidit dan masih banyak lagi deretan penyair yang mendokumentasikan ke dalam buku. Sampai saat ini buku-buku sastra terus mengalir. Dengan membaca beberapa buku kumpulan puisi itu kita akan mengetahui ke mana arah “Empat Wajah” itu menghadap, serta akan menunjuk kholifah atau presidennya.
Presiden apo dio? Kita pernah mengenal atau mendengar Presiden Malioboro, di Yogyakarta: Umbu Landu Paranggi sekitar tahun 1971. Ia aktif sebagai penggerak dalam Persada Studi Klub dan juga sebagai pengasuh lembar budaya koran Pelopor. Dialah yang selalu memberikan semangat kepada sastrawan atau penyair muda dengan telaten dan kerapkali mengadakan pementasan, diskusi, dialog bersama Umar Kayam, Rendra, M.H. Ainun Najib dan dedengkot-dedengkot sastrawan (seniman) Yogyakarta di Malioboro sambil lesehan. Hampir setiap Minggu bahkan setiap hari selalu saja ada kegiatan yang mereka lakukan.
Di sini saya mensinyalir terdapatnya singgasana kepresidenan yang telah di duduki. Meskipun kursi kepresidenan yang di gunakan atau kebijakan yang di lakukan presiden ini berbeda pula dengan yang dilakukan oleh Presiden Malioboro. Dan, belum ada persetujuan ataupun pernyataan dari kalangan masyarakat sastrawan wong kito, tentang kedudukan presiden ini. Barangkali masih takut, atau ragu-ragu, atau malu-malu, atau tidak tahu, atau menolak kehadirannya itu. Mungkin sayalah orang pertama yang menyatakan telah lahirnya seorang Presiden itu. Saya yakin pernyataan saya ini akan menimbulkan pro-kontra antar penyair kito. Namun tidak akan sampai muncul slogan seperti “mendukung Presiden sampai mati”. Kagek dulu oi..mati!
Lesunya kegiatan sastra; umumnya seni, di Palembang, mungkin karena tidak adanya pengukuhan tentang jabatan presiden. Selama ini jabatan Presiden di sini kosong. Mungkin tidak ada yang berani, tidak ada yang mau, atau semua merasa menjadi presiden. Padahal tidak semua orang mampu menjadi presiden. Dalam pengertian, presiden yang mampu meminpin umatnya (baca: para penyair atau sastrawan). Siapakah Prsiden itu?
Dengan munculnya antologi puisi Empat Wajah, menjawab keraguan penyair dan masyarakat, mengenai: siapakah penyair kita yang terpampang di rak buku, baik rak buku di Toko Buku atau Perpustakaan atau di rak buku pribadi?. Dapat dinikmati dan dikenang. Selama ini hanya terpampang di selembar koran, sesudah itu dibuang atau dikilokan (dijual). Kalau begitu, sungguh sayang karya-karya yang monumental tidak terdokumentasikan secara utuh. Hanya sesaat belaka. Dalam hal ini memang, kita perlu kepeloporan, perlu presiden untuk mendokumentasikan karya-karya sastra kita, supaya masyarakat atau anak cucu kita dapat mengenali penyair daerahnya sendiri. Jangan sampai seperti peninggalan kerajaan Sriwijaya, entah di mana, tidak pasti. Baru katanya saja. Barangkali setelah terpilihnya presiden, kegiatan kesenian di Palembang jadi lancar, banyak kegiatan sastra atau kegiatan seni rupa atau pentas teater dan tari, serta mau memperjuangkan seni dan kebudayaan kito. Amien.
Sepertinya, “dua wajah” dari Empat Wajah itu terus bersaing, antara menjadi Presiden atau menjadi tukang pijat Presiden, atau saling pijat-memijat diantara keduanya. Siapa saja yang bersaing itu? Bersaing? Memangnya balapan? Apalah maknanya, marilah kita sama-sama mencoba mencatat atau memperhatikan Puisi A. Rapanie Igama.: Kebanyakan puisinya bermain-main dengan kata dan bunyi yang ditimbulkan dari kata yang ia pilih. Barangkali karena konsentrasi penulis bercabang kepada bunyi atau makna. Sehingga antara tema yang diambil dengan pesan yang akan disampaikan menjadi hambar. Kata dramawan Rendra bahwa untuk sebuah karya yang monumental, dibutuhkan kefrustasian yang sangat besar. Kefrustasian adalah stres dan goncangan jiwa. Mungkin saat penciptaan karya goncangan jiwanya kurang.
Ada beberapa puisi yang dianggap berbeda dan lebih mantap: “Rindu” dan “Sketsa Kota”. Rindu (Bagi: d&t): ini rindu/ mendesak/ mengeluarkan/ seluruh air tubuh/ menghimpit seluruh jerit/ ini ronta/ terkurung di dada/ ini langkah/ terjepit di jejak/ ini mata/ tertambat pada bayangmu/ sunyi/ kugenggami bening pagi/ jerit luka bunga/ ringkik kuda birahi/ dibenamkan sumur/ di gunung sunyi/ di tengah kota merah/ menyala api/ rindu/ dibenam sekam, (hal.13).
Bagaimana dengan karya Anto Narasoma? Beliau ini banyak mengungkapkan tentang kemanusiaan, kekuasaan dan keagungan Tuhan. Saya melihat dunia kewartawanannya sangat kental dalam karya-karyanya, misal tercermin jelas dalam “Palestina Dalam Sebidang Papan Catur”, “Lenyap dalam Mimpi dan Kekerasan (Kepada Eurico Guteres)”. Beliau ini cukup lihai mengatur emosinya sehingga membaca karyanya terasa dinamisnya. Ia tidak memberikan kesempatan kepada pembaca untuk tidak mengikuti liukan-liukan bahasa atau kalimat yang ia titipkan makna di dalamnya. Ada satu puisi yang saya anggap menarik, berbicara kepada istrinya tetapi sesungguhnya kepada semua ibu-ibu atau perempuan masa kini, begini: tidurlah,/ jangan membelalakan mata/ pada bantal yang tergolek/ di atas mimpi tanpa batas.// sebab,/ mimpi akan menjelaskan kesia-siaan/ saat keinginan mendongak/ dalam sekeping waktu/ antara ada dan tiada.// istriku,/ sepanjang hari yang kental/ berkuatlah pada susumu.// sebab,/ harta pada nilai-nilai harga/ adalah anak-anak kita.// mulut-mulut mereka yang menganga,/ dan pernik dua matanya,/ adalah ladang masa depan/ yang bernas di dalam lumbung/ kehidupan kita.// istriku,/ pejamkan matamu,/ kita akan tetap berbaur dengan cinta/ yang dikerdipkan dalam sekeping waktu/ di bawah langit-langit rumah kita, (Dalam Impian Kental (Bagi Istrku), hal. 24).
Adapun Anwar Putra Bayu banyak menyuarakan suara rakyat yang tertindas atau ditindas. Berbicara tentang kondisi rakyat di daerah, pemerintahan yang kacau dan korup, berdasar perasaaan dan pengalamannya. Sepertinya bagi dia, kata, kalimat dan bahasa, sebuah lalapan sehari-hari sehingga tampak lugas dan tegas. Baiklah kita perhatikan sajak pendeknya yang sarat kritik, Pada Sebuah Ladang: Kami riwayatkan/ semua itu kepadamu/ tentang politik yang kacau negri ini/ tentang bahasa pemimpin yang sukar dicerna/ dan tentang makna sebuah kehancuran.// Sajak tidak lebih/ sekedar kebanggaan yang mulya/ dari ladang milik kami/ dan dari bumi diri sendiri// Kemudian akan terdapat di sana/ selamat datang dan selamat tinggal/ untuk diungkapkan/ lewat sebuah coretan/ dan sebuah penelusuran/ dari pengetahuan milik kita yang sejati/ serta dalam kebenaran/ lantas kebenaran milik siapa?// Ladang sesungguhnya/ kebenaran itu sendiri, (hal. 48).
Kalau membaca puisi Z. A. Nara Singa berjudul Paku, saya teringat dengan puisi Sutardji, puisi mbeling atau antologi puisi santrawan Bandung “ORBA”. Paku: Kenapa/ Ku/ Kena/ Paku/ Kenapakukenapakukenapakukenapaku// Kena kakaiku/ Kaku/ Kuku kakiku kaku/ Kena paku/ Kenapakukenapakukenapakukenapaku// Kupaku papaku/ Memaku mamaku/ Paku papaku/ Memaku mamaku/ Maka/ Jadilah/ Aku/ !, 1985 (hal. 58). Inti dari tema puisi-puisi Z.A. Nara Singa berupa wejangan dan pemberitahuan.
Saya hanya membaca yang terdapat di buku. Saya tidak tahu siapa yang memilih karya puisi yang layak ditayangkan ke dalam buku tersebut. Apakah setiap penyair yang berkehendak, bahwa karya yang terbaik menurut penyairlah yang didokumentasikan, atau ada tim kuratornya? Setelah saya baca bolak -balik buku antologi puisi itu, sepertinya satu selera. Selera siapakah itu? Mungkinkah selera sang Presiden atau pesan sponsor?
Lalu Siapakah Presiden itu? Masih belum terjawab. Apabila menilik dari pengalamannya Anwar Putra Bayu cocok menjabatnya, tidak sedikit karyanya yang di publikasikan oleh Sumatra Ekspres, baik berupa cerpen, opini, dan puisinya. Tentunya setiap karya masuk ke redaksi, dan diproses pada sidang redaksi di sanalah Anto Narasoma berperan, beliau ini bekerja disitu. Seandainya saja Anto Narasoma tidak setuju dengan penerbitan karya Anwar Putra Bayu? Apa jadinya? Lalu siapakah Presiden itu? Jawabannya ada pada saudara pembaca.
PELAYARAN BILAKAH BERAKHIR (PBB)
Pesan Untuk A. Rapanie Igama
Jajang R Kawentar
Mau kutumpahkan
air mata hati menahun padamu
tetapi engkau kekasih dan cintaku
kutak mau engkau hanyut
maka air diam menjadi telaga kalbu
tergenang dalam sanubariku
(A. Rapanie Igama, Air Mata, BPMB, 38.)
Tulisan ini pesan yang tercecer, sebagai upaya menghidupkan budaya kritik sastra yang “sehat”. Selama ini budaya kritik mengalami sakit. Mungkin juga tulisan ini sebagai pelipur lara, serta upaya profokasi bagi yang sedang menikmati kemewahan dan kenikmatan alam raya. Semoga saja merasa tersinggung, dan naik darah untuk menulis, mencerca tulisan ini dengan argumentasi ilmiahnya, bukan semata-mata tanpa jiwa.
Baiklah penulis menempatkan diri sebagai paranormal sastra, maka segera akan membedah kandungan dalam kata dan kalimat yang ditulis Rapanie di atas, sebagai berikut: Puisi ini ia tulis pada tahun 2001, terdapat pada buku kumpulan puisi beliau yang terbaru “Bilakah Pelayaran Malam Berakhir” (BPMB). Di cetak bulan November dan peluncurannya dilaksanakan di aula Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) pada 30 November 2002 lalu. Dihadiri oleh pejabat dewan Kesenian dan beberapa kolega, seniman dan sastrawan Palembang. Sebuah prestasi dalam dunia sastra Palembang dan nusantara pada umumnya. Kredibilaitas sastrawan lokal ini dipertaruhkan dalam menghadapi dunia global dan masyarakat yang individulistik.
Mendokumentasikan sastra ke dalam bentuk buku, merupakan upaya lebih memasyarakatkan sastra kepada khalayak. Di mana buku lebih praktis, fleksible, dan lebih utuh menampilkan sosok penulisnya, ketimbang sastra yang terdapat di Koran-koran, majalah, booklet dan sejenisnya. Namun Apakah masyarakat Palembang mencintai buku, atau gemar membaca? Berapa persen orang yang membeli buku dan berapa yang membeli buku sastra?
Dalam BPMB terdapat 26 puisi Rapanie, dari sekian puisi yang terdapat di buku, 12 puisi diambil dari buku antologi sebelumnya. Empat puisi dari buku antologi puisi tunggalnya Potret Bingkai (PB), diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Kebudayaan Wirakarsa, Oktober 1998, diantaranya puisi Kancil (hal. 2), Kepada Musi 1 (hal 4), Sang Gunung (hal. 8), Salamku Pada Muara (hal. 13), Instan (hal. 14). Lima puisi dari Antologi Puisi Menghitung Duka (MD), diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Dinas P & K, Maret 2000, Anto Narasoma, A. Rapanie Igama, I. Aditya C., Purhendi, Warman P., diiantaranya puisi, Legitimasi: Entah Milik Siapa (hal. 6), Tipu (hal. 7), Melodi rencong (hal. 8), Negri Duka (hal. 9), Legitimasi Bimbang (hal. 10). Tiga puisi dari Antologi puisi Empat Wajah (EW) diterbitkan oleh Balai Bahasa Palembang, Desember 2000, A. Rapanie Igama, Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu, ZA. Narasinga, diantaranya puisi: Kursi (hal. 1), Simpang (hal. 11), Rindu (hal. 13).
Hampir seluruh puisi yang diambil dari antologi puisi sebelumnya mengalami perubahan, baik itu pengurangan kata, misal: ini, itu, yang, di, sebab, telah, dihilangkan. Penambahan kata, atau memberi imbuhan meng, mem, atau mengubah kata imbuhan dan terjadi juga pada judul serta tahunnya. Penulis akan mengambil satu contoh puisi pada setiap buku yang diambil untuk antologi BPMB yang mengalami penambahan atau pengurangan tersebut.
Mari kita perhatikan puisi yang terdapat pada buku Potret Bingkai., judulnya Kancil; Si Kancil anak nakal/ suka mencuri timun/ ini lagu foklor/ di kebun, lapangan, jalanan/ gedung dan gudang/ berkas serta kursi (Palembang 1998). Kita bandingkan dengan puisi yang sama pada Buku BPMB: Judulnya menjadi Si Kancil; Si Kancil anak nakal/ suka mencuri ketimun// ini lagu foklor bangsawan rimba/ tikus-tikus, anjing kota dan rayap negri/ di dalam tanah kebun, lapangan, jalanan/ gedung, gudang pena dan kursi// duh, bumi negri kian mongering/ pucat anemia, terus bersenandung/ si kancil anak nakal (1998-2002).
Selanjutnya, pada buku Menghitung Duka berjudul Legitimasi Bimbang yang terdiri dari tiga bait; …..//…../ takut/ nyawa hanya seharga pisang di Ambon/ siap dilahap dan dicincang-cincang Rencong/ hingga gagap, gemetar lalu tercenung/ mencari-cari forkot merah menyala/ mencari-cari sangar banteng mulut putih/ mencari-cari green pelahap hijau/ mencari-cari loreng yang coreng-moreng/ mencari-cari pilihan para pahlawan mahasiswa/ sebab konon hidup mesti memilih/ kendatipun barangkali salah memilih// Kepadamu, Yang Mulia Ibrahim An-Nakho’i/ benarkah kami berlebihan/ bicara kami, makan kami dan tidur kami?/ Sayang hanya lembar-lembar kitabmu bicara/ tak ada cahaya menjawab/ Hanya pasti, kami masih tertambat/ pada tiang ketiak legitimasi bimbang.
Kita bandingkan dengan puisi yang sama judulnya menjadi Legitimasi 2 pada BPMB, berikut bait ke tiga dari empat bait: …..// Nyawa nyatanya seharga pisang Ambon/ siap dilahap dan dicincang-cincang rencong/ Hingga gagap, gemetar dan termenung sendiri/ Mencari-cari simbol, warna, dan pilihan/ Namun legitimasi terus menuntun pada gelombang/ Benarkah bicara, makan, tidur kami berlebihan?// Lembar-lembar kitab Ibrahim An-Nako’i/ Bercahaya memancar di atas sebongkah batu tua/ Menyaksikan sebuah perahu kandas/ Dia atas karang legitimasi bimbang. (Palembang, 2000).
Supaya lebih jelas bagaimana penambahan dan pengurangan kata dalam buku kumpulan puisi BPMB dari buku Antologi Puisi sebelumnya kita nikmati Fragmen-fragmen Kursi, puisi tersebut ada tujuh bait, dan dipilih dua bait untuk mewakilinya yaitu bait ke dua dan ke lima: (2) kursi itu kamu sirami/ dengan santet duit/ kini dia meminta tumbal/ nurani// (5) seperti di film-film kartun/ kamu dikejar-kejar kursi/ kenapa enggan?/ tak heran kalau kamu/ dilempar kursi (1998,1999). Pada buku BPMB puisi tersebut bertambah dua bait, menjadi sembilan bait dan judulnya menjadi Kursi. Kita lihat perbandingan kata pada bait yang sama: (2) kursi kau sirami santet duit/ kini dia minta tumbal/ nurani// (5) kamu dikejar-kejar kursi/ kenapa enggan berpeluk?/ tak heran kalau kau/ dilempar kursi (1998,1999, 2001).
Saudara Rapanie Igama begitu leluasanya (merdeka) dalam mengubah syair yang telah dipublikasikan sebelumnya. Ia menggunakan otoritasnya sebagai penyair sepenuhnya. Mau diobok-obok atau dicincang-cincang, direbus atau digoreng puisi itu sepenuhnya hak kehendaknya. Tetapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan setiap tahun puisi itu berubah-rubah, tergantung mood atau suasana hati. Sehingga kita pembaca harus cermat, pabila di tahun depan terbit antologi puisinya, kita cek bersama ada perubahan lagi atau tidak. Pelayaran Puisi, Bilakah Berakhir?
Dalam buku antologi puisi BPMB tersebut di akhiri oleh tiga tulisan DR (HC) Drs. H Ismail Djalili, Dra. Latifah Ratnawati, M.Hum dan Anto Narasoma sebagai pengamat. Dalam tulisan pengamat tersebut si pembaca dicoba digiring untuk memahami teks dan konteks yang terdapat dalam puisi. Teks dan konteks yang terdapat dalam puisi itu sepenuhnya adalah milik pembaca. Apabila pembaca sudah digiring oleh pemahaman, maka teks puisi tersebut akan semakin sempit. Mengandung permasalahan yang dijelaskan, tidak adalagi metafor. Karena pemahaman yang tadinya milik umum (beragam), menjadi seragam dengan adanya pembahas, atau katakanlah tinjauan atau sebuah pengantar, atau kritikan. Semestinya sebuah tulisan apapun namanya sebaiknya ditulis pada sebuah media yang memiliki kopentensi untuk itu. Sehingga menjadi wacana, dan khalayak umum akan membantah atas pemahaman-pemahaman yang keliru yang dilontarkan pengamatnya tersebut. Diharapkan akan terjadi diskusi atau dialog, baik itu antara penulis, kritikus/ pengamat dan pembaca.
Kalau beberapa tulisan pengamat disertakan dalam sebuah antologi, artinya buku itu sudah selesai (mapan). Untuk apalagi diperbincangkan. Apakah akan terjadi revisi kalau dalam pengamatan si pengamat itu terjadi kekeliruan pendapat?. Tulisan pengamat itu hak umum bukan hanya milik yang membaca buku. Tetapi bagi yang tidak membaca buku tersebut pun, apabila tinjauan pengamat atau kritikus yang membahas buku BPMB itu dimediamassakan tentu akan ikut membacanya.
Bagi penulis BPMB menggambarkan gonjang-ganjingnya situasi social politik dan budaya kita. Dikarenakan perebutan kepentingan, serta pelembagaan KKN yang semakin nyata dalam kehidupan masyarakat kita. Sehingga orang-orang seperti srigala yang siap menerkam saudara, kawan dan lawan. Biang dari semua ini adalah karena Uang yang dianggap sebagai tuhan dan kekuatan segala-galanya. Barangkali berat beban itu juga sama dengan permasalahan yang menimpanya, seperti puisi Air Mata di atas.
PERGULATAN SENI (SASTRA) ANAK SEKOLAH
Jajang R Kawentar
Menciptakan media atau outlet (pelepasan) karya sastra tidak semudah dan tidak seindah yang di bayangkan. Perlu perjuangan yang cukup melelahkan. Pada pelaksanaannya di lapangan, selalu saja ada hal-hal yang tidak diinginkan. Misal, ada saja nada-nada sumbang yang sampai ke telinga, baik itu dari guru-guru atau dari orang tua siswa. Bahwa belajar seni yang di dalamnya terkandung sastra, tidak dianggap sebagai mata pelajaran yang penting dalam system pendidikan kita. Buat apa? Toh di dalam Ebtanas tidak diujiankan. Tidak akan membuat siswa tidak naik kelas kalaupun nilainya merah. Mereka hanya berfikir belajar Matematika, IPA, PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris saja yang di utamakan, belajar seni atau belajar sastra tidak penting. Menguras waktu dan tenaga, hasilnya tidak ada. Hal semacam inilah, membuat terpukul.
Barangkali karena apresiasi anak, guru-guru dan orang tua terhadap seni atau sastra sangat rendah. Disayangkan bagi guru-guru serta orang tua yang mencemooh terhadap kegiatan kreatifitas seni anak. Berkarya seni dianggap pekerjaan yang sia-sia. Kasus semacam ini biasanya terjadi di daerah-daerah. Di mana orang-orang masih berkutat pada pemikiran sempit, yang beranggapan bahwa seni tidak dapat menghidupi, yang akan membawa kepada kemiskinan. Mereka beranggapan hanya orang-orang bodoh dan dungu yang menggeluti dunia seni.
Sehingga dengan demikian menghambat proses belajar mengajar seni/sastra. Di sekolah guru-guru yang mencemooh di rumah orang tuanya. Jadi wajar saja kalau anak-anak malas untuk membaca, malas untuk berkresi apalagi berfikir kreatif. Sebab pola pendidikan seni telah dihambat oleh struktur institusinya sendiri. Bagaimana masyarakat mau menghargai hasil karya seni? Sepertinya semua pintu tertutup.
Dampaknya, tidak adanya fasilitas bagi kegiatan kesenian, tidak adanya dukungan moril dan spirituil bagi anak-anak yang belajar mencintai karya seni. Selalu ada saja yang menjadi alasan untuk menghambat pelaksanaan kegiatan seni. Di memori mereka yang terekam bahwa kegiatan semacam itu sampah. Sangat rumit menjalani pencerahan lewat pendidikan seni di sekolah. Namun kembali berpulang kepada pribadi guru. Apakah terus maju pantang mundur, atau maaf-maaf saja.
Prinsip pertama bagaimana memotifasi anak untuk mencoba memahami realitas social yang ada. Sebab tidak ada satu sisi kehidupanpun yang tidak mempengaruhi kesenian atau seni/sastra dan begitupun sebaliknya. Sehingga anak secara tidak langsung akan memahami dirinya dengan menghubungkannya dengan seni. Mulai dari baju yang ia pakai, gaya rambutnya, sepatu, jam tangan, pena, tas,; dari yang dilihat/dibaca misal, gejala alam, perubahan social, politik, budaya, TV, koran, majalah, buku,; dari yang didengar, musik, gaya bicara, bahasa dan masih bayak lagi. Sebagai daya sentuh motifasi. Dengan begitu anak dengan kesadarannya akan mulai memahami dan terbuka wawasannya, bahwa seni/sastra memiliki peran yang sama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Berkarya seni/sastra perlu keahlian dan kesadaran yang dalam, untuk itu perlu belajar ilmunya.
Kedua: bagaimana belajar berkarya seni/sastra? Berkarya seni/sastra, berarti belajar berekspresi, belajar mengungkapkan perasaan. Tidak semua orang dapat mengungkapkan perasaan. Sehingga perlu belajar dan latihan yang kontinu. Mulai dari hal-hal yang sangat sederhana atau barangkali tidak “bermakna”. Diharapkan dengan latihan tersebut, mereka juga belajar memahami, mencintai dan menghargai karya seni/sastra. Terpenting mereka mulai belajar membaca. Baik itu membaca lingkungan sekitarnya, atau membaca karya seni orang lain. Dengan membaca tersebut anak belajar memahami, mencintai, dan menghargai lingkungannya sekaligus memahami, mencintai orang lain. Artinya mereka kita ajak untuk memiliki pendirian, sebab berekspresi atau mengungkapkan perasaan sama saja dengan belajar mengungkapkan pendapatnya.
Selanjutnya, bagaimana mengakui eksistensi (kehadiran) karya seni/sastra yang diproduksi anak didik? Dalam hal ini menanpung pendapat. Penampungan berupa sarana atau media dari hasil berekspresi: di sekolah biasanya memiliki majalah dinding (Mading). Sarana sederhana untuk penampungan karya seni/sastra. Dengan demikian kehadiran karya seni/sastra anak bisa dinikmati oleh anak-anak lainnya. Di samping itu frekuensi berkarya anak dapat diketahui, antara anak yang aktif dan berkualitas. Lebih lanjut, karena Mading merupakan media yang rapuh, sesaat dan tidak bisa dijadikan dokumentasi yang otentik. Maka sebaiknya dibuatkan lagi media yang bisa dimiliki dan dinikmati oleh anak yang lebih fleksibel. Misal, difotokopi dan dibundel, bagi yang ingin memilikinya dapat digandakan, lalu beberapa disimpan di perpustakaan sebagai bukti eksistensi. Setiap tahun dan setiap kelas akan menggoreskan sejarah pendapatnya ke dalam karya seni/sastra yang terdata dengan baik.
Di sinilah memulai proses pematangan jiwa, motifasi, dan berkarya anak. Sehingga muncul percaya diri yang tinggi serta tumbuh kesadaran murni dalam berekspresi dan berkreasi karya seni/sastra. Bagi anak-anak yang kreatif tentunya. Bukan kesadaran palsu, yang paksakan karena adanya tekanan tugas sekolah. Mereka tidak akan memperdulikan lagi nada sumbang yang mendiskreditkan dengan kegiatan seni/sastra.
DEMONSTRASI SENI DEMOKRASI
Jajang R Kawentar
Demonstrasi menentang invasi Amerika ke Irak terus berkibar. Demonstrasi tersebut ada yang mendukung, ada juga yang anti dan ada yang memanfaatkan demonstrasi untuk mencari popularitas (eksistensi), supaya media massa meliputnya, bahwa si Polan atau kelompok Babibu sebagai pelopor aksi. Berarti ada kepentingan lain dibalik topeng demonstrasi.
Perlukah demonstrasi, mengatakan anti Amerika lalu merusak bangunan atau mengganggu ketertiban dan kenyaman masyarakat, yang notabene warga kita. Benarkah masyarakat kita masih saja mau diadu domba oleh kepentingan (siapa?). Sesungguhnya dengan adanya demonstrasi menentang Amerika ada juga kepentingan saudara, sahabat, keluarga dan tetangga kita yang di rugikan. Mungkin karena pekerjaannya terancam, atau usahanya berantakan. Sementara kita tahu pengangguran terus bergelimpangan, siapa yang mau memberi pekerjaan. Tetapi coba instropeksi diri, apakah kita, keluarga kita, tetangga kita saudara kita masih menggunakan, memakan, meminum berbagai produk dari Amerika? Kalau saja tetangga, keluarga, saudara kita, bahkan diri kita, masih bangga dengan produk Amerika lebih baik tidak usah demonstrasi. Apalagi berkoarkoar anti Amerika tetapi celana jeans yang digunakan buatan amerika, setelah itu minum minuman produk Amerika. Bukan lagi demonstrasi anti Amerika tetapi justru sebaliknya, demonstrasi mendukung Amerika. Perlu kita tahu bahwa pemerintahan Presiden Soekarno runtuh karena Amerika.
Sebaiknya kita berdemonstrasi pada diri kita, tetangga, keluarga, saudara kita, yang masih menggunakan, memakan, meminum berbagai produk Amerika, Bagaimanapun uang pembelian dari produk yang kita beli, sedikit banyak digunakan untuk menteror negara-negara yang tidak berdosa. Seperti halnya Irak, jangan-jangan setelah itu negri kita yang di serang.
Betulkah kita berdemonstrasi anti Amerika? Mengapa dulu kita ikut mengecam Imam Samudra cs., sebagai teroris, padahal mereka juga anti Amerika? Siapa teroris itu? Mari kita periksa bahwa produk pakaian, kosmetik, makanan, obat-obatan, kondom, sikat gigi, odol, sabun, minyak rambut, alat elektronik, mesin, olie, sepatu, korek api, uang dolar, yang kita gunakan di rumah semuanya itu bukan Amerika punya. Produk-produk itu ada yang langsung di import, mungkin pabriknya di Indonesia dan mungkin juga hanya lisensinya.
Sampai sekarang aksi menentang Amerika terus berhamburan, ibu-ibu, bapak-bapak, anak, remaja, dan termasuk yang berdemonstrasi anti Amerika itu menggandrungi produknya. Bahkan kalau tidak mengenakan atau memakan makanan dan meminum minuman berlabel USA, atau mengkonsumsi obat buatan Amerika tidak bergengsi. Label USA menjadi symbol popularitas, prestise, dan gaya hidup kontemporer. Sampai-sampai pemerintah kita juga meminjam dana demi terwujudnya pembangunan Nasional, yang katanya untuk kesejahteraan rakyat. Mampukah kita menghentikan mengkonsumsi atau menggunakan produk Amerika?
Selama ini demonstrasi dianggap media yang paling akurat mencapai sasaran untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, kekecewaan atau dukungan atas kebijakkan yang diciptakan oleh negara, pemerintah, perusahaan, lembaga, dan pribadi. Apakah benar berdemonstrasi turun ke jalan itu efektif, atau hanya akan menghabiskan energi, sementara hasilnya nihil, dan Amerika tidak akan menggubris suara rakyat yang kaya tapi miskin seperti Indonesia, yang selama ini masih menetek di ketiak Amerika (?).
Tetapi demonstrasi itu penting sebagai media ekspresi dalam demokrasi. Setiap demonstran berekspresi dan berkreasi untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya, kekecewaannya, atau dukungannya dengan berbagai “bahasa”. Sehingga dalam demokrasi muncul seni demonstrasi.
Minggu, 23 Agustus 2009
FESTIVAL SENI DAERAH HANYA KAMUFLASE
FESTIVAL SENI DAERAH HANYA KAMUFLASE
Jajang R Kawentar
Mengadakan sebuah festival seni bagi pemerintah daerah sepertinya menjadi kebanggaan, karena dapat menyuguhkan berbagai bentuk kesenian dari berbagai daerah yang diundang atau yang mengikutinya. Lalu apa sebenarnya manfaat yang dapat diraih atau dinikmati masyarakatnya. Tentunya masyarakat mendapatkan hiburan secara gratis, dan beberapa penontonnya dapat menilai penampilan terbaik atau membedakan berbagai bentuk kesenian dari daerah lainnya. Namun perlu diketahui tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan untuk mengadakan sebuah festival, hanya sekedar ingin menunjukkan keadaan daerah atau kemampuan suatu daerah mengadakan pertunjukan seni secara luas seperti yang dilakukan di daerah lainnya.
Festival seni menjadi sebuah proyek untuk kebanggaan pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait. Akan tetapi masyarakat daerah sendiri tidak banyak terlibat dalam acara ini. Boleh dihitung berapa jumlah penonton yang bukan dari keluarga pemain, dan berapa orang yang berada di luar dari komunitasnya. Dimanakah nilai keberhasilan dari kegiatan festival tersebut.
Bagaimanapun bagusnya sebuah festival diadakan, atau seberapapun meriahnya sebuah festival diadakan tanpa dilandasi dengan pengetahuan dan pendidikan seni dari masyarakatnya maka festival itu hanya sekedar hiburan seperti halnya pertunjukan organ tunggal yang marak di masyarakat. Setelah selesai festival biasanya meninggalkan berbagai permasalahan baru dalam tubuh kesenian, panitia, serta pesertanya. Apalagi dalam acara festival ada permainan kotor dalam penilaiannya.
Festival merupakan tahapan dimana masyarakat memerlukan adanya sebuah pesta seni, yang didorong oleh kebutuhan masyarakat untuk berekspresi karena masyarakat menjalani kehidupan berkesenian dalam kesehariannya. Bukan karena kepentingan satu kelompok sanggar atau kepentingan dinas. Sebuah festival harus memiliki akar yang kuat di masyarakat, sehingga dengan adanya festival tersebut kehidupan masyarakat dalam berkesenian semakin kuat, bahkan semakin berkembang.
Jadi sesungguhnya pemerintah semestinya merancang bagaimana menyelenggarakan pendidikan seni sejak dini terhadap anak didiknya mulai dari tingkat kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Umum dan memfasilitasi masyarakat terhadap kebutuhan sarana serta prasarana kesenian. Dengan demikian setiap kegiatan kesenian tidak hanya melibatkan dinas terkait, akan tetapi terdiri dari berbagai unsur masyarakat berpartisipasi atau dilibatkan. Karena kesenian sudah menyangkut kebutuhan orang banyak, bukan hanya kepentingan pemerintahan sebagai prestise saja. Kesenian tidak hanya menjadi sesuatu yang eksotis tetapi tidak juga sesuatu yang eksklusif terutama seni tradisi yang semakin lama ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Apabila pemerintah memiliki visi tentang kebudayaan terutama seni daerahnya, maka yang menjadi program utamanya bagaimana generasi penerus itu sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas diberikan pendidikan seni atau pengetahuan tentang seni budaya daerahnya. Sehingga para anak didik tidak keluar dari akar budayanya. Di samping itu pula pemerintah tidak lagi kebingungan atau kehilangan asset seni budayanya yang tidak bisa diukur dengan uang.
Asset seni budaya daerah merupakan jati diri daerah itu. Apabila pemerintah tidak segera mengutamakan seni budaya daerahnya atau mengabaikan keberadaan seni budaya itu, maka masyarakat akan semakin kehilangan arah dalam mengacu perkembangan budayanya dan kehilangan sejarah budayanya.
Kita ketahui tidak sedikit karya seni budaya daerah yang punah. Masyarakat tidak lagi mengenali lagi keseniannya, terutama para remaja. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah tidak segera memikirkan bagaimana seni budaya itu berkesinambungan. Hal ini terjadi diakibatkan karena sumber daya manusianya tidak sejak dini dikenalkan kepada seni daerahnya. Paling tidak pendidikan di sekolah dan di luar sekolah diajarkan kesenian, baik itu seni budaya daerah maupun perkembangan pengetahuan tentang seni budaya terkini.
Beberapa unsur seni yang berkembang di daerah itu seperti seni tari, teater, sastra, seni rupa atau kerajinan tangan dan seni musik membutuhkan perhatian pemerintah untuk merevitalisasinya. Sebaiknya setiap kepala daerah memberdayakan Dinas Pariwisata dan Budaya, serta Dinas Pendidikan dalam mengolah seni budaya daerah agar tidak serta merta disingkirkan oleh budaya global.
Dinas Pariwisata dan Budaya diharapkan dapat mengelola karya seni budaya masyarakatnya. Jadi program Dinas Pariwisata dan Budaya harus terus berusaha memfasilitasi masyarakat seni, mengembangkan, memasyarakatkannya dan menggalakkan kembali kesenian daerah. Di setiap daerah kecamatan sampai ke tingkat RT kalau bisa dibentuk komunitas seni. Apabila hal ini sudah bisa dilakukan yakinlah kalau daerah itu tidak akan kekeringan oleh aktifitas kesenian. Masyarakatpun akan bersaing untuk menampilkan hasil karyanya yang terbaik dan melakukan pemeliharaan terhadap seni budayanya dengan sendirinya. Dengan demikian akan ada pertumbuhan seni budaya daerah yang lebih kondusif. Bukan hanya orang yang sama dalam setiap penampilan kesenian, yang berada dalam bimbingan dinas terkait.
Sesungguhnya perlakuan istimewa itu akan menyebabkan pembusukan terhadap seni budaya itu sendiri. Karena akibat dari itu membuat para pekerja seni lain yang tidak diberdayakan akan muncul kekecewaan dan yang disayangkan mematahkan semangat berkaryanya.
Sebab orang-orang yang berkesenian tidak melulu orang yang itu-itu saja, tentunya ada yang lain yang lebih muda dan lebih energik. Sepantasnya regenerasi itu terus dilakukan guna mengisi kekosongan ruang dan waktu dalam berkarya serta atas nama kelangsungan hidup kesenian itu ke muka.
Tentu dalam memperjuangkan seni budaya daerah ini tidak dapat berjalan sendiri, akan tetapi harus ada dorongan secara berkelanjutan. Dunia pendidikan menjadi salah satu alat yang akan memotifasi agar seni budaya daerah itu terus berkibar. Tanpa adanya motifasi dari dalam pendidikan anak sejak dini maka generasi penerus tidak ada yang mengetahui, terlebih mencintai hasil karya seni budaya masyarakatnya. Seandainya pemerintah mau melakukannya tidak akan sulit untuk mendapatkan masyarakat yang lebih menghargai seni budayanya. Sehingga makna dari festival seni akan sangat terasa manfaatnya bagi masyarakat, tidak hanya kamuflase dari romantisme berkesenian semata.
DKSS PENUH INTRIK
DKSS PENUH INTRIK
Jajang R Kawentar
Di tengah intrik yang terjadi dalam peristiwa Musyawarah Dewan Kesenian Se-Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh panitia musyawarah di Hotel Paradise pada tanggal 24-25 Januari 2009, menjadikan bertambahnya catatan buram dalam tubuh Dewan Kesenian.
Bagaimana seorang Zulkhair Ali sebagai ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) masa bakti 2008-2013 yang ditetapkan oleh Gubernur Prof. dr. Mahyuddin NS . Sp. OG (K) pada tanggal 29 Oktober 2008 berkata di depan sidang terhormat pada 24 Januari 2009 bahwa dirinya bersedia menjadi ketua DKSS namun ia tidak bersedia kalau ada pemilihan ulang ketua dewan tersebut.
Beberapa anggota musyawarah utusan daerah dan tim peninjau bahkan dari beberapa panitia mempertanyakan pernyataan Zulkhair Ali. Sejalan dengan semangat demokrasi yang diusung dalam acara tersebut. Hal ini sebagai upaya menyangkal sikap arogan seperti musyawarah yang dilakukan DKSS beberapa waktu lalu di hotel Swarna Dwipa.
Mereka menyatakan bahwa Dewan Kesenian Daerah (DKD) tidak ada hubungan secara hirarki dengan DKSS. Pernyataan dari utusan daerah cukup beralasan kalau mereka sesungguhnya hampir tidak perduli dengan keberadaan DKSS. Siapapun ketua DKSS tidak ada pengaruh bagi DKD. Karena selama ini DKSS tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi Dewan Kesenian di daerah.
Sebungan dengan Dewan Kesenian Daerah tidak ada hubungan secara hirarki dengan DKSS, muncul pertanyaan, mengapa Ketua DKSS harus dipilih oleh utusan dari DKD. Sementara ketua DKD sendiri dipilih oleh seniman yang berada di daerah atau dipilih karena kebijakan pemerintah daerah serta dikukuhkan oleh kepala daerah. Bukankah seharusnya ketua DKSS dipilih oleh seluruh seniman yang berada di wilayah Sumsel.
Kenyataannya musyawarah Dewan Kesenian Se-Sumatera Selatan mengantarkan Zulkhair Ali kembali menjadi ketua DKSS, hal ini karena banyak yang memungkinkan dirinya menjadi ketua DKSS. Sebetulnya kemungkinan itu juga sama besarnya dengan permasalahan yang akan muncul kemudian, seperti umumnya sebuah scenario dalam setiap pemilihan ketua organisasi masyarakat yang sudah besar.
Dalam surat undangan yang dikirim panitia musyawarah Dewan Kesenian Se-Sumsel ini ternyata berbeda dengan bunyi suratnya. Hal ini terungkap saat utusan dari DKD Prabumulih dan Ogan Ilir di depan sidang bahwa undangan yang diterimanya menyebutkan “Musyawarah Seniman Se-Sumsel”, bukan musyawarah “Dewan Kesenian Se-Sumsel” seperti yang tertera di spanduk kegiatan tersebut.
Perserta musyawarah juga mempertanyakan adanya pemilihan Ketua DKSS ulang, sehingga membuatnya tambah bingung. Hal ini melegalisasikan kekuatan suara beberapa orang utusan dari kabupaten kota terhadap ketua DKSS. Bukankah sesungguhnya ketua DKSS dipilih oleh seluruh seniman Se-Sumsel, karena ketua dewan merupakan representasi dari kekuatan seluruh suara seniman, dan ketua DKSS harus mempertanggungjawabkan setiap kegiatannya terutama kepada seluruh seniman dan masyarakat umum, tidak hanya kepada utusan dari setiap DKD.
Apabila ketua DKSS dipilih oleh utusan dari DKD maka ada garis kerja yang terstruktur, barangkali salah satu contoh Ketua DKD dilantik dan dikukuhkan oleh ketua DKSS, tidak oleh kepala daerahnya. Bahkan termasuk dalam pembiayaan setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh DKD.
Peserta musyawarah dari daerah mensinyalir adanya kepentingan dari sekelompok orang terutama dari mereka yang berada di Palembang . Mereka khawatir dengan banyaknya tanggapan dan usulan dari panitia serta peninjau yang mendominasi setiap persidangan. Namun baik peninjau maupun panitia menjelaskan, kalau peristiwa ini merupakan pembelajaran dalam era keterbukaan, dan kemerdekaan berpendapat (demokrasi) untuk mencapai kesepakatan yang lebih menguntungkan berkesenian
Peserta musyawarah dari daerah tampaknya kurang antusias mengikuti kegiatan ini. Karena memang suasananya berbeda seperti kegiatan musyawarah-musyawarah sebelumnya yang pernah dilaksanakan DKSS, kali ini lebih ulet dan sering terjadi ketegangan dalam mengungkapkan pendapat. Peserta musyawarah dari Ogan Komring Ilir mengungkapkan kekhawatirannya ketika menghadapi peserta musyawarah yang dengan suara lantang menyangkal pendapat dari peserta lain.
Namun ada peserta yang mengalir saja mengikuti gerakan yang berkembang dalam musyawarah tersebut. Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa mereka sesungguhnya kurang perduli dengan apapun yang nantinya terjadi di tubuh DKSS. Tidak sedikit seniman atau pengurus DKSS yang dikecewakan karena peristiwa Musyawarah Dewan Kesenian Se-Sumatera Selatan ini, karena struktur kepengurusan dirombak. Sebelumnya terdiri dari komite-komite, kini memakai sistem Deputi yang terdiri dari 9 Deputi. Pejabat dari sembilan Deputi ini semuanya baru, namun bukan baru dalam berorganisasi, sudah malang melintang di dalam berorganisasi.
Dari 9 Deputi inilah seluruh seniman berharap DKSS ke depan akan menjadi lebih baik. Dapat memberdayakan seniman, dapat menghidupkan kembali dunia berkesenian di Sumsel. Meskipun seniman tidak bergantung terhadap DKSS, sebab dengan sendirinya seniman hidup karena semangat berkaryanya.
SENI UNTUK PEREMPUAN
SENI UNTUK PEREMPUAN
Jajang R Kawentar
Menurut penelitian pada tahun 90-an, di Asia termasuk Indonesia, menunjukan bahwa jumlah perempuan yang mengalami stres dan depresi lebih banyak dibanding laki-laki dengan rasio 2:1. apakah pada tahun 2000-an ini berkurang atau cenderung bertambah? Belum ada teori ilmiah yang dapat menjelaskan kenapa demikian. Hal itu diperkirakan karena sikap dan tuntutan masyarakat yang didominasi laki-laki terhadap posisi dan peran perempuan di negri timur. Di sini perempuan harus kawin, beranak pinak, harus sukses dalam karier sekaligus sukses menjadi ibu rumah tangga, dalam pembinaan keluarga, tak boleh selingkuh, harus dapat merawat anak-anak yang sakit sekaligus pula suami dan mertuanya yang manja, harus dapat mengatur jatah gaji suami guna kebutuhan hidup sebulan, serta tetek bengeknya.
Perempuan juga mesti aktif dalam kegiatan sosial seperti mengikuti arisan, PKK dan bertanggung jawab bila anaknya kurang gizi. Ditambah lagi dengan godaan-godaan dari lingkungannya, terutama dampak iklan komersial dari TV dan media lainya yang sangat rentan terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Perempuan harus mampu menahan harapan serta keinginan-keinginannya di luar kemampuan laki-laki atau suami. Perempuan jangan terlalu banyak permintaan, cukup di rumah, tidak usah refresing, jalan-jalan, minta pulang kampung, jajan model atau bakso, perempuan harus manut nunut. Coba kalau laki-laki diperlakukan seperti itu. Stres juga kalu tidak gila.
Dengan keadaan yang memprihatinkan seperti ini, tidak sedikit perempuan yang tidak kuasa dalam kekakangan atau kungkungan laki-laki. Akhirnya mereka memilih jalan keluar dengan caranya masing-masing. Umpamanya, bercerai, memilih untuk hidup sendiri, berusaha tidak mencintai laki-laki tetapi mencintai perempuan sebagai teman hidup, semua itu merupakan jalan keluar perempuan untuk menghindari konflik dengan makhluk yang namanya laki-laki. Apakah setelah menemukan pilihan-pilihan hidup tersebut konflik itu akan lenyap?
Sehubungan dengan permasyalahan tersebut, seni menjadi metode alternatif terapi dengan cara pendekatan melalui berkreasi lewat karya seni.
**********
Bila setiap insan dapat mengekspresikan dirinya dan mampu mengambil hikmah terhadap konflik-konfliknya sendiri, ia akan mempunyai kepribadian yang utuh dan matang. Karena dalam berekspresi akan mengeluarkan segala sesuatu yang sedang dialami dan apapun yang dirasakan itu akan secara bersamaan keluar melalui karya tersebut. ketika menemukan kepuasan dalam berkreasi akan menimbulkan rasa percaya diri, dan meraih pengalaman estetik dan spiritul baru. Berdasarkan konsep inilah seni dikembangkan sebagai terapi kejiwaan di bidang psikiatri. Penciptaan karya seni dapat berfungsi sebagai terapi psikis bagi siapa saja, tidak ada manusia yang tidak pernah mengalami stres dan konflik selama masih hidup di bumi ini. Apakah metode ini dilakukan juga di rumah sakit jiwa yang ada di Palembang sebagai media penyembuhan pasiennya?
Sigmund Freud, beberapa puluh tahun yang lalu telah menulis, bahwa: Mencipta karya seni merupakan dorongan Eros (instink kehidupan) dan dorongan Thanatos (instink kematian) demi tercapainya prinsip kenikmatan, dan ini merupakan kepuasan batin. John Naisbitt dan Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000 mengatakan bahwa seni semakin memasyarakat. Mereka menyebutnya “dasawarsa renaissans” dalam seni. Tentunya semakin memasyarakatnya seni dalam kehidupan akan dapat membuka wacana baru tentang kegunaan lain dari seni. Seni tidak hanya melulu sebagai sarana untuk mendapatkan hiburan bagi penikmat atau kolektor seni atau sebagai media untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, serta persepsi seseorang bagi penciptaan karya seni. Di samping itu seni dapat digunakan sebagai terapi bagi penderita kejiwaan.
Coretan, gerak, beat, intonasi dan ungkapan perasaan yang penuh gairah, kegembiraan, semangat, adalah dorongan Eros, dan yang merana, kehancuran, keterasingan, depresif, adalah dorongan Thanatos. Karya seni dimaksud merupakan ekspresi dorongan bawah sadar, memori, alam perasaan dan proses pikir manusia; dengan sendirinya seni merupakan gumpalan kristal dari endapan-endapan tematik dan konflik-konflik yang dialami manusia, sehingga manusia bisa tersenyum melihat konflik dan dirinya sendiri.
Dalam hal ini orang yang depresi memungkinkan menghasilkan sebuah karya yang “gila”. Seperti kata dramawan Rendra bahwa untuk sebuah karya yang monumental, dibutuhkan kefrustasian yang sangat besar. Kefrustasian adalah stres dan goncangan jiwa. Itu sebabnya proses penciptaan karya seni bisa menjadi terapi psikis.
**********
Mereka yang dikatakan pernah menderita gangguan jiwa Euforia adalah Nietzsche; banyak orang yang menertawakan ide-idenya. Tetapi ia terus menulis dan berfikir karena dia menulis bukan untuk zamannya melainkan untuk abad berikutnya. Van Gogh, juga menderita gangguan jiwa berat Skizofrenia dan Salvador Dali pelukis surealis itu mengidap sindrom Paranoia, namun mereka mampu menciptakan karya seni yang tiada duanya di dunia ini. Begitu juga Edgar Allan Poe pengarang puisi dan prosa terbesar Amerika, pada masa hidupnya ia kurang banyak dimengerti orang, bahkan sering dihina dan dianggap gila. Apakah anda berada diantara mereka yang telah terganggu jiwanya menjadi orang top dunia, dan karyanya diperhitungkan milyaran orang?
Kalau kita merujuk kepada pendapat Rendra di atas, maka kesempatan mengembangkan bakat terpendam bagi perempuan akan semakin terbuka lebar. Bisa jadi kaum perempuan usahawan atau para pegawai di bawah dan di atas, bahkan kaum buruh, pedagang, para gelandangan dan berbagai lapisan masyarakat, semua berpotensi menggeluti penciptaan karya seni, kapanpun, di manapun, dapat dilakukan ketika jiwa merasa terganggu. Mengekspresikan segala pikiran dan perasaan yang mengganjal, berarti mengurangi kadar dari gangguan kejiwaan kita. justru bagi sebagaian seniman atau pekerja seni mereka akan selalu mencari masalah guna referensi dalam setiap karya-karyanya. Karena masalah itulah seniman menemukan segudang karya dan akan menjadikannya sebagai manusia yang berada di tengah masyarakatnya.
Alangkah bijaksananya apabila kita menyiapkan alat dan bahan atau media untuk mengekspresikan gagasan-gagasan segar dan orsinil kita. Misal, pena, kertas untuk mencipta karya sastra: puisi, cerpen, novel, prosa, pantun; kanvas dan cat untuk melukis atau menggambar, menata taman di halaman, bernyanyi, main musik dan masih banyak lagi. Seandainya kegiatan terapi ini rutin dilakukan, tentunya kita tidak akan kesulitan atau kekurangan para pelukis, pemain musik, sastrawangi, dan sebagainya perihal seni. Barangkali apresiasi seni kita pun akan terus dinamis, dan apabila jumlah perempuan yang mengalami stres dan depresi lebih banyak dibanding laki-laki, tentunya akan banyak perempuan sebagai pekerja seni. Tetapi kenyataannya pekerja seni perempuan di Indonesia satu dua saja. Bagaimana dengan pekerja seni perempuan di Lahat?Gadis Pagaralam Disekap Preman Di Hutan Tepian Lematang
Gadis Pagaralam Disekap Preman Di Hutan Tepian Lematang
Jajang R Kawentar
Di tengah isu tentang perselingkuhan para pejabat di negri ini, Teater Gaung bersama dengan Komunitas Batanghari 9 (Kobar 9) akan mempersembahkan pertunjukan teater tentang kisah seorang anak perawan dari Dusun Pagaralam yang disekap oleh segerombolan preman di hutan tepian Sungai Lematang. Sungai ini berada di antara daerah Pagaralam, Lahat dan Muara Enim. Ketiga daerah tersebut merupakan kota tua, sehingga memungkinkan terjadi perampokan atau penculikan dalam melakukan perjalanan karena hutannya lebat dan jalan yang bekelok-kelok serta terjal.
Bagaimana cerita ini bisa digarap yang apik dan menarik menjadi sebuah pertunjukan oleh kelompok teater Gaung, kelompok teater yang cukup eksis di kota Palembang dan tidak hanya menampilkan anggotanya baru tetapi juga mengerahkan kemampuan anggotanya yang lama diantaranya, Darto Marelo, Efvhan Fajrullah, Teguh Ireng, Sonop, Erwin Jnim, Hapy Hayo, dan Dedek Sutrisno (Ndet) sebagai tokoh Mendasing pimpinan dari Penyamun. Pementasan teater yang disutradarai Amir Hamzah Arga ini diadabtasi oleh Vebri Al Lintani direktur Kobar 9 dari novel karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun.
Novel yang ditulis tahun 1930 ini merupakan cerita bernuansa romantism dalam suasana peperangan serta pergulatan cinta kasih seorang perawan yang diculik oleh segerombolan preman. Konon ceritera ini merupakan kisah nyata. Ketika tokoh perawan sedang beristirahat dalam perjalanan dari Palembang menuju Pagaralam, tepatnya di Lematang Indah saat ini tempat wisata, sebelum Endikat tanjakan yang paling terjal dan berkelok-kelok. Dalam peristiwa penculikan tersebut beberapa pengikut dan ayahnya binasa dibabak bingkaskan preman yang di pimpin Mendasing.
Uniknya dari pementasan ini Vebri Al Lintani mengusung seni tradisi seperti Tadut, Guritan, dan Rejung. Hal ini menjadi bumbu dalam hiruk-pikuknya budaya populer, dan mngajak penonton untukmerenungkan kembali serta menyimak masa lalu di sebuah dusun masa lampau. Apalagi aktor pendukung yang sudah cukup berpengalaman, sehingga betul-betul suasana masa lampau itu hadir.
Teater Gaung bekerja sama dengan Komunitas Batang Hari Sembilan (Kobar 9) dan diiringi ilustrasi musiknya oleh Orkes Rejung Pesirah dan didukung Bank Sumsel mitra anda membangun daerah. Pementasan teater yang bertajuk Gadis Perawan di Sarang Penyamun ini akan dilaksanakan pada 29-30 Mei 2009 secara berturut-turut. Dalam sehari 2 kali pementasan, untuk pelajar dan mahasiswa jam 14.00 WIB, umum dan kelas VIPjam 19.30 WIB bertempat di RRI Palembang. Tahun 2008 pementasan dengan ceritera yang sama pernah dipentaskan di Pusat Bahasa pada peringatan Bulan Bahasa dan dihadiri ratusan siswa serta tamu undangan dari berbagai daerah.
Pertunjukan teater kali ini betul-betul manifestasi dari kekuatan sebuah kelompok teater yang sampai saat ini masih terus eksis di dalam suasana morat-maritnya manajemen teater yang ada di kota Palembang khususnya dan Sumatera Selatan pada umumnya. Dengan hadirnya teater Gaung dapat mementaskan Gadis Perawan di Sarang Jabalan ini maka sebuah bukti dari kebangkitan perteateran di Sumsel, atau kmatangan manajemen yang dikelola oleh Vebri Al Lintani.
Vebri Al Lintani sebagai manager produksi pementasan ini ketika berbincang dalam suasana latihan mengatakan sudah ada beberapa pejabat yang memesan tiket untuk menonton pertunjukan terater tersebut. Tentu ini sebuah kemajuan dalam dunia pertunjukan teater, mungkin karena pemikiran para pejabat sekarang yang mulai terbuka mengenai hiburan alternatif dan relatif segar, mendidik dan berkualitas. Memang ada saja pejabat yang peduli, memiliki kecintaan terhadap seni dan memiliki wawasan serta citarasa yang tinggi terhadap budayanya.
Tentu harapannya bahwa masyarakat bisa menyaksikan bagaimana sebuah kisah cinta dan perjuangan yang terjadi di antara Lahat dan Pagaralam dapat terekam dengan baik, sehingga menjadi sebuah cerita ulang kembali bagi genrasi selanjutnya. Beberapa kawan dari komunitas Gending dari Muara Enim telah siap mengerahkan anggotanya serta anggota keluarganya untuk menyaksikan Gadis Perawan di Sarang Jabalan pada saatnya nanti.
Teater Gaung yang sayup-sayup gaungnya kini mulai berbenah dengan manajemen Kobar 9, diharapkan dari berbenah ini memberikan perubahan juga dalam dunia teater di Palembang. Sesungguhnya hal inilah salah satunya yang diharapkan dari kehidupan kesenian, bisa menghibur dan menyikapi berbagai perkembangan jamannya. Apakah gerakan ini hanya harena terpaan angin, atau dimulai dari kerinduan yang telah lama diimpikan kawan-kawan seniman. Angin-anginan atau timbul tegelam karena tidak kondusifnya berkesenian serta tidak adanya kepercayaan masyarakat Palembang terhadap kesenian yang muncul dari lingkungannya.
Menurut beberapa informasi keadaan yang tidak kondusif dalam berkesenian itu karena SMOS (Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang). Sehingga bagaimanapun baiknya pementasan dan siapapun yang pentas kebanyakan orang tidak perduli. Akan tetapi saya yakin kali ini tidak ada SMOS itu, sebab kebaikan itu untuk semua. Keberhasilan teater Gaung adalah kemajuan bagi teater di Sumatera Selatan
Apabila pementasan ini terlaksana maka menurut Vebri, teater Umum pertama yang menjual tiket bagi penontonnya setelah belasan tahun tidak ada pentas teater yang menawarkan tiket. Pada 1991 terakhir teater yang menjual tiket pementasan yaitu Teater Potlot yang mementaskan Wong-Wong karya dan Sutradara Anwar Putra Bayu. Adapun pementasan-pementasan yang ada selama ini semuanya tanpa bayar. Namun untuk Teater Gabi FKIP Universitas Sriwijaya pernah juga mementaskan naskah Wek Wek selama dua hari pada 2002 di Bukit Besar dengan menjual tiket untuk penontonnya dan cukup banyak orang yang antusisas, menurut Surono mantan Ketua Teater Gabi.
Teater Gaung berdiri 14 Oktober 1992, tentu bukan waktu yang sebentar dalam mengolah sebuah kelompok. Banyak pengalaman yang pernah dilakukannya, mulai dari pementasan hingga berbagai kegiatan kesenian lainnya. Berbagai macam penderitaan baik dalam pementasan dan kegiatan seni sudah cukup, pahit getirnya berteater sudah cukup puas. Apakah dengan tampilnya kini mereka tinggal menghirup kuahnya atau mengecap manisnya. Tentu bergantung kepada mereka semua apakah masih membudayakan SMOS itu atau betul-betul menggunakan manajemen terbaiknya.
Keberhasilan pementasan ini tidak lepas dari keterlibatan Kobar 9, sebuah komunitas seniman yang perduli dengan seni budaya tradisional Sumatera Selatan. Kebetulan saya ikut membidani lahirnya Kobar 9 ini 3 Maret 3003. Semoga Sukses terus!
MENENGOK PEMBINAAN DUNIA KESENIAN DI DAERAH
MENENGOK PEMBINAAN DUNIA KESENIAN DI DAERAH
Jajang R Kawentar
Apabila melihat beberapa permasalahan berkesenian di daerah hampir tidak jauh beda dengan daerah lainnya. Intinya berkesenian adalah pada pembinaan. Memang munculnya seorang seniman atau seorang pecinta seni itu tidak selonong boy begitu saja: datang, ada dan jadi. Tetapi ada yang namanya proses untuk menjadikan (seniman, pekerja seni, pecinta seni). Untuk menjalani proses menjadikan seseorang kepada yang dimaksud, ini dinamakan istilah pembinaan. Dalam istilah pembinaan itu ada yang namanya, pengkaderan atau pembibitan (baca: memberikan wacana, wawasan seni), pelatihan (workshop) karya, kritik karya, memberikan sarana yang bisa menampung hasil karyanya (outlet); berupa pementasan atau publikasi teks karya, di samping itu diadakannya kompetisi. Setiap pembinaan harus dilakukan secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dan didukung berbagai pihak. Bagaimana dengan seniman yang melakukan pembinaan terhadap dirinya sendiri yang diakibatkan dari virus mimpi untuk menjadi seorang seniman terkenal, sering kita sebut seniman autodidak.
Menjadi seorang seniman bukan anugerah, atau mukjizat, pasti mewarisi sifat-sifat dan kebiasaan seniman sebelumnya. Warisan itu diterima bisa dari orang tua, keluarga, orang terdekat, karena membaca teks, atau dari pendidik; baik disampaikan melalui oral, maupun melalui teks. Orang tua dan orang-orang yang mewarisi kesenimanan memberikan sebuah mimpi yang melekat pada alam bawah sadar anak untuk terus menggapainya.
Melekatkan mimpi pada alam bawah sadar ini memakan waktu yang cukup lama. Perlu kesabaran dan ketekunan menemani mereka hingga mereka setuju, sreg atau logis diterima akal sesuai dengan daya pikirnya. Anak sendiri memiliki penilaian yang konstan, terhadap hasil yang didapat dari pembinaan, bukan instan. Sehingga terbentuklah keyakinan dalam diri si anak untuk menekuni bidang seni yang sesuai dengan minatnya.
Pembinaan yang produktif dilakukan tentu bukan pada orang dewasa atau orang tua, akan tetapi pada akar rumputnya yaitu anak usia dini, atau pada usia prasekolah dan usia sekolah dasar, menengah pertama serta menengah umum. Karena pada usia selanjutnya adalah pemantapan mengenai pendalaman proses “menjadi”.
Tidak mudah mengantarkan anak-anak kita memasuki proses “menjadi”, apalagi menjalaninya. Tantangannya cukup rumit. Banyak faktor di sekeliling kita dan di sekeliling anak yang mengompori untuk menggembosi spirit seorang anak menggapai mimpi tersebut. Mimpi yang akan mengantarkan kepada menjadi seniman, pekerja seni, atau pecinta seni. Terkadang penggembosan itu muncul dari lingkungan keluarga, lingkungan rumah dan sistem pendidikan. Orang tua banyak tidak setuju apabila anaknya bergiat di kesenian. Alasannya menjadi seniman itu berarti menjadi gembel. Disamping itu tidak sedikit tetangga, atau kawan-kawan sebayanya yang mempermalukan, apabila mengikuti kegiatan kesenian, terutama kesenian daerah. Ada istilah gengsi, kuno atau ketinggalan jaman. Ditambah lagi permasalahannya dengan sistem pendidikan kita yang menganaktirikan mata pelajaran kesenian. Pendidikan seni bagi anak didik menjadi tidak penting karena bukan mata pelajaran yang diujian-nasionalkan. Mungkin kalau dihilangkan saja tidak masalah. Gurunya pun sulit dicari di sekolah-sekolah. Boleh di cek berapa sekolah negeri yang sudah memiliki guru kesenian. Sedangkan mata cabang pendidikan seni ada beberapa: seni media rekam (fotografi dan film), seni rupa (lukis, grafis, disain, seni kriya), seni pertunjukan (tari, musik, teater).
Perbandingan antara orang atau lembaga yang memberikan pembinaan dengan orang atau lembaga yang menggembosi, lebih banyak penggembosannya ketimbang pembinaan. Kekuatan produktif melawan kontra produktif itu tidak sebanding, walau begitu isme-isme produktif atau kreativitas seniman sangat berpengaruh terhadap prilaku kontra produktif tersebut.
Apa untungnya pembinaan kesenian dan apa kerugiannya dengan penggembosan? Di samping agama, seni berfungsi juga menghaluskan, rasa dan budi pekerti. Belajar seni dan menjadi pekerja seni dituntut untuk lebih sensitif atau peka terhadap berbagai bentuk peristiwa dan gejala yang terjadi di sekitar lingkungannya, di dalam dan di luar dirinya.
Harus kita akui kreatifitas seni merupkan bagian dari kecerdasan yang dimiliki kita. Tidak semua orang mampu menciptakan sesuatu yang dipikirkan oleh seniman atau pekerja seni, dan tidak semua orang memikirkan apa yang diciptakan seniman. Gagasan seniman dan kreatifitas seniman merupakan bagian dari kecerdasan emosional (EQ): Emotional Question. Kecerdasan yang setara dengan kecerdasan lainnya seperti IQ (Intelektual Question) dan SQ (Spiritual Question). Pada umumnya saat ini masyarakat kita atau orang tua lebih mengutamakan pembinaan IQ saja dan atau SQ saja. Karena kecerdan IQ dan SQ dianggap kecerdasan yang eksklusif, tiada bandingannya, kecerdasan yang mutlak dimiliki setiap orang yang ingin memiliki martabat. Bukan tidak mungkin hal ini disebabkan oleh faktor keterbatasan pemahaman ilmu pengetahuan atau pemikiran yang kolot, atau cara pandang orang menggunakan kacamata kuda. Untuk itu kecerdasan EQ dilirik sebelah mata.
Masyarakat kita memandang setiap pembinaan akan berakhir bagaimana seseorang mendapat pekerjaan. Karena yang dinilai dan bernilai pendapat awam adalah yang berhubungan dengan IQ dan bagaimana SQ-nya. Begitupun dalam sertifikat pendidikan formal selalu yang diutamakan bagaimana nilai IQ dan SQ. Setiap pembinaan atau pendidikan selalu yang diutamakan bagaimana nilai yang tertera di sertifikat. Bukan sejauhmana kemampuan dan keahlian apa yang telah dimiliki anak. Karena membubuhkan sebuah nilai sangat mudah, memiliki kemungkinan untuk dikorup. Tetapi kemampuan atau keahlian akan tampak dari hasil karya atau kreatifitas yang diciptakannya.
Sabtu, 22 Agustus 2009
SASTRAWAN SEBAGAI AGEN PENCITRAAN
Jajang R Kawentar
Keberadaan sastrawan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sangat penting. Sebab sastrawan pada dasarnya merupakan mediator kemajuan bangsa di era komunikasi dan globalisasi. Di tangan para sastrawan perkembangan peradaban bangsa ditentukan, sehingga pada gilirannya mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar untuk membantu proses pembangunan bangsa, (Gubernur Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali).
Setelah Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 sukses diselenggarakan di Provinsi Jambi pada tahun 2008, kini penyelenggaraan TSI II dilaksanakan di Kota Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung . Pemerintah Bangka Belitung dalam hal ini Gubernur Ir. H. Eko Maulana Ali sangat apresiatif terhadap kegiatan TSI II ini. Bahkan ia sendiri ikut meluncurkan sebuah buku dengan karyanya yang bertajuk Gurindam Abad 21: Berkelana Di Padang Fana. Gurindam Abad 21 ini menurutnya kebalikan dari Gurindam 12 karya dari Raja Ali Haji yang merupakan tokoh dari gurindam itu sendiri. Dalam kesempatan pembukaan TSI II di Mahligai Serumpun kompleks perkantoran Pemerintah Provinsi Babel pada Kamis 30 Juli 2009, Gubernur Ir. H. Eko Maulana Ali menyanyikan karyanya tersebut dengan diiringi Orkes Gambus khas Bangka Belitung. Seluruh tamu undangan dan para sastrawan yang hadir sekitar 130 orang yang datang dari berbagai daerah di tanah air, 45 orang dari Bangka Belitung, 16 panelis, ikut bangga atas kepiawaian gubernur dalam bersastra dan menyanyikannya dengan baik.
Gubernur dalam memberikan kata sambutannya membacakan dua buah pantun yang merupakan penghargaan bagi para sastrawan;
Andai tumbuh bunga di laman
Semat pinang mari menari
Wahai tuan para sastrawan
Selamat datang di negeri kami
Jika ke huma membawa pepah
Pepah bertiti berpagar duri
Alamnya indah rakyatnya ramah
Inilah Negeri Laskar Pelangi
Dengan kegiatan TSI II ini Pemprov Babel sangat yakin akan kehadiran sastrawan dari berbagai pelosok Nusantara pasti membawa perubahan dalam image atau identitas Provinsi Babel sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia dan Lada, juga sebuah negeri yang kaya akan seni budaya serta keindahan alamnya. Perubahan atas kehadiran karya sastra ini sudah jelas dirasakan oleh gubernur itu sendiri, menurutnya salah satunya karena buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang laris serta filmnya telah banyak ditonton itu. Diantara pengaruhnya dari 800 pelancong yang datang ke provinsi Babel ini, 2 orang datang ke Bangka dan sisanya datang ke Belitung . Di samping itu tentu kota Belitung menjadi banyak dikenal dan membuat penasaran masyarakat di luar itu. Hal ini merupakan efek dari karya sastra yang menggambarkan keindahan alam Belitung yang eksotis dan nilai-nilai lokal yang mengagumkan. Mulai dari spirit hidup, keramahan dan kecerdasan masyarakatnya tergambar dalam Laskar Pelangi yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Babel , sekaligus semakin menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat Belitung . Sesungguhnya kebanggaan terhadap Laskar Pelangi tersebut tidak hanya ditunjukan masyarakat Babel saja tetapi masyarakat Nusantara umumnya.
Begitu besar pengaruh karya sastra terhadap pencitraan-pencitraan yang diciptakannya. Apalagi diiringi dengan publikasi yang intens tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh berbagai kepentingan yang melingkupinya. Termasuklah penyelenggaraan Temu Sastrawan Indonesia ini. Sebagai upaya pemerintah Babel untuk mensejahterakan masyarakatnya melalui pariwisata. Kepercayaan pemerintah Babel terhadap sastrawan, merupakan bagian catatan sejarah yang abadi. Kapanpun, di manapun dan siapapun akan menuliskannya ulang.
Kegiatan ini sebagai upaya yang efektif dalam menyebarkan pencitraan melalui para sastrawan yang dimiliki kepulauan Babel . Para sastrawan menjadikan agen dalam membangun pencitraan, image, dan identitas daerahnya. Jelas, pencitraan terhadap daerah Babel akan terus mengiringi para pengikut kegiatan ini terhadap kekayaan seni budaya, keindahan alam rayanya dan aspek social kulturnya ketika menuliskannya sebagai kenangan atau sebuah cerita mengenai daerah ini. Kemudian dari penyebarannya akan dirasakan pula oleh berbagai kalangan oleh masyarakat lainnya.
Keputusan atas penyelenggaraan TSI II di Pangkalpinang ini, Pemprov Babel memiliki harapan agar para sastrawan menuliskan pengalamannya selama berada di Pangkalpinang, tentunya karya yang berhubungan dengan Babel . Semakin banyak sastrawan menulis tentang Babel maka pencintraan terhadap Babel berangsur berubah dan Babel akan semakin dikenal seperti juga Laskar Pelangi.
Dengan terlaksananya TSI II tidak lepas dari dukungan nyata yang sangat luar biasa dari Gubernur Babel terhadap perkembangan dunia sastra dan dalam hal ini upaya mendorong para penulis Babel untuk terus berkarya, serta ikut sertanya pemerintah dalam menumbuh suburkan para penulis supaya terus berkiprah. Sebab disadarinya bahwa karya para penulis itu merupakan asset daerah yang sangat berharga dibandingkan dengan sumber daya alam yang pasti suatu saat akan habis, dan hanya akan mewriskan sumber bencana.
Sementara karya sastra sebagai sumber kontrol sosial yang terus akan hidup di tengah-tengah masyarakat yang diwarisinya.
Ternate dan Tanjung Pinang Perebutkan Tuan Rumah
Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II yang di laksanakan di Kota Pangkalpinang Kepulauan Bangka Belitung , 30 Juli – 2 Agustus 2009 lalu. Merupakan hasil keputusan dari TSI I di Jambi 7 – 11 Juli 2008. Saat itu ada dua kota yang menawarkan menjadi tuan Rumah TSI II yaitu Palembang (Sumsel) dalam hal ini diwakili sastrawan Anwar Putra Bayu dan Sunlie Thomas Alexander mewakili Kepulauan Bangka Belitung. Pada kesempatan itu Bangka Belitung lebih siap, dan Sumsel meragukan karena alasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2009 sehingga diputuskan bahwa TSI II 2009 di Pangkalpinang dan TSI III 2010 di Palembang.
Keputusan Palembang akan menjadi tuan rumah TSI III tahun 2010 setelah TSI II di Babel tahun 2009 menjadi kabur, setelah dimusyawarahkan kembali belum ada tanggapan apapun dari pemerintah Sumsel ataupun Palembang dan pihak dinas terkait sampai saat ini. Padahal saat itu Penyair Palembang menyanggupinya untuk menjadi tuan rumah TSI III.
Tetapi bagaimana mengkoneksikannya dengan pemerintah Sumsel kalau tidak ada sedikitpun perhatian terhadap para satrawannya. Bukan berarti kita sebagai sastrawan ingin diperhatikan, hanya itulah perbedaannya dengan daerah lain. Karena ketidak jelasan kesanggupan tuan rumah TSI III maka Tim perumus mengadakan rapat mengajukan daerah mana yang bersedia menjadi tuan rumah mengantikan Palembang TSI III.
Setelah ditawarkan kepada forum, ternyata dari Ternate dan Tanjung Pinang Kepulauan Riau yang siap jadi tuan rumah. Namun tim perumus mengajukan syarat-syarat kepada tuan rumah yang siap dan memberikan kesempatan kepada 2 kota itu memaparkan mengenai kesanggupan daerah tersebut dapat dijadikan tuan rumah
Tim perumus yang terdiri Jajang R. Kawentar (Lahat), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Saut Situmorang (Yogyakarta), Doel CP Alisah (Aceh), Zen Hae (Jakarta), Firdaus (Jambi), Sunlie Thomas Alexander (Babel), Dian Hartati (Bandung), Triyanto Tiwikromo (Semarang), Dewi (Lubuk Linggau) dan Ali Samsudin Arsy (Banjar) Ramayani (Jambi). Saat ini Anwar Putra Bayu penyair Palembang tersebut tidak hadir dalam acara ini.
Dari hasil pemaparan dari Ternate diwakili Dino Umahuk, mengatakan ada respon dari Kepala Daerahnya dan 2 Perguruan Tinggi yang ada di sana siap mendukung TSI III di kotanya Ternate.
Sementara dari Tanjung Pinang Kepulauan Riau yang langsung diwakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Abdul Kadir Ibrahim mengatakan bahwa dirinya sangat berharap TSI III untuk diadakan di kotanya. Seperti kita ketahuai bahwa Walikotanya Suryatati A. Manan adalah penyair. Selain itu di sana sudah biasa mengadakan even budaya baik nasional dan internasional. Bahkan mereka sudah menyiapakan dana kira-kira Rp1milyar untuk TSI III nanti.
Dalam menentukan tuan rumah TSI III cukup pelik ada semacam ketidakadilan geografis, karena sudah dua kali TSI diselenggarakan di bagian Sumatera, maka ada harapan untuk diselenggarakan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi keputusan tim perumus sangat menentukan akan diselenggaakan dimana selanjutnya TSI II ini di adakan.
Tim Perumus meminta kepada siapa saja yang akan menjadi tuan rumah bahwa yang mengatur mengenai siapa saja yang harus diundang atau berbagai bentuk acara dan materi dalam TSI III nantinya menjadi tanggung jawab Tim perumus dan Tim curator Lintas Daerah yang akan dibentuk oleh tim Perumus kemudian.
Kepala Dinas Priwisata dan Budaya Tanjung Pinang tidak keberatan dengan beberapa persyaratan yang diusulkan oleh Tim Perumus, Pemerintah Daerah Tanjung Pinang hanya akan melaksanakan Kegiatan TSI III sesuai dengan yang diamanatkan Tim Perumus.
Karena kesiapan Kota Tanjung Pinang Kepulauan Riau dan hasil kesepakatan maka TSI III 2010 jatuh kepada Kota Tanjung Pinang. Sementara Kota Ternate menjadi kota tujuan TSI IV tahun 2011. Dengan demikian Sumsel akan lewat saja. Betapa daerah lain begitu antusias untuk menjadi penyelenggara TSI ini tetapi Sumsel seperti tidak ada gairah. Apa gerangan program seni budaya yang bisa membawa catatan sejarah, atau menjadi catatan para pencatat seni budaya itu sendiri.
Kegiatan seremonial yang dilaksanakan oleh pemerintah itu hanya akan menghasilkan jas-jas tebal atau bau parpum luar negri saja. Sementara esensi dari gerakan sebuah kesenian atau seni budaya yang bergerak di masyarakat hanya menjadi obrolan atau menjadi ajang proyeknya. Tidak jelas visi dan misi senibudaya daerah ini. Apa yang harus dilakukan dan apa yang harus segera di bantu, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi tidak pernah mau bertanya atau bagaimana supaya ke depan seni budaya daerah kita akan semakin membaik.
TSI merupakan kegiatan yang cukup positif apabila diarahkan sesui dengan kebutuhan daerah. Sehingga ada beberapa program kebudayaan yang mungkin akan dapat mempengaruhi perubahan akan daya pandang masyarakat dengan seni budaya daerahnya. Untuk sama-sama bahu-membahu mencintai serta mengetahui lebih jauh adat istiadat, tradisi serta seni budaya yang berkembang di daerahnya.
Salah satu hasil dari TSI II di Pangkalpinang adalah 2 buah buku antologi Cerpen dan Puisi. Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah setebal 321 halaman yang berisikan 33 Cerpen dan 2 merupakan karya dari sastrawan Sumsel diantaranya karya Dahlia Rasyad (Palembang) dengan judul cerpennya Rambut Perak, dan Beni Arnas (Lubuk Linggau) dengan Judul cerpennya Kembang Putih di Atas Perahu.
Sementara Antologi Puisi Pedas Lada Pasir Kuarsa setebal 209 halaman yang terdiri dari 103 puisi dari 64 penyair dan dari Sumsel terdapat 3 penyair, Eko Pura (Sekayu), Nurhayat Arif Permana (Palembang) sekaligus sebagai pembicara, dan Jajang R Kawentar (Lahat).
BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG” SMA NEGERI 1 LINTANG KANAN KABUPATEN LAHAT
SMA Negeri 1 Lintang Kanan menerbitkan buku kumpulan Puisi “Nasib Orang Lintang”. Buku setebal empat puluh delapan halaman, yang berisi satu buah artikel sastra tentang Tadarusan Sastra, dan enam puluh puisi dari karya tiga belas siswa yang tergabung dalam Sanggar Sastra, merupakan hasil dari beberapa pertemuan pada semester pertama. Buku Nasib Orang Lintang ini dicetak terbatas karena alasan dana.
Judul buku itu merupakan judul salah satu puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut hasil karya Bambang Irawan kelas IPS 2, puisinya pendek hanya tiga baris seperti haiku, Nasib Orang Lintang: Dunia berputar/ Cahaya-cahaya bergantian/ Nasib orang lintang jadi panjang. Puisi ini menggambarkan antara harapan dan semangat hidup, atau optimisme hidupnya. Tentunya hasil perenungan dan pengamatan yang cukup mendalam dari penulisnya.
Banyak potensi sastra yang belum tergali di daerah Lintang, apalagi sumberdaya manusianya masih cukup segar dalam menyikapi keadaan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Lagi pula daerah Lintang memiliki kekayaan budaya yang cukup unik dan khas, seperti bahasa daerah, perilaku, dan adatnya. Saya kira belum banyak penyair yang menuliskan segala potensi yang terkandung di daerah Lintang ke dalam karya sastra. Saya mengenal dua sastrawan dari daerah Lintang yaitu Syamsi Indra Usman yang pernah mendapatkan penghargaan “Anugrah Seni” karena aktifitasnya dalam menuis puisi dari Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2004, dan satu lagi adalah Febri Al-Lintani, yang cukup populer di Sumatera Selatan, ia sebagai Ketua Komunitasw Batang Hari 9 (KOBAR 9) serta pengurus Dewan Kesenian Palembang.
Seluruh karya puisi yang terdapat dalam buku Nasib Orang Lintang ini merupakan karya puisi terbaik dan terpilih dari yang baik. Penulisnya delapan laki-laki antara lain: Agus Tamin, Arif Rojuli, Bambang Irawan, Darwan Esmedi, Een Rikardo, Marlin Nopriko, Munawir Sazali, Prata LA., dan yang perempuan lima orang antara lain: Nia Rapikaduri, Puspita Sari, Radesi Yudede, Tina Dwita, dan Yulistri. Akhir-akhir ini anggota sanggar bertambah. Saya berharap mereka mampu meneruskan jejak pendahulunya, tidak hanya mandek sampai selesai SMA saja. Akan tetapi dapat bergabung dengan komunitas sastra yang lebih besar lagi. Saya menilai mereka cukup potensial.
Kebiasaannya pada usia remaja seringkali menuliskan masalah-masalah cinta terhadap lawan jenisnya, melankholis dan kurang serius, akan tetapi kenyataannya di Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan, mereka cenderung menuliskan tentang kecintaannya terhadap daerahnya, baik dari budayanya, lingkungan alamnya dan kritik sosial yang mencermati kinerja pemerintahan serta masyarakat itu sendiri. Seperti contoh puisi karya Prata LA kelas 2 IPS 1 yang mencermati salah satu kehidupan masyarakat Lintang, Motto Kito: Jemonyo hulu balang/ tiap hari di gelanggang/ keluargo tersingkirkan/ bando terlelang/ semboyan tercelah motto kito/ nedo mati muno jadila. Satu lagi puisi yang menurut saya mengkritik budaya daerahnya sendiri, karya Arif Rojuli kelas 2 IPA, Segayung Dunio Lintang: Ayo lari kawan/ dunio Lintang jadi
Puisi sebagai aksi protes, atau ketidakpuasan atas perlakuan penegak hukum dan pelecehan tehadap kaum perempuan. Berikut puisinya, karya Nia Rapikaduri, kelas 2 IPS2, Jangan: Jangan bicara moral kepadaku/ Aku tak pernah tahu/ Aku Cuma tahu tikus-tikus/ Mengendap ke kantong ibu/ Jangan tanyakan agama padaku/ Karna aku tak beragama/ Yang kutahu wanita-wanita bugil/ Berbaris menghadap Ka’bah/ Jangan tanya keamanan aparat/ Sebenarnya aparatlah yang menindas rakyat!
Puisi Bambang Irawan yang satu ini, mencoba menggambarkan bagaimana sikap, sifat dan prilaku orang-orang Lintang, judulnya Lintang Empat Lawang:Terlentang pisau panjang/ Perangko batang-batang/ Jadi orang jadi datang/ Datang pertentangan/Diri marah/ Duri tajam/ Lintang Empat Lawang/ Pantang mundur jadi orang/ Belum bertemu belum senang/ Garis melintang jalan panjang/ Tujuan tak karuan/ Celaka orang bisa karuan/ Celaka diri tidak karuan.
Bagaimana dengan sisi kehidupan orang Lintang yang lain dan keindahan alamnya, dilukiskan dengan cukup baik dalam puisi berikut:, karya Marlin Nopriko, kelas IPA, “Lubuk Kasai”: lubuk bening tenang penuh berkat/ kasai sahabat akrab abadi/ gelombang ombak bawa budaya mencuci budi/ hanyutkan sampah pekat/ berbau budaya angkuh syetan terkejut/ lubuk kasai/ melawan curam batu napal/ menantang batu keras terjal/ hancur oleh ombak-ombak kecil/ mengikis sukma/ menyerap dalam raga hati/ mewarnai baju baja diri. Selanjutnya Munawir Sazali, kelas IPA, mengupas tentang “Sungai Lintang”: Suasana pagi datang menjelang/ Sungai Lintang menantang/ Bersetubu denganku/ Dia menerjang aku tantang/ Kadang marah tak terkalahkan/ Kau raja bunyi tak berhenti/ Selalu berteriak dalam sepi/ menantang setiap orang dengan suaramu/ dan batu bisa kau taklukkan/ dengan bujuk rayumu.
Masyarakat Lintang mayoritas adalah petani kopi dan petani padi, salah satu puisi karya Tina Dwita, kelas 2 IPA mencoba membuka wawasan kita kepada apa yang dinanti oleh para petani tersebut. “Be Umo”: Berilah aku keberuntungan/ Tana siang dan biji kopi pilian/ Kiding besak, samo puntong/ Berilah aku keberuntungan/ Uang pembeli pupuk dan racun/ Hujan menyapu tanah air/ Bila waktunya kopi ku putir/ Bongkotnya kukaja/ Nikmatmu kugali// Terima kasih Tuhan/ Atas rahmatmu.
Masih banyak karya mereka yang sangat menarik untuk dinikmati dan diapresiasi. Mereka masih cukup muda yang paling tua lahir pada tahun 1987 dan yang termuda tahun 1990. umur mereka antara 15 sampai dengan 18 tahun. Mereka masih terus aktif menulis puisi, dan selalu konsultasi dengan saya, atau mereka meminta sekedar untuk membacakan karya-karya mereka. Saya merasa kehadiran saya ada manfaatnya bagi mereka.
Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan berdiri pada awal tahun ajaran 2005/2006, sebagai salah satu kegiatan Ekstrakurikuler, pembinanya saya sendiri yang merupakan guru pendidikan seni. Di samping Sanggar Sastra, ada seni Lukis, dan teater yang saya bina, ada juga Seni daerah ngarak pengantin yang dibina oleh kepala sekolah.
Apa yang saya berikan pada mereka?: saya tidak mengajari apa yang harus di tulis, tetapi saya membagi pengalaman bagaimana membina sebuah kesadaran dan bagaimana berkonsentrasi dalam satu hal atau satu masalah. Apa yang sedang mereka rasakan saat ini, apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus mengeluarkan pendapat serta bagaimana mencermati lingkungan sosialnya dan lingkungan alam sekitarnya. Dengan demikian anak belajar percaya diri, lebih kritis dan memiliki keperdulian terhadap lingkungannya.
Selain itu dianjurkan lebih banyak membaca, karena Membaca merupakan salahsatu proses dalam pembuatan pondasi dan kerangka berpikir dalam menulis sebuah karya, baik fiksi maupun non fiksi (Ilmiah). Membaca sebagai modal dasar dalam penulisan dan dalam mengembangkan ide atau gagasan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dengan membaca akan memberikan dorongan spriritual, emosional dan intelektual yang secara menyeluruh akan tercermin dalam setiap karya tulisnya, terlebih akan tercermin dalam setiap prilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan kegiatan membaca yang lebih intensif akan menghasilkan para penulis muda berbakat yang memiliki wawasan susastra universal, dengan dimbangi dengan daya intelektual global.
Dengan demikian perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan ruang, fasilitas dan penghargaan. Bagi para siswa dan para pembinanya sebuah penghargaan sebagai partisipasi aktifnya dalam menghidupkan program kegiatan kependidikan (ekstrakurikuler). Dinas Pendidikan adalah lembaga yang memiliki kewengan dalam memajukan pendidikan khususnya Sastra dan Seni atau sebaliknya. Lembaga pendidikan (sekolah) sesungguhnya mengemban tanggung jawab sebagai sarana bagi menumbuhkembangkan minat dan bakat para peserta didiknya. Dari lembaga pendidikan formal inilah yang seharusnya menelorkan para kreator handal. O ya?
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lintang Kanan, Imron, S.Pd. dalam sambutannya cukup bangga, oleh karena puisi yang terkumpul dalam buku ini merupakan hasil karya dari anggota Sanggar Seni yang baru dibentuk pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006. Sementara SMA Negeri 1 Lintang Kanan sendiri baru berdiri tahun ajaran 2004/2005. ini tentunya suatu prestasi yang sangat baik.
Menurutnya, buku kumpulan puisi “Nasib Orang Lintang” sedikit tergambar karakter orang Lintang dan Suasana alamnya. Bagi siapapun yang tidak pernah berkunjung ke daerah lintang dan menemui
Buku ini juga sebuah bukti yang akan menjadi catatan sejarah bagi perjalanan SMA Negeri 1 Lintang Kanan dalam proses belajar mengajar kami yang tentunya berwawasan ke depan. Kami membutuhkan bantuan dari bebagai pihak untuk segera mewujudkannya. Diharapkan siswa siswi SMA Negeri 1 Lintang Kanan lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti seluruh kegiatan ekstrakurikuler, namun jangan sampai meninggalkan kegiatan intranya. (jajang r kawentar)
PERGERAKAN SASTRA ITU PERLU
Oleh Jajang R Kawentar
Bermula dari sebuah tulisan yang terdapat di sebuah catatan dalam facebook Dimas Agoes Pelaz yang ditulis Muhammad Syahrian pada www.beritamusi.com, berupa dialog Dimas Agoes Pelas dengan penulis Muhammad Syahrian diberi judul Perlu Gerakan Sastra Alternatif.. Saya akan mengambil beberapa point yang saya anggap penting dalam dialog tersebut. Selanjutnya terjadi dialog antara Diamas Agoes Pelaz, Jaid Saidi, Pratama Dharma Patria dan Jajang R Kawentar. Keterangan: (Muhammad Syahrian Tanya: T dan Dimas Agoes Pelas: DAP).
T: Apakah sastra dapat memberikan arti dalam proses pembangunan bangsa
DAP: Ya, jelas. Sastra seperti juga produk kebudayaan lainnya, dapat mengambil peran penting dalam proses pembangunan bangsa
T: Misalnya?
DAP: Tema-tema sastra yang dilahirkan harus mengungkapkan persoalan mendasar dari masyarakat kita, seperti persoalan feodalistik, kekerasan, kemiskinan, dan keterpurukan lainnya. Bukan tema-tema yang lebih memfokuskan pada kebebasan berekspresi tubuh seperti persoalan seks, atau pula yang meninggikan selera dan perilaku kaum borjuis atau kelas menengah baru.
T: Artinya harus ada sebuah gerakan sastra baru di
DAP: Ya.
T: Apa?
DAP: Gerakan berupa penggalian, pengolahan, dan memproduksinya sebagai alternative lain dari produksi sastra yang dilahirkan para industry buku yang ada. Buku-buku sastra ini dilahirkan dari sumur-sumur kebudayaan di nusantara yang belum banyak digali atau diperkenalkan. Artinya pula, para sastrawan mulai bekerja seperti halnya seorang intelektual, seperti mengangkat tema terkait soal kekayaan sumber daya alam di
T: Bagaimana itu akan terwujud bila para sastrawan atau pekerja sastra di
DAP: Seperti yang kita kenal selama ini. Gotong-royong. Itulah kekuatan utama kita buat membangun gerakan tersebut. Yang lebih berbagi dengan yang kurang. Yang kurang pumpunan buat menjadi lebih.
Itulah sebagian dialog yang saya anggap penting. Karena itulah saya tertarik untuk ikut memberikan komentar. Sehubungan pengalaman saya dalam kegiatan pergerakan sastra tersebut.
Pada kolom komentar pertama yang merespon mengenai Perlunya Gerakan Sastra Alternatif saya menulis: Saya kira gerakan sastra alternatif sudah sering dilakukan oleh banyak kawan sastrawan bahkan oleh komunitas-komunitas. akan tetapi sebetulnya proyek nyata ini bagaiman para sastrawan dan dunia pendidikan serta intitusinya bekerja sama memulai bergerak dari sekolah-sekolah, yag notabene disekolah-sekolah itulah mulai dari anak tk hingga sma menjadi tantangan besar untuk sebuah gerakan sastra. karena pada kenyataannya gerakan sastra di sekolah-sekolah tidak tergarap. apabila memulai dari sekolah tingkat dasar maka ada berapa puluh ribu siswa yang siap atau belum betul-betul mengenyam yang namanya karya sastra, apalagi mau menciptakannya. Salam.
Dimas: Itu namanya strategi, dan itu sudah dilakukan rejim Orde Lama dan Orde Baru, yang kemudian hilang di masa sekarang. Alternatif ini terkait soal isi atau tepatnya fokus tema. Isi yang benar-benar lahir dari sebuah penggalian, studi, bukan hanya menangkap kesan, apalagi menjadikannya sebagai pelengkap atau kamuflase perilaku pekerja sastranya, seperti penyair yang maling menulis puisi mengutuk maling. Antara sikap penyair dan isi harus sejalan, bergerak makanya bernama gerakan. Bukan pembedaan isi dan pribadi pekerja sastra. Pekerja sastra dan persoalan menjadi satu; perilaku dan karya.
Jajang: bagaimana ada gerakan yang baik kalo apresiasi sastranya juga macet. bagaimana mau ada karya kalo apresiasi juga macet. bagaimana mau berkembang to orang yang bergerak berputar-putar pada orang yang sama. sebuah gerakan itu tentu memerlukan dukungan, seperti sebuah rekrutmen individu, baru bekerja dengan macam apa tujuannya.
Dimas: presiasi bukan urusan pekerja sastra, itu urusan guru dan penggiat sastra. urusan pekerja sastra melahirkan banyak karya. karya sastra bukan tergantung jumlah orang, melainkan teks sastra. percuma banyak orang tapi tidak ada karya, yang sedikit dan biasa saja. dukungan bukan tujuan, tapi dampak merupakan tujuan.
Jajang: saya kira pekerja sastra tidak bisa lepas dengan sebuah regenerasi, karena sedikit banyak yang banyak mengerti urusan sastra dan prilaku pekerja sastra itu ya pekerja sastranya sendiri. sementara guru tidak bisa menjadi andalan dalam mengapresiasikan karya sastra buktinya sampai saat ini, kerja tersebut tidak berjalan dengan baik, disamping itu guru tergantung dengan yang namanya kurikulum dan Ujian nasional. semtara pengiat sastra itu yang mana dan seperti apa?
tentunya pekerja sastra juga gak bisa hanya berkarya saja, pada umumnya mereka terkendala dengan periuk nasinya yang tidak terpenuhi.
Dimas: itu persoalan lain. saya pikir publik hanya tahu pekerja sastra melahirkan karya. titik. persoalan kelaparan bukan hanya persoalan pekerja sastra, juga tukang becak, polisi, tentara. jadi itu bukan persoalan khusus bagi pekerja sastra. sekarang bagaimana mengakali diri agar tetap berkarya. bila tak mampu, tinggalkan saja dunia sastra sebab itu membuat tersiksa? buat apa tersiksa dengan lebel yang ada. intinya, kita lebih baik fokus pada persoalan isi, kalau sudah banyak yang lainnya mengikuti. sekarang ini banyak pekerja sastra, banyak organisasi, banyak guru, tapi sedikit karya. Gerakan adalah berkarya alternatif atau yang belum banyak diungkapkan dalam karya sastra kita.
Jajang: itu juga sebetulnya persoalan yang dihadapi oleh pekerja sastra. realitas pekerja sastra dengan karya itu gak bisa dipisahkan, jelas sangat berpengaruh kang. kita selalu berharap dengan apa yang kita inginkan sementara realitas pekerja sastra seperti itu. saya kira persoalan klasik itulah dirasakan dimana-mana. bagaimana dengan di jambi sendiri.
Dimas: cari makan ya cari makan. berkarya ya berkarya. dua wilayah yang berbeda. kalau mau cari makan ya bisa apa saja dilakukan asal halal. di jabi banyak sekali masalah yang bisa digali dan diangkat ke permukaan untuk karya sastra, termasuk masalah kemiskinan, kelaparan, lingkungan, sumber daya alam yang terkorupsi oleh segelintir pejabat, tergusurnya cagar budaya dan masih banyak lagi.
Jajang: dua wilayah tapi satu kepala
Jaid Saidi: jalan bae jang. sejak dulu kok hidup seniman itu susah. sulit mencari uang, tapi wong selalu menilai dari karya. jadi biarlah nasib yang nentukan soal ekonomi, begitupun nasib karya. karya yang bagus pasti akan muncul juga. soal waktu lain lagi. jadi, sepakat dengan dimas, kita kejar karya yang bagus. gerakan karya.
Jajang: gerakan sastra itu biasanya dilakukan oleh seseorang yang memang konsen terhadap sastra, atau dilakukan oleh sebuah komunitas yang memiliki visi-misi sama terhadap perkembangan dan pengembangan sastra. nah alternatif lain gerakan sastra itu ke sekolah-sekolah karena sekolah merupakan institusi yang sudah memiliki rombongan belajar dan memiliki kelas dan berbagai jenjang, mulai dari tk, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. dari gerakan inilah akan memunculkan kuantitas pekerja sastra, kuantitas dan kualitas karya, kuantitas dan kualitas gerakan sastra itu sendiri. Dengan gerakan sastra ini diharapkan akan memunculkan kuantitas karya sastra yang akan bersaing sehingga akan tampak siapa karyanya yang berkualitas. dari sekian banyak pekerja sastra, dari sekian banyak pelaku gerakan sastra, dari sekian banyak karya yang dilahirkan, pada akhirnya akan masuk pada seleksi alam. dengan adanya gerakan sastra alternatif tersebut maka kuantitas pekerja sastra dan kuantitas karya akan semakin banyak. Proses seleksi menuju pekerja sastra pun akan semakin longgar dan hasil dari seleksi alam ini akan menghasilkan apresiator karya sastra yang baik dikemudian hari dari para pekerja sastranya.
Dimas: Lanjutkanlah Jang...gawekelah Jang...aku tunggu hasilnya...aku tetap fokus pada karya, oke. sebab fungsi utama pekerja sastra adalah menulis karya sastra.
Jajang: jadi gerakan sastra alternatifnya gemana? kalau tidak berkarya sastra, mana mungkin disebut pekerja sastra. Selamat berkarya, mohon maaf lahir bathin.
saya mohon izin Mas Dimas Agoes Pelaz untuk mempublikasikan dialog ini. terimakasih.
Pratama Dharma Patria: @Jajang : sebetulnya saya pun dulu mempunyai dilema seperti itu saat berkarya senirupa . satu sisi idealisme berkarya sangat dalam satu sisi perut dan kantong selalu berirama keroncongan.....hanya perlu ketegasan dan konsisten diri pribadi kalo ingin bekarya harus siap menghadapi apapun halangan dan rintangan yg akan dilwati misalnya itu td perut dan kantong bermain musik keroncongan////..... tapi aku mengalah pada karya sehingga aktivitas sebagai perupa aku tinggalkan untuk sekian waktu bukan beraRti aku mengubur itu...tapi aku tetap berusaha mencari media lain untuk bisa bekarya dan sekaligus mencari uang......dan ternyata ALHAMDULILLAH....langkah pertama menjadi tenaga ILUSTRATOR di media sangat mengasah ketrampilanku dalam berkarya senirupa.....jadi intinya///// hanya satu bung kalo kita idealis da;lam berkarya anda mesti Sanggup doong nahan lapar seandainya tidak sanggup cepat-cepat mesti anda kubur idealisme bekarya anda.....satu HIDUP INI HARUS TEGAS mulai dengan diri sendiri.
Jajang: ya, begitulah. kalo sudah dapat pekerjaan baru bisa melakukan apa keinginan kita. sebab urusan perut sudah selesai. apalagi sudah berkeluarga, apakah berkarya dulu atau menyelesaikan kebutuhan keluarga. tentu roda itu berputar, tidak mungkin keadaan itu berada di bawah terus, kalo kita tetap mempertahankan idealisme dan terus berusaha.
Dimas: @Jang: Ya, lah, jang, masak pekerja sastra tidak menghasilkan karya sastra. kalau dong dengan tukang calok. makanya yang tidak berkarya sastra, jangan ikut campur hehehe. Soal gerakan alternatif ini, seperti saya katakan sebelumnya mengenai "isi". Tema-tema yang lebih mengangkat persoalan mendasar masyarakat
Jajang: saya menangkap apa yang dimaksud Mas Dimas Agoes Pelaz mengenai gerakan sastra alternatif itu adalah karya-karya yang dihasilkan pekerja Sastra berdasarkan pada persoalan mendasar masyarakat
dimana saya bisa membeli bukunya? kalau boleh saya pesan dan berapa harganya. jadi penasaran ingin baca seluruhnya. karena buku merupakan eksistensi pekerja sastra yang sangat tinggi harganya. bisa digunakan untuk mengklaim, atau menghegemoni masyarakat terhadap status pekerja sastra. sementara yang tidak menerbitkan buku, dianggap belum pernah berkarya dan dipandang rendah.