Sabtu, 19 September 2009

SILAT LIDAH

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


SILAT LIDAH
Jajang R Kawwentar

Lay out dan disain :
Jajang R Kawentar

Cetakan pertama, Oktober 2003


Diterbitkan oleh
Sanggar Air Seni Palembang
Jl. Semangka No. 4A Rt. 33/11 30 Ilir Palembang
Tlp. (0711) 359034
E-mail: kawentar@yahoo.com

Silat Lidah merupakan buku Kumpulan puisi




UNTUKMU

Panutan dalam tetek bengek
Aku belum mampu memenggal hidup
Yang kelewat jahil
Dan perjuangan berubah tak bermakna
Usahlah katakan aku beramal
Umpamakan saja pembunuh kau kandung
Yogyakarta 10 April 1995



Memecah Ombak

Kepala dibentur dinding ombak
Pecah, lantai gelisah
Dirimu membaca raut wajah memerah
Bunga merekah di atas rindu
Kecupan pertama kali karam bersama
Dasi kupu-kupu biru
Kau berdiri depan pintu
Menghirup seluruh
Relakan badan terbelah
Kala kulewati jalan pijakanmu
Salam dari anak perahu
Memecah ombak mimpimu
Sei Selincah, Okt �02




KATAMU

Jangan biarkan tikus dipenjara cinta
Wahai perempuan di mata dunia
Adalah alat vital
Kau hirup bau nafsu
Menjadi bayi
Menjadi penghuni perumpamaan
Perasaan dan nalar
Apakah benar itu perumpamaan
Nabi atau anak ingusan
Dari sini tidak tersirat harap
Dari sini pemandangan terkabarkan
Berupa bulu-bulu
Gatal tak gatal digaruk di kepala
Itulah penjara itulah cinta:
Katamu lembut
Kenten, sept 02




Kepada Ali

:kawanku di Aceh
Berteriak darah
Berbentuk kerikil digenggaman
Peluru kendali di denyut nadi
Kaukah itu
Bakung,1051102002




Prasasti Usang

Aku belajar pada gunung Dempo dan Jempol
Pada Prasati Usang
Terbuang
Aku bak sampah riwayatmu
Ludas
Akulah pemerintah biadab itu
Wahai para cecunguk
Itulah kukatakan tadi
Bakung, 105. 2002




Biar Liarkan Saja

Kau terbakar kata neraka
Butiran permata membara dada sendiri
Kau juga anjing
Penjaga kebusukan
Biar liarkan saja
Bakung, 105. 2002




Puasa

Puasa
Berperi haluan indahnya nurani ditusuk belati
Menjerit nikmatnya ujung hati
Suasana ketulusan menyemai surga
Puasa
Doa berharap terlahir
Kuasa Tuhan terlaksana:
Puasa
Kenten, 8102002




Tuhan I

Prit-parit
Comberan
Belatung
Cacing
Borok
KeagunganMu
Kenten, 182002




Titah

Pura-pura rupanya
Lupa alif pula
Tantangtintingtenteng
Ngaji ilmu bila pilu
Ambil Wudlu lima waktu
Titah patuh tak jemujemu
Kambang Ikan, 2002




Hujan

Hujan tuhan air mata
Hujan kalimat tuhan
Hujan menghujam hutan tuhan
Hutan hantu hujan air mata
Hantu tuhan hujan kalimat
Maksiat
Kambang Ikan, 2002




Obat Nyamuk

Malam berlumur darah
Tiga nyawa lepas di tangan sekaligus
Kawanan pencuri terbang membawa kejahatan
Tak ada lagi cerita
Preman nyamuk bertahta
Dihalau senjata kimia
Perang terjadi di media
Obat nyamuk racun serangga
Bakung, 2003



Silat Lidah

Silat lidah puncak penatmu
Jujur ditunggu-tunggu
Pikiran terpenggal
Perkata menyayat-nyayat telinga
Peduli apa, senjata di balik kata dan celana
Kaparkan di parit atau muka rumah
Lalu labeli: dijual!, tukar tambah
Atau di sewakan pada selembar kertas putih
Usung diri sendiri ke liang lahat
Ini jaman 2000an, apapun berkenan
Semua setujuan
Menyayat-nyayat telinga biasa
Mencincang hati lalapan hari-hari
Silat lidah olahraga sehat kapan saja
Cuci mata cuci otak berbelanja
Supermarket rumah mimpi
Upacara pagi depan televisi
Pekerjaan takan terhenti
Tiada mengenal lelah
Yang penting happy
Silat lidah seni beladiri masa kini
Bakung,105. 28122002



Aku menunggu Hujan

Aku menunggu hujan
Tanamanku hangus di ladang
Kuagungkan sisi jari mungil tuhan
Bercinta
Berlari terus bercerita
Mencari persatu hembusan
Suasana erotis
Pengertian bull shit milik para pengecut
Katakan semua
Pakai topeng
Generasi badut
Pengaruh melawan alam
Hina jelata di mata
Pemandangan dunia menyebar
Kutunggu hujan
Kambang Ikan, 2002



Syair bawah Traffic light

Syair lirih suara bawah traffic light
Mencincang memeras mencuri
Hati rasa otak
Menerjang-terjang idiologi babi buntung
Idologi perut bawah perut
Idilologi ibu pertiwi
Oh ibu suri pertiwi
Kini sembako di ujung langit
Dapatkah idiologi subsidi
Atau UUD baru
Atau tahi kucing
Atau babi ngepet
Atau penjara
Atau pemilihan langsung umum bebas rahasia
Atau tidak langsung sikat rahasia umum
Bebas dan langsung
Syair lirih bawah benderaku
Syair bawah traffic light
Sei Selincah, 2002



Batu

Kurang ajar
Katamu meledak
Koran hari ini
Siapapun tahu batu
Singgah padamu
Bakung, 105. 2002



Perbedaan

Kau bersenjata mesin, aku nyali
Kau berseragam, aku telanjang
Yogyakarta, maret �98




Pupuk

Bukankah pupuk menaburkan
Airmata ke tubuh bumi
Dan petani menuai amarahnya
Menanggung tunggakkan
Tak usai lunas
Membasmi segala
Membuka pupuk wacana
Sadar kesabaran utamanya
Bakung, 105. 2002




Kehormatan

Tetangga mengadu
Celana dalam anakgadis diculik
Kehormatan digagahi
Pemuda dibawah umur merenggut
Tali beha putus diperdaya pula
Diremas-remas hati luka
Darah muda mengalir di tubuh
Perawan tua kampung tersebut namanya
Minta kawin segera
Di jalan dihadang orang tua
Pemuda berkedudukan harapannya
Pemuda impian dijerat tipudaya
Perawan tua kampung tersebut namanya
Tercapai cita-cita

Mengeluh pemuda bawah umur jadinya
Perawan tua kampung menghiasi cerita berusa-busa
Celana dalam koyak di sengaja
Banyak pemuda mencicipi
Kehormatan telah hilang sebelumnya
Piala bergilir dulunya
Mengeluh pemuda bawah umur
Tiba getahnya
Berteriak terperosok lubang dalam kehormatannya
Bakung, 2003




Pegadaian

Celana dalamku koyak
Pakai puisi orang-orang tertawa
kutambal
pakai duit baru bisa
aku tidak percaya
puisi gagal bisa nambal
celana satu-satunya koyak di pegadaian
Kambang Ikan, 20002




FUCK YOU

Membaca suratmu dijepit pintu
Cinderela menemukan sepatu kaca
Pecah dua kalimat di mulutnya
�FUCK YOU!�
�Astaga gua dikibulin Anjing�
harta berharga kecolongan
malam tadi bujuk rayu mesra
hilang ingatan
berlayar ke ujung pulau
12 ronde di ring
KO
Sumpah pocong di peternakan
Sumpah serapah sialan
Membaca suratmu mengukir tinju
Sewindu lalu
Bakung 105, 2003




TEH TUBRUK KOPI TUBRUK

Kemarin teh tubruk kopi tubruk gunung Dempo
Hari ini petani keracunan urea
Tersedak kimia, tanah tandus, banjir dan longsor
Petani di amputasi
Pemetik teh kopi menjual tenaga ke kota
Dipetik para begajul
Menyisakan lapar tak berkesudahan
Menyisakan pedagang anggur
Menyisakan bajing loncat
Menyisakan bandit-bandit
Menyisakan tanda-tanda:
Buat apa P dan K KTP MPR
Besok teh tubruk kopi tubruk negri adikuasa
Meraja
Lahan petani terlunta-lunta
Anak istri menganga
Wibawa kepala RT tiada
Menyuapi konglomerat yang ada
Pekerjaan senantiasa mendapat pahala
Celakalah umat segera
Pejabat negara tidak becus menjaga
Kambang Ikan, 2003




Pemandangan Kedamaian

Harusnya ruang rohani membebaskan kuasa pada hak milik
tanpa toleransi tanpa deskripsi
Satu-satu menjadi kata benda,
penjelajahan terjebak lembaran harga di pasar
Bukan kuasa petunjuk dengan alasan benang kusut
Harusnya kuasa Tuhan bersama pandangan-pandangan
Pemandangan damai.
Palembang, 2002




Andai Kau Di Sini

Waktu lari mengejar janji
Ingatan erat merekat
Mencumbu kian dekat
Yogyakarta dan Tasikmalaya





Hanyut bersama hujan

Mengalir setiap sore hingga larut malam
Membanjiri jiwa mendamba
Kau pendamping
Terlukis mengharap tiba memeluk hidup
Buah telah matang di pohon
Minta dipetik
Jambu, salak dan rambutan
Untukmu
Tugas lebih berarti
Andai kau di sini
Tasikmalaya, 1995




Sudut Kerinduan

Kutinggalkan kau dengan rumah
Cahaya hati dan sudut kerinduan
Dalam keterbatasan pandang dan raga
Ingin kurengkuh
Andai tanganku dapat menyambung hidupmu
Disini
Tasikmalaya, 1995




PENJARA

Jeruji air jatuh
Aku terkurung di situ
Setengah hari mencumbumu
Di rumah ditunggu rindu
Wajah disambut cemberut
Setengah mati cemburu
Aku ingin membantu memecah batu di dadaku
Kau dibuai bisikan angin
Bermimpi taksadar diri
Penjarakan aku
mati kutu
Kambang Ikan, 222003




Pelacur

Ibu Pertiwi melacurkan diri
Pura-pura TKI
Menjajakan vagina ke negri tetangga
Pakai paspor resmi penghuni negri
Kedaulatan bulat dihianati
Belati tertancap di hati rakyat
Cucuran keringat budak sepanjang jaman
Selama hayat dikandung badan
Menanti perubahan peradaban alam
Sampai ibu pertiwi sadar diri
Bocah ingusan memimpin negri
Bakung, 2222003




NEGRI UBUR-UBUR

Malam ini kumakan kenyang
Tubuhmu semlohay
Terdampar di ranjang
Negri ubur-ubur
Aku tergiur puting korupsi
Berdasi tanpa CD dan BH
Di lokalisasi terhormat
Mengaji konstitusi, hatinurani
Rakyat tetap birahi terpendam
Gagah berani siap diperkosa
Sepintar-pintarnya aset negri ubur-ubur
Pemuas hawa nafsu sepanjang jaman
Bakung, 2003





TUNGKU

Tungku menyala di ufuk
Menanak sawah pertanda
Menanak pabrik pertanda
Suluh berduyun-duyun dari dusun
Mempertaruhkan api jiwa
Maslahat
Menanam anak masa depan
Mengolah keagungan
Oh pengangguran alam luncurkan buku bacaan pekerjaan
Dimanakah hak yang dimakan
Dimanakah kewajiban kemanusiaan
Cinta dialamatkan
Perang dipertautkan
Berlabuh di muara perempuan
Bersandar pada mercusuar kejantanan
Penduduk ketakutan
Sebagian tertawa kegirangan
Tungku padam di barat daya kemiskinan
Bakung, 2003




PERJALANAN

Malam ini mayat dikuburkan
Orang-orang mendengkur
Hidup ditangguhkan
Menjemput fajar kehidupan
Relung perjalanan
Mata perlajaran kesenian
Bakung, 2003




PERTUNJUKAN HARI INI

Kekerasan lapangan pekerjaan luas
Saat ini menangis menderu
Bertemu pada orde
Berharap pada partai
Menjual janji
Memupuk mimpi
Pencabulan pekerjaan lapangan luas
Pertunjukan cantik hari ini
Bakung, 2003





MEMBACA

Membaca Karl Marx
Menghisap rokok sampai pabriknya terbakar




ARUMBA

Musik bercerita bunyi
Tentang melodi hidup:
Nyiur
Gemericik
Semilir
Negeri agraris
Negeri Alunan Rumpun Bambu
Sei Selincah, 2003




Nafkah

Nafkahku hari ini bertemu malam
Bertemu kawan
Meruntuhkan harapan dan mimpi anak istri
Rumah kontrakan menerima sumbangan
Bersembunyi di perut
Terasa lapar dan dahaga
Terasa benar dan salah berkata
Nafkahku kalah bertanding
Dengkul melawan kesebelasan monopoli pasar
Arena Imperialis kapitalis
Pembantaian restu hukum
Nafkahku menemui ajal
Saat pedang ekonomi menebas
Kedua tangan dan leher putus di jalan menuju sarapan
menghantarkan makanan dan minuman ke mulut membusuk
Palembang, 2003



AKU DI ATASMU

Kalau begitu aku mampu di atasmu
Sayang aku cemas pekerjaan tetap
Sungguh mampu mengejarmu
Tapi makan anak istri
Kalau begitu tunggu esok
Aku di depanmu
Merampas seluruh padamu




SATU NUSA SATU BANGSA

Tuhan biarkan aku membencimu
Ah aku sedih
Apa kata air matatuhan jauh
Membunuhku
Mengganggu jalan hidup
Ah aku mau saja dibodohi
Tuhan di mana
Aku di lumpur
Biarkan aku menghabisimu
Hatiku satu jadi ragu
Satu nusa satu bangsa
Tuhan maha esa Indonesia



Sembrangan I

Sembarangan bicara tuhan tidak ada
Bagaimana kalau benarbenar ada
Tidak percaya alamat neraka
Percaya masuk surga
Apa kabar tuhan
Apakah perlu maha psikiater
Manusia menganggap diri tuhan semua
Membaca kitab kiamat segera
Palembang, 2003




Tersesat

Aku hanya ingin mengatakan kesetanan dirimu
Membiarkan aku membusuk
Di monumen penderitaan rakyat
Tanpa meninggalkan tanda tangan
Hingga aku begini tersesat

Palembang, 2003




Tahun baru

Mataair menggenangi setengah tiang
Orang-orang berdiri di luar rumah
Anak-anak digendong ibunya
Airmata mengalir hingga malam menjelang
Bapak mengumpulkan pakaian dan makanan
Berlari ke tempat tinggi
Ini bukan mimpi di sudut misteri
Ini tahun baru melanda ibu pertiwi
menyiksa cinta di dada
Mencaci hidup kian buruk
Nuansa pelangi dan bunga menari-nari
Di televisi tadi pagi
Melingkar-lingkar di kepala
Menunggu realita
Malam kelam nan malang
Bumi enggan menyerap airmata
Setengah tiang tergenang
Penduduk belingsatan tahunbaru hampir tiba
Hendak tidur di mana

Bakung, Des 2003





PERTEMUAN

Dalam sumur matamu berseliweran raut wajah simpanan
Suka duka saling tikam di tikungan menuju kenangan
Kau ucapkan salam perjumpaan
Tautkan jangkar ke lubuk samudra impian
Bukan cerita pangeran dan putri kerajaan
Hanya air mengalir deras ke pusaran
Melukis tenaga hati menggetarkan tali genggaman
Kau menunggu mengulang kembali raut wajah menyapa beningnya mata dan mekarnya mawar di taman.

Peternakan, Des 2003





SEBUT SATU

Kujajaki ribuan pesona kata dalam petualangan makna
Ribuan pulau singgah tak berarti apa-apa
Katanya kata tunduk pada makna katamu
Dirimu diriku sebut Satu
Ujung langit biru bercermin laut
Telapak kaki tanah kenduri
Bersorak orang mati bersemedi mohon diri
Arahmu bisa tak tentu
Walau seribu satu mulikmu

Jakarta, agustus 2003





PADA API LILIN DI SAMPING KEPALA NEGARA

Pada api lilin di samping kepala negara
membakar kulit mengkilat jidatnya
mata terbelalak tertuju juru bicara ceplas-ceplos
masuk gawang mulut tukang pijat kepala botak
ia muntah kata-katahabis lalapannya
bisajadi jadibisa
membiru raut wajah kena bisa semua terbujur lianglahatmenganga meminta jatah penjaga
semua berduka cita
tumbal belum terbayar
terpenggal kepala negara
inilah peradaban hutan belantara
siapa sangka kuasa mengatakannya

Jakarta, agustus 2003




AKU SEMAKIN JAUH

Ingin kukatakan padamu irisan hati
hingga kau mengirisnya sendiri
Sampai kapan aku memeluk diriku sendiri
Aku semakin jauh
Hanya kamu disitu

Palembang, 2003

Senin, 14 September 2009

Petani yang Mulia

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Petani yang Mulia
Jajang R Kawentar

Kaum tani yang mulia, hidup mati dalam era global ini bergantung padamu. namun sejuta mata memandang sebelah kerna peluh bercucuran dan terik mentari memasak kulit punggungmu. engkau mulia bersama pesyiar firman. di mata dunia hina, di mata kelak bertahta

pagarsari,2009

Kamis, 03 September 2009

MARTIL


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Jajang R Kawentar

Martil merupakan buku kumpulan puisi saya yang dicetak tahun 2002.
berisikan 15 puisi pendek. kumpulan puisi Martil ini sebagai pembelajaran bagi siswaku di teater Sansekerta SMA PUSRI (Pupuk Sriwijaya) Palembang kebetulan pada saat itu saya sebagai guru seni budaya dan sebagai pembina kesenian di SMA tersebut. buku ini berukuran kecil, sebagai media untuk memacu anggota teater dalam membuat buku. bahwasannya membuat buku itu tidaklah sulit, dengan mengumpulkan hasil karya-karyanya selama mereka belajar teater dan membuat puisi atau cerpen.
Buku Martil ini di cetak sekitar 500 eksemplar, dijual dengan harga pengganti cetak Rp. 1.500. tidak sedikit siswa yng terinspirasi oleh Martil ini, sehingga tidak sedikit pula bermunculan karya sastra dan dibuat buku sendiri. buku Martil ini sendiri dikerjakan oleh kawan saya penyair dan juga pekerja teater di Palembang yang cukup dikenal pada masanya, Syamsul Noor Al- Sajidi. beliau juga yang memberikan kata pengantarnya, tetapi sayang cover dan lembaran kata pengantar tersebut telah tercerabut dari akarnya. Buku ini baru ditemukan kembali dengan tidak sengaja saat membuka-buka buku majalah Terompet Rakyat yang diterbitkan Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi Yogyakarta.
saya ingin mempersembahkan beberapa puisi ini kepada khalayak. Puisi yang dibuat dengan waktu yang singkat-singkat, karena diberikan jatah waktu 5 menit dalam penciptaannya. Ini merupakan pembelajaran yang diberikan kepada anggota teater. begitupun saya mengikuti aturan itu.


1. JANJI

Persoalan hari ini adalah janji
janji begitulah selalu
kemarin, juga hari ini
hanya janji
Bakung, 105/2082002

2. MENUJU

Ucapkan gugur menuju
Ucapkan batu menuju
Ucapkan angin menuju
Ucapkan belaian menuju
Langkah tuhan di jalanmu

Bakung, 105 Sept 02


3. NEGRI-KU-BURAN

Rakyat jadi mayat
aparat jadi alat
hidup jadi robot
manusia jadi binatang
hewan diajari manusiawi
alam diperkosa
jujur dibenci
hianat dipuji
tuhan dihukum mati
haram dimakan
halal ditertawakan
negara jadi perusahaan
hukum jadi perdagangan
hak ajazi di telapak kaki
mau apalagi
merdeka atau mati
sesal tiada arti
Kambang Iwak, 672002


4. DUKA

Hari ini bersembunyi
dibalik tubuh
teroris
muka kita diiris di atas
panggang
anak-anak menangis
aku adalah bangkai:
terasa harum parfum hutang dari orang tua gila
Kenten, 10 okt 02



5. ONANI

Sehari bumu berseri
semalam kelam terbenam
bersama tubuh mulus terputus
terbayang,
senggama mimpi
di kamar mandi
biji mutiara muncrat dari pasak bumi
alat vital mulai terkulai
Kambang Iwak, 272002


6. PENAMU

Puisi ini pena
tergeletak di meja
tintanya banjir
bersemi di hati
beranjak kepala bekerja
bercerita kepadamu
cinta dan tubuh berbadan dua
dari dulu hingga anak cucu
Kenten, 30102002


7. CLOSET

buang air besar
buang air kecil
halal haram bau
air kuning
air mani
merah darah
kuning tai
bening air
kau siramkan
Kambang Iwak, 452002


8. SEMUA INI MILIK SIAPA

dahan dan ranting bergoyang
burung meninggalkan
terbang arungi samudra
kecil ia sendiri
menatap bumi
hamparan harapan terbentang
semua ini milik siapa
semua ini milik siapa
kecil ia sendiri
kecil kita semua
menatap bumi
hamparan harapan terbentang
semua ini milik siapa
Kambang Iwak, 852002


9. MIMPI BURUK

buaian kalimat malam bibir bergibcubicik onah di kambang iwak,
di redup remang,
mengusap birahi
merangsang pusaka mang ujang
nafasnya naik turun
tersenyum
menutup telinga, mata, hati,
seketika
bicik onah: melawan anaknya kelaparan
melawan suaminya pengangguran
mang ujang: melawan istrinya kalap menanti penghasilannya
melawan kekurangan pendapatannya
bicik onah, mang ujang
tenggelam dalam senyum sesaat dalam mimpi buruk


10. NGOMONGNGOMONG KEMERDEKAAN

ngomongngomong
ini hari kemerdekaan
belenggu-membelenggu
berlangsung seperti pada paha
putri indonesia
seperti jalan tol
berkendaraan UUD kolonial atau sekedar slogan
umpamanya jajang wts-lts
di lokalisasi sidang majelis rakyat
oh kemerdekaan berpestapora
atas nama pancasila
oh kemerdekaan menari-nari
di atas sumpah atas nama tuhan
kemerdekaan menjadi kuda liar:
umpamanya wakil rakyat atau pejabat itu
dari gembel-gembel dan para pengemis di perempatan jalan
ya kemerdekaan apapun yang dilakukan
ya kemerdekaan
ini hari kemerdekaan pudar bersama merah darah bendera kita
menjadi merah jambu:
umpamanya terlalu sering digauli yang patah hati
atau oleh para abg yang baru jatuh cinta:
umpamanya penganggur atau preman adalah para wakil rakyat
dan pejabat itu
Kenten Laut, 1782002


11. MAU JADI APA ANAK BANGSA

Anak-anak bertelanjang dada
berlari-lari mengejar bola
disirami air hujan
enggan kunjung
mereka tertawa bercanda
anak-anak mau jadi apa

engkau harapan bangsa
belajar jangan ditunda
penjajahan kian meraja
bangsa ini digadai pula

Kenten Laut, 2052002


12. Irama

Meja berputar dalam irama kelas
kepala berjalan melalui mimpi
tindakan hari ini film
kartun

surealisme katamu
otakmu menggapai langit dengan lidah

tak perlu berbagi 2=2 = 4
tak perlu berbagi hati
sungguh kita 2 dan 1 hati
biar begitu irama itu.
Bakung, 105 okt 02

13. Bisu

Buka tabir, tabur jingga dan ungu
Cinta pat-pat gulipat
tepuk dada
di kacamata membayang air berlinang
tak kusangka kaulah topeng
berbulu macan
menggambar pilu di ujung sembilu
oh..
MAtaari pujaan hati
kini bisu tetap kawan setiamu

Kenten, 23 okt 02

14. Nyamuk

Semalam rebut nyamuk
rebutan lahan
aku dimakannya
semalam suntuk
aku mabuk
pagi-pagi ngantuk
obat nyamuk
bikin nyamuk
bikin gemuk
dimakannya

Bakung, 105/2782002

15. Api di Jidat

Aku berenang dalam pasir
dirimu menunggu dengan lugu
komputer dibajak kerbaumu
kupanggil lewat internet
dirimu mendekat
api di jidat
kau buka pakaian
telanjang bulat
ah kau masih melankolis
sinetron kita
sampai detik ini

Kambang ikan, 30 sept 02

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

Jajang R Kawentar

Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan pada pejabat, raja atau pada Dewa, dan sebagai bahasa pergaulan. Beberapa tarian tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hannya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja.

Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang akan mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat.

Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang dibawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang perduli. Ketidakperdulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.

Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni budaya lokal.

Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetunya hal ini sangat melukai para pekerja seni.

Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.

Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.

Buku

Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti. Meskipun masih ada beberapa kelemahan dalam teknik kepenulisannya, kurang mencerminkan penulisan karya ilmiah. Setiap data atau keterangan yang diambil dari buku atau dari hasil wawancara tidak jelas.

Walau begitu ada sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di setiap kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Sesungguhnya lebih baik dilakukan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan, sebagai induk dari Dewan Kesenian daerah.

Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.

Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.

Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.

Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.

Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.

Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.

Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.

Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.

Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat membingungkan pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga bernafaskan Budhisme.

Terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun.

Rabu, 02 September 2009

Festival Puisi Internasional Palembang - Jakarta

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


Festival Puisi Internasional Palembang - Jakarta

pembukaan Festival Puisi Internasional besok 2 Juli 2006 jam 8.00 WIB. di sebuah hotel di Palembang. 13 peserta luar negri dari 12 negara. mereka akan berada di Palembang hingga tanggal 3 Juli 2006 dan di lanjutkan sekaligus penutupan di Jakarta tanggal 5-6 juli 2006. para peserta/penyair Indonesia yang hadir di Palembang: Dorrothea, Raudal Tanjung Banua, Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, Taufik Wijaya, Anwar Putra Bayu, Agus Sarjono, Djamal D. Rahman, selain itu yang hadir: Maman Mahayana, beberapa siswa Akademi Sastra Palembang [ASAP].
acara internasional ini begitu antusias disambut oleh beberapa kalangan pecinta sastra, akan tetapi seperti juga acara penyambutan tamu saja. seremonial belaka. puisi di dalam dunia kapitalis akankah masih hidup?
sungguh sayang kegiatan yang cukup monumental ini tidak banyak masyarakat palembang tahu, terkesan tertutup. apakah memang ditutup-tutupi, atau panitia kendadapan. ada banyak hal yang dapat dibicarakan dan akan diperbincangkan sebagai bekal dari sebuah pengalaman kehadiran di Palembang.

salam
jajang r kawentar

CERITA PENDEK SUMSEL DI KAMBANG IWAK

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


CERITA PENDEK SUMSEL DI KAMBANG IWAK
Jajang R Kawentar


Pada hari Minggu 03 Juni 2007, jam 14.00 WIB. Kambang Iwak Palembang kedatangan tamu Cerpenis Sumatera Selatan. Cerpenis yang biasa karyanya menghiasi koran-koran “besar” yang bermukim di Palembang dan mendominasi pasar pembaca Sumsel. Cerpenis yang di miliki Sumatera Selatan ini tidak begitu banyak, masih dalam hitungan jari kaki dan tangan.Sehingga kita dapat memprediksi karya siapa saja yang bakal muncul di koran pada setiap Minggunya. Penulis cerita pendek yang sering kita baca di koran-koran “besar” Sumsel tidak asing seperti T. Wijaya, Imron Supriadi, Purhendi, Alpansyah, Anto Narasoma, Eko Sulistiyo, M.Arpan Rahman, Rifan Najib, Pinasti S. Zuhri, Rendi Fadilah, Solehun, Koko P. Bhairawa, Nurahman, Kunto Wibisono dan Sutan Iwan Sukri Munaf. Laki-laki lebih mendominasi kesusastraan Sumsel dan perempuan harus mengejar. Perempuan penulis cerita ada dalam hitungan sebelah tangan namun jarang menghiasi koran “besar” Sumsel akan tetapi menghiasi buku, dan majalah. Seperti Azzura Dayana, Yeni Pusvyta. Nama-nama yang tertulis di sini merupakan nama yang karyanya pernah penulis nikmati.Namun bagaimana untuk menyelaraskan visi dan misi dalam membangun sebuah wacana atau gerakan cerpen atau gerakan sastra atau gerakan “kebudayaan” Sumsel bila yang hadir adalah gerakan curiga atau gerakan tak bergeming.
Kita memang beda kita punya visi misi sendiri-sendiri kau ke kiri kau ke kanan kau ke atas kau ke belakang dan bagai arah mata angin atau air mengalir seperti sungai Musi atau seperti rawa. Bagaimana kita akan membangun sebuah gerakan kebudayaan atau gerakan sastra, apabila tidak ada keselarasan, apabila yang dibicarakan seputar tingkahlaku, tidak pada teks karya.
Semegah apapun kegiatan cerpenis Sumsel orangnya dalam hitungan jari kaki dan tangan digoyang. Wajah yang lama, mungkin kusut dan keriput. Ada juga dalam hitungan sebelah tangan muka-muka baru dan cukup ngebut dalam berkarya seperti naik kendaraan Jepang. Cerita Pendek Sumsel di Kambang Iwak dapat diprediksi bagai sebuah reuni dari perguruan ngaji di Langgar. Namun walau demikian gerakan Cerita Pendek Sumsel di Kambang Iwak sangat berarti dalam sebuah percaturan percerpenisan Sumsel. Gerakan kecil saja jarang apalagi gerakan ngebor seperti “Inul”. Atau saya salah membaca, ada sebuah gerakan yang tidak tampak oleh kasat mata, tapi oleh keset mate.
Gerakan Kambang Iwak ini tidak begitu menarik untuk ditonton tetapi akan lebih menarik jika yang merasa sebagai penulis cerpen atau yang berminat dalam dunia cerita pendek ikut terlibat adu mulut teks, adu cerita tajam, adu jalan cerita dan adu kekuatan cerita. Asal jangan mengadu domba cerita, mengadu ayam dalam cerita boleh saja. Mari jujur dalam cerita, mari bersilat lidah dalam cerita, mari ngibul dalam cerita, mari bercinta dalam cerita, mari berteori dalam cerita, mari berguru kepada cerita. Namanya saja cerita, bohong. Namun tidak salah belajar dari cerita, sebab cerita merupakan kehidupan nyata yang dikarang seperti kehidupan yang pernah dialami atau tidak pernah sama sekali.
Barangkali jika pencerita berkumpul dalam gerakan Cerita Pendek di Kambang Iwak atau dimana saja akan banyak cerita yang bisa dinikmati. Atau gerakan sastra (Cerpen) Kambang Iwak ini hanya sekedar cerita pendek saja. Gerakan Kambang Iwak ini seperti Gerakan SMS, hanya cerita dari handphone ke hp, yang bergerak hanya di sekujur hp cerpenis Sumsel. Tidak sampai gerakan jalan cerpenis menuju Kambang Iwak.
Tunggu ceritanya di hp cerpenis. Sebuah gerakan pasti ada aksi dan ada reaksi. Tetapi cerpenis Sumsel atau pekerja seni Sumsel lebih suka menikmati kesendirian, romantis, sentientil atau lebih tertarik dengan sesuatu yang kompromis. Apabila disodorkan sebuah gerakan atau sesuatu yang melibatkan kebersamaan dan menuntut sebuah militansi, seperti ketakutan akan terganggu eksistensinya. Entah karena merasa sudah lebih dulu go public, karena dak level, atau karena masalah individu yang sudah mengakar. Seandainya bukan karena hal yang sentimental pasti tidak akan ada halangan atas undangan kegiatan di manapun dan siapapun yang mengundang, bukan persoalan. Apabila yang dipahami adalah sebuah gerakan maka siapapun bergerak untuk mencapai tujuan bersama.
Kambang Iwak memang harus difungsikan sebagai koordinat gerakan kebudayaan daripada hanya digunakan untuk pacaran sambil duduk atau berlari-lari anjing. Kalau tidak memungkinkan untuk gerakan kebudayaan, yang kecil bae barangkali gerakan sastra (seni). Barangkali pemerintah kota dukung gerakan sastrawan (seniman), karena, pemerintah yang bijak akan memberi ruang kreatif dan insentif bagi setiap pekerja seni untuk berkarya.
Apabila Kambang Iwak menjadi koordinat gerakan kesenian maka yang terjadi minimal setiap minggu kegiatan kesenian akan selalu menghiasi ruang kosong itu digunakan untuk kerja kreatif para pekerja seni. Lebih dari itu kita dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat ke arah yang positif. Sebaiknya memang pemerintah membuat sebuah gedung Taman Budaya. Bukan gedung untuk resepsi pernikahan, seperti pada umumnya di Sumsel, gedung kesenian disewakan menjadi gedung pernikahan. Pemerintah daerah mana yang mampu dan mau memfasilitasi setiap pekerja seni? Mimpi kali?! Seperti kita tahu bahwa karya seni dan segala fasilitas yang dimiliki disebuah daerah merupakan salah satu bukti peradaban manusia di daerah tersebut.

SASTRA TUTUR SUMSEL TERGANTUNG DI KEPALA DAERAH

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


SASTRA TUTUR SUMSEL TERGANTUNG
DI KEPALA DAERAH

Jajang R Kawentar

Selama orang bisa berbicara dan bercerita maka tradisi bertutur itu akan melangsungkan kehidupannya. Apabila konsepnya tradisi lisan (oral tradition) seperti diungkapkan Anton Bae (Siapa Bilang Sastra Tutur Akan Punah, MI, 18/11/2007) maka kelahiran tradisi sastra tutur sesungguhnya sejak manusia hadir di bumi dan mulai berkomunikasi maka mereka sedang memulai proses tradisi bertutur. Tradisi sastra tutur ini menjadi beragam sesuai dengan gaya bahasa dan keadaan wilayahnya dengan berbagai budaya pendukungnya, begitupun cara mengekspresikannya atau penampilannya. Tema dan ide isi tuturan dipengaruhi dari watak dan karakter orang di wilayahnya.

Masyarakat tradisional Sumatera Selatan (Sumsel) mengenal nama dan istilah sastra tutur dengan tema, isi dan bentuk ekspresi yang relatif berbeda seperti, Senjang dari daerah Sekayu, Reduy dari Prabumulih, Tadut, Tangis Ayam dari Besmah, Bujang Jelihim dari Ogan Ilir, Betogow dari Kayuagung, Nanday dari Musi Rawas, Bujang Jemaram dari Ogan Komering Ilir, Njang Panjang dari Ogan Komering Ulu, Warahan dari Komring, Andai-andai hampir disetiap tempat ada dan masih banyak lagi. Pertunjukan sastra tutur ini bisa sehari semalam bahkan sampai empat hari empat malam tanpa berhenti.

Mengelola Seni Budaya

Sumsel memiliki banyak kekayaan seni budaya adiluhung, tidak hanya sastra tutur. Tetapi apalah arti semua itu apabila masyarakat dan fihak terkait tidak dapat mengelolanya dengan baik. Seolah-olah masyarakat sendirilah yang melakukan pembusukkan atau pendustaan terhadap peninggalan leluhurnya atau para pekerja senilah yang menjadi sasaran karena tidak dapat menjaganya, dan tidak dapat meregenerasikannya. Anak muda mana saat ini yang bangga terhadap seni budaya leluhurnya dengan ikut peran serta dalam kegiatan seni budaya tersebut. Apalagi melakukan penelitian dan melakukan prospek terhadap generasi muda lain supaya mengenal dan mencintai warisan seni budaya leluhurnya.

Dalam satu hal kita bisa memaklumi, karena sifat manusia yang selalu berubah, melakukan perubahan dan terbawa perubahan jaman. Perubahan inilah yang seringkali luput dari penilaian atau penelitian. Kita apriori dengan perubahan ini, karena masing-masing individu sibuk dengan permasalahan dirinya serta periuknya. Menjaga atau melestarikan warisan seni budaya leluhur seperti mempertahankan sebuah keyakinan dan menciptakan sebuah mitos yang dapat menjalin rasa kemanusiaan di setiap wilayah atau di dalam keluarga.

Perubahan yang dialami tidak akan lewat begitu saja apabila ada orang atau lembaga yang sangat konsen terhadap seni budaya. Kesalahannya adalah Sumatera Selatan yang luas dan berpenduduk jutaan tidak memiliki lembaga pendidikan tinggi seni yang memiliki kompetensi dalam melanggengkan seni budaya daerah yang kini hampir punah. Lembaga pendidikan seni yang ada seperti Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) saja dikacaukan oleh oknum yang tidak berwawasan seni budaya. Universitas Sriwijaya yang besar dan cukup tua saja tidak memiliki keberanian untuk membuka jurusan seni. Barangkali masalah ekonomis menjadi pertimbangannya, bukan masalah strategis (menjaga aset bangsa: menjaga warisan seni budaya bangsa). Sumsel sedikit memiliki ahli seni berbasis lokal yang memiliki pendidikan formal dan sedikit memiliki tenaga kependidikan yang betul-betul mendapatkan pengetahuan seni. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan apresiasi masyarakat terhadap seni.

Sesungguhnya ada beberapa lembaga pemerintah yang memiliki kompeten dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah seperti, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dewan Kesenian. Pembinaannya di Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dewan Kesenian dan pengembangannya di Dinas Pariwisata dan Budaya. Atau bisa saja diputar.

Sastra Tutur Sebagai Media Hiburan Sekaligus Media Penyadaran

Apabila kita berbicara tentang pengelolaan kekayaan budaya, tentu harus ada sebuah struktur kerja atau komponen-komponen penunjang terhadap kelangsungan sebuah teradisi tersebut. Struktur kerja itu dahulu kala dalam tradisi lisan, hanya semacam kesepakatan bersama tidak tertulis. Jaman berubah, keadaan berubah, tradisi sastra tutur itu masih relatif orsinil. Bahkan cenderung resistan dengan keadaan perubahan yang ada. Gagasan, tema, teknik mengekspresikan atau penampilannya tidak berubah, yang berubah adalah para penontonnya atau audiensnya. Pemikiran audiensnya tidak lagi dapat mengikuti cara atau teknis pertunjukkannya. Terlalu banyak menyita waktu, dan terasa monoton, kejenuhan menyelimuti audiens. Maka pemikiran praktis dan ekonomis bagi kaum urban di jaman modern muncul; lebih baik nonton tv, video atau dengerin mp3 sambil duduk di rumah atau sambil jalan-jalan ke mal. Dari pada suntuk duduk, ngerti juga ndak, malah kayak orang “bego”, mendingan tidur atau kerja sekalian.

Jika tidak ada penjagaan melalui struktur kerja seperti sebuah lembaga dan pembentukan komponen dalam pembangunan mitos atau yang dapat mempersatukan rasa kemanusiaan, kebersamaan, kebangsaan dan juga ketuhanannya. Maka tradisi akan lenyap oleh kekuatan kebutuhan material domestik yang sangat mendesak yang membuat perut keroncongan sehingga harus berjuang mendapatkan sesuap nasi terlebih dahulu ketimbang mengutamakan kehidupan sastra tutur, yang dianggap sebagai media hiburan tidak berdampak terhadap ketahanan tubuh.

Namun sastra tutur berpeluang terhadap ketahanan mental, sosial budaya, karena dalam sastra tutur mengajarkan tentang moral, etika, dan spiritual sebagai media penyadaran. Orang yang berbuat jahat akan diganjar dengan kemurkaan dan orang yang berbuat kebaikan akan diganjar dengan keselamatan. Cerita heroik tentunya mengajarkan kepada audiens tentang kepahlawanan, tidak mudah menyerah dengan kenyataan, terus berjuang untuk mendapatkan kemenangan, kekayaan dan kekuasaan.

Mari Identifikasi Diri

Apakah saat ini masyarakat sebagai produsen yang sekaligus konsumen dan pemerintah sebagai komponen pendukung, memiliki kepentingan terhadap sastra tutur? Sastra tutur kini menjadi kegiatan seni yang cukup eksklusif yang berusaha tercerabut atau dicabut dari akar tradisinya karena efek industri kapitalis, apalagi dengan pasar bebas dan globalisasi ini.

Tanda-tanda kepunahan sudah jelas, ada beberapa indikator yang menjerumuskan tradisi sastra tutur kepada kepunahan. Apakah masih terjadi proses regenerasi penutur tradisi sastra tutur? Mari identifikasi bagaimana populasi penuturnya? Berapa orang penutur yang sudah meninggal dan berapa yang masih hidup? Berapa orang yang masih muda dan yang sudah tua? Ada berapa kali pementasan sastra tutur dalam kurun sebulan, setahun dan seterusnya? Ada berapa massa yang masih setia dengan penampilan sastra tutur. Ada berapa lembaga pemerintah dan lembaga budaya masyarakat yang peduli terhadap tradisi sastra tutur.

Mari kita bertanya pada diri kita. Apakah kita peduli dengan sastra tutur? Sejauhmana kepedulian kita? Berapa kali menghadiri penampilan sastra tutur? Berapa kali membicarakannya dalam diskusi atau dialog dengan kawan-kawan. Apa yang sudah dilakukan untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi itu, lalu program apa yang akan dilakukan ke depan? Apabila kepedulian itu hanya di bibir manis saja, maka kehancuran itu sedang berlangsung.

Kekuatan Lembaga Budaya (Non Profit) dan Lembaga Profit

Kerjasama dan peran aktif dari Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (Kobar 9) Palembang dengan Bank Sumsel sebagai lebaga profit menjadi sangat berarti bagi kelangsungan Sastra tutur di Sumsel. Berbagai usaha sudah dilakukan dalam kerjasama tersebut diantaranya, festival sastra tutur, revitalisasi sastra tutur, mendokumentasikannya dan mencoba mempublikasikannya. Sebuah usaha yang membutuhkan energi yang tinggi dan tentunya membutuhkan dana tidak sedikit, untung saja Bank Sumsel sebagai bank pemerintah memiliki kepedulian yang rendah hati terhadap dunia kesenian daerahnya.

Sepatutnyalah didukung lembaga pemerintah dan lembaga budaya masyarakat. Apa pedulinya pemerintah daerah terutama yang memiliki tradisi sastra tutur. Pemerintah pada umumnya berkepentingan terhadap seremonialnya saja. Mereka seperti tidak berdaya ketika dihadapkan dengan permasalahan pada tradisi sastra tutur, begitupun dengan permasalahan seni budaya yang lain, apalagi pada sumber daya manusianya.

Seandainya saja lembaga budaya Kobar 9 tidak ada motor penggeraknya maka apa yang terjadi? Apabila Kobar 9 tidak didukung Bank Sumsel yang mendanai kegiatan sastra tutur, apa kata dunia? Tapi bagaimana bila Sumsel benar-benar kehilangan tradisi sastra tutur tersebut? Saya rasa tidak ada yang akan merasa kehilangan. Akan tetapi, seandainya puyang menanyakan kembali warisannya, bagaimana? Adakah yang bertanggung jawab? Bukankah warisan seni budaya merupakan identitas bangsanya? Jangan tunggu kehilangan identitas itu, seyogyanya sedari sekarang melestarikannya. Tidak sedikit bangsa yang kehilangan identitasnya dan material menjadi identitasnya. Kalau material menjadi identitas maka berbagai kearifan lokal ikut lenyap bersamanya.

Kalau saja kepala pemerintahan daerah membuat kebijakan bagi setiap bank, Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan swasta yang terdapat di daerahnya untuk dapat berperan membina salah satu seni budaya daerah yang hampir punah itu maka akan menghidupkan kembali seni tradisi serta menghidupi para pekerja seni serta menghidupi nasabahnya. Berarti menghidupkan semangat kesetaraan di hati rakyat. Salam Budaya!

MENDALAMI DUNIA PEREMPUAN DALAM BAHASA RUPA

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


SENJAKALA EROS: MENDALAMI DUNIA PEREMPUAN DALAM BAHASA RUPA
Jajang R Kawentar


Senjakala Eros adalah sebuah tajuk Solo Exhibition Painting Eduard (Edopop) di Art Forum, 82 Cairnhill Road, Singapore, yang di selenggarakan tanggal 13 – 24 Oktober 2007. Pameran di Singapura ini bukan yang pertama dijajaki Edopop, bahkan ia pernah pameran keliling di beberapa kota negara Copenhagen (Denmark), Canada, Virginia, New Jersey, New York di USA. Edopop yang lahir di Palembang 1972, belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Palembang. Ia terus beranjak pesat, terus bertarung memperjuangkan estetiknya di tengah budaya global dan ia telah mampu merebut perhatian masyarakat seni dunia karena kemampuan dan kegigihannya. Ia menyelesaikan Sarjananya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Program Studi Seni Lukis (1995 – 2000). Kini ia tinggal di Yogyakarta. Apakah ia menjadi salah satu penerus dari tokoh seni lukis Indonesia asal Sumatera Selatan, Amri Yahya?
Dalam pameran kali ini Edopop melukiskan berbagai permasalahan perempuan dan anak menurut pandangannya terhadap pengamatannya selama ini, terutama dalam keluarganya. Gagasannya muncul ketika anak pertama lahir perempuan. Saya melihat kegalauan itu mengemuka karena seorang Edopop banyak mengkonsumsi konsep-konsep kapitalisme dan konsep idiologi dari barat dengan perbandingan konsep lokal.
Edopop melukiskan bentuk perempuan dan anak yang sangat terkekang dengan memvisualkannya melalui tanda-tanda yang tidak jauh dari dapur dan tanda-tanda yang dimiliki perempuan kita pada umumnya, seperti benang, kain, panci, kaki yang mulus terikat atau berdiri disatu kaki, kepala yang terikat atau terbebani masalah atau tuntutan. Begitupun dengan tubuh yang dibalut atau dililit kain, bahkan tubuhnya nyaris tidak pernah tampak karena ditutup kain.
Dalam pengantar katalog Pameran Tunggal Edopop yang ditulis Hendro Wiyanto pembaca dibawa ke dunia perempuan yang di sekat oleh istilah gender. Kalau kita berbicara tentang demokrasi dan kesetaraan maka apabila kita mengupas isue gender, itu basi. Allah sudah mengatur di dalam Al-Quran dan Hadist, apa hak dan kewajiban perempuan serta hak dan kewajiban sebagai laki-laki. Al-Quran dan Al-Hadist adalah mutlak bagi umat Islam. Diantara keduanya memiliki aspek unik yang memiliki keterbukaan kemahfumannya. Memperdebatkan tentang gender berarti kita akan kembali ke belakang yang mempertajam perbedaan dan menekankan kecenderungan mudaratnya, isue ini dihembuskan oleh kekuatan faham kapitalis, sebagai politik kapitalisme yang bergerak guna merubah image pasar. Menurut saya itu propaganda kapitalisme dalam membuka pasar global. Sebagai upaya merubah pandangan masyarakat yang digiring dari label pelanggaran hak asasi manusia.
Sebetulnya bagi umat Islam sudah sangat jelas pedomannya Al-Quran dan Al-Hadist. Namun yang membedakannya bagi orang Timur sebagai budaya adalah konsep atau cara pandang, atau penghargaan orang barat dengan orang timur terhadap subjek perempuan dan laki-laki itu yang berbeda. Cara pandang laki-laki terhadap perempuan dan cara pandang perempuan terhadap laki-laki itu yang berbeda.
Semakin peliknya perdebatan tentang gender semakin besarnya keuntungan yang diraup oleh kaum kapitalis. Dengan begitu perempuan menjadi sumber eksploitasi bagi produk dan merk-merk dagang bagi kaum laki-laki, bagi pengusaha, perusahaan dan majemen, begitupun sebaliknya. Gender alat propaganda yang akan menyilap mata siapa saja yang lebih mencintai dunia material, sasaran yang sangat vital adalah anak-anak. Seperti juga masyarakat awam, masyarakat dusun di pedalaman Sumatera yang telah menikmati kecanggihan teknologi. Mereka adalah korban daripada kerja keras kaum kapitalis yang dibayang-bayangi oleh isue gender tersebut.
Kita sebagai bangsa yang besar tentu memiliki kebudayaan dan latar belakang budaya serta etnis yang juga kaya, maka, saya kira Edopop bermula dari masa lalu atau sejarah dirinya yang dilahirkan di daerah yang memiliki sungai yang besar dan lebar serta rawa-rawa yang luas, juga budaya atau adat istiadat yang unik di tempat di mana ia dilahirkan, yang juga berbeda dengan budaya di mana sekarang ia tinggal. Karya yang tertuang dalam kanvas itu merupakan olah rasa dan olah pikir perpaduan sejarah masa kecil dengan pandangan seorang Edopop saat ini yang dewasa, berpendidikan, tinggal di lingkungan penduduk yang memiliki pola pikir modern dan liberal, serta memiliki pergaulan dengan kaum intelektual.
Hendro Wiyanto tampak gugup ketika memandang sebuah gagasan baru yang di usung oleh seorang Edopop seorang pelukis kelahiran Palembang. Sepertinya dia tidak memiliki catatan tentang kebudayaan nusantara termasuk catatan latar belakang budaya si pelukis yang dicermatinya. Ia bermodalkan referensi barat yang secara ideologi berbeda dengan subjek yang ditulisnya. Kita memiliki aset kebudayaan yang tinggi dan memiliki referensi sejarah yang kaya belum digali. Tentunya tidak hanya Jawa saja, Sumatera Selatan atau khususnya Palembang, memiliki budaya, tradisi dan sejarah yang berbeda. Pengalaman batin dan latar belakang Pelukis tentunya melekat di alam bawah sadarnya.
Proses pencarian gagasan Edopop menyisir kembali perjalanan dari tempat ia dilahirkan. Mulai dilahirkan dari rahim ibundanya, dilahirkan di Ibu kota yang memiliki karakter kuat sebagai laki-laki, sistem kekeluargaan yang kuat, dan memiliki karakter yang keras serta lugas. Kini keterikatan batin dengan istrinya yang telah melahirkan anaknya berkelamin perempuan, dan kemungkinan pada saatnya nanti anaknya akan melahirkan anak pula.
Ini adalah gagasan pandangan baru tentang objek lukisan dan sebuah pergulatan permasalahan dari subjek pelukis. Sebuah kegalauan yang berawal dari sebuah rumah dimana terdapat keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah sebagai salah satu subjek penentu dalam keluarga dan ibu serta anak menjadi objeknya. Sementara ibu dan anak sendiri adalah subjek yang berbeda dan tersendiri. Memiliki permasalahannya sendiri-sendiri yang sesungguhnya saling sangkut-paut lahir dan batin. Bermula dan berakhir dari kebutuhan lahir batin itu bersatu, menemukan sesuatu dan kehilangan sesuatu permasalahan.
Namun demikian dalam adat dan akar budaya subjek menjadi latar belakang yang tidak bisa dipisahkan. Banyak dari akar budaya itu yang harus dijunjung tinggi, seperti petata-petiti puyang yang memberikan makna hidup supaya lebih baik. Pabila dibenturkan dengan keadaan jaman sekarang tentunya banyak pula petata-petiti tidak setajam semula. Seperti sudah kita ketahui bahwa ketajaman petata-petiti berperang dengan peluru kendalinya sistem kapitalis yang meringkus budaya peninggalan puyang. Petata-petiti itu sudah berubah menjadi merk-merk dagang. Tidak hanya petata-petiti tetapi berbagai bentuk produk lokal seperti kain Tajung, Songket, Jumputan ataupun tradisi daerah hingga tradisi keluarga menjadi terpecah. Karena beribu tradisi baru setiap hari yang ditawarkan oleh sistem kapitalis. Ini merupakan salah satu permasalahan, perenungan estetik yang butuh pemecahan dan pencitraan.
Beberapa bentuk dan objek lukis yang terdapat di kanvas itu merupakan proses perenungan estetik dan bagian dari pada pemecahan dan pencitraan baru yang dilalui oleh seorang Edopop yang tentunya akan memunculkan sesuatu yang lebih tajam dari keadaan sekarang. Dengan semakin tajamnya pisau pembedah dalam menemukan sebuah kekuatan estetik, olah rasa dan olah pikir maka seorang Edopop akan terus melahirkan karya terpilih yang melampaui kemampuan dirinya sekarang.
Sebagai penikmat selalu menunggu estetika baru semacam apa dan pencitraan baru semacam apa yang ditawarkannya nanti kepada khalayak.

SEJARAH DAN DEWAN KESENIAN


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...



SEJARAH DAN DEWAN KESENIAN
Jajang R Kawentar

Semacam mitos membicarakan kemegahan dan kejayaan kerajaan Sriwijaya, atau keraton Kesultanan Palembang. Rasa-rasanya kemegahan dan kejayaan itu ada dalam angan-angan, begitupun Dewan Kesenian yang berdiri hampir di setiap Kabupaten dan Kota. Kedengarannya “kata” Dewan Kesenian begitu megah dan gagah, tetapi seperti bedak atau gincu pelengkap kecantikan wajah kalau mau pergi ke tempat sedekahan atau ke pasar malam. Sulit mencari jejak untuk lebih dapat mempercayainya, bukan hanya sekedar cerita dari sedikit peninggalan yang tersisa. Sulit untuk dibanggakan tanpa dasar-dasar yang kuat sebagai bukti yang lebih akurat atas keberadaan sejarah di atas itu, bukankah malah jembatan Ampera (jembatan Bung Karno) yang dibanggakan wong kito saat ini. Padahal itu berasal dari GANTI RUGI penjajahan orang Jepang. Begitupun juga dengan seringnya Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) mengundang atau mengadakan event untuk pekerja seni dari luar daerah Sumsel yang sudah mapan seperti Rendra atau Ratna Sarumpaet, dengan menggunakan dana yang tidak sedikit. Apabila pekerja seni lokal mengadakan pentas, mungkin bisa sepuluh bahkan dua puluh kali pementasan. Kesempatan itu diberikan kepada orang lain, seniman kita sendiri tidak dalam skala prioritas untuk pentas. Karena alasan itu pekerja seni kita menjadi malas berkarya, meskipun masih ada saja semangat berkeseniannya. Seniman dan kesenian orang lain menjadi semakin maju dan kesenian kita semakin terperosok.

Dewan kesenian harus mampu merangkum berbagai perkembangan kesenian yang ada di masyarakat, memfasilitasi setiap organisasi atau kelompok kesenian. Apabila dewan kesenian memiliki misi membina dan mengembangkan kesenian daerah tentu harus sungguh-sungguh, jangan setengah hati. Sehingga seni atau kesenian daerah itu dapat diikutsertakan atau dapat berpartisipasi dalam pembangunan mental dan spiritual bangsa. Kegiatan seni atau kesenian bukan hanya sebagai pelengkap dalam acara seremonial belaka.

Saya kira pemimpin Dewan Kesenian baik di Provinsi maupun di Kabupaten dan kota bukan sekedar menjadikan lembaga Dewan Kesenian kendaraan politik, sebagai tempat menempel identitas, biar dianggap organisatoris. Sebagai pemimpin Dewan Kesenian harus dapat memperjuangkan perkembangan kesenian, memaksimalkan kegiatan kesenian, meningkatkan tarap hidup seniman. Jangan menganggap enteng seniman seperti orang kurang kerjaan, buruh harian. Kerja seniman memerlukan energi ekstra, perlu konsentrasi tinggi serta kesabaran, ketelatenan, waktu yang relatif panjang dan keahlian yang memadai. Sehingga pemerintah memperlakukan seniman tidak proporsional.

Bagaimana Seniman yang bekerja di dewan kesenian itu dihargai dengan layak dan memaksimalkan kinerjanya. Rasanya tidak manusiawi apabila seniman yang bekerja di Dewan Kesenian dibayar 10% dari UMR. Bagaimana masyarakat bisa menghargai kerja seniman, Ketua Dewan Kesenian sebagai pimpinan dalam lembaga formal itu sama dengan melecehkan seniman. Pemimpin Dewan Kesenian tahun 2008 harus memiliki komitmen meningkatkan kualitas dan kuantitas seni budaya, tanpa memihak terhadap salah satu komuniti atau ikut dalam politik praktis. Mengolah para pekerja seni atau seniman menjadi sumber daya manusia yang profesional, bermartabat, dan menjunjunjung tinggi seni budaya bangsanya.

Bagaimana pemimpin daerah juga ikut andil dalam mensejahterakan kehidupan seniman. Memberikan banyak peluang usaha, dan kesempatan kerja. Selalu saja seniman lokal tidak mendapatkannya karena kurangnya modal dan pengalaman dalam bersaing untuk mendapatkan proyek atau kerja. Seniman pertunjukan semakin sempit ruang apresiasinya, karena sempitnya peluang yang diberikan baik pemerintah, apalagi masyarakat. Kesenian Sumsel yang memiliki latar belakang keagungan kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam menjadi hancur. Sekarang apalagi yang dapat dibanggakan dari peninggalan sejarah seni budaya tersebut. Apakah hanya cerita saja ataupun catatan yang sulit dibuktikan keakuratan dan keaktualannya.

Untuk itu seniman harus diikutsertakan dalam pembangunan bangsa ini melalui kemampuannya berkarya seni budaya dan pemerintah dapat memfasilitasinya. Masyarakat membutuhkan kreatifitas seniman yang segar memiliki bobot high Art tetapi tidak melepaskan kekayaan nuansa tradisi lokal. Begitupun wisatawan dari lokal dan global mendambakan suguhan seni budaya lokal yang segar dan dapat menghibur. Apabila pemerintah tidak bekerja sama dengan pekerja seni di daerahnya, lalu dengan siapa lagi pemerintah bermitra dalam mensukseskan kepariwisataan dan seni budaya Sumsel ini, seperti juga program Visit Musi 2008. Tidak terus bermitra dengan negri Cina dan negri-negri yang lain, sementara bangsanya sendiri yang menjadi objeknya serta subjeknya yang berdaya. Apabila kita bergantung dengan luar negri atau dengan orang di luar Sumsel ini saya kira sebuah keniscayaan saja. Majunya seni budaya dan kepariwisataan itu karena masyarakat di dalamnya dan keindahan alamnya.

Untuk memajukan seni budaya dan kepariwisataan harus ada suport positif bagi para seniman, dengan gairah berkesenian dan fasilitas seni memadai maka maha karya akan segera marak dapat diapresiasi masyarakat. Disamping itu ada dokumentasi dan karya monumental yang dirawat seperti juga Jepang membangun Jembatan Bung Karno yang sangat dibanggakan oleh penggunanya.

Meskipun jembatan Bung Karno itu menjadi image sungai Musi dan masyarakat kota Palembang, biarpun ikon yang salah. Karena ikon itu salah satu monumen sejarah bahwa Jepang pernah berkuasa, bercokol di sana dan menindas masyarakat Palembang. Selama monumen itu dijaga dan dirawat apalagi dicatat dalam buku dalam tulisan-tulisan, diabadikan dalam album foto, bahkan di jadikan simbol-simbol penting dalam lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, maka jembatan itu tentu akan terus mengingatkan kita pada tragedi kemanusiaan yang getir. Tetapi pada umumnya orang sekarang tidak perduli lagi dengan sejarah, seperti tidak perdulinya dengan seni budaya sendiri.

Lalu untuk apa ada departemen seni budaya, kalau tidak dapat ikut mempasilitasi pemberdayaan seniman dan mengakomodir karya-karya seniman. Departemen itu hanya membayar orang yang tidak bekerja untuk kepentingan korpnya dan tidak bertangung jawab terhadap masyarakatnya.

PENCIPTAAN KARYA SENI DAN PENDERITAAN RAKYAT


PENCIPTAAN KARYA SENI DAN PENDERITAAN RAKYAT
Jajang R Kawentar

Penciptaan karya seni sebagai bahasa ungkap
pekerja seni mengalami perkembangan dan perubahan: Opini
dan aspirasi pekerja seni dinyatakan secara lugas, berani
dan vulgar. Tetapi terkadang manusia khilaf; entah karena
faktor pendidikan atau pengetahuan yang kurang, atau
karena solidaritas kemanusiaan yang dimiliki pekerja seni
dan masyarakat terhadap pemerintah, lemah. Begitupun
sebaliknya. Atau nilai ketaqwaannya tidak seimbang antara
yang vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dengan yang
horizontal (hubungan manusia dengan manusia;
lingkungannya). Sehingga salah kaprah, tetapi tidak ada
yang mau dikata demikian, karena apa yang mereka
ungkapkan mempunyai maksud baik.
Penderitaan rakyat bawah sangat dominan dalam
mempengaruhi inspirasi para pekerja seni. Tidak sedikit
pekerja seni yang mengungkapkan penderitaan rakyat itu
dengan membusungkan dada, merasa berkewajiban menuangkan
itu ke dalam karya seninya. Penderitaan rakyat menjadi
lahan penggalian pekerja seni dalam menciptakan karya
seninya. Sebuah penderitaan yang mereka anggap dahsyat,
diolah dan dikemas menjadi sesuatu yang indah, tampak
romantis, kadang tampak mengerikan, kadang penderitaan itu
menjadi sangat menyenangkan.
Kalau demikian, tentu kita akan berpendapat: betapa
kejamnya seni itu, penderitaan menjadi sesuatu yang
menyenangkan, yang biasa-biasa menjadi tampak menyeramkan.
Pemutar balikan fakta terjadi, dan karena ini seni,
dianggap sah, tidak ada yang berani mempermasalahkannya,
karena kita (rakyat) sudah cukup direpotkan dengan
penderitaan yang kita terima.
Penderitaan itu adalah bencana, bagi rakyat bawah. Bagi
pekerja seni; itu adalah anugrah dan bagi mereka yang
menyukai hasil karya seni seperti itu adalah sebuah
hiburan yang sangat menarik. Para kritikusnya juga ikut
memberi label (melegitimasi) sebagai karya seni
kontemporer yang menjiwai jiwa zaman. Tentu ini sangat
menyedihkan, dalam keadaan rakyat menderita sepertinya
mereka ikut merasakan penderitaan yang rakyat rasakan. Di
balik itu, dengan banyaknya penderitaan yang rakyat
rasakan, semakin banyak pula ide yang bisa mereka tuangkan
ke dalam karyanya (semoga tidak benar). Tidak sedikit pula
para pekerja seni mendadak mendapat keuntungan dari
penderitaan rakyat ini, karena karyanya menjadi populer
(trend atau laku).
Kesalahan yang dilakuakan pekerja seni seperti itu
dianggap wajar dan halal oleh masyarakat yang memang tidak
mengerti (karena faktor kesenjangan pemahaman tentang
seni, antara pekerja seni dengan (rakyat) masyarakat
umum). Terkadang pekerja seni dengan kritikus seni
bersekongkol untuk menyatakan pembenaran, memuluskan
jalannya seni seperti itu. Seni dan pekerja seni
dipisahkan dari rakyatnya. Pekerja seni menjadi mahluk
yang mempunyai tugas terbatas, hanya mengungkapkan
penderitaan rakyat atau idealismenya; mereka tidak harus
memikirkan apa yang akan terjadi setelah karya seni itu
tercipta. Berarti dengan begitu, pekerja seni hanya
mementingkan dirinya, kepuasan pribadi; memuaskan orang
yang berkepentingan dengan karya seni, dan mengambil
keuntungan dari penderitaan rakyat itu tanpa ada timbal
balik; sebuah pertolongan untuk melepas penderitaan rakyat
tersebut.
Pekerja seni hanya melakukan hak-haknya sebagai warga
masyarakat: mengungkapkan segala bentuk perasaannya ke
dalam sebuah karya dengan bebasnya. Sementara kewajiban
sebagai warga masyarakat, membantu atau menolong
masyarakat dari keadaan tertindas, kesakitan, kelaparan,
krisis ekonomi, politik, hukum dan krisis moral itu, tidak
dilakukannya. Apakah cukup hanya dengan mengungkapkan
kegelisahannya itu?: yang sebetulnya rakyatlah yang
merasakan itu. Karya seni seperti itu cenderung merupakan
propaganda Status Quo: Rakyat janganlah menuntut lebih
dari kemampuan yang ada dalam posisi rakyat, cukuplah
dengan mengetahui bahwa kita sedang berada dalam situasi
krisis itu.
Dengan bersusah payah para pekerja seni itu menuangkan
ide penderitaan yang dirasakan rakyat ke dalam sebuah
karyanya. Sehingga menimbulkan kesan, ini lho keadaan
rakyatku, sengsara, tertindas, kelaparan, penyakitan dan
entah berapa lama lagi mereka akan mati” Tentu betapa
sedih dan sakitnya hati rakyat, disodorkan karya pekerja
seni seperti itu. Bagi rakyat yang tidak mengerti, tidak
tahu, akan menerima atau cenderung masabodoh terhadap
perlakuan pekerja seni yang mendiskreditkan dirinya
(rakyat).
Perlakuan pekerja seni itu seperti terjadi pada seorang
dokter yang memeriksa pasiennya dan lalu mengatakan
penyakit yang diderita pasien itu tanpa memberikan
suntikan, obat atau resep; supaya sipasien tersebut dapat
sembuh dari penyakit yang dideritanya dan merasakan
kembali hidupnya yang sehat.
Pekerja seni memang bukan dokter, tetapi apabila pekerja
seni mengetahui keadaan masyarakat tertindas, tentu akan
menciptakan karya-karya yang mengembangkan ke arah
bagaimana solusi atau jalan keluar dari kemelut
penderitaan tersebut. Tidak melulu mengungkapkan
penderitaan yang ada, tanpa memberikan dorongan spiritual
pada rakyatnya supaya bersatu padu, tenang, sabar, dan
melawan berbagai bentuk ketidakadilan; untuk membentuk
rakyat yang adil dan makmur. Kontribusi seperti itulah
kewajiban pekerja seni bagi masyarakat dan sebagai bagian
dari masyarakatnya. Sebaiknya masyarakat juga diikut
sertakan dalam pemilihan tema dan gagasannya, sesuai
kebutuhannya. Sehingga seni menjadi berguna dan bermanfaat
bagi rakyat di sekitarnya.
Penderitaan rakyat bawah merupakan ujian bagi para
pekerja seni dan rakyat itu sendiri. Apakah demi objek
sebuah karya, para pekerja seni akan tega mengeksploitasi
penderitaan rakyat atau mengikuti terus egonya? Sampai
dimana kepedulian pekerja seni melihat kenyataan yang
diderita rakyat. Rakyat tidak butuh gambaran atau cerita
yang sedang dan akan dideritanya, berilah ‘suntikan’ atau
‘obat’ atau ‘resep’. Para pekerja seni cukup kreatif dalam
membuat formula ‘obat’ supaya rakyat dapat keluar dari
penderitaannya dan karena kesatuan serta usaha keras
pekerja seni dengan semua komponen rakyatlah yang akan
mampu melepaskan segala penderitaan itu.

ESTETIKA REKLAME PILKADA

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...


ESTETIKA REKLAME PILKADA
Jajang R Kawentar

Reklame diyakini akan mampu mempengaruhi sikap kritis masyarakat berubah menjadi sikap konsumtif dan instant. Saya kira strategi dalam pemilihan Kepala pemerintahan daerah ini begitu cetek, tetapi cukup akurat karena sangat sesuai dengan kondisi masyarakat kita sekarang yang cenderung konsumtif dan instant itu. Tentu masyarakat sangat senang dan mudah dihasut oleh gosif atau mudah tersentuh dengan isu-isu murahan ketimbang faktanya. Umpamanya masyarakat dilenakan oleh janji-janji atau kamuplase cinta kasih, kenyamanan, keamanan, agama, kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pertanyaannya, apakah dengan reklame itu prilaku masyarakat dan pejabat yang korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) itu akan berubah setelah pemilihan Kepala pemerintahan daerah nanti?

Oleh karena itu reklame calon kepala pemerintahan daerah menjadi sangat tidak mendidik bagi kehidupan masyarakat kebanyakan. Bahkan cenderung memanfaatkan keadaan masyarakat yang demam iklan, dan mimpi menuju puncak. Kebodohan atau kecerdikan atau kepicikan yang melanda republik ini, untuk menduduki kursi Kepala pemerintahan daerah rela berkorban dengan cara berperang lewat reklame antar kandidat.

Sepertinya masyarakat diajak untuk berilusi bahwa antar kandidat yang satu dengan yang lainnya itu lebih bermoral, lebih sosialis, lebih bijaksana, lebih berwibawa, lebih, lebih dan lebih. Namun reklame bisa berfungsi untuk mengkomunikasikan, atau memperkenalkan antara calon pemimpin daerah dengan rakyatnya, meskipun hanya sisi luarnya saja atau sisi “komersilnya”.

Tidak semua orang percaya dengan tajamnya pisau reklame, pasti orang-orang tertentu yang kebal dengan tikaman pisau reklame itu. Barangkali orang-orang berpendidikan atau orang yang mengerti seluk-beluk permasalahan reklame dan yang direklamekannya. Bagi masyarakat awam, terutama yang berada di pelosok itu akan memandang sosok fisik, potret atau gambaran yang terdapat dalam reklame sebagai ukuran kualitas calon pemimpinnya. Bagaimana raut wajahnya, senyumnya, postur tubuhnya, dan bagaimana pakaiannya. Selanjutnya bagaimana berbicaranya, apa yang dibicarakannya atau bagaimana kalimat yang ditulis atau disuarakannya. Kecerdasan, kedudukan dan perilaku calon Kepala pemerintahan daerah itu bukanlah hal utama yang diperhatikan dalam reklame.

Justru di dalam reklame dituntut kecerdasan, keterampilan, kepekaan dan kepribadian sipencipta reklame. Inilah sebagian factor yang akan mempengaruhi terciptanya reklame yang berwawasan multi citarasa. Sehingga seni reklame akan menjadi tunggangan suksesnya perolehan suara, menuju puncak tahta kursi panas kepala daerah.

Target Operasinya Merebut Kursi
Hampir semua jenis reklame difungsikan untuk menjaring suara rakyat, dari reklame yang menggunakan media cetak (visual) dan media elektronik (visual, audio, audio visual). Semua reklame memiliki kelebihan dan kelemahan, atau memiliki segmentasinya masing-masing. Seperti banyak kita ketahui reklame jenis cetak dalam Pilkada ini berupa: kaos, stiker, pamplet, booklet, umbul-umbul, spanduk, bendera, billboard, baliho, balon udara, body kendaraan, topi, jaket, pin, iklan di koran, majalah, jam tangan dan marchandise lainnya. Teknik yang digunakan dalam pembuatan reklame ini, mulai dari teknik manual sampai yang tercanggih: lukis, sablon, airbrush, mesin fotocopy, mesin cetak kecil dan mesin besar percetakan.

Reklame yang menggunakan media elektronik, mulai dari radio (audio), internet, hand phone (visual), televisi (audio visual). Sebagian percetakan, advertising, penerbitan, station tv, radio, webbsite, rumah produksi, bisa meraup keuntungan dari kerja akbar ini. Ini berarti beberapa mesin dan pekerja seni ikut dilibatkan dalam merancang disain dan ikut dalam program tim sukses kepala pemerintah daerah. Supaya calon Kepala pemerintahan daerah ini dapat diterima serta menyentuh di hati masyarakat yang berakibat kepada kesukseskan Pilkada nantinya, dan lebih spesifik terpilihnya kepala daerah dalam reklamenya.

Seni reklame bukanlah segalanya, akan tetapi kecerdasan pekerja seni dalam mendisain kemasan dan memprogramkan hasil karyanya bisa jadi akan menjadi alat yang menentukan untuk menjaring massa , memilih calon yang diarahkannya dalam reklame. Tentunya mendisain reklame untuk kursi istana kepresidenan berbeda dengan disain reklame produk rokok atau kecap. Tidak asal ngebul dan tidak asal ngecap. Ada kaidah-kaidah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan sosok calon kepala pemerintah daerah, ketika duduk di griya agung jangan sampai menuai badai. Misalnya, munculnya aksi unjuk rasa massa , karena tidak adanya kesesuaian dengan yang diiklankan. Namun siapa yang ambil pusing tentang itu?, karena target operasinya adalah merebut kekuasaan, merebut kursi griya agung. Selanjutnya terserah anda, begitu kan ?

Visi misi disainer dan programmer reklame akan sangat berpengaruh juga dalam penyampaian visi misi calon kepala pemerintah daerah di dalam karyanya. Kita bias melihat dan menilai beberapa reklame terutama yang paling menonjol yakni iklan di televisi. Manakah iklan calon kepala pemerintah daerah yang lebih mirip iklan produk kecap, produk mie atau iklan produk rokok? Dan manakah iklan yang memiliki kewajaran dalam mengemas seseorang yang layak sebagai pemimpin negara?.

Etika dan Estetika

Reklame calon kepala pemerintah daerah itu cukup mengganggu pemandangan lingkungan. Dibanyak tempat ditempel, direntang, diudarakan, dikibarkan dan disebar luaskan. Sepertinya tidak ada lagi aturan yang menjamin tentang kebersihan lingkungan kota . Apakah ini menunjukan betapa beratnya beban memimpin daerah ke depan? Atau ini yang menggambarkan bahwa masyarakat kita adalah bagian dari korban ganasnya reklame? Mulai dari lapisan teratas sampai lapisan terbawah keranjingan reklame? Sepertinya negri kita perang reklame. Bisa kita lihat di kota Palembang dan di daerah yang akan melakukan Pilkada, reklame tidak bisa dibendung lagi. Apalagi menyangkut masalah uang, peluang kerja dan peluang pajak.

Dalam prapilkada dan pasca itu dinding-dinding kota, bak sampah, tiang listrik, pagar-pagar, jembatan, jalan-jalan, berderet reklame partai serta reklame calon gubernur (Cagub), calon wali kota (Cawako)/ calon bupati (Cabup) bersaing dengan reklame produk mie dan rokok. Hal seperti ini tentunya tidak diharapkan oleh setiap kandidat pemimpin daerah. Sehingga keindahan kota menjadi terganggu. Terutama pemasangan pamplet, seperti tidak memakai etika dan estetika. Gambar Cagub dan Cawako/Cabup ditempel di bak sampah, di tiang listrik dan di beberapa tempat yang secara etika dan estetika tidak etis dan estetis. Apakah demikian masyarakat kita sekarang menempatkan pemimpin pemerintah daerahnya.

Selasa, 01 September 2009

MELIHAT INDONESIA DARI SUMATERA


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

MELIHAT INDONESIA DARI SUMATERA

Jajang R Kawentar

Sumatera dalam gugusan teater kembali melihat Indonesia sebagai ruang dalam berkesenian. Apakah panggung teater Sumatera memperhitungkan kembali terhadap panggung Indonesia dalam tatanan negara kesatuan karena kasus-kasus besar seperti mantan penguasa Orde Baru itu. Bukankah penduduk Sumatera dilecehkan atas ketidakadilan dalam penegakkan hukum di Indonesia. Judul di atas merupakan tema Pekan Apresiasi Teater se-Sumatera di Padang Sumatera Barat tanggal 20 - 27 Januari 2008. Penyelenggara dari kegiatan ini adalah Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang. Ada apa dengan Sumatera dan ada apa dengan panggung Teater Sumatera? Apakah ada pemikiran baru tentang Sumatera dan apakah Indonesia kurang bersahabat lagi dengan Sumatera?

Ini sebuah gagasan yang dilandasi pemikiran tidak sederhana, sehingga Melihat Indonesia dari Sumatera. Apa dulu tidak pernah meliriknya atau Sumatera hanya dimanfaatkan Indonesia. Memang Sumatera luas dua kali pulau Jawa, sekarang terpecah menjadi sepuluh provinsi dan akan terjadi pemekaran daerah lagi. Penduduknya sudah pula meningkat, banyak pula yang hijrah dari pulau Jawa. Apakah dengan kegiatan Pekan Apresiasi Teater se-Sumatera ini akan menggalang kekuatan Sumatera yang baru dan memetakan di panggung Indonesia?

Diyakini bahwa dunia kesenian itu sangat sensitif dengan perkembangan mutakhir keadaan sosial mikro dan makro. Atau ini hanya sekedar lintasan pemikiran insidental gerakan kesenian tentang keadaan negara. Rasanya tidak mungkin sebab dunia saat ini semakin mengecil, apalagi sebuah negara. Semakin jelas dipandang dan kita sendiri merasakan pengaruh keadaan itu.

Kita berharap dari kegiatan Pekan Apresiasi Teater se-Sumatera ini akan memberikan sumbangsih pemikiran yang lebih menguatkan terhadap kesatuan dan persatuan bangsa serta keutuhan sebuah negara. Atau ini merupakan cikal bakal dari gerakan disintegrasi bangsa? Perlu kita akui bahwa Sumatera sebuah pulau yang kaya raya akan hasil buminya. Rempah-rempah, sawit, kopi, padi, karet, kayu, batu bara, minyak bumi dan lain-lain. Sumatera Selatan sendiri merupakan provinsi terkaya kelima di negeri ini, dengan mengklaim sebagai provinsi lumbung energi dan lumbung pangan nasional. Sudah tentu banyak sumbangan Sumatera terhadap pembangunan infrastruktur serta perekonomian Indonesia.

Melihat Indonesia dari Sumatera ini hanya sebuah kegiatan kesenian, yang segala sesuatunya dilirik dari sisi seni. Hanya jangan salah, seni selalu memandang segala persoalan dengan kejujuran. Seperti persoalan kemanusiaan di Aceh, sembilan tahun pemberlakuan Daerah Operasi Militer yang menjadikan banyak kampung perempuan, karena suaminya dibunuh, perempuannya digagahi dan kekayaan alamnya dikuras. Untuk itu kiranya tema Pekan Apresiasi Teater se Sumatera merupakan gagasan besar yang tidak mustahil mempengaruhi pemikiran yang berkembang di masyarakat Sumatera saat ini. Mereka yang datang diundang dalam acara tersebut tentu membawa persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi di daerahnya ke atas panggung teater. Mungkin masalah Pilkada, otonomi daerah, pajak, pertanahan, pendidikan, harga bahan pokok yang melambung, subsidi pemerintah yang pincang, korupsi yang terus membumi, gender, perubahan iklim, serta kemiskinan yang semakin tajam.

Tentu saja persoalan ini tidak hanya dimiliki oleh Sumatera sebagai pulau yang kaya, tetapi juga dirasakan oleh penduduk kepulauan Indonesia lain yang juga kaya. Apakah dengan gagasan ini Sumatera akan mempelopori sebuah gerakan sosial budaya dan melakukan perubahan dalam berbagai aspek untuk Indonesia atau Sumatera ancang-ancang membentuk kedaulatan baru. Diharap terbentuk kedaulatan dalam bersikap baik dalam berkesenian, berbudaya dan dalam berpolitik kebudayaan nasional, serta berkedaulatan dalam berswadaya energi dan pangan supaya tidak didikte oleh pasar internasional. Meskipun hal ini diwujudkan dalam jagat perteateran Sumatera.

Selama ini Sumatera dalam jagat perteateran Indonesia tidak begitu mengemuka seperti kekayaan alamnya yang kaya. Kecenderungan Sumatera mengekspor pekerja seni ke berbagai wilayah Indonesia dan berkembang di tempat berpijaknya. Sepertinya pulau Sumatera kurang sehat untuk kehidupan teater. Sumatera seperti hamparan ladang dan bibit yang membutuhkan udara yang lebih segar supaya hidup lebih subur dan bergairah di tempat dilahirkannya. Kehidupan teater itu tergeser kian ke tepi masyarakat yang semakin konsumtif dan dalam gelimang reklame cetak juga elektronik. Teater semakin menepi pada orang-orang yang dibukakan pintu hatinya. Dalam arti kata pekerja teater adalah orang terpilih dari lingkungan konsumtif itu. Perubahan iklim global dan perubahan ke pasar global juga mempengaruhi perkembangan teater di Sumatera.

Pekan Apresiasi Teater Se-Sumatera di Padang ini dihadiri oleh 14 kelompok teater se-Sumatera dan dua kelompok tamu dari Intitut Seni Indonesia Yogyakarta dandari teater dari Bandung. Dua kelompok teater dari Palembang hadir menemoni undangan itu antara lain Teater GABI FKIP Universitas Sriwijaya dan Teater Topeng Lentur FKIP Universitas PGRI. Itulah kelompok Teater yang masih aktif dalam percaturan teater Sumatera Selatan dan mereka merupakan generasi terakhir dari teater Gaung Palembang. Tentunya kehidupan teater di Sumatera Selatan sangat berharap pada mereka yang tergabung dikedua kelompok teater di kampus itu. Meskipun sebetulnya masih ada riak kecil kehidupan teater di sekolah-sekolah menengah.

Menurut Evfhan Fajrullah sebagai peninjau dan pendamping dari kedua kelompok teater dari palembang, penonton sangat antusias mengapresiasi setiap pementasan dan dalam setiap diskusi, juga tampak spirit berteater dari setiap kelompok yang hadir. Evfhan menilai tidak ada yang baru dalam konsep, artistik, ide, garapan, dramaturgi, yang diharapkan dari setiap pementasan. Barangkali sistem Orde Baru masih sangat kuat mencengkram dunia pementasan di panggung teater se-Sumatera itu.

Teater GABI mementaskan naskah Wajah-Wajah karya M. Yunus, sutradara Supriyanto dengan personel 13 orang. Teater Topeng Lentur mementaskan Introgasi Rahim karya Ical Wrisaba (Ijal Bae), Sutradara Ijal Bae, jumlah pemain empat orang. Kedua pementasan itu menceritakan bagaimana nafsu, keserakahan, serta kekuasaan manusia selalu ingin menguasai manusia yang lainnya, sehingga terjadi kesewenang-wenangan. Dalam hal ini hak asasi manusia itu dikhianati dan diinjak-injak secara berkesinambungan oleh sebagian manusia lain yang memiliki predikat kuasa serta kekuasaan lebih juga kesempatan. Begitulah yang terjadi pada sepekan apresiasi teater se-Sumatera di Padang dan begitu pula pentas di panggung Indonesia hingga kini.

DKSS MILIK SIAPA

Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

DKSS MILIK SIAPA

Jajang R Kawentar


Sejak awal berdirinya Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) sudah menjadi persoalan. DKSS sendiri merupakan jelmaan dari bentuk persoalan yang terdiri dari pekerja seni, pemerhati seni, budayawan beserta karya-karyanya. Siapa yang membuat persoalannya kini, siapa lagi kalau bukan tidak sejalannya antara keinginan gressroot dengan lembaga yang dibentuknya. Dengan kata lain adanya miskomunikasi antara lembaga dengan akarnya, atau karena ada pengaruh lain dari luar sistemnya. Padahal sebuah lembaga itu dikendalikan oleh kepala atau yang membuat kebijakan. Tentunya pembuat kebijakan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya (AD ART). Sementara AD ART dibuat berdasarkan musyawarah dari beberapa kalangan yang melingkupi seni.

Persoalannya lagi, apakah DKSS dibimbing berdasarkan ketentuan yang mengaturnya menurut hasil musyawarah atau mengikuti arus angin yang dihembuskan atas kepentingan politik. Ini persoalan baru lagi dimana kesenian menjadi kendaraan politik.

Karena menjadi kendaraan ini pula kesenian menjadi sangat mudah dipelintir dan distir ke jalan yang banyak menguntungkan fihak tertentu di luar lingkup seni, tidak ke arah kebutuhan kalangan yang melingkupi seni.

Membaca beberapa tulisan tentang Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) di berbagai media menunjukkan betapa masyarakat seniman sepertinya ikut perduli akan keberadaan lembaga tersebut. Barangkali karena masyarakat merasa memiliki DKSS, dan menganggap bukan milik seseorang, atau karena telah terjadi penyalahgunaan kepemilikan DKSS.

Kontribusi

Kalaupun memang DKSS merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mimpi pemerintah terhadap dunia kesenian di Sumatera Selatan. Dorongan perhatian ini muncul karena masyarakat seni Sumatra Selatan menghendaki lembaga tersebut membawanya ke arah perbaikan materil maupun non materil. Hal inilah yang sangat diharapkan dari manfaat sebuah lembaga. Apabila sebuah lembaga tidak dapat mensejahtrakan secara financial atau pengetahuan, lembaga seperti ini patut dipertanyakan kinerjanya.

Bagi sebagian orang DKSS tidak memberikan kontribusi apapun, ada tidaknya lembaga tersebut tidak berpengaruh terhadap kehidupannya begitupun bagi sebagian senimannya. Apabila dimintai foling pendapat masyarakat tentang kontribusi DKSS selama ini yang menyentuh kehidupan masyarakat seniman dan masyarakat umum tentu akan tergambar bagaimana baik buruknya lembaga tersebut. Inilah kenyataannya di masyarakat, selama ini kurang mendapat perhatian. Mungkin bagi fihak pemerintah, dan fihak yang ada di dalamnya (pengelola) kontribusi DKSS sangat menguntungkan.

Jangan terlalu jauh kepada masyarakat umum, bagaimana kontribusi DKSS terhadap masyarakat senimannya sendiri. Seniman seringkali diletakkan pada kelompok apresiator pasif, bukan sebagai apresiator dan kreator aktif. Sehingga seniman, pemerhati seni dan budayawan selalu mencatat atau mengomentari bagaimana kinerja sebuah lembaga seni. Jarang sekali terjadi bagaimana teks-teks yang dihasilkan dan karya-karya yang dihasilkan pekerja seni dikritik, didiskusikan, dipentaskan, dipamerkan atau didokumentasikan. Bagaimana peranserta sebuah lembaga seni supaya dapat memfasilitasi berbagai kegelisahan masyarakat seninya. Tetapi memang sangat sulit mendapatkan lembaga yang ideal, kebanyakan hanya menuruti egoisme seseorang atau karena tekanan seseorang.

Hal ini bisa dilihat sejauhmana kegiatan atau program DKSS selama ini apakah banyak melibatkan para seniman, atau hanya sekedar seremonial belaka, yang mengundang para pejabat. Begitupun dengan target-targetnya berapa banyak yang menyentuh masyarakat seniman. Seandainya saja setiap program atau kegiatan banyak melibatkan seniman dan masyarakat. Disamping itu ikut memperjuangkan akan kesejahteraan seniman maka tidak akan terjadi polemik yang berlarut-larut.

DKSS memang bukan lembaga sosial, namun bisa berperan dalam mengangkat harkat martabat seniman. Siapa yang sanggup melakukan perubahan dalam kepemimpinan DKSS ini, dapat merangkul berbagai fihak, memiliki leader ship yang baik serta memiliki kemamampuan manajerial yang baik pula.

Program

Tidak ada program DKSS yang menawarkan untuk sebuah pementasan, pameran atau pembuatan buku bagi para seniman secara bergilir. Sehingga kontribusi seniman terhadap masyarakat dan kontribusi Lembaga kesenian terhadap Seniman akan terasa. Hal ini tidak pernah dilakukan DKSS.

Proaktif sangat diperlukan bagi lembaga yang menaungi komunitas dan sebagai fasilitatornya. Namun gagasan itu tidak hanya keluar dari lembaga, gagasan yang muncul dari komunitas ditampung menjadi bagian agenda yang harus dilaksanakan. Dengan demikian program atau kegiatan lembaga itu tidak macet karena keringnya gagasan atau miskin kreatifitas.

Minimnya kegiatan kesenian yang mendayagunakan pekerja seni menandakan tidak terjadinya produksi seni. Lembaga seni harus bisa merangsang para pekerja seni terutama yang ada di lingkungannya untuk produktif dan aktif mengapresiasikan karya-karyanya ke masyarakat. Dengan demikian aktifitas kesenian akan tumbuh dan setiap pekerja seni akan berbicara melalui karya-karyanya dan bersaing.

Selama ini pembicaraan mengenai perkembangan seni budaya nyaris tak terdengar, Malah yang muncul tentang kekuasaan dan kebijakan yang selalu keliru. Sehingga setiap kali yang diperbincangkan tidak mengena dengan subtansi dari sebuah lembaga yang memiliki beban tangung jawab terhadap perkembangan seni budaya.

Bukankah sebuah lembaga memiliki acuan kerja yang berpihak kepada masyarakat, sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Apabila sebuah lembaga besar hanya melakukan kegiatan-kegiatan seremonial saja, apa bedanya dengan sebuah Event Organiser (EO).

Permasalahannya bukan hanya sampai disitu, orang-orang yang ada di lembaga itu tentu tidak gratis. Pasal besar kecilnya honor tentu prosedur kebijakan pimpinannya. Kalau lembaga ini menghargai dan ikut berusaha meningkatkan tarap hidup seniman tentu akan lebih baik. Hadirnya sebuah lembaga memang penting, tetapi lebih penting lagi pruktifitas dari pekerja seni. Siapapun yang menjadi pemimpinnya harus mengutamakan terciptanya iklim berkesenian yang kondusif. Salam budaya! Lahat 16 Juli 2008.

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

HUBUNGAN PKI DENGAN TARI GENDING SRIWIJAYA

Jajang R Kawentar

Seni tari tradisional merupakan seni yang paling sakit, karena sulit untuk mencari penerus yang dapat mewarisi jenis tarian yang terdapat di setiap daerah. Pada umumnya setiap daerah di Nusantara memiliki tarian khas. Di Sumatera Selatan, setiap suku mengekspesikan lewat bahasa gerak sebagai ungkapan persembahan pada pejabat, raja atau pada Dewa, dan sebagai bahasa pergaulan. Beberapa tarian tidak lagi memiliki pendukungnya. Tarian yang lainnya hadir hannya pada acara seremonial pemerintahan dan pada kegiatan festival tahunan saja.

Pendokumentasian, penginventarisiran dan penjagaan yang lebih berharga terdapat pada lembaga pendidikan. Khususnya lembaga pendidikan yang mengembangkan serta melestarikan seni dan budaya. Sumatera Selatan yang luas dan kaya akan khasanah seni budayanya, yang katanya sebagai pusat seni dan budaya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan pada jaman kesultanan Palembang Darussalam, tidak didukung oleh lembaga pendidikan (akademis) yang akan mengembangkan dan melestarikan ilmu seni dan budaya setempat.

Orang yang mewarisi beberapa jenis tarian memikul beban yang cukup syarat apalagi perputaran waktu yang semakin tua. Sehingga setiap generasi harus mendapatkan keterwakilannya, supaya kesinambungan karya, kemampuan menari dan kemampuan mewariskannya terus bergulir. Dalam setiap generasi harus bisa mengajarkan kepada generasi yang dibawahnya. Kalau tidak, warisan itu akan semakin bias dan pada akhirnya tidak ada yang perduli. Ketidakperdulian itu mengakibatkan kemandekan, atau kehilangan generasinya.

Di daerah lain yang konsen terhadap seni budayanya sedikit banyak mendapat suport dari lembaga Akademis seni tersebut. Karena dengan hadirnya lembaga akademis, warisan seni budaya relatif terjaga, bahkan berbagai jenis seni dikaji, dikembangkan dan dibudayakan. Di Sumatera Selatan sangat sulit mengetahui sejauh mana perkembangan kesenian atau mengalami dekadensi seni budaya lokal.

Apabila kebijakan pemerintah sangat kaku terhadap seni budaya, maka pelaku atau pekerja seni sebagai nyawa dari kehidupan kesenian sulit hidup. Jika kesenian sulit hidup sebuah pertanda bahwa ketegangan sosial dan kekerasan akan sering muncul sebagai budaya. Seringkali dibentuknya lembaga kesenian hanya dijadikan sebagai tameng politis saja. Tidak ada program yang lebih menyentuh terhadap kehidupan kesenian di akar rumput. Hanya program seremonial dan berorientasi ekonomis. Sebetunya hal ini sangat melukai para pekerja seni.

Sesungguhnya kajian-kajian seni budaya lokal itu akan mempengaruhi visi misi daerah dalam membangun masyarakat dengan lebih menyentuh ke akar tradisi yang berkembang di daerah tersebut. Menghargai tradisi dan budaya lokal, dengan demikian akan memupuk rasa percaya diri masyarakat akan tradisi yang berlaku, dan berbeda dari budaya umum atau populer.

Siapakah pemimpin daerah yang mampu mengangkat keagungan warisan seni budaya rakyatnya. Tentu akan lebih terhormat dibandingkan dengan yang hanya mengumbar sektor ekonominya saja. Namun tidak dapat kita pungkiri perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi membantu perkembangan budaya yang semakin terbuka, populer, dan kontemporer.

Buku

Dalam musim kemaraunya bacaan buku-buku kajian ilmiah atau pendokumentasian tentang khasanah seni budaya Sumatera Selatan. Dewan Kesenian Palembang menerbitkan sebuah buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang disusun oleh Sartono, Vebri Al Lintani dan Yuli Sudarti. Meskipun masih ada beberapa kelemahan dalam teknik kepenulisannya, kurang mencerminkan penulisan karya ilmiah. Setiap data atau keterangan yang diambil dari buku atau dari hasil wawancara tidak jelas.

Walau begitu ada sebuah usaha Dewan Kesenian Palembang yang patut diteladani oleh Dewan Kesenian di kota lain Sumatera Selatan. Sehubungan di setiap kota dan Kabupaten terdapat Dewan Kesenian yang mandek. Sesungguhnya lebih baik dilakukan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan, sebagai induk dari Dewan Kesenian daerah.

Kita pahami seni tradisi berangsur kikis, para pelakunya satu persatu meninggalkan kita sementara kita baru memulai atau baru tergerak pikiran betapa pentingnya sebuah warisan seni budaya tersebut. Sebuah sejarah sebagai sejatinya sebuah bangsa sangat berarti bagi sebuah generasi yang berkepribadian. Seni budaya sebagai citra bagi setiap suku bangsa yang memiliki budi pekerti luhur.

Tari Tanggai memiliki laku sejarah yang cukup panjang dengan perkembangan politik di tanah air. Tarian ini tidak sesakral sebagaimana orang sekarang memahaminya. Menurut buku Tari Tanggai Selayang Pandang bahwa tari Tanggai yang berkembang saat ini merupakan campur aduk antara tari Gending Sriwijaya dan Tepak Keraton bahkan disinyalir di luar kota Palembang bercampur dengan tarian lainnya sesuai dengan pemahaman penari.

Tari-tarian itu merupakan pesanan tuan-tuan, bukan berdasarkan kebutuhan ekspresi si pencipta. Tari Gending Sriwijaya tercipta atas pesanan Pemerintah Pendudukan Jepang dengan alasan tidak ada lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Keresidenan Palembang. Tari ini diciptakan tahun 1943 oleh Sukainah A. Rozak, Tina Haji Gong, dan Masnun Toha. Pencipta lagu Gending Sriwijaya sebagai pengiring tarian, A. Dahlan Muhibat tahun 1936 dan digubah oleh Nungcik A.R. pada tahun 1944.

Sementara menurut penjelasan pada buku Tari Tanggai Selayang Pandang halaman 18 hal yang sama disebutkan bahwa musik pengiring tari Gending Sriwijaya adalah lagu Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh duet A. Dahlan Mahibat dan Nungcik A.R. sebagai pengarang syairnya pada tahun 1944.

Sementara itu tari Gending Sriwijaya pertamakali dipentaskan pada 2 Agustus 1945 dalam upacara menyambut M. Syafei sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Pada tahun 1960-an, Gubernur Sumatera Selatan H. Asnawi Mangku Alam, meresmikan Tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu penting dan diagungkan. Tari ini dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari, dilengkapi dengan seorang penyanyi, seorang pembawa payung, dan dua orang pemegang tombak kebesaran.

Setelah meletus G 30 S PKI tahun 1965 tari Gending Sriwijaya mengalami kevakuman dikarenakan Nungcik A.R. aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penari takut memainkan Gending Sriwijaya, karena sikap anarkis rezim Orde Baru saat itu. Kecuali pada pembukaan Jakarta Fair tahun 1967, tari Gending Sriwijaya tampil tanpa diiringi syair.

Tahun 1966 Ana Kumari yang berdarah bangsawan mendapat pesanan tari sambut dari pemerintah untuk seremonial pelantikan Panglima Kodam Sriwijaya. Tariannya diberi nama Tepak Keraton dengan lagu pengiring “Enam Saudara”. Tari ini didapat dari gerakan silat yang diciptakan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tari Tepak merupakan tari sambut dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan yang bukan pejabat utama, sedangkan tari Gending Sriwijaya merupakan tari yang digunakan untuk menyambut orang pertama seperti Presiden, Perdana Mentri, Raja, dan pejabat nomor satu lainnya. Kepala Desa juga pejabat nomor satu di desa, disambut tari Gending Sriwijaya juga.

Menurut Hj. Ana Kumari tari Gending Sriwijaya mengagungkan kebesaran kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha, seperti yang tercermin dalam syair Gending Sriwijaya. Sedangkan tari Tepak Keraton mengagungkan Kesultanan Palembang Darussalam dan gerakannya bernafaskan Islam.

Pernyataan Hj. Ana Kumari di dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang membuat membingungkan pembaca, bukankah gerakan tari Tepak Keraton mengandung unsur bela diri Silat, atau karena penciptanya beragama Islam jadi bernafaskan keIslaman? Apakah dengan mengagungkan kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, juga bernafaskan Budhisme.

Terlepas dari latar belakang idiologi apapun penciptaan karya seni tersebut, tidak pernah ada yang menilai karya seni dari sebuah idiologi atau agama apapun, atau apa saja yang melatarbelakangi terciptanya karya seni tersebut tetapi terletak pada visual karyanya. Penilaian tidak terletak pada subyeknya tetapi pada obyeknya. Untuk itu karya seni adalah bahasa yang universal, tanpa diskriminasi dan tanpa mengintervensi apapun.