Selasa, 28 Desember 2010

KABAYAN JEUNG ALARM CALANA DALAM

SI KABAYAN JEUNG ALARM CALANA DALAM

Jajang R Kawentar

Si Kabayan maen Facebook jeung si Jajang babaturan waktu kuliah di perguruan tinggi pertanian jurusan ngangon entog jeung ngangon onta. Kira-kira kumaha tah percakapannya.

Tiba tiba si Kabayan muncul fotonya di gigireun dinding online FB. Waktu Si Jajang keur bete-bete bener. Langsung wae si Jajang nyamber mengklik foto si Kabayan, ketak-ketik saeutik. maklum geus lila teu panggih.

Jajang:
Kabayan kumaha damang

Kabayan:
Alhamdullillah damang..
kumaha didinya?

Jajang:
Sae Alhamdulilah, nuju dimana kang

Kabayan:
Masih buburuh di jakarta jang...

Jajang:
Hehehe sami wae atuh kang, simkuring mah di leuweung komo euy! jauh kaditu kadieu alah aduh ieung...
hehehe...

Kabayan:
Enak malah bisa menikmati alam...
pendudukna teu mata duitan... didieumah sagala ku duit

Jajang:
Asal tahan be, urang nu tahan atanapi leuweung nu ngalawan...

Kabayan:
Ari jeung alam mah asal urangna mau mengikuti siklus alam nya pasti hirup bisa seimbang..

Jajang:
heueuh... hehe... itu teori pelajaran kuliah sigana euy. keur paceklik, loba maling

Kabayan:
Tah eta nu matak riweuh mah..
dilembur teh sok serba salah... imah dipager jadi omong... teu dipager teu aman..

Jajang:
Ieu unggal peuting kudu hudang... nungguan bisi aya maling... rek digawe kaganggu

Kabayan:
Ngingu anjing we atuh atawa soang...

Jajang:
Iya keur neangan soang... lamun ngingu anjing barudak siueneun, jeung geuleuheun...

Kabayan:
Atawa kamu pasang CC TV.... hehehe

Jajang:
Hahaha ...
Padahal barang di imah teh teu sabaraha... tapi teuing euy. Alergi jeung maling teh
Teu ngeunah jadi omomgan batur..
nu dimaling calana dalam ... hehe

Kabayan:
Wah etamah maling jang sarat atuh..
Celana Dalam (cd) awewe atawa nu kamu?

Jajang:
Sabenerna mah meureun lain maling keur biaya sapopoe tapi dasar usil be hehe

Kabayan:
Etamah sakit jiwa... biasana kelainan sex

Jajang:
Hahaha ... simaling teh kolektor celana dalam meureun ...

Kabayan:
Pake tanda tangan atuh cd na ngarah malingna atoheun...hahaha

Jajang:
Iyalah ... keun. sigana maling nyaho lamun saya teh pelukis oge kitunya...

Kabayan:
Enya sugan we suatu saat cd na bisa dilelang...

Jajang:
Engke pas cd itu dipamer di jemuran pasti aya tanda tangan saya...

Kabayan:
Dibatik atuh atawa dilukis cd na kan rada artistik... jadi gampang nyiriana.

Jajang:
Wah ide bagus itu... jadi lain daripada yang lain, siiip.. hehe
tapi bisa bahaya, pasti maling ngincer cd saya bae... perlu keamanan ekstra euy..

Kabayan:
Kan cdna dipasangan alarm jadi mun aya nu ngambil teh langsung disada...

Jajang:
Hahaha ... masa alaremna buka pasang, kumaha lamun cd na dipake

Kabayan:
Milu nyantol, kan jiga bawa hp
Lamun ngaganjel makena di luar kawas superman...

Jajang:
Kumaha lamun di pake disada terus... berabe kitumah

Kabayan:
Kan pake remote...

Jajang:
Ah jiga piriweuhwun euy...

Kabayan:
Lamun cd aya nu maling... remotna tinggal dipencet lambang koncina. engke dijamin cdna moal bisa dicopot sa umur hirup bari jeung disada terus...
kabayang teu..? hahaha...

Jajang:
Pasti aya celah maling teh rek nyokot remotna euy... riweuh tah mun kitu...

Kabayan:
Hahaha ..
kawas mobil wae nya...

Jajang:
Pas kabeneran remotna di paling, cd keur dipake, disada terus.... untung lamun di imah, kumaha lamun keur di kondangan... alah lieur tah

Kabayan:
Hahaha ...

Jajang:
Keheula euy, siga aya nu rek maling cd saya...

-TAMAT-

Senin, 27 Desember 2010

TAIKUCING AKADEMI SASTRA PALEMBANG






TAI KUCING AKADEMI SASTRA PALEMBANG [ASAP]!
Oleh Jajang R Kawentar
“Selamat, telah dibantu Alex Noerdin uang sebesar 5 juta. Semoga Persoalan kito ke depan dapat terselesaikan. Amin.”
Demikian isi SMS masuk ke handphone saya pada 03:36pm tanggal 10 Februari 2008, dari nomor orang yang tidak saya kenal, pada saat Akademi Sastra Palembang [ASAP] yang saya bina mendapat bantuan uang pembinaan dari H. Alex Noerdin sebelum beliau menjadi Gubernur pada tahun 2008. Begitupun judul dari tilisan ini merupakan rentetan SMS yang membombardir ke HP saya. Sengaja SMS ini saya simpan sebagai peluru dalam membangun kesenian yang saya yakini.
Saya berpikir, tidak ada seorangpun ataupun lembaga yang perduli dengan kegiatan yang dilakukan [ASAP] saat itu, dan keputusan kami menerima uang pembinaan dari H. Alex Noerdin merupakan penghargaan atas segala yang telah kami lakukan dalam menggairahkan sastra di Palembang. Terus terang memang pada saat itu kami butuh dana untuk membuat rekaman musikalisasi puisi yang sedang digarap oleh Pinasti S Zuhri dan kawan-kawan Salva Band. Kami juga butuh dana untuk penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen dari anggota kami, seperti Dahlia, Pinasti, Anton Bae, Duhita Arimbi, Pipit Hendra dan ada beberapa puisi dari Efvhan Fajrulah, cerpen Arpan Rahman dan puisi penyair gunung Syamsu Indra Usman.
Ketika kami hendak menerima uang pembinaan dari H. Alex Noerdin tersebut terjadi tarik ulur, karena barangkali ada kepentingan politis yang sedang bergolak saat itu. beberapa kawan ada yang melarang kami menerimanya dan kawan yang lain meminta kami untuk menerimanya. Akan tetapi menurut saya kesenian tidak memandang politis, kami tetap berkarya dan tidak bergantung pada tatanan politis. Namun siapapun yang berniat membantu dalam pengembangan kesenian tentu ini lebih baik daripada memiliki kesan keperdulian terhadap kesenian tetapi hanya wacana dan wacana saja. Oleh karenanya dana pembinaan itu kami terima dan Pinasti S Zuhri menerima langsung pada acara pemberiannya tersebut. Kamipun mengucapkan terimakasih, semoga ke depan kami mendapatkan yang lebih banyak lagi.
Saya meyakini pemimpin yang baik, yang memiliki visi ke depan, pasti menyertakan kesenian dalam pembangunan masyarakatnya. Seperti juga bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya. Sebab kesenian adalah refleksi dari bangunlah jiwanya, sebagai bagian dari pembangunan rasa nasionalisme. Apabila rasa nasionalisme itu luntur, bisajadi diakibatkan karena nilai-nilai seni dan budaya lokal yang berakar, kemungkinan tidak dijaga dan tidak terawat. Sudah bisa dipastikan karena tidak ada peran dari masyarakat juga pemerintah sebagai penyelenggara negara memeliharanya.
Dan kepala daerah merupakan bagian dari ujung tombak pembangunan jiwa masyarakat dalam hal ini adalah seni budaya dan agamanya.
[ASAP] yang Perlu Ruang
Kegiatan yang kami lakukan memang tidak begitu spektakuler atau menjadi fenomenal. Akan tetapi paling tidak [ASAP] telah mencatatkan sebuah ruang dalam sejarah kesusatraan di Palembang yang mungkin ada beberapa orang yang sekarang sudah dikenal seperti Anton Bae, Pinasti S Zuhri, Dahlia, Pipit Hendra, Duhita Arimbi, dan Soufie Retorika. Setiap hari Sabtu sore kami berkumpul membaca, menulis puisi dan membedahnya.
Ruang gerak kegiatan kami diantara Jalan Semangka sebagai markas, Kambang Iwak dan Meuseum Badaruddin. Kambang Iwak merupakan tempat favorit kami dalam melakukan pertemuan, menggelar baca puisi, cerpen atau bedah karya. Sesekali kita juga bermimpi menyelenggarakan kegiatan sastra yang bisa dinikmati pengunjung Plaza Kambang Iwak. Saat itu Kambang Iwak tidak ada orang jualan. Kami pernah memiliki keinginan bahwa Kambang Iwak menjadi ruang publik untuk menikmati pertunjukan sastra atau teater. Hal ini bukan tidak mungkin, karena ruang yang ada sangat memungkinkan untuk kegiatan semacam gelar baca puisi, baca cerpen, sastra tutur, lounching buku, atau pertunjukan teater terbuka.
Namun harapan itu masih terus tersimpan, karena persoalan hidup yang selalu pluktuatif, serta mencari tempat yang menguntungkan bagi kehidupan itu. Kini [ASAP] itu menyebar, meruang, dibeberapa kota tetapi paling tidak ada sebuah sejarah yang melingkupi dalam perjalanan kesusastraan yang dilaluinya. Sehingga kini barangkali bagi para pelakunya tidak bisa dielakan, atas kehadiran [ASAP] tersebut.
Ada beberapa orang yang seringkali hadir atau pernah hadir dalam kegiatan diskusi atau bedah karya yang digelar [ASAP] seperti Rifan Nazip, Rendi Fadilah, Purhendi, Ahmad Muhaimin, Arpan Rahman, Efvhan Fajrulah, Nurahman, Taufik Wijaya, Anwar Putra Bayu, Agus Hernawan, Acep Zamzam Noor, Raudal Tanjung Banua, Sutan Iwan Soekri dan beberapa orang lainnya yang tidak tersebutkan.
Anugrah itu Diharapkan
Ternyata Penghargaan dari H. Alex Noerdin sebagai gubernur kini begitu dinantikan oleh para penggiat atau pelaku seni. Terbukti dari beberapa orang yang menerima dan yang tidak menerima itu seringkali kami dengar semacam gerutuan. Bagi yang merasa layak menerima lalu tidak mendapatkannya maka ada saja semacam prolog wajah sejarah orang yang menerima itu. Sepertinya terkesan apabila ada orang yang menerima penghargaan atas kerja kerasnya itu kawan kita tidak terima. Tetapi apabila kawan kita yang layak menerima penghargaan dan dia tidak mendapatkannya juga mendapat celaan, dan prolog wajah sejarah orang itupun kembali berkumandang.
Saya berharap kebijakan atau kebiasaan baik memberikan anugrah atau penghargaan atau apapun namanya ini, juga diikuti oleh kepala pemerintah yang ada di daerah. Guna menggairahkan kesenian di daerah dalam skup yang lebih kecil. Karena berkesenian itu akan tumbuh baik apabila semangat berkarya itu terus tumbuh, serta dengan adanya pengakuan atau penghargaan tersebut maka rasa percaya diri sipenerima penghargaan tersebut semakin terjaga. Dengan harapan bagi siapapun teruslah berkarya dan berkarya, bergiat menjalani profesi sebagai penyelaras kehidupan. Menghibur atau mencerahkan pemikiran masyarakat atau para pejabat dengan seni serta memelihara tradisi yang ada, supaya citra dari Sumatera Selatan khususnya dan terkhusus berbagai suku serta bahasa yang terdapat di pelosok tetap lestari.
Perbedaan atau keanekaragaman itu harus dijaga sebagai kekayaan dari wilayah Sumatera Selatan. Bagaimana menumbuhkan kebanggaan kepada masyarakat bahwa berbeda itu bukan sesuatu yang buruk, karena seperti yang sering kita dengar dari bahasa saja, sepertinya bahasa Palembang lebih mendominasi dan menghegemoni bahasa lain. Hal ini bisa kita cermati seperti di daerah-daerah terutama para remaja, yang menggunakan bahasa itu.
Tidak hanya bahasa, bahkan berbagai bentuk seni dari pusat kota menjadi dominan digandrungi remaja. Sementara seni tradisi atau budaya daerahnya sendiri ditinggalkannya karena memandang seni yang terdapat di daerah sendiri dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Bukan malah sebagai kebanggaan, karena memiliki seni tradisi yang berbeda menandakan adanya proses sebuah peradaban manusia yang relatif tinggi di daerah tersebut.
Bagaimana pemimpin daerah bisa menjadi tauladan dalam mencintai seni budaya daerahnya sendiri dan memulai bekerja mengembangkan atau merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi daerahnya supaya kepribadian dan jatidiri sebuah daerah itu tetap terjaga. Karena diyakini bahwa seni budaya dan seni tradisi tercipta dari kearifan lokal.
jajang r kawentar

Priangan
priangan itu masih di ujung lidah
lidah yang pahit, si pahit lidah
terucapkan dalam dada, terhalang samudra
sebab sangkuriang masih mencintai ibunya
sebab padjadjaran kan sulit dikejar
dan sang prabu siliwangi yakin selalu menanti

di tanah sriwijaya telah kuhirup juga
darah yang mengalir adalah priangan
kemanapun melangkah masih dilontarkan dalam lagu
tak dapat berbagi
inilah patriot pajajaran mempersunting putri sriwijaya
suling kacapi cianjuranpun dikumandangkan dalam upacara
hingga mengeja liku sungai
dan di sini para bandit mencium dengkul
mengendus bau darah sang prabu yang mengalir di jantungnya jalan hidupku
Pagarsari, Lahat 2010


ANTARA LEMBANG PAGARSARI

antara lembang antara pagarsari
antara udara pagi antara petani
antara rindunya bukit-bukit antara hijaunya wajah dusun
antara kenangan dan pesona antara luka-luka dan nganga
antara curam jurang antara rumah sewaan
antara tuan tanah antara tuan rumah
antara uang antara kebutuhan
antara sempit antara peluang
antara ingatan tumbuh antara menyusun tubuh
antara aku berada antara aku di situ
Pagarsari, Lahat 2010

Senin, 13 Desember 2010

SASTRA LEMATANG ITU BERHEMBUS DARI LEMBAH SERELO






SASTRA LEMATANG ITU BERHEMBUS DARI LEMBAH SERELO
Oleh Jajang R Kawentar
Komunitas Sastra Lembah Serelo [KSLS] berada di puncak bukit Desa Pagarsari Kabupaten Lahat. Dibangun sekitar tiga tahun lalu, dimana [KSLS] ini masih kesinambungan dengan Akademi Sastra Palembang [ASAP] yang berdiri pada tahun 2005 dan [ASAP] sendiri kelanjutan dari Sanggar Air Seni [SAS] Palembang yang telah menerbitkan Antologi Puisi Catatan yang Hilang karya Anton Bae, Buku Peler Negriku, antologi Puisi Martil, antologi Puisi Silat Lidah karya Jajang R Kawentar dan antologi puisi bersama Sahabat Datang dengan Cinta karya Siswa SMA Pusri Palembang.
Anggota aktif [ASAP] Dahlia, Arimbi, Pinasti S Zuhri, Anton Bae, Pipit Hendra, dan Soufie Retorika. Beberapa orang yang juga aktif dalam aktifitas ASAP sebut saja; Handayani; Rendi Fadilah, Nurahman; Purhendi; beberapa penyair tamu: Acep Zamzam Noor, Raudal Tanjung Banua, T. Wijaya, Iwan Soekri Munaf, Efvhan Fajrullah, Bambang Suroboyo (pelukis), Ilham Khoiri (wartawan Kompas). Buku yang telah diterbitkan [ASAP] Purnama di Jembatan Ampera karya Pinasti S Zuhri, Antologi Puisi 1001 Tukang Becak Mengejarku karya Taufik Wijaya, Buku Di Balik Itu Ada Juga yang Luka karya Ocop Akar dan yang belum sempat dibukukan adalah puisi karya Syamsu Indra Usman.
Sering kali kegiatan dilakukan di Kambang Iwak Palembang sebelum berubah menjadi plaza seperti saat ini. [ASAP] masih di Palembang dan kepulannya bersama saya menjadi Komunitas Sastra Lembah Serelo di sebuah desa pinggiran yang berada di Kabupaten Lahat. Lama mencari orang yang ingin bergabung belajar mengenai sastra. Kemudian Pinasti S Zuhri dari Palembang menyusul kembali bergiat di [KSLS].
Sesungguhnya Kabupaten Lahat kaya akan sastra tuturnya, namun saat ini sastra tutur itu mengalah karena sudah banyak siaran televisi yang menggantikan ceritera sastra tutur yang biasa dituturkan penuturnya. Generasi sastra tutur itu juga sudah sulit ditemukan. Hanya gitar tunggal masih bisa dinikmati pada acara tertentu, itupun jarang. Apalagi para penulis puisi boleh dibilang tidak ada, kecuali menulis karena kebutuhan tugas atau lomba saja hal ini dikatakan ketua Dewan Kesenian Lahat, Ismeth Inonu.
[KSLS] didirikan bukan semata karena tidak adanya generasi penyair atau sastrawan akan tetapi karena keprihatinan akan seni budaya daerah atau seni tradisi yang kian tak lagi digeluti, karena faktor perubahan zaman. Setidaknya kami bisa mengungkap sejarah atau ceritera, seperti pepatah, pantun, atau silsilah puyang, aktifitas kesenian masa lampau dan selebihnya kalu ade jeme Lahat yang mau diajak menuju jalan yang benar (belajar sastra).
[KSLS] memiliki program utamanya menggairahkan kehidupan sastra daerah, cenderung mengangkat tema-tema lokal, menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ungkapnya, cerita rakyat, dan mendokumentasikan bahasa lahat, pepatah bari dan menelusuri peninggalan seni budaya daerah. Kegiatan rutinnya berupa diskusi berbagai persoalan aktual atau bedah karya.
Selain itu [KSLS] melakukan program penerbitan, buku yang sudah diterbitkannya Antologi Puisi Bujang Bedengkang yang berisikan puisi berbahasa Lematang dengan bahasa Indonesia, karya Yudistio Ismanto, Pinasti S Zuhri dan Jajang R Kawentar. Sementara buku lain yang siap diterbitkan antologi puisi bahasa Lematang Kekibang karya Yudistio Ismanto, Antologi puisi Perampok Lembah Serelo karya Jajang R Kawentar dan Antologi cerpen Anak Kapak karya Pinasti S Zuhri.
[KSLS] tidak hanya mencipta puisi tetapi menyelenggarakan kegiatan seperti pertunjukan, Melukis Bersama dan Parade Puisi, Ngamen Puisi Wiji Thukul di beberapa sudut kota Lahat, dan baca puisi dalam rangka pengumpulan dana untuk korban Merapi dan Mentawai. Kami juga akan menyelenggarakan seminar bahasa daerah dalam membangun kareakter generasi muda. Kami yakin bahasa daerah akan menumbuhkan rasa nasionalism dan kecintaan terhadap seni budayanya.
Sebagai warga Kabupaten Lahat dan warga Indonesia yang belajar sejarah dan budaya, maka kami harus mengangkat dan mengembangkan seni budaya daerah dimana kaki dipijak dan langit dijunjung ini. Harapannya masyarakat yang tidak pernah menulis sejarah kebudayaannya maka sejak [KSLS] bergerak maka masyarakat akan memulai menulis. Hal ini kami sebut dari tradisi lisan beralih ke tradisi tulisan. Dengan demikian terjadilah perubahan mendasar dalam cara pandang masyarakat terhadap sejarah, nilai intelektual atau nilai sebuah karya. Mungkin ini adalah lebay, tetapi ini adalah mimpi yang selama ini kami pupuk, dan kami selalu berdoa dan tuhan mengabulkan doa kami ini.

Sabtu, 27 November 2010

SEMANG

jajang r kawentar

SEMANG
Tuape gawe semang gale
Reguk meregukan di bawah batang kawe ngan suke cite
Tuape penggawean tiap ahi
Bekecek ngulu-ngilir, penggawean jeme disiangi
Sandi pajar sampai petang,
kalu pacak tiduk bercerite di pance
cerite pejadi ayek lematang
dehas, kehu ngan dangkal
ngimbit-ngimbit bibir ayek
lebarla sungai, lebar pule cerite
tuape gawe semang gale
semang dibuat digawe lemak
digek puntung di bawah panggung
digek behas di lumbung
anak kecik beayek mate, makan hawe makan panjang cerite
endung bapang same saje, anak-anak milu pule
tuape gawe semang gale
tambah panjang saeje cerite
Pagarsari, Nop 2010

Jumat, 22 Oktober 2010

Bahasa Lahat Akar Khasanah Budaya


Bahasa Lahat Akar Khasanah Budaya
Oleh Jajang R Kawentar

Diskusi yang berawal dari kehawatiran Komunitas Sastra Lembah Serelo (KSLS) terhadap Bahasa Lahat yang penggunanya terutama anak-anak muda di kota Lahat banyak menggunakan bahasa Palembang. KSLS sendiri saat ini sedang menggiatkan program penulisan sastra berbahasa daerah Lahat, jelas berkorelasi dengan perkembangan sastra daerah yang berakar pada bahasa daerah terutama bahasa Lahat sebagai bahasa ibunya. Kegiatan diskusi ini dilaksanakan Minggu (17/10) di markas KSLS di Desa Pagarsari Lahat, dihadiri oleh para pecinta sastra dan pecinta bahasa Lahat.

Yudistio Ismanto salah satu penyair dari KSLS yang kini terus berkarya menggunakan bahasa Lahat sebagai media ekspresinya mengungkapkan, bahwa selain terus menggali makna yang tersurat dan arti yang tersirat dari setiap kata juga mencoba menciptakan gaya bahasa baru dalam larik-larik puisinya.

Menurutnya bahasa daerah Lahat ini lebih menarik ketika dijadikan sebagai media ekspresi seperti puisi, disamping itu juga masih sangat jarang orang memanfaatkan bahasa Lahat menjadi karya sastra yang juga bisa dinikmati oleh siapapun di negri ini. Dia juga berharap dengan terus berkarya menggunakan bahasa Lahat, bisa menunjukkan kekayaan budaya sendiri, bangga menggunakan bahasa sendiri dan bahasa itu juga tetap lestari, juga bisa dikenal oleh dunia.

Yudistio sendiri sebetulnya bukan asli keturunan dari puyang (nenek moyang) Lahat. Ibu Bapaknya orang Jawa yang merantau ke Lahat dan dia lahir di Kota Lahat. Hanya saja dia dibesarkan di kompleks orang Lahat dan bergaul dengan mereka. (Kota Lahat merupakan daerah urban yang didatangi oleh orang-orang dari berbagai desa di wilayah Kabupaten Lahat).

Bahasa daerah ini apabila digunakan untuk media ekspresi seperti puisi, cerita pendek, ataupun dongeng dan legenda maka bahasa ini akan lebih hidup, apalagi dipelajari di sekolah-sekolah. Baik mempelajari pengucapannya juga bagaimana teknik penulisannya. Semua ini sesungguhnya ilmu pengetahuan budaya mengenai tatabahasa daerah Lahat. Bisa jadi belum ada yang menelitinya.

Anak muda Lahat masa kini lebih banyak menggunakan bahasa di luar bahasa Ibunya seperti berbahasa Palembang dan sedikit bahasa ala Betawi atau bahasa gaul, mereka mengikuti pergaulan jamannya, sepertinya bila menggunakan bahasa daerahnya sendiri dianggap kurang gaul, ketinggalan jaman (suduk: udik). Pendapat ini berdasarkan pantauan beberapa peserta diskusi yang hadir. Barangkali fenomena ini tidak hanya di Lahat saja, tetapi mungkin dibeberapa baerah lainnya.

Tetapi apabila di dusun (desa) atau di daerah luar Kota Lahat yang masih di dalam Kabupaten Lahat, bahasa daerah masih terjaga. Karena apabila di dusun ada warga yang menggunakan bahasa di luar kebiasaannya, seperti menggunakan bahasa Palembang atau bahasa Indonesia, seringkali warga itu diolok-olok. “awak jeme dusun sinilah, cacak-macak”.

Menurut Masjayadi, S.Pd guru sejarah SMA N 1 Merapi Selatan, sebagai warga pengguna bahasa Lahat tidak perlu khawatir akan kehilangan penggunanya, karena di dusun-dusun itu masih teguh menggunakan bahasa ibunya. Tetapi teknik penulisan bahasa daerah sangat penting. Karena selama ini kita hanya menggunakan bahasa daerah secara lisan saja, jarang menggunakan bahasa daerah dalam bentuk tulisan. Mungkin dengan adanya pembelajaran bahasa daerah dalam bentuk lisan dan tulisan, bahasa Lahat akan terus terpelihara dengan baik. Di samping itu dikemudian hari akan memberikan nuansa seni sastra yang unik dan khas. Karena bahasa daerah ini merupakan kekayaan seni budaya, dan sejarahnya bisa terus kita telusuri.

Dalam memasukkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran di sekolah harus ada keinginan dari dinas terkait dan direspons oleh para guru yang memiliki keinginan melestarikan dan menggali bahasa daerah tersebut serta memiliki kemampuan memahami kosa kata dalam berbahasa daerah. Dengan belajar bahasa daerah serta menuliskannya, pelajar atau kita akan memulai belajar dan mengingat kembali berbagai nama barang atau sebutan, istilah, pepatah, pantun, cerita, silsilah dan berbagai macam perkembangan dalam bahasa daerah tersebut. Tentunya hal ini sangat menarik dan akan bermanfaat untuk memperteguh jati diri sebuah daerah yang memiliki bahasa yang khas sebagai manifestasi kebudayaannya. Bahasa itu sendiri akan menunjukkan karakter daerahnya, selain sebagai identitas sebuah bangsa.

Karena alasan melestarikan seni budaya dan menjaga jati diri serta menjaga karakter daerah Lahat, hemat penulis, perlu kiranya dibuat kamus bahasa daerah Lahat sebagai acuan dalam penulisan bahasa yang baku atau minimal glosarium bahasa Lahat. Selain itu sebagai usaha pelestariannya perlu dilakukan muatan local di sekolah-sekolah, dengan mengarang atau menciptakan karya sastra berbahasa daerah. Dengan demikian kita memulai lagi belajar menulis pantun daerah, cerita rakyat berbahasa daerah, puisi atau bentuk syair-syair lainnya.

KSLS kini sudah memulai menyusun glosarium atau kumpulan kata-kata berbahasa Lahat. Selain itu KSLS membuka kerjasama dengan berbagai lembaga atau bagi siapa saja yang hendak belajar sastra atau membuka dikusi guna menumbuh kembangkan kecintaan terhadap sastra daerah. Hal ini akan berlanjut dengan membuat beberapa event sastra daerah, dan akan mendokumentasikan beberapa karya sastra berbahasa daerah. Tentunya bagi siapapun yang tertarik, hendak bergabung, dan memiliki karya berbahasa daerah, mencoba memfasilitasinya.

Kesimpulan diskusi: selama ini kita lebih sering mengagung-agungkan daerah lain mengenai perkembangan seni budayanya atau sastranya. Kini waktunya kita membangun keagungan karya seni budaya yang kita miliki. KSLS mengajak segala lapisan masyarakat, gunakanlah bahasa daerah menjadi kebanggaan kita dan mulailah menulis dengan bahasa daerah sendiri.
Penulis:guru SMA N 1 Merapi Selatan Lahat

Selasa, 05 Oktober 2010

Rumah Penjara

Lampung Post
Minggu, 3 Agustus 2008
SENI BUDAYA
Rumah Penjara, Cerpen Jajang R. Kawentar

AKU punya kawan seorang penyair, itu kataku. Tetapi lain kata tetangganya. Ia pengangguran sinting, tanpa beban. Banyaklah tertawanya ketimbang menampakkan muka masam atau muka jeruk purutnya. Kalau kata kawanku yang lain, ia figur antikemapanan sejati untuk saat ini. Hidup tidak untuk masa depan. Hidup adalah saat ini dan nikmatilah saat ini sebelum kesempatan itu mampus bersama harapan dan kenyataan. Aku meyakinkannya ia sebagai penyair total. Maksudku total dalam membuat teks atau syair serta total teks itu menjadi kehidupannya. Apabila melihat tingkah lakunya itulah syair show life-nya. Kalau terpana atau menggelengkan kepala tiga kali melihatnya, berarti syairnya itu melaksanakan tugasnya laksana sihir atau hipnotis. Itulah salah satu kelebihan syairnya.

Sekian banyak syair yang dilahirkannya, tidak ada yang dapat dijadikannya rumah. Padahal ia sangat mendambakan sebuah rumah yang cantik, yang dapat memanjakannya dari terik matahari, dari dinginnya embun pagi, dari kelelahan yang sangat. Namun, telah menjadi rumah bagi jiwanya. Ia tidak peduli dengan keadaan dirinya yang menurut orang lain merusak mata dan memekakkan pendengaran. Ia jalani lalu lintas kehidupan dengan sabar, realistis dan kadang subversif.

Rumah kawanku itu di belakang rumah penjara negara. Maaf, rumah penjara itu terlalu sarkasme, terlalu subversif, terlalu menggocoh ulu hati, terlalu melecehkan, kurang manusiawi, menyamai kekuasaan Tuhan: untuk itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan biar terasa akrab, bersahabat, ramah dan manusiawi alias bermoral atau beradab; seperti istilah bencana kelaparan menjadi rawan pangan, rasanya terdengar menyejukkan kalbu, serasa tiada ada sesuatu peristiwa yang tragis walau yang kelaparan itu ribuan orang dan atau yang mati ratusan. Lembaga Pemasyarakatan sebuah tempat di mana orang-orang yang dijebloskan ke dalamnya adalah orang-orang yang tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak mempedulikan hak orang lain atau melanggar ketentuan hukum yang telah digariskan lembaga.

Kawanku itu namanya Samiun. Biasa dipanggil Miun. Ia kawan satu dusunku. Dusun yang jauh di bawah kaki Gunung Dempo. Hawanya dingin, sejuk, mata airnya jernih bening tanpa ada campuran limbah pabrik pupuk, kertas, atau karet. Di kaki gunung tidak ada pabrik yang merusak ekosistem atau mencemari alam di mana mereka bernaung. Mereka mengakrabi alam dengan kearifan dan kesederhanaan. Aman. Damai. Namun perlahan pasti globalisasi menghajar seluruh style dusun menjadi snobis, konsumerisme serta trendy, seperti robot-robot bernyawa di rumah susun, apartemen, atau di kolong-kolong jembatan, di tepi-tepi sungai. Asyik deh, huh!

Angin semilir diembuskan bersama wangi bunga kawo (kopi), padi, dan tanah yang perawan, juga bau keringat para petani yang memetik buah, menanam bibit dan sedang menyabit rumput. Di sanalah kami dilahirkan, di dalam kesegaran alam dan lingkungan yang mengagungkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat tinggi, siapa pun saudara, asal satu dusun. Begitulah di perantauan, lain pula kalau sudah tiba di dusun, kembali ke tabiat semula sebagai makhluk yang juga mentasbihkan ego individualnya.

Miun saraf, maksudnya urat saraf otaknya terganggu sehingga mengganggu cara pandang berpikir dan entahlah, mungkin gila. Orang-orang dusun mengenal Miun dari kebiasaan yang dianggapnya buruk, tidak wajar. Miun sering berteriak-teriak atau menjerit, seperti meneriakkan sesuatu yang tidak pernah dimengerti warga dusun, seperti sebuah ungkapan rasa yang mengimpitnya, entah jeritan sebuah harapannya yang sering terlipat dalam ketiaknya dan ketiak warga, atau hanya sebuah kejahilan yang wajar dari jiwa muda, jiwa pemberontak. Namun, apa yang diberontakinya? Ya itulah, sumur dalam dapat diukur, hati dan jiwa orang mana kita tahu kedalamannya. Barangkali kita tidak mau tahu dan tidak mau belajar untuk mendalami dan mengukurnya. Kita memang tai kucing! Mengatakan Miun saraf, jangan-jangan kita lebih saraf dari Miun. Huh!

Aku benci dengan orang-orang seperti itu. Mencela orang tapi diri tidak pernah berkaca. Kadang aku juga tolol seperti itu. Namun, tidak ada orang yang luka karenanya hingga bercucuran darah, hanya luka hati tidaklah tampak menyemburkan darah. Kita memang sering menghina hati kita sendiri apalagi dengan orang lain, barangkali. Jiwanya merintih seperti tertusuk belati di ulu hati. Apalagi dikhianati sang kekasih. Aaaaaaa!!!

Rumah Miun di belakang penjara. Bentuk rumahnya tidak seperti rumah pada umumnya, memiliki ruang-ruang tertentu sesuai fungsinya. Rumahnya hanya persegi empat, kira-kira dua setengah meter kali dua meter persegi. Tinggi atapnya kira-kira dua setengah meter. Ruang itulah yang ia miliki untuk memenuhi segala kebutuhannya. Orang yang pernah melihat rumahnya, mengkhawatirkan akan konstruksi bangunannya yang sangat melarat dari kekuatan semestinya guna menyangga beban yang ditimpakan kepada tiang-tiang dari bambu yang dibelah dua.

Anyaman bilik bambu sebagai dinding rumahnya sudah mulai bolong melebar, sebagian dilapisi koran-koran basi. Lantainya semen campur pasir yang diaci. Kalau dilihat dari bentuknya bukanlah rumah, tapi tempat tinggal, karena di situlah ia tinggal lima tahun terakhir. Tempat tinggal itu merupakan tempat istirahat setelah ia berkeliling mengumpulkan barang-barang yang dibuang orang ke bak sampah. Ia menjadi pemulung setelah mengelilingkan ijazahnya untuk mencari pekerjaan. Entah berapa ratus keliling ia tidak pernah diterima perusahaan-perusahaan yang berdiri angkuh itu, pusing tak terobati. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sendiri membuat perusahaan sendiri, apa-apa sendiri. Hasilnya adalah tempat tinggal yang mengkhawatirkan orang. Namun, orang-orang sepertinya tidak pernah mengkhawatirkannya.

Tempat tinggal itu tidak menempel ke dinding gedung penjara. Beratap seng plastik, maksudnya bentuk atapnya seperti seng yang bergelombang terbuat dari plastik. Sehingga di dalam ruangan itu terang, baik siang atau malam. Di atas tempat itu ada sebuah lampu milik Lembaga Pemasyarakatan yang menyala setiap malam. Bohong!

Tempat tinggal itu terlalu lebar kalau hanya untuk ngorok sendirian, atau hanya sekadar untuk berkencan dengan binatang malam. Di dalamnya ada satu gerobok dari kayu bekas, satu gantungan pakaian, satu tikar pandan wangi, satu sendok plastik, satu piring plastik dan satu gelas plastik. Gelas, kok plastik, yang namanya gelas itu pasti beling atau kaca! Aneh? Jangan aneh dengan zaman gilo. Lama-lama kita sendiri yang aneh melihat kita.

Miun penyairku, sekarang juga, di sini, akan kutelanjangi kau. Aku terlalu menyayangi syair-syairmu yang kau curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Aku akan menyelesaikanmu dengan kata-kataku. Aku percaya katakata lebih tajam dari pedang. Katakataku kuasah dengan bukubuku dan katakataku kusekolahkan pada alam raya dan katakataku mencatatkan katakata dalam diriku menjadi senjata tajam. Lebih jitu dari peluru lebih tajam dari samurai.

Miun telah beberapa bulan tidak lagi menempati tempat tinggalnya. Semua tetangganya tidak mengerti ia pergi ke mana. Tidak ada yang berani memasuki tempat tinggalnya. Tidak ada maling yang mengincar barang-barang buruk tidak berharga itu. Kecuali syair-syairnya yang ia curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Kawan-kawan di sekitar tempat tinggalnyalah yang sering menjadi tamu tak diundang. Mereka mengerti betul keadaan di dalam tempat tinggal itu. Tempat tinggalnya tidak dikunci.

Aku datang hanya sekadar untuk menanyakan berapa banyak katakata kalimat gagasanku dan yang tidak kuketahui, telah ia rampas paksa di saat aku sedang mengedipkan mata. Namun niat itu tidak jadi kulakukan. Setelah memasuki ruangan ada selembar surat yang disematkan di dinding bilik bambu dengan tusuk gigi.

Palembang, 9 Juli 2005

Kepada kawan-kawan yang aku hormati. KINI AKU TELAH MENEMPATI RUMAH PENJARA SEL. MAWAR NOMOR 0065 (sel mawar memangnya Bungalau?!). Begini, kepada polisi, aku mengakui telah mencuri banyak, tak terhitung, katakata kalimat gagasan kontemporer dan yang tidak kumengerti, telah kurampas paksa di saat seorang kawanku sedang mengedipkan mata. Aku sering lupa siapa namanya. Kata-kata itu telah aku jual untuk menghidupiku sendiri. Kini aku tidak sanggup lagi untuk menghidupi tubuh sebatangkara ini.

Ya sebaiknya kuakui kesalahan itu dan aku bisa masuk rumah penjara. Biarlah hidupku menjadi bagian dari anggaran negara. Entah berapa lama. Hanya aku ingin di rumah penjara sampai hari kiamat nanti. Kini aku telah mengerti bagaimana caranya. Salam,

Tertanda. Samiun.

Rasanya aku tidak perlu menyelesaikan rencana busukku itu. Ternyata ia sudah melakukannya sendiri. Barangkali ia mengetahui rencana busukku itu. Walau sesungguhnya aku tidak tega atas kejadian yang menimpanya, meskipun atas kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya skenario itu telah aku buat supaya ia merasa jera atas perbuatan yang menurutku telah merugikan dan mengganggu eksistensiku dalam dunia entah aku sendiri terkadang bingung dengan keinginanku ini. Aku telah merugikan orang yang belum tentu merugikanku, hanya sekadar meminjam gagasanku tanpa seizinku. Itu saja.

Namun, rasanya duniaku telah diporakporandakannya. Sepertinya ia memaksaku untuk menjadi sehelai bayi, yang diarahkan ibunya dan berdasarkan naluri kemanusiaannya memproses dari tidak bisa bicara menjadi cakap, dari merangkak menjadi lari, dari bayi menjadi punya bayi, dari belajar menulis huruf menjadi mempermainkan hurup bahkan mempermainkan kata mempermainkan kalimat. Sekarang kalimat yang telah kupermainkan itu, kau yang memainkan permainanku-nya itu. Lagi-lagi hak milik, lagi-lagi hak cipta tidak memiliki hak. Apa guna identitas kalau kita semua akan mati juga. Identitas hanya tunggal, Tuhan. Kata mereka yang beriman dan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan.

Kami bersaudara di kota karena kemiskinan. Di dusun belum tentu bertegur walau berdampingan.

Palembang, 2008

JAJANG R. KAWENTAR lahir di Tasikmalaya, 1970. Kini menetap di Lahat, Sumatera Selatan

PUISI DI LAMPUNG POST

Lampung Post Online



Lampung Post
Terbit sejak 10 Agustus 1974

Info
Profil Perusahaan

Cari Berita


Minggu, 5 Oktober 2008
SENI BUDAYA
Sajak Jajang R. Kawentar

Panen Malapetaka

kami berlari ke bukit mencari semak-semak

namun semua telah dibakar tamakmu

kulihat semak-semak kini pada hatimu

kulihat abu dan arangnya ada pada matamu

kami temui puing-puing perjuangan petani di tepi hutan dan ladang

kami temui jejak tapak kaki mereka berlari ke pasar koorporasi

lahan mereka impas diganyang gunung globalisasi

lahan mereka dirampok dan diperkosa pasar

para petani kini bersembunyi ke sudut-sudut kota

di lembah-lembah sampah di lorong-lorong tikus

menanam bibit angan-angannya kembali

dengan sisa tenaga dan semangat agrarisnya yang dikerdilkan buah sistem

bercocok tanam bunga-bunga bank

hati terbakar lembaran uang

mata pencarian menjadi mata uang menutup matanya

kini musim paceklik dan menculik hak kawan dikibarkan

sebab musim tanam telah tiada

musim panen malapetakalah tiba

Lahat, 2008

--------

Buruh Tani Melarikan Diri

batang-batang bebaris polisi pamong praja

cangkul sengkuit menjadi jeruji besi di kantor polisi

petani berperang melawan hama wereng

tanah tidak lagi mau kompromi dengan bibit

tuan tanah menaikkan harga sewa dari satu ke dua pikul

harga-harga hidup semakin menjalar pada tingkah laku

pada pakaian dan penampilan

pekerjaan pokok ditinggalkan dengan lelah

menyisir pabrik-pabrik menawarkan otot

menyisir jalanan dan gang-gang kota hingga tong-tong kosong

lahan kian gersang terbakar angan-angan

alang-alang disertai angin subur

daun tajam menembus awan bunga bermekaran

tidak ada lagi untuk ganjal perut kecuali melarikan diri

mungkin di kerumunan orang ada harapan

mungkin semudah harapan pada kerumunan orang

hutan belantara menawarkan sengsara

hasil ladang dan sawah hanya ketegangan

makan hati dan tulang sum-sum

keluarga terlantar di tengah kebun kopi dan di ladang padi

setapak demi setepak mengepak tenaga melarikan diri

gunung dan bukit mengajak berlari

sungai dan tebat mengajak berlari

yang dikejar secarik kapital

yang dikejar di bursa saham

perut dipikirkan kepala kelaparan dibiarkan

tidak kepalang tidak ada urusan

modal telah habis dimakan zaman

melarikan diri pilihan tanpa bekal dikepal kepala

petani diam dalam pelarian

memikul dagu sepanjangan

sepanjang jalan memanjangkan angan

langit mendung pegunungan

langit biru perkotaan

petani berlari memandang langit

tanah kelahiran diceraikan

air dan angin teguh pada janji

menanti kembali melarikan diri

melarikan diri kembali menanti diri

Lahat, 2007

-------

Pengembaraan di Belantara Keperawananku

perawanku pecah disinari bulan empat belas lalu

angin dari Gunung Dempo dan Merapi menyelimuti

engkau bercerita kejayaan Sriwijaya dan mengaku sebagai Prabu Siliwangi

engkau memang laki-laki gagah saat itu

aku ingat Parangtritis debur ombaknya menyentuh kemaluanku

pasir putih di pantai itu menjadi hatiku dan masa depanku

darah ini adalah harta yang kau pinjam dari mimpi-mimpi kecilku

cintamu kau untai untuk membayar luka dari kelaki-lakianmu

serta senjata yang kau todongkan pada kewanitaanku

perawan mana tak tunduk pada tulusnya perlindungan yang teguh dan belaian kesatria Pajajaran o meyakinkanku meskipun bangkai busuk yang tidak pernah kucium

aku membalasmu dengan cumbu candu yang meracuniku

engkau terus meminta ke parangtritis meski telah merapat di dermaga Boom Baru

engkau menrontokkan buah dan daun-daun yang tumbuh dalam keraguanku

engkau merobohkan tiang-tiang yang ada di dada

aku pasrah sebelum berperang

aku tak kuasa pada jampi-jampi yang membuatku melayang di awan-awan

engkaulah penyebab terlambat datang bulan itu, sinarnya hanya dalam ingatanku

aku mabuk dirimu yang mabuk Lekra seperti minum ciunya Klaten

ini pengembaraan di belantara keperawananku

aku ingin melepaskan omong kosong atas kemanusiaanmu

aku ingin kesejahteraan yang kau lupakan

kau sendiri lupakan dirimu untuk yang lain

hargamu itu telah dibayar puluhan tahun lalu

kembalilah padaku, pada keperawananku

hari ini kau jelajahi sungai Musi beraroma perompak yang membawa catatan Sriwijaya

seperti kapal yang karam

engkau Parangtritis dan Prabu Siliwangi menjadi benakmu

walau Lematang dan air Karang lintasanmu

lekat perawanku bersamamu walau luka merindumu

aku ingat halaman Keraton Sultan Hamengkubuwono tempat istirahat kita

dan orang tuaku menuntun ke kediaman Sultan Mahmud Badaruddin

hingga ke kawah tengkurep tempat peristirahatannya kini

telah kau bangun cerita dan kata-kata di kotaku

dan kau berikan cindera mata bagi penduduk yang tak penah mengenalmu

kau goreskan pula tanda-tanda pada prasasti yang tak pernah mereka mengerti

seperti keperawananku denganmu

juga heningnya mengenangmu

heningnya air Musi mengutuki derasnya

aku telah tertipu dan terlanjur menyukaimu

berilah aku ketulusan dan kasih sayang dari bangunan cerita serta kata-katamu

seperti juga Lekra dan partai yang tidak pernah mati itu

perawanku pecah disinari bulan empat belas

penemuanku pertama dari luka abadi

kejahatan pada diriku sendiri melalui engkau

namun kau sepakat dengan kontrak

keperawananku abadi milikmu

Palembang, 2006

------

Kuda Troya

1.

lihatlah aku kuda

tak tanggung binal dalam cengkeraman

dirimu pasti sembunyi atau berlari-lari hilang nyali

diriku menyeringai di balik kacamata hitam tuanku

aku bangga dalam kendali

bersama tuan menari ke sana ke mari

biar duka lupa

biar beban tuan ringan

tunggangi aku jangan sungkan

aku kuda sejatimu

tak sadarkan diri siapa

rasanya sudah merdeka

padahal genggaman tuan meringkus segala

namun nafsu belaka untuk bergaya di depan semua

tidak mengira dirinya kuda

dapat malu mestinya ia

mengumpat semua melihatnya

lihatlah aku kuda

kuda raja

2.

iba berkumpul di dada

ia kuda tak dinyananya

hina dipandangnya

harga diri tiada henti diinjaknya

siapa hendak melepaskan kacamata hitam tuannya

harga merdeka mahal harganya

menjadi tunggangan tuan dirahasiakannya

kuda troya nama asalnya

tuan riang mendapatkannya

terkabul segera keinginannya

3.

tak sadarkan diri kuda

kacamata gelap dikenakan

dengan bangga sambil bergaya

pandangan satu jadi keyakinan

ditarik kiri kanan tuan punya kehendak

hendaknya sadar punya berontak

mengertilah kuda lenyap jatidirinya

waktu menunggu malu

kini bersembunyilah

kuda tak dapat berubah rupa

derap jalannya seperti tentara

pasukan seribu satu komandannya

4.

tampak segala rupa kuda

dulu dibenam dalamdalam

kini tumbuh penuh duri

duriduri dibawanya tidur dan berlari

bernyanyi tidur dalam duri

walau tetap kadang sadarkan diri

jampi-jampi tuannya sehidup semati

mengikatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki

bahkan hatinya tak berkutik lagi

pikirnya disihir kendali

5.

tuannya serupa robot

percaya takhayul-takhayul ilmu

percaya diri titisan raja

yang ditelan tak kunyah-kunyah

yang dikunyah disembur-sembur

semua percaya dukunlah ia

kerjanya memangsa lengah

6.

kuda kena sembur

katanya inilah belajar

terimakasih belenggu

katanya inilah guru

pawang kuda troya

bisa mewujudkan mimpi-mimpi

terbiuslah ia

jadilah ia

kuda troyalah ia

7.

robot tunggang kuda

dilecut berkali-kali

tiada henti meminta lagi

Palembang, 2005

-----

Jajang R. Kawentar, lahir di Tasikmalaya 9 Oktober 1970. Lulusan fakultas seni rupa, institut seni indonesia yogyakarta, puisi, cerpen, artikel pernah dimuat di media lokal dan nasional.
Cetak Berita
Copyright © 2004 Lampung Post. All rights reserved.
In associated with Media Indonesia Online.
Comments and suggestions please email webmaster@metrotvnews.com

LENGKINGAN SUARA AZAN

Sungai Musi masih mengalir deras walau kadang coklat atau susu jembatan Ampera menyebranginya berdiri kokoh seperti kendaraan mobil dan motor Jepang pemiliknya kita mengakuinya dengan dada busung
*****
Lengkingan suara adzan magrib gaya Timur Tengah dari corong Masjid Agung Palembang Darussalam yang bangunannya artistik dan klasik dibuat pada zaman Kesultanan Mahmud Badaruddin I. Menurut buku yang berjudul Mesjid Agung Palembang yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2003 peletakan batu pertama pembuatan Mesjid Agung ini pada hari Senin, tanggal 26 Mei 1748 M. Terakhir direnovasi pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden yang ke lima Negara Republik Indonesia yang juga Putri dari Presiden Pertama, serta H. Rosihan Arsyad sebagai Gubernur Sumatera Selatan pada waktu itu, merembesi dari pori-pori ke hati yang lagi guligato . Rasa hati ingin kugaruk hingga lecet dan berdarah.
Agar tidak karuan penghuni rasa hati berhenti. Sepertinya gerangan menyerang dermaga rasa tiada puasnya. Dermaga rasa hampir tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai Musi yang tenang di permukaan, namun deras di kedalaman. Begitulah tampaknya.Suasana sekitar dermaga Sungai Musi, Pasar 16 Ilir, Benteng Kuto Besak dan lingkungan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu masih rame orang berkeliaran. Mereka seperti hendak mencari persembunyian.
Lampu-lampu taman dan lampu hias tiba-tiba menyala serentak seperti bintang-bintang dan kunang-kunang beterbangan. Meski hemat energi telah diserukan oleh Presiden baru kita.Mang Ujang masih terduduk manggu di teras Museum, menghadap dua patung Ganesa katanya peninggalan zaman Sriwijaya. Apa iya?; menjadi tontonan yang cukup mengejutkan bagi para pejiarah sejarah Sriwijaya. (Patung yang satu buruk rupa karena belum selesai; barangkali ditinggal oleh si pembuatnya pergi untuk perang atau ditinggal mising , padahal ketentuan ketika membuat patung itu tidak boleh mengeluarkan kotoran.
Akhirnya patung itu tidak jadi diselesaikannya. Satu lagi patung yang sempurna karena proses pemahatannya selesai; barangkali si pematung ini sudah teken kontrak dan bayarannya sudah lunas); sambil menatapi jembatan panjang yang melintasi Sungai Musi peninggalan zaman imprealisme Jepang, mang Ujang masih bertahan dengan sikapnya termanggu kakunya.Gelap. Matahari bersembunyi di balik semak belukar. Terang benderang serentak lampu-lampu yang mengelilingi sebuah tulisan di atas jembatan itu terbaca AMPERA: Amanat Penderitaan Rakyat. Konon yang memberi nama Ampera adalah Ir. Soekarno, Bapaknya Marhaenisme dan Nasakom, Presiden pertama Republik Indonesia.
Di atas tulisan AMPERA ada jam dengan angka yang juga dikelilingi lampu berwarna merah 18:15 jelas. Jam ini seringkali rusak dan tidak berada di tempat karena direparasi. Terkadang juga ada gambar raksasa yang menempel pada separo tiang jembatan. Gambar yang menandakan kekuasaan negara. Simbol arogansi pemerintah.Sekarang paras mang Ujang seperti sedang memikul sepikul beras di kepalanya dan hidungnya seperti sedang mencium bau air kencing dalam pispot.
Sementara itu di atas jembatan Ampera lalulalang kendaraan yang hampir seluruhnya Produk Jepang yang membanjiri negeri kita dan sampai saat ini menjadi salah satu kebanggaan milik orang-orang Palembang. Kita menjadi percaya bahwa orang asing menjajah melalui teknologi menguntungkan rakyat kita. Kita menjadi budaknya dari segala aspek; pemasaran, iklan, bahkan rakyat kita dilibatkan secara emosional supaya merasa ikut memiliki merk-merk Jepang atau Amerika dan dibangunnya rasa kekeluargaan diantara pecinta produk negara imperialis itu untuk mengikatnya.
Huh! Kampang!Memang kita menjadi tidak perlu susah payah berpikir, susah payah membuat dan berbuat. Kita seperti robot, bahkan lebih canggih robot buatan mereka. Kita hanya cukup mengeluarkan uang, entah uang itu dari mana, bagaimana mendapatkannya yang penting uang. Selesai perjuangan hidup rakyat kita. Aman Plembang.Orang-orang rakyat Plembang atau bangsa nusantara terindah telah menjadi robot dan akan terus melahirkan robot-robot baru yang lebih canggih dan sekaligus lebih bodoh dan tolol dan kampang terkampang dan terburit. Huh!Kita menjadi konsumtif. Hanya mampu menerima pilihan dari produk yang mereka tawarkan. Barangkali tidak pernah terlintas di benak kita untuk membuat produk yang sama untuk bersaing dengan produk milik imperialis itu.
Ah tololnya diri kita, padahal kita sudah tahu, mengerti, bahkan ngelotok di luar kepala! Lima tahun kuliah untuk apa? Huh! Gengsi tak laku, tak dapat digunakan untuk alat pembayaran. Kecuali alat vitalku alat vitalmu.Harus kita akui kali ini pada umumnya kita hanya mampu merusak, mempreteli, memodifikasi, memakainya, tidak perduli reparasinya, apalagi membuatnya untuk meniru saja sangsi! Entah kapan-kapan kita akan mandiri pada kaki sendiri. Sebagai bangsa kita tertindas, kita hanya sebagai negara kreditor, penanam utang, anti modal, gundiknya preman. Rentan dalam membuat kebijakan. Keberadaan negara dan bangsa dalam kubangan pelecehan negara dan bangsa lain.
Ah apa kesadaran kita berbangsa dan bernegara ini hanya sekedar imitasi atau berebut dengan perut pribadi-pribadi singga lapar. Atau kesadaran kita milik imprealis itu, atau kesadaran tumbuh karena pupuk imperialis, atau kesadaran kita juga diciptakan para imperialis. Huh! Kacus!.Ampera menjadi monumen yang menjadi simbol bahwa kejayaan Jepang mencengkram kita tetap kuat. Ampera membuat kenangan buruk dan menjadi hantu bagi yang mengerti dan memahaminya.
Apalagi bagi yang mengalaminya.Mang ujang masih duduk di tempat tadi. Ia takut pulang ke rumah kontrakannya yang sudah dua bulan belum dibayarnya dan sekarang sudah pertengahan ketiga bulannya. Ia takut pulang istrinya sering kesurupan, hari ini tidak membawa hasil apa-apa, tidak juga makanan untuk makan sekeluarga berikut mertua yang renta. Tidak juga untuk perutnya yang tipis, hanya segelas air putih tadi pagi sebelum ia berangkat ke luar kontrakannya dan pamit kepada istrinya untuk bekerja dan sedikit berjanji dengannya untuk melunasi hutang-hutangnya serta membawakan garam juga beras.
"Maafkan aku anakku, istriku, mertuaku, kutuk saja aku jadi jembatan Ampera yang ke dua. Aku sudah tak sanggup lagi menjadi manusia, yang harus melawan robot." Kata terakhir sebelum ia tidur di teras Museum Badaruddin II."Laa ilaaha illallaah." Melengking suara Adzan berakhir.***

Palembang, 2006

Senin, 27 September 2010

PUISI BERTHA CECILIA: KEPADA PUTRAKU

PUISI BERTHA CECILIA

Kepada Putraku


Satria
pagi ini hanya bisa kurebuskan singkong kesukaanmu
Meskipun sudah 29 kali pagi berganti
Kurebuskan untukmu
Emak tahu sebulan hampir berlalu
Bahwa betapa bosan pagimu
Saat menu yang kau nikmati tiada pernah ganti
Karena sawah bapakmu kini telah kehilangan padi

Satria
Nanti sepulang sekolah
Akan emak ceritakan kepadamu
Mengapa bapak belum mampu
Mengganti sarapan dengan
Roti bakar yang diselimuti margarin dan coklat
Di setiap pagi-pagimu
Dan sepiring nasi berdaun ubi serta semangkuk sambal terasi
Menanti setiap siangmu

Satria
Tapi sekarang kau harus dulu tahu
Bahwa sepotong singkong
Rebusan emakmu ini
Adalah hasil kebun kita
Dari tanah terjajah
Dari tanah lematang yang dialiri banyak darah
Dari tanah penguasa-penguasa pongah
Dari tanah pengusaha-pengusaha rakus serakah
Dari tanah sawah berubah tambang batubara
Dari tanah sejarah empat mata dan pahit lidah

Satria
Emak dan Bapak tak mungkin kekal
Janganlah hidupmu menjadi seorang bengal
Semoga ini menjadi sebuah bekal
Jadikanlah mulutmu sebagai akal
Untuk menerima dan memakan sesuatu yang disebut halal

Pagarsari, September 2010

Bertha CecilIa (30): Ibu satu anak ini sejak SMP sudah menulis baik puisi, cerpen dan diary. kegiatan menulisnya terhenti setelah menikah, kini kembali menulis dan bergiat di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat.

Selasa, 21 September 2010

3 PUISI YUDISTIO ISMANTO

LOMBA TIDUR
Di Negeri Yang Bertanah Subur
Petani Banyak Nggak Bisa Nandur
Akibat Pupuk Di Pasar Kabur

Tetangga Menyebut Kami
Negeri Ubur-Ubur
Dianggap Bau Kencur
Dimana Para Tentara Berotot Kendur
Karena Cuma Makan Bubur

Di Negeri Yang Katanya Makmur
Keadilan Digalikan Kubur
Pidato Penguasa Ngawur
Legislatif Pada Ngukur Kasur
Ikuti Lomba Tidur Mendengkur

pagarsari, agustus 2010

Talang Banten

sekal padat penghunimu
tukang becak, pengasong, sopir angkot, kuli angkut, kuli bangunan,pemulung, tukang koran, tukang jamu, dan berbagai disiplin ilmu buruh penghasil peluh lainnya subur tumbuh di tubuhmu
wajahmu menggambarkan ketegaran kepejuangan meniti letih
di gerbong kontrakan bersiap angkat khaki
menanti peluit petugas kereta api

suara merdu dinantikan saat musim pesta demokrasi
kekumuhan dijual oleh calon mempelai
keangkeran wajah ditutup oleh lembar-lembaran palsu
kepalan tangan digelitik oleh sepotong baju
peluh disapu buaian rindu politik penghulu
derap langkah tersandung segepok kotoran janji

ketika tembok-tembok yang kokoh dan sombong berdiri menghadang
apakah ia akan mengurung dirimu dari kebebasan diatas tanahmu sendiri
jangan-jangan kereta yang lewat itu
tidak sudi lagi melihat tubuh lusuh dan wajah angkermu

atau mereka yang mendirikan tembok itu sengaja menghindarkan engkau
dari debu-debu yang dikirim kereta tak bersalju

kwuuuung....janggujus...janggaujussss.......

september 2010

MULUT
mulutku bukan mulutmu
mulutku ngomong karena mulutmu berbohong
mulutmu lari mendengar mulutku bernyanyi
mulutmu sembunyi di balik meja atas nama bangsa
mulutku menggelandang di jalan raya
mulutmu penuh ditumbuhi lumut
mulutku hanya makan rumput
mulutmu tak pernah kenyang
mulutku mengerang kelaparan

mulutmu bukan mulutku
mulutku mengeluarkan bau sampah
mulutmu menebar wangi bunga
mulutku penuh sumpah serapah
mulutmu memangsa apapun jua

mulutku tak kenal takut
mulutmu selalu kecut
mulutmu hanya untuk membungkam mulutku
mulutmu bukan harimaumu
tapi harimauku ada dimulutmu
ia kan merobek rongga-rongga kepalsuan mulutmu

September 2010

Minggu, 29 Agustus 2010

Ngamen Puisi Wiji Thukul Dapat Semangka






Ngamen Puisi di Pasar Senggol
Komunitas Sastra Lembah Serelo (KSLS) Lahat menggelar Ngamen Puisi karya Wiji Thukul di beberapa tempat keramaian seperti di Pasar Senggol, Pasar Ramadhan PTM dan Talang Ubi, Sabtu (28/8). Talang Ubi ini kompleks rumah warga yang berada di pinggir rel kereta api dekat statsiun Kereta Api Lahat. Kegiatan ini dalam rangka memperingati hari ulang tahun Penyair Wiji Thukul yang juga seorang aktivis yang hilang karena korban politik pada awal reformasi. Di samping itu memperkenalkan puisi kepada masyarakat umum sebagai bentuk seni yang bisa diapresiasi oleh siapapun dan dimanapun.
Hal ini diungkapkan Jajang R Kawentar sebagai pembina KSLS, “Dulu Wiji Thukul sering ngamen puisi, kegiatan ini mengenang penyair Wiji Tukul yang hilang akibat korban politik pada awal reformasi tahun 1998. Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kehidupan Wiji Thukul. Tentunya kegiatan ini juga sebagai bentuk keprihatinan kami dari komunitas Sastra,” kata Jajang.
Warga lahat yang sempat melihat saat ngamen, kaget, aneh mendengar seperti berteriak-teriak baca puisi di pasar Senggol, di Talang Ubi Bedengseng. tampaknya mereka merasa terhibur, karena setiap pembacaan puisi Wiji Thulkul oleh Yudistio, Pinasti S Zuhri dan Jajang R Kawentar disambut dengan melontarkan kata, seperti "merdeka!", "lawan", "ayo", "yeah," atau sekedar berteriak dan tersenyum saja.
Pinasti S Zuhri (30) dan Yudistio (30) pengamen puisi yang juga tokoh pemuda Desa Pagarsari mengungkapkan, “di Pasar Senggol semua pedagang dan pembeli terperangah, karena di Kota Lahat ini tidak pernah ada yang ngamen baca puisi apalagi di pasar,” katanya.
Seorang pedagang tukang buah di Pasar PTM yang memberikan buah semangka kepada pengamen itu mengatakan, “Aku baru kali ini ade jeme (orang) yang ngamen maco (baca) puisi. Bagus juge, kreatif lah,” katanya. *)

Rabu, 18 Agustus 2010

PERBURUAN PETANI PAGARSARI


Kemerdekaan kebunku harus kuraih hari ini
di hari kemerdekaan ini
Monyet penjajah telah merongrong kehidupan buah pentil
Hingga tiada kesempatan hidup sebatang palawija pun
Jelas ini pelecehan kebebasan berkehidupandan merampok hak

Kemerdekaan kebunku harus kuraih hari ini
tanggal tujuh belas ini
Babi telah menginjak-injak batang-batang sampai rata
Mencerabut akar dan umbi palawija
Hingga tercerabut susah payahku
Tiga bulan sudah kutunggu
Hanya porak poranda yang ada
Tak ada panen musim ini

Wahai tuan monyet dan tuan babi
Jangan sampai aku angkat senjata
Atau kau kuasingkan ke kebunbinatang
Jangan sampai kau kuhapus darisejarah
Ingat kekuasaan penuh atas kebun ini keturunan manusia yang punya nama


Wahai tuan monyet dan tuan babi
Mintalah perlindungan ke departemenmu
Mintalah suaka agar kau tetap terjaga
Sekali kau langkahkan kaki kekebunku
Takan kubiarkan peluru bersarang di sarung saja
Sejarah akan menggores di pagarsari

"kalian kaku diburu peluru bedilku"


Pagarsari, Agustus 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

PERBURUAN PETANI PAGARSARI



Kemerdekaan kebunku harus kuraih hari ini
di hari kemerdekaan ini
Monyet penjajah telah merongrong kehidupan buah pentil
Hingga tiada kesempatan hidup sebatang palawija pun
Jelas ini pelecehan kebebasan berkehidupan dan merampok hak


Kemerdekaan kebunku harus kuraih hari ini
tanggal tujuh belas ini
Babi telah menginjak-injak batang-batang sampai rata
Mencerabut akar dan umbi palawija
Hingga tercerabut susah payahku
Tiga bulan sudah kutunggu
Hanya porak poranda yang ada
Tak ada panen musim ini


Wahai tuan monyet dan tuan babi
Jangan sampai aku angkat senjata
Atau kau kuasingkan ke kebun binatang
Jangan sampai kau kuhapus dari sejarah
Ingat kekuasaan penuh atas kebun ini keturunan manusia yang punya nama

Wahai tuan monyet dan tuan babi
Mintalah perlindungan ke departemenmu
Mintalah suaka agar kau tetap terjaga
Sekali kau langkahkan kaki kekebunku
Takan kubiarkan peluru bersarang di sarung saja
Sejarah akan menggores di pagarsari
"kalian kaku diburu peluru bedilku"

Pagarsari, Agustus 2010

Senin, 16 Agustus 2010

INI KOPI ASLI DARI TANAH PENUH SEJARAH



aku warga pagarsari, bukan pagar Negara
pagarsari suka seni, pagar Negara mengada-ada
hobi minum kopi, rumah kami dekat kebon kopi
wangi bunga kopi, seperti bau rumput dan tanah terkena embun
engkau belum menciumnya bukan?
sebelum bekerja kucium dia, hingga tujuan dia tetap kucium
dulu hanya dongeng yang kukenang
saat ini aku dalam dongeng itu
mengukir jalan cerita dan membawa kalian pada kenangan belum terjamah


ini kopi asli dari tanah penuh sejarah
sejarah puyang, sejarah purbakala hingga legenda pahit lidah
namun orang-orang di tanah sendiri berjalan menutup mata,
walau begitu juga cukup bahagia, karena sesungguhnya mereka malas membaca
kenikmatan kopi yang dipanen tak dihirupnya sebagai harta benda
kenikmatan kopi yang ditebar tak dibaca sebagai peta dunia

rasanya dunia belum mereguknya
bekenalan saja baru pada dinding ini
seteguk saja bisa mabuk dunia
di rumah pagarsari menyediakannya
sambil menghisap bukit jempol, barisan buki-bukit
dan kiriman dari lembah yang sepoi-sepoi
tiada dua rasanya menghantarkan kopi pada dunia sesungguhnya

Pagarsari, Agustus 2010

Minggu, 11 Juli 2010

BLASTERAN

Aku punya satu ayam betina yang kubeli dari seorang kawan di dusun. Sebenarnya aku beli sepasang. Hanya baru saja sampai di Pagarsari, ayam jantannya lepas. Tak pernah kembali lagi. Sudah aku tanyakan dan kuselidiki di Pagarsari, tak kutemukan jejaknya. Maklum rumah kami di hutan, sulit untuk melacak ayam yang tak kenal medan ini. Mungkin menjadi santapan Kucing Hutan, Biawak, Berang-berang, atau Musang.

Ayam betina itu kini mulai pubertas, ia sengaja mendekati jantan tetangga yang sudah berpasangan bahkan punya keturunan. Pandai pula ayam betina itu, memilih jantan yang berbadan kekar dan tinggi. Sepertinya ayam sayur blasteran, punya tampang Bangkok. Tak segan-segan ayam jantan itu merayu ayam yang baru pubertas di hadapan induk ayam dan keturunan dari ayam jantan yang punya tampang Bangkok .

Ayam betina dusun berselera baik. Memperbaiki keturunan. Aku berharap keturunannya kelak besar dan tinggi seperti jantannya, tidak seperti induknya yang Kate.

Jumat, 02 April 2010

BUKIT SERELO DAN SUNGAI LEMATANG


Bukit Serelo (bukit jempol) yang unik diambil dari arah Ulak Pandan dan Sungai Lematang yang kini mulai rusak

Selasa, 16 Maret 2010

MENTOK BERSELEMPANG PITA MERAH


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Mentok Berselempang Pita Merah
Oleh Jajang R Kawentar
Unggas sejenis itik (Cairina moschata) yang disebut Mentok (entog) dibawa Kakek Martha dari Desa Tugu Mulyo Kota Lubuk Linggau itu oleh-oleh dari saudaraku yang menjadi peternak unggas. Kakek dihadiahi dua ekor yang baru berumur tiga bulan. Kini mereka sedang masa puber setelah kurang lebih tiga bulan dipelihara di rumah Pagarsari. Mereka itu sepasang lanang betino dalam satu generasi (adek kakak).

Putri adalah nama Mentok betino (betina) dan Rajo nama Mentok yang lanang (jantan). Nama-nama itu sudah menjadi kesepakatan kami dalam keluarga Pagarsari. Adeknya berjenis kelamin betino dan kakaknya lanang. Dilihat dari postur tubuhnya yang lanang itu lebih besar dua kali lipat dari yang betino.

Kakek mengikatkan pita merah pada sayapnya sebelah kiri sebagai tanda, supaya tidak tertukar dengan Mentok tetanga, selain itu supaya tidak bisa terbang jauh. Kakek juga membuatkan gelang di kaki kirinya, yang terbuat dari kawat. Memang kedua mentok itu tampak berbeda karena ada selempang pita merah di sayap kirinya.

Kehadiran dua Mentok di lingkungan rumah Pagarsari membuat kami sekeluarga senang. Sepasang Mentok menjadi bagian dalam kehidupan kami. Kami bisa merawatnya bergantian memberikan makanan dan menutupkan kandangnya. Mentok mengerti kapan harus masuk kandang dan ke luar kandang. Dengan tubuhnya yang gemuk dan pendek, serta jalannya yang megal-megol, menjadi terlihat lucu.

Kakek membuatkan kandang yang lebar di samping rumah untuk sepasang Mentok bontet (kegemukkan atau obesitas). Memang mentok doyan makan, tak hentinya mulutnya mengunyah. Kami memberinya jagung tumbuk, nasi sisa makan dan makanan tambahan yang diracik sendiri.

Makanan yang istimewa baginya adalah sejenis serangga dan sejenis cacing. Untuk makanan istimewa ini mereka mencari sendiri, walau terkadang sesekali kami mememukannya. Lahap benar bila memakan cacing atau serangga itu.

Selain memakan makanan yang disediakan mereka memakan rumput yang berada di sekitar rumah. Rupanya kebiasaan mereka makan itu selalu berkuah, atau makan selalu dibarengi dengan minum. Sehingga setiap kali memberikan mereka makan selalu dicampur air banyak seperti membuat sayur Sop. Tempat untuk makannya baskom besar. Supaya tidak kekurangan kuah untuk campuran makanannya. Air menjadi bagian lebih banyak dalam hidupnya.

Kami juga membuatkan kolam kecil untuk mereka bisa berenang atau mandi. Mentok ini tidak bisa berlama-lama dalam cuaca panas, mereka langsung menceburkan tubuhnya ke dalam kolam. Berendam sambil mencari-cari makanan di dasar kolam, kepalanya menyelam.

Mentok memiliki waktu khusus untuk istirahat dalam sehari sekitar 4 sampai 5 kali istirahat atau tidur meskipun hanya sesaat saja. Sekitar jam sembilan pagi mereka duduk berdua, melipatkan kepalanya di puggungnya atau di pundaknya sambil matanya dipejamkan, kemudian jam 12.00 dan mungkin sekitar 3 sampai 4 jam sekali mereka istirahat atau setelah merasa kenyang. Terkadang istirahat sambil membersihkan bulunya.

Kebiasaan Mentok pada malam hari apabila melihat makanan mereka langsung memakannya. Apalagi pada terang bulan atau terang lampu listrik mereka keluar kandang dan berkeliaran seperti pada siang hari namun tidak berlangsung lama. Apalagi pada waktu turun hujan, mereka sangat senang.

Kami menunggu kapan si Putri ini dapat bertelor dan memiliki keturunan. Kami selalu berharap bisa melihat bayi Mentok dari telur yang dieraminya dan menetas. Kami akan mempersiapkan nama-nama bagi keturunan si Putri dan si Rajo. Kata Kakek Martha kalau bulunya sudah banyak yang rontok dan berganti yang baru maka Mentok itu akan segera bertelor. Sekarang mereka sudah merontokkan bulunya, mungkin bulunya yang baru sedang tubuh. Berarti sebentar lagi bertelor. Kapan? ***)

Rabu, 03 Maret 2010

RIBUAN PENONTON SAKSIKAN NYANYIAN ANGSA TEATER GENDHING


Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

RIBUAN PENONTON SAKSIKAN NYANYIAN ANGSA TEATER GENDHING

Oleh Jajang R Kawentar

Kota Muaraenim
Pada hari Sabtu (20/2) pukul 17.00 sampai di Kota Muara Enim yang baru beberapa hari sebelumnya tertimpa banjir dan angin putting beliung tepatnya di depan gedung kesenian Putri Dayang Rindu, rencananya menonton pentas teater yang tercatat di spanduk dan baliho depan gedung ini drama musikal Nyanyian Angsa karya Anton Chekov yang digarap Komunitas Gendhing Muaraenim sutradara Fikri Ms jam 19.00 pentas terakhirnya. Tercatat di Spanduk dan balihonya mereka pentas mulai hari Jumat-Sabtu 19-20 Februari 2010 terbagi menjadi empat kali pementasan setiap hari dua kali. Pentas pertama pagi jam 09.00 WIB dan pentas kedua jam 19.00 WIB.

Kabar ada pementasan ini didapat dari Arpan Rahman wartawan okezone di Palembang pada tengah malam sebelumnya, antusias tentunya untuk dapat menyaksikan karya Chekov dengan actor dan sutradara dari desa Muaraenim. Apakah terjadi akulturasi antara budaya Rusia dengan budaya Muaraenim Sumatera Selatan yang kental dengan budaya lisan.

Dari dalam Putri Dayang Rindu keluar yang angkut-angkut property dari atas panggung, dan beberapa orang melucuti dekorasi panggung. Jangan-jangan pertunjukan sudah usai. Jauh dari Lahat dibela-belain hujan-hujanan tak dapat menyaksikan pentas teater yang jarang terjadi di Sumatera Selatan ini apalagi di Muara Enim, sebuah kota kabupaten yang sepi aktifitas seni. Baru kali ini mulai menggeliat dengan munculnya Komunitas Gendhing yang dimotori Fikri Ms.

Setelah ditanyakan pada laki-laki paruh baya yang ikut berkemas, rupanya yang sedang melucuti panggung itu pesta khitanan. Kenapa bisa terjadi seperti ini, apakah ada miskomunikasi antara spanduk dan baliho yang terpampang besar di gapura halaman Putri Dayang Merindu ini dengan pementasan Drama Musikal Nyanyian Angsa.

Mencari informasi yang pasti, jangan sampai kesempatan nonton Nyanyian Angsa menjadi nyanyian sunyi. Mencoba mengelilingi Putri Dayang Rindu itu, ada beberapa anak muda bergerombol membuat lingkaran kecil duduk di aspal halaman gedung sebelah kiri yang dipayungi tenda pesta, membicarakan sesuatu. Kupandangi mereka dari kejauhan siapa tahu ada yang kenal, jangan sampai kekecewaan menjadi nyata. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghampiri, berperawakan kecil berambut pendek bulat.

Dia mengatakan bahwa Nyanyian Angsa pementasannya diundur karena gedungnya dipakai untuk pesta khitanan putra pejabat. Kita sebagai masyarakat biasa tidak punya jabatan, mengalah. Disamping itu karena kepengurusan Gedung Kesenian ini ada dua, di Kepala Bagian Umum Pemerintah Daerah dan di Kepala UPTD Dinas Pariwisata.

Hal ini sempat dibahas beberapa elemen masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengembalikan Gedung Kesenian Putri Dayang Merindu ini pada fungsinya yaitu sebagai tempat kegiatan berkesenian dan dibicarakan pada Bupati serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Tetapi Komunitas Gendhing memulainya dengan aktifitas teater dan merencanakan menampilkan beberapa naskah drama. Hasil kerja perdananya Drama Musikal Nyanyian Angsa naskahnya Anton Chekov siap digelar, yang semestinya mulai Jumat (19/2) diundur menjadi Minggu (21/2) karena ada pesta khitanan.

Sontak kerja menjadi dua kali karena harus mengkonfirmasi ulang para undangan dan para penonton yang telah memesan tiket ada sekitar 2000 tiket yang sudah terjual. Tetapi ada baiknya karena dengan adanya kejadian ini pemesan tiket menjadi bertambah 1000 tiket, jadi jumlah keseluruhan 3000 tiket terjual.

Fikri Ms sutradara Nyanyian Angsa yang saya kenal dua tahun lalu, dia tidak menyangka kawannya dari Lahat datang disaat hujan deras membasahi Bumi Serasan Sekundang, karena dia sendiri tidak mengundangnya. Terakhir berjumpa saat Teater Gaung mementaskan Gadis Perawan di Sarang Jabalan adaptasi dari Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisyahbana di gedung RRI Sumatera Selatan di Palembang setahun lalu. Tetapi dia mendapat kabar dari Arpan Rahman karena dirinya berhalangan dan mengatakan bahwa kawannya ini bakal datang.

Jadwal pementasan yang seyogyaya pukul 09.00WIB menjadi pukul 15.00WIB dan untuk malam hari tetap pada pukul 19.00 WIB. Akhirnya menunggu pementasan satu hari semalam di Putri Dayang Rindu.

Kisah Angsa
Nyanyian Angsa mengisahkan dua tokoh penting dalam dunia peran (actor) panggung yang sudah menginjak usia senja kira-kira 60 tahunan. Dua tokoh tersebut Nikituskha yang bertugas sebagai pembisik dalam pementasan drama dan Svietlovidoff pernah menjadi pemeran utama dalam beberapa drama karya William Shakspiere seperti King Lear dan Badut, Othello, Hamlet dan Pembisik

Karena usia tua yang menyerangnya, Svietlovidoff sering merasa ketakutan. Kesepian semakin ia rasakan ketika disadarinya tiada seorang pun yang peduli dengannya. Sehingga masa lalu mengingatkannya, segala sesuatu yang pernah diraihnya begitu indah menghiasi hati dan pikirannya. Kini Svietlovidoff menganggap dirinya seperti angsa putih yang ditinggalkan kelompoknya karena usia senja dianggap sudah tak mampu lagi memberikan apa-apa kecuali membebani orang lain.

Sementara Nikitushka si Pembisik yang sama-sama sudah uzdur kembali mendapatkan kawan. Kesepian angsa putih sedikit terobati segala keluh kesah ia kabarkan, tentang masa lalunya yang gagah dan betapa energiknya sewaktu dirinya muda, tampan, dan berani, serta menjadi pujaan wanita. Beberapa lakon yang pernah ia mainkan, diperankannya kembali, dan Nikitushka hanya mengikuti karena merasa kasihan terhadapnya.

Kesedihan Svietlovidoff memuncak ketika si Pembisik ikut sedih dan menangis mengingat masa lalunya. Akhirnya mereka hanyut dalam keterasingannya, usia senja menjadi kendala dalam mempertahankan profesinya sebagai Aktor. Namun seperti yang mereka katakan, “Di mana ada kejeniusan dan kekuatan ekspresi tentu tak ada tempat bagi kesepian atau kesakitan”. Mereka pun bangkit menatap ke depan.


Dua Tokoh
Teater Gending dalam menggelar Drama Musikal Nyanyian Angsa ini menampilkan David Mulya sebagai Nikituskha dan Novan Furwansyah sebagai Svietlovidoff. Kedua actor yang baru saja menitikan karirnya ini, mengakui baru pertamakalinya memerankan tokoh di atas pentas dan baru pertama bermain teater. Walau begitu aktingnya cukup memukau para penonton. Mereka kagum terhadap penampilanya.

Pentas perdana ini telah melampaui kawan-kawan teater sebayanya yang pernah saya saksikan. Karena mulai dari tata panggung, lighting, ilustrasi musik, make up, serta kemampuan actor sendiri betul-betul tergarap. Meskipun masih ada kelemahan dari teknis penampilan, volume soundnya kebesaran, lightingnya beberapa kali lepas control dan vocal yang belum mampu mengimbangi 800-an penonton dalam satu kali penampilan. Banyak penonton kurang memahami kekurangan pertunjukannya karena mereka memang awam, hanya masalah vocal dalam beberapa dialog yang banyak di keluhkan, karena tertutup suara musik pengiringnya. Sepertinya bagi penonton, kedua tokoh Nyanyian Angsa itu menjadi penentu dalam pementasan itu.

Namun secara keseluruhan Teater Gendhing mampu menyuguhkan pertunjukkan yang cukup fantastic bagi masyarakat pelajar, mahasiswa dan guru di Kota Muara Enim. Sebuah tontonan yang unik dan baru mereka kenal, sehingga mereka antusias serta takjub. Beberapa anak SD setelah keluar dari gedung pertunjukan mengatakan pada temannya, “wah seru ya!” entah apa yang mereka rasakan.

Ilustrasi musik yang mempengaruhi emosi penonton, dan mengatur ritme pementasan digawangi Rizal: Gitar, Dodi: Keybord, Nando: Bass, Titin: Gong, dan Adita: Jimbe. Karena drama musical maka musik sangat dominant dalam pertunjukan ini. Mereka cukup mahir dalam memainkan alat sehingga sejuk didengar dan penonton ikut menghentakkan kakinya ketika musik Blues mengiringi nyanyian yang dibawakan Nikituskha dan Svietlovidoff .

Ribuan Penonton
Ribuan pelajar dan mahasiswa Muaraenim memadati Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu, menonton Nyanyian Angsa Naskah Drama Anton Chekov disutradarai Fikri Ms yang didominasi anak perempuan hamper 90 persennya. Menakjubkan. Ada ibu-ibu membawa anak-anaknya perempuan yang masih balita, mereka duduk di kursi sabar menunggu pintu masuk dibuka.

Ya menakjubkan sebab perempuan yang akan melahirkan kembali dan kembali menceritakan kepada ribuan anaknya yang kelak lahir. “Nak dulu ibu pernah menonton naskah drama Nyanyian Angsa karya Anton Chekov yang disutradarai Fikri Ms. Orang Muara Enim, ya asli Orang Muara Enim. Menyenangkan, menarik, kali itulah ibu pertama menonton pertunjukan teater. Dan kata nenek dulu tidak pernah ada yang namanya pertunjukan teater seperti yang digelar kelompok Teater Gending. Nah jadi kamu boleh menonton pertunjukan teater, itu bagus sekali. Atau kamu coba menjadi actor dari pementasan drama itu. Ibu sangat bersyukur, kalau kamu senang dengan seni, karena seni itu indah nak,” kata seorang anak perempuan yang kelak menjadi ibu.

Demikian juga seorang anak perempuan lainnya yang kelak menjadi ibu mengatakan pengalaman menonton Teater Gendhing pada anaknya, “Waktu itu ibu menonton sama kawan-kawan ibu di gedung kesenian sesama anak sekolah, ibu juga ketemu dengan kawan-kawan ibu yang dari sekolah lain. Masuknya dorong-dorongan, waktu itu beli tiket harganya cuman Rp3000. Murahkan? Pulangnya ibu bercerita sama nenek bagaimana Nyanyian Angsa karya anton Chekov yang dimainkan Kak David sama Kak Novan. Begitu mempesona. Rasanya ibu pengen sekali berkenalan dengan para pemainnya dan kru dari Teater Gending ini apalagi sama sutradaranya. Tapi ibu malu, masih terlalu kecil. Waktu itu ibu kelas 3 SD umur ibu kira-kira 9 tahun.”

Demikian sekelumit gambaran harapan dari sebuah pertunjukan Nyanyian Angsa dari Teater Gendhing. Penampilan perdana dapat menyirami ruhani para perempuan yang menyaksikan pertunjukan ini dan bersemi di hatinya serta berkembang pada keturunannya kelak. Masyarakat Muaraenim bersahabat dengan dunia teater, karena kota ini sangat potensial terhadap perkembangan seni. Kalau pertunjukan perdana sudah ditonton 3000 orang maka ke depan lebih dari 5000 orang.

“Sebuah pintu yang besar ini tidak bisa oleh satu dua orang untuk membukanya tetapi harus sama-sama. Pintu itu kini sudah terbuka, kita sudah pegang kuncinya. Bagaimana supaya pintu itu tidak rusak. Gerbang itu barusan saja kita buka. Apa yang ada dihadapan kita ketika pintu itu sudah terbuka kita harus siap menghadapinya,” ungkap Fikri Ms dihadapan 23 kru Nyanyian Angsa.


Teater Gending Aset Daerah
Sekitar 20-an orang tergabung dalam lingkaran Komunitas Gendhing di halaman gedung kesenian Putri Dayang Rindu mempersiapkan pementasan Nyanyian Angsa. Mereka cukup sabar, serta telaten menyusun rencana untuk memecah kesunyian kota dari hiruk–pikuknya kekakuan dengan hangatnya kesenian. Mereka siap menghidupkan atmosfir berkesenian dan membangunkan semangat berkesenian yang telah lama tidur di Kota Muaraenim.

Tidak mudah membangun sebuah komunitas yang solid, apresiatif dan kreatif seperti yang dilakukan Komunitas Gending. Inilah yang menjadi berharga dari sebuah komunitas. Mereka selalu menyandang daerahnya dimana komunitas itu berkembang dan bersemi berkarya. Selayaknya mereka mendapatkan bantuan moril dan materil dari pemerintah daerahnya. Supaya lebih berkembang dan membawa harum daerahnya.

Sebanyak apapun sebuah daerah memiliki komunitas seni, namun apabila tidak mampu berkarya, juga melahirkan sebuah generasi yang energik dalam menangkap sebuah gagasan kesenian, dan mengolahnya menjadi sebuah karya, maka komunitas seperti sebuah keniscayaan. Komunitas Gending menjadi sebuah inspirasi bagi siapapun dalam membangun sebuah komunitas atau entitas berkesenian di daerah.

Fikri Ms bersama kawan-kawannya mendirikan Komunitas Gending pada tanggal 18 Agustus 2008 nama Gendhing disepakatinya sebagai wadah yang menampung dan mengembangkan bakat bagi para pemuda dan pelajar di Muara Enim. Beberapa aktifitas yang pernah digelar dan diikutinya diantaranya teaterikal di tugu Monumen Daerah (MONDERA) bertepatan dengan hari jadi kabupaten Muara Enim, 25 November 2008, pentas Musikalisasi puisi, refleksi Bulan Chairil Anwar dan Hari Pendidikan (April-Mei 2009) dalam Pekan Budaya I di Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu M. Enim, Oktober 2009 diundang dalam Mimbar Teater Indonesia (MTI) I di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, Magang Teater di Jombang, Jawa Timur (Januari 2010). Kini Komunitas Gending itu mengubah namanya menjdi Sanggar Teater Gending (STG).

Jumat, 19 Februari 2010

Penjelajahan Sejarah di Bukit Besak Merapi Selatan



Selamat Datang di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat Tempat yang nyaman untuk berdiskusi, berkarya dan pentas, apalagi sambil ngopi asli kopi Lahat. Mantap!!! Lanjut...

Penjelajahan Sejarah di Bukit Besak Merapi Selatan

Angin dingin dipayungi awan mendung mengiringgi sekitar 20 siswa-siswa SMA N 1 Merapi Selatan Kabupaten Lahat, mereka merupakan anggota Pramuka yang melakukan penjelajahan sejarah dan budaya ke Bukit Besak di Kecamatan Merapi Selatn tidak jauh dari sekolah tersebut. Berada tidak jauh dari areal Bukit Serelo yang merupakan ikon Bumi Seganti Setungguan.

Bukit Besak menyimpan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia saat melawan penjajah dan terdapat legenda Batu Putri yang di bawah Batu Putri tersebut terdapat Gua. Diyakini oleh gua tersebut pernah digunakan warga untuk bersembunyi. Legenda Batu Putri Ini berawal dari kisah seorang putri yang sedang bersedih duduk termenung tiba-tiba seekor anjing piaraannya yang setia menemaninya menggagahi putrid tersebut maka dikutuklah mereka menjadi batu, demikian cerita yang berkembang di Merapi Selatan.

Gua Putri yang terdapat di bawah batu putri ini memiliki beberapa ruangan yang tersusun karena proses alam, bukan karena bentukan manusia. Mungkin saja orang yang pernah tinggal menyempurnakan bentuknya. Antara ruang yang satu dan yang lainnya saling berhubungan, meskipun hanya bisa dimasuki dengan cara merayap.

Para penjelajah tidak sanggup memasuki seluruh ruangan karena beberapa ruangan sudah ditempati banyak kelelawar bersarang. Bau kelelawar dan kotorannya itu membuat tidak tahan, pusing dan mual. Disamping itu harus menggunakan alat yang memadai untuk memasuki ruangan-ruangan yang gelap.

Bila dilihat dari posisinya Batu Putri itu berada di tepi Bukit Besak menjulang, batu itu bertumpuk seperti adegan sedang bersenggama. Menurut salah seorang warga bahwa batu Putri ini biarpun kelihatannya hanya menempel sedikit tetapi tidak pernah bergeser meskipun ada gempa. Sehingga tampak unik bila di pandang dari arah lembah bukit.

Selain Batu Putri ada juga Gua Madun berada di bawah sebelum menuju Gua Putri. Dari Gua Madun ke Gua Putri menempuh jarak satu jam perjalanan. Gua inilah yang menjadi tujuan penjelajahan sejarah dan budaya selain menuju ke puncak Bukit Besar.

Di puncak Bukit Besar kita bisa melihat kota Lahat, Muara Enim, Tanjung Enim dan perkampungan-perkampungan, bahkan tampak Gunung Dempo yang berada di Pagaralam. Kalau saja Bukit Besar ini dijadikan tempat wisata alam tentu sangat menakjubkan karena keindahannya tidak kalah dengan daerah lain.

Pejelajahan Sejarah dan Budaya ini ditemani 3 guru pembimbing dan pemandu dari warga setempat. Sebelumnya mereka sudah menginap semalam di Desa Tanjung Beringin. Perjalanan mereka dimulai Minggu (14/2) sekitar pukul 8.00 WIB dimulai dengan doa bersama. Kegiatan ini selain sebagai refreshing, kegiatan pramuka dan untuk lebih mencintai alam juga budaya lokal, ujar Jayadi SPd salah satu Guru yang pemimpin perjalanan ini yang juga sebagai guru sejarah..

Perjalanan menuju Gua Madun, Gua Putri dan Bukit Besak, sebelumnya melewati rerimbunan hutan hujan tropis yang lembab, serta padang rumput yang luas membentang serta udara yang segar. Wilayah ini merupakan hutan lindung dengan perbukitan batu, konon banyak mengandung batubara di kaki Bukit Besak ini. Pohon-pohon yang tinggi dan banyak terdapat macam-macam binatang di dalamnya. Menurut warga setempat Tiwi (35), bahwa di hutan ini masih terdapat banyak jenis hewan misalnya, Beruang Madu, Kijang, Rusa, Ayam Hutan, Kambing Hutan dan Macan Akar.

“Terkadang jejak hewan liar ini terlihat saat menuju perbukitan, tapi tidak pernah mengganggu penduduk,” ujarnya. Masyarakat Kecamatan Merapi Selatan juga menjaga alam sekitarnya.

Gua Madun merupakan peninggalan masa revolusi 1945, menuju ke Gua tersebut memakan waktu sekitar satu jam dari desa dengan berjalan kaki. Sementara jarak Desa Tanjung Beringin sendiri dari Kota Lahat kurang lebih 40 Km. Gua perjuangan ini tempat bersembunyinya para Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan penduduk di masa penjajahan Jepang, dan sekaligus tempat pengintaian musuh yang paling aman karena letaknya yang tinggi diatas Bukit Besak.

Madun nama orang yang pertama menemukan Gua tersebut, sehingga gua tersebut disebut Gua Madun, menurut cerita penduduk setempat. Gua yang ada di Bukit Besak ini bukan gua yang dibuat oleh manusia tetapi karena terjadi proses alam. Batu-batu yang jatuh dari puncak bukit membentuk ruang-ruang dan bisa digunakan sebagai tempat untuk berteduh serta beristirahat.

Besar Gua Madun memiliki panjang sekitar 6 meter dan lebarnya sekitar 4 meter, tinggi Gua ini bervariasi saat memasukinya tinggi maksimal sekitar 5 meter mengikuti kontur batu yang menutupinya, menurut penjelasan Jayadi.

Siswa Kelas XI IPS 2, Aprianto, kami senang dengan acara penjelajahan ini, Gua Madun ini sangat unik. “ Dari mulut gua ini terdapat aliran air yang membelah gua, airnya segar dan bening kami bangga bisa ke tempat ini,” kata Aprianto.

Sementara Yumiani, siswi kelas X.1 mengatakan, bahwa pemandangan di sini indah, tugas kami nantinya menceritakan apa saja yang kami peroleh dari kegiatan ini. “Kalau tempat kami ni jadi obyek wisata tentu sangat bagus, selain bukit Besak, Gua Madun, Gua Putri serta Bukit Serelo masih banyak keunikan dari Merapi Selatan ini. Disini juga banyak sekali legenda masyarakat yang bisa di gali,” ucap Yusmiani.

Terlihat antusiame siswa-siswi mengikuti penjelajahan, diharapkan dapat memberi nilai positif dan mengambil manfaat dari perjalanan ini, kata Isman SPd Kepala Sekolah SMA N 1 Merapi Selatan.

“Bukankah dengan kegitan ini banyak pelajaran yang bisa diambil, misalnya pelajaran Bahasa Indonesia meraka dapat membuat karangan Deskripsi dari kegiatannya. Dari segi sejarah mereka lebih mengenal budaya local dan nilai-nilai budi pekerti untuk mencintai lingkungan dan tanah air,” jelas Isman. Jelas kegiatan ini memacu mereka untuk lebih giat lagi belajar di sekolah dan lebih bertanggung jawab menjaga alamnya, tambahnya.*)